Sepasang telapak kaki berbalut flatshoes itu berpijak di jalan setapak menuju hamparan sawah yang berada tidak jauh dari kediamannya. Ia bawa tubuhnya dengan langkah gontai sembari menundukkan wajah, menekuri jejak-jejak yang telah dilewati. Menuju tempat yang biasa ia singgahi untuk sejenak menepikan diri dari kepenatan yang ia hadapi.
Didaratkannya bokong miliknya ini di atas pematang sawah yang ditumbuhi oleh rumput-rumput teki. Ia edarkan manik matanya untuk menyapu pemandangan yang berada di sekeliling yang seketika membubuhkan rasa tenang di dalam hati. Angin kencang yang berhembus menerpa wajah, membuat kesejukan itu terasa kian mengaliri. Ia pejamkan mata sembari menghirup udara dalam-dalam lalu perlahan ia hembuskan hingga kedamaian itu bisa ia raih kembali.
Dewi merogoh saku celana yang ia kenakan. Diambilnya beberapa lembar pecahan uang seratus ribuan yang ia dapatkan dari Langit sebagai pesangon dan sebagai pengukuhan bahwa saat ini ia benar-benar telah hengkang. Hanya senyum penuh kegetiran yang dapat ia tampakkan. Mengingat nasib hidupnya terasa begitu menyedihkan dan memilukan.
"Setelah ini aku harus kemana lagi Tuhan? Dari sekian banyak pekerjaan yang pernah aku jalani, hanya menjadi penyanyi di grup Magatra lah yang memberikanku gaji yang lumayan banyak. Dan kini, aku dikeluarkan. Aku harus bagaimana Tuhan?"
Monolog lirih yang terucap dari bibir Dewi membuat hatinya seolah tergerus dan teriris. Seketika ingatannya terhenti pada saat ia bekerja di rumah makan, pabrik tempe, pabrik sarung tangan, dan beberapa tempat lain yang sama sekali tidak pernah menyisakan kesan manis. Hanya hitungan bulan saja, wanita itu bisa bertahan di tempatnya mencari nafkah karena setiap hari selalu ada yang menghina fisik yang ia miliki dan membuatnya menangis.
Hinaan dan cacian yang sering ia dapatkan di tempat kerja itulah yang menempa Dewi untuk bisa menjadi wanita tangguh. Membentengi hatinya sendiri agar tidak rapuh dan membendung air telaga beningnya agar tidak jatuh ataupun meluruh. Merajut asa di balik keputusasaan yang selalu saja bertumbuh.
Keadaanlah yang memaksanya untuk tidak meneteskan air mata, meski hal itu sungguh sangat sulit untuk ia lakukan. Hingga segala beban diri yang ia rasa, hanya terkungkung dalam jiwa dan selalu saja tertahan untuk tidak pernah ia tampakkan. Pastinya melalui tetes air mata yang jatuh perlahan.
Kepala Dewi mendongak, dilihatnya barisan awan tipis yang membentuk jaring-jaring kapas. Sedikit meredam terik sinar matahari yang terasa panas hingga membuat rasa penat dalam diri sedikit terlepas.
"Dew, sedang apa kamu di sini? Dan sejak kapan kamu berada di sini?"
Suara seorang wanita yang terdengar familiar di telinga, membuat Dewi sedikit terkesiap. Ia edarkan pandangannya ke arah sumber suara dan kini ia beserta pemilik suara itu saling menatap. Seutas senyum tipis menghiasi bibir Dewi, melihat kedatangan seorang wanita yang namanya sudah menetap dan terpatri di dalam hati.
"Dewi hanya sedang mencari angin, Bu. Pastinya sambil menikmati hamparan hijau sawah ini. Ibu sendiri mengapa berada di sini?"
Wanita dengan celana yang dipenuhi oleh lumpur itu hanya bisa tersenyum simpul. Sesekali ia usap peluh yang menetes di wajah seakan menyiratkan butiran-butiran beban hidup yang ia panggul. Meski nampak begitu lelah namun hanya dengan cara seperti inilah kepingan-kepingan rezeki itu dapat terkumpul.
"Ibu baru saja selesai menyiangi rumput di sawah milik pak Bakir, Dew. Beliau memberikan pekerjaan Ibu untuk menyiangi rumput-rumput liar yang menghambat pertumbuhan tanaman padi yang beliau tanam. Dan upah yang diberikan lumayan banyak, bisa untuk menopang kebutuhan kita selama dua minggu ke depan."
"Ibu sedang tidak bercanda? Menopang kebutuhan kita selama dua minggu ke depan bukankah itu jumlah yang banyak? Ibu harus mengerjakan berapa petak sawah untuk bisa mendapatkan upah sebanyak itu?"
Rasa ingin tahu tiba-tiba saja mengungkung isi kepala Dewi. Mengerjakan pekerjaan seperti yang dilakukan oleh sang ibu biasanya mendapatkan gaji lima puluh ribu untuk satu petak sawah. Lalu, harus berapa petakkah yang harus dikerjakan oleh sang ibu sehingga bisa menopang kehidupan selama dua minggu yang akan datang? Sungguh hal itu yang membuat Dewi semakin iba atas pengorbanan yang telah dilakukan oleh ibunya ini.
Lagi, Ambarwati hanya mengulas seutas senyum di bibir. Wanita itu berupaya untuk tersenyum manis meski tidak dapat dipungkiri jika senyum itu nampak getir. Salah satu pengorbanan sang ibu di mana ia akan tetap bertahan untuk memberikan penghidupan yang layak bagi anak-anaknya hingga denyut nadi dan napasnya berakhir.
"Sudahlah Dew, kamu tidak perlu memikirkan hal itu. Doakan saja Ibu selalu sehat sehingga bisa senantiasa berada di sisimu untuk melihatmu meraih kesuksesanmu."
Dewi menatap sendu wanita yang mana garis-garis keriput itu mulai bermunculan membingkai wajah. Hatinya serasa berdenyut nyeri kala mengetahui sebuah kenyataan bahwa mimpi dan angan sang ibu benar-benar telah patah. Asa, cita yang dulu senantiasa merekah, kini telah hilang dan musnah. Ketika pekerjaan itu terlepas dari genggaman hingga membuat langkah kakinya terhenti dan kehilangan arah.
"Dewi harus bagaimana jika saat ini Dewi tidak lagi menjadi penyanyi di grup Magatra, Bu? Bagaimana mungkin Dewi bisa mewujudkan mimpi dan angan ibu itu?"
Ambarwati sedikit tersentak. Meski kabar yang dibawa oleh Dewi turut membuat kesedihan dalam hati menyeruak, namun sebisa mungkin ia tersenyum tegar untuk ikut menguatkan sang anak.
"Itu artinya bukan Magatra yang menjadi jalanmu untuk meraih kesuksesan itu, Dew. Percayalah bahwa masih ada jalan lain untukmu bisa meraih mimpi dan anganmu."
Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup maka seribu pintu kebahagiaan lain akan terbuka, itulah yang senantiasa Ambarwati tanamkan. Sebuah ungkapan hidup yang akan menjadi titik balik di kala ia mengalami keputusasaan.
Diusapnya pundak Dewi dengan perlahan. Mentransfer energi positif agar sang anak tetap bertahan dan tidak kalah oleh keadaan. Meski itu semua terasa memilukan namun kepercayaan akan kasih sayang Tuhan lah yang semakin menguatkan.
"Ibu ...."
Suara Dewi tercekat di dalam tenggorokan. Untuk mengucap sepatah katapun tidak lagi mampu untuk ia lakukan. Tetes embun dari bingkai wajah Dewi mulai menetes satu persatu. Layaknya embun duka yang menggambarkan suasana hatinya yang sedang pilu. Lambat laun, tetes embun itu melebat dan kini wanita itupun tergugu.
"Sudah, jangan menangis lagi. Percayalah, semua akan baik-baik saja."
Usapan lembut jemari Ambarwati di wajah Dewi memangkas segala kegundahan hati. Sosok malaikat tak bersayap yang selalu bisa membuatnya tegar dan bersemangat lagi.
"Mari kita pulang! Setelah ini akan ibu masakkan ikan asin dan sayur bayam."
***
"Bang Langit, Amara, Adelia. Mengapa kalian semua datang ke rumahku? Ada keperluan apa hingga membuat kalian semua datang kemari?"
Langkah kaki Dewi dan Ambarwati tiba-tiba terhenti kala di halaman rumah berdiri tiga orang yang begitu familiar di indera penglihatannya. Ibu dan anak itu sedikit terkejut dengan kedatangan Langit, Amara dan Adelia, mengingat baru kali ini mereka menginjakkan kaki di kediamannya. Tanpa ada pesan terlebih dahulu ketiga orang itu tiba-tiba datang yang Dewi yakini tengah membawa sebuah berita.
"Apakah seperti ini caramu dalam memperlakukan tamu? Tidakkah engkau mempersilakan kami masuk ataupun duduk terlebih dahulu?"
Pertanyaan sarkas yang terlontar dari mulut Langit sedikit menampar hati Dewi. Wanita itu sadar jika apa yang ia lakukan merupakan salah satu bentuk ketidaksopanan yang seharusnya ia hindari. Sadar akan hal itu, Dewi bergegas mempersilakan tiga orang ini untuk masuk ke beranda rumah dan mempersilakan mereka untuk duduk di atas lincak yang sudah tersedia.
"Aku mengajakmu untuk kembali bergabung dengan Magatra. Apakah kamu bersedia?"
Perkataan Langit yang to the point itu sukses membuat Dewi terhenyak. Pasalnya baru beberapa jam yang lalu Langit memutuskan untuk mengeluarkannya, dan kini lelaki memintanya untuk bergabung kembali? Sungguh, hanya membuat Dewi semakin tidak bisa memahami.
"Mengapa bang Langit tiba-tiba memintaku untuk bergabung kembali? Apakah ada sesuatu yang terjadi?"
"Sudah, jangan banyak bertanya. Saat ini yang ingin aku tahu, apakah kamu bersedia untuk kembali bergabung dengan Magatra? Jika memang iya, besok datanglah ke tempat biasa, karena kita akan tampil di salah satu acara."
Sepercik keraguan nampak terlintas dalam hati. Namun kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan kembali, membuat Dewi yakin untuk menerima tawaran Langit ini. Sekilas, Dewi melirik ke arah sang ibu dan wanita paruh baya itu hanya mengangguk lirih sebagai isyarat bahwa ia turut menyetujui sang putri untuk bergabung kembali.
"Baiklah Bang, aku bersedia untuk bergabung kembali."
"Bagus, besok datanglah ke tempat biasa kita berkumpul karena sudah ada satu pekerjaan yang menunggumu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Wanda Harahap
ini yg kusuka dr novel kak Rasti
kehidupan yg nyata, perjuangan bukan hanya halu yg luar biasa
Seperti cahaya cinta seroja yg kutunggu up nya selalu
tp baru tau ada novel baru ini, jadinya meluncur k sinilah
2022-04-20
1
Lee
lanjut ka semangat..
masuk favorit ini..
2022-03-05
1
☠ᵏᵋᶜᶟբɾҽҽթαlҽsԵíղαKᵝ⃟ᴸ𒈒⃟ʟʙᴄ
issshhh jgn mau dew mereka jahat 🥺🥺🥺
2022-03-01
15