Denting suara sendok yang beradu dengan piring, memecah keheningan yang tercipta di ruang tengah kediaman Dewi. Sayur bayam, ikan asin dan sambal bawang nampak berjajar rapi meghiasi karpet yang tergelar di atas lantai ini. Dua orang yang tengah menyantap sajian masing-masing seakan begitu menikmati menu sederhana yang ada dengan riang hati.
"Dew, sejak tadi Ibu melihatmu sibuk sekali dengan handphone di taganmu. Sebenarnya apa yang tengah kamu perhatikan?"
Seusai meneguk air putih dari dalam gelas, Ambarwati menyempatkan diri untuk menegur Dewi. Wanita paruh baya ini begitu keheranan ketika melihat sang anak nampak asyik sendiri. Bahkan, ia nampak mengabaikan hidangan yang tersaji. Karena piring milik Dewi yang sudah berisikan nasi, sayur, lauk dan sambal bawang hanya dibiarkannya teronggok begitu saja tanpa ia perdulikan sama sekali.
Dewi terkesiap. Ucapan sang ibu berhasil membuatnya sedikit tergagap. Tidak tahu apa yang harus ia ucap.
"Eh, itu Bu ... Dewi ..."
"Makanlah dengan benar Dew. Hidangan yang berada di hadapanmu ini merupakan salah satu karunia dari Tuhan yang tidak selayaknya kamu abaikan. Letakkan kembali handphone milikmu dan segera habiskan makananmu."
Ambarwati bertitah seakan tidak mau dibantah. Dewi memilih mengangguk pasrah daripada sang ibu marah. Karena jika sampai sang ibu marah, seketika label anak berbakti akan musnah karena tidak menurut ketika sang ibu memberikan perintah.
Dewi meletakkan ponselnya di samping paha. Ia raih piring yang sedari tadi teronggok begitu saja. Menyendok isi yang ada di dalamnya kemudian perlahan ia masukkan ke dalam mulutnya. Dan benar saja, kenikmatan sayur bayam ini mulai memanjakan lidah meski hanya merupakan masakan sederhana.
"Kak Dewi, besok uang LKS ku harus segera dilunasi. Kak Dewi bisa melunasinya kan?"
Seruni, gadis manis berusia enam belas tahun yang saat ini tengah duduk di bangku SMA kelas satu itu mencoba untuk mengingatkan sang kakak akan kewajiban yang harus dibayarkannya. Sembari mengunyah, Dewi menggiring manik mata ke arah sang adik yang saat ini duduk di hadapannya.
"Berapa yang harus Kakak bayarkan, Run?"
"Dua ratus lima puluh ribu Kak. Kak Dewi ada uangnya kan?"
Dewi menganggukkan kepala seraya meneguk air di dalam gelas. Meski banyak keinginan, namun ia tetap menjadikan kebutuhan sekolah Seruni sebgai prioritas. Berusaha agar semua kebutuhan sang adik dapat terpenuhi, hingga gadis remaja itu bisa senantiasa tertawa lepas. Meski berada di dalam kondisi yang serba terbatas.
"Baik Run, besok Kakak berikan uangnya."
"Dew, biarkan Ibu saja yang membayar LKS Runi. Uang yang kamu miliki lebih baik kamu simpan saja."
Air muka yang dipenuhi oleh gurat tidak enak hati, tercetak jelas di wajah Ambarwati. Meski Dewi yang selalu saja menjadi penopang akan semua kebutuhan Seruni, namun hati seakan dihinggapi oleh rasa bersalah yang telah terpatri. Merasa bersalah karena tidak dapat memberikan kehidupan yang layak untuk kedua putrinya ini. Meski mereka mencoba untuk menutupi segala kesedihan hati namun Ambarwati yakin jika keduanya seringkali menangis di dalam hati. Meratapi nasib yang mereka jalani.
"Bu, sudah ya. Jangan lagi Ibu memikirkan hal itu. Untuk keperluan sekolah Runi, biarkan menjadi tanggung jawab Dewi. Ibu hanya perlu mendoakan Dewi agar Tuhan senantiasa memberikan kelapangan rezeki."
Ambarwati tertegun memandang wajah Dewi. Putri sulungnya itu bahkan mengesampingkan kebahagiaan dirinya sendiri untuk memenuhi segala kebutuhan Seruni. Tak ayal, keikhlasan dan kebaikan hati Dewi itulah yang membuat aura cantik semakin keluar dari dalam diri. Namun, kecantikan itu hanya terlihat di depan orang-orang yang memiliki hati yang murni. Hati yang paham bahwa inner beauty lah yang merupakan kecantikan hakiki.
"Terima kasih Kak!"
Dewi kembali menganggukkan kepala, sembari menumpuk piring-piring kotor yang sudah tidak lagi digunakan. "Kamu tidak perlu berterima kasih, Runi. Saat ini yang perlu kamu lakukan adalah giat belajar, sehingga kelak kamu bisa menjadi orang yang sukses dan bisa mengangkat derajat keluarga kita."
"Iya Kak, aku berjanji."
Dewi yakin jika kelak Runi bisa mengangkat derajat keluarga. Otak cerdas, bentuk fisik proporsional dan juga wajah cantik seakan menjadi paket lengkap yang kelak pasti akan sangat diperlukan di dalam dunia kerja. Bagaikan langit dan bumi, kondisi fisik Dewi dan Runi nampak jauh berbeda. Meski keduanya terlahir dari rahim yang sama.
Dewi dan Runi bangkit dari posisi duduk mereka. Setelah selesai dengan ritual makan malam bersama kini keduanya mulai untuk berbagi tugas. Dewi mencuci piring-piring kotor di dapur sedangkan Runi membersihkan ruangan. Untuk Ambarwati sendiri, ia kembali memasuki kamar untuk bersegera tidur.
***
Pagi masih berselimut kabut kala Dewi menjejakkan kaki untuk memasuki kamar mandi. Meski semalam ia tidur begitu larut namun tetap saja kelopak matanya terbuka di jam tiga dini hari seperti ini. Ia terbangun di saat semua orang masih setia dipeluk oleh mimpi.
Dewi mendaratkan bokong di bibir ranjang. Tangannya terulur untuk meraih gawai yang teronggok di atas meja kecil yang salah satu kakinya sudah sedikit goyang. Ia gulirkan jemarinya di atas layar posel untuk melihat produk kecantikan yang sudah ia keluarkan dari icon bergambar keranjang. Seharusnya, hari ini produk yang ia pesan sudah tiba di alamat pengantaran.
Hati seakan berdetak kencang kala ia akan mulai untuk memakai krim perawatan. Seperti iklan yang terpampang di media sosial, produk kecantikan itu akan menampakkan hasil dalam waktu tiga hari pemakaian. Rasa-rasanya, wanita itu sudah tidak sabar untuk memakainya, berharap pada saat ia tampil di acara haji Amir nanti, kulit wajahnya tidak lagi kusam.
Ia gulirkan kembali jemarinya untuk membuka icon galeri yang berada di layar gawainya. Ia membuka salah satu foto yang tersimpan di dalam sana. Foto seorang laki-laki yang ia dapatkan dari foto profil kontak Whatsapp yang ia punya. Sekilas, senyum simpul terbit di bibir tipisnya.
"Meski bang Langit memperlakukan aku tidak baik dan selalu saja merendahkanku bahkan akupun berani untuk memberikan perlawanan, namun entah mengapa aku masih saja memiliki perasaan istimewa kepadanya. Bagiku, dia merupakan orang yang berjasa karena sudah memberikan pekerjaan dan upah yang layak untukku."
Dewi akui sejak pertama ia mengenal Langit, ia sudah menyimpan sebuah rasa untuk lelaki itu. Sebuah rasa yang ia simpan dalam diam, dan tidak ada seorang pun yang tahu. Bahkan sang ibu pun tidak tahu jika anak sulungnya ini memendam sebuah rasa untuk lelaki yang ia simpan rapat di dalam kalbu.
"Apakah mungkin jika nanti wajahku sudah mulai berubah, bang Langit akan melirik keberadaanku? Atau tetap tidak akan berpengaruh apapun? Aahhhh Dewi, bangunlah. Jangan bermimpi."
Dewi menggeleng-gelengkan kepala berupaya untuk tersadar dari pikiran yang semakin menyesatkan. Bagaimanapun juga ia yang memiliki perasaan untuk Langit hanya seperti pungguk merindukan rembulan. Sampai kapanpun tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Dewi kembali naik ke atas ranjang. Mencoba untuk kembali memeluk mimpi meski pagi sebentar lagi akan menjelang. Ia sungguh sudah tidak sabar untuk menunggu tibanya paket produk kecantikan yang akan datang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Tina
Yang sabar ya Dewi , semoga buah cinta & kesabaranmu membuahkan hasil .
2023-02-09
0
Wanda Harahap
Berubah demi seseorang itu tidak baik,
lebih baik berubah demi diri sendiri
dari sifat arogan langit yg memandang Dewi secara fisik, aku koq gk suka ya langit jadi jodohnya Dewi
2022-04-20
0
I.S.DINIa
melipir ke karya baru ini aku kak ..sukses ya.
2022-03-13
1