Senja berubah sendu kala sepasang kaki Dewi berpijak di jalan setapak yang di hiasi hijau tanaman padi. Rona semburat warna jingga yang sebelumnya terlukis di ufuk barat kini terganti dengan aura muram di sore hari. Awan kelabu mulai membentuk koloni, membentuk titik-titik air yang sepertinya akan segera mereka muntahkan di atas bumi. Mengguyur bumi manusia dengan deras air langit yang pastinya akan terasa menusuk-nusuk kulit.
"Dasar wanita pembawa sial! Gara-gara kamu, aku harus mengganti kerugian dua kali lipat kepada haji Amir. Kamu benar-benar sialan, Dew!"
Teriakan lantang Langit beberapa saat yang lalu masih terngiang jelas di dalam telinga Dewi. Dewi menghentikan langkah kaki. Memilih untuk duduk di lereng sungai yang aliran airnya terlihat jernih sekali. Menatap lekat arus air yang begitu tenang namun sepertinya menghanyutkan.
"Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mengganti kerugian akibat penampilanmu. Jika haji Amir memintaku untuk mengganti uangnya dua kali lipat, maka kamu harus mengganti kepadaku tiga kali lipat. Aku beri waktu kamu sampai bulan depan!"
Lagi-lagi suara penuh intimidasi dari Langit kembali terdengar di telinga. Merayu dan menggoda Dewi agar wanita itu semakin larut dalam luka tak kasat matanya. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, itulah yang saat ini Dewi rasa. Ia yang tiba-tiba kehilangan suara, setelah itu kebebasannya terpenjara akibat hutang yang dilimpahkan Langit kepadanya. Sungguh malang, ia yang sama sekali belum menikmati hasil keringatnya, justru sudah ada kewajiban yang terus merongrongnya. Hutang dadakan yang terasa kian menyiksa jiwa.
Saat dirinya berkumpul bersama Langit dan personil Magatra yang lain, ingin rasanya Dewi berteriak lantang untuk menentang semua hal yang nampak tidak masuk akal dan mengusik nuraninya. Akan ia gunakan kekuatan dan keberanian yang ada di dalam diri untuk melawan ketidakadilan yang diberikan oleh lelaki yang masih saja setia dengan keangkuhannya. Namun apalah daya. Untuk mengucapkan sepatah katapun tidak akan terdengar suaranya. Dewi merasa hal itulah yang membuat Langit seperti berada di atas awan, karena setiap kemauannya tidak ada satupun yang membantahnya. Personil Magatra pun memilih untuk bungkam namun dalam netra mereka nampak setitik rasa iba, kecuali Amara dan Adelia.
Di dalam penglihatan Dewi, Amara dan Adelia seakan ikut tersenyum di dalam penderitaan yang ia rasakan. Rasa bahagia yang mereka balut sedemikian rupa hingga menjadi wajah sendu yang ditampakkan. Namun, Dewi tetaplah Dewi. Wanita itu bisa melihat mana itu rasa simpati yang benar-benar nyata dari dalam hati dan mana rasa simpati yang hanya sekedar kepura-puraan. Bahkan Dewi bisa melihat sorot mata kedua wanita itu memancarkan binar kebahagiaan.
Dewi kembali membuang napas dalam dan perlahan ia hembuskan. Ditatapnya lagi hamparan langit yang kian bermuram durja. Barisan awan mendung pun mulai berarak menutupi cahaya langit senja. Dan perlahan, rintik hujan itu jatuh di atas bumi manusia.
Rintik air hujan semakin melebat seiring dengan genangan air di pelupuk mata Dewi yang tidak kunjung menghilang. Justru bertambah banyak layaknya air mata luka yang menggenang. Tiba-tiba saja rasa sesak di dalam dada kembali menyerang.
Dewi memeluk erat kedua lututnya. Mencoba untuk meredam rasa dingin yang menyelimuti tubuhnya. Menahan tajamnya tetes-tetes air langit yang membabibuta menyerangnya. Wanita itu kembali tergugu di bawah air langit yang saat ini layaknya air mata yang bercucuran dari telaga bening miliknya. Menumpahkan segala duka dan lara dari dalam jiwa dan melebur, menjadi satu dengan tetesan air hujan yang membasahinya.
Tuhan, kali ini aku boleh kalah dengan keadaan. Namun aku percaya jika suatu hari nanti Engkau akan menampakkan keadilan Mu yang kelak membuat orang-orang itu merasakan derita apa yang saat ini aku rasakan. Aku percaya itu Tuhan, aku percaya.
***
Hujan deras menghujam bumi di tengah langit gelap yang terbelah oleh kilatan petir. Gelegar suaranya mulai terdengar memekak telinga seakan berlomba-lomba menampakkan keberadaannya yang membuat manusia menyingkir. Khawatir jika kilatan petir itu menyambar tubuh mereka dan menyisakan rasa sakit dalam tubuh yang terukir.
Langkah kaki Dewi terasa berat. Beban batin yang saat ini ia rasakan seakan lebih berat dari beban bobot tubuhnya. Wanita itu hanya berjalan gontai tanpa perduli dengan air langit yang begitu deras berjatuhan. Berharap beban yang ia rasakan ikut terhanyut oleh aliran air hujan.
"Dewi!"
Kedua bola mata Ambarwati terbelalak sempurna kala mendapati sang anak berdiri terpaku di depan halaman. Ia yang berniat ingin menutup pintu rumah, ia urungkan niatnya kala melihat sang anak berdiri terpaku di halaman dengan tatapan kosong dan menerawang. Wanita paruh baya itu gegas menghampiri Dewi untuk ia bawa masuk ke dalam rumah.
"Ya Tuhan, ada apa denganmu Dew? Apa yang telah terjadi kepadamu!"
Tetes embun yang berada di dasar hati Ambarwati mulai merangkak naik memenuhi kelopak mata. Tanpa menunggu waktu lama tetes-tetes embun itu satu persatu berjatuhan dari sana.
Ambarwati menyelimuti tubuh Dewi yang basah kuyup dengan handuk. Ia menggunakan satu handuk lagi untuk mengeringkan rambut Dewi yang sudah berantakan tiada berbentuk. Tidak dapat ia pungkiri, kondisi sang anak saat ini juga membuat batinnya serasa remuk.
Dewi menatap nyalang wajah sang ibu yang juga ikut meneteskan air mata. Ingin rasanya ia menumpahkan segala luka tak kasat mata yang terasa begitu meremukkan seonggok daging yang bersemayam dalam dada. Namun apa daya, untuk sekedar memanggil nama sang ibu saja ia tidak bisa.
Bibir Dewi bergetar, diiringi dengan tubuhnya yang meluruh di dalam dekapan sang ibu. Air matanya terus mengalir deras namun sama sekali tidak dapat mengeluarkan suara layaknya seorang tunawicara.
"Bicaralah Nak? Katakan kepada Ibu. Apa yang terjadi kepadamu. Jangan diam saja seperti ini!"
Rasa tidak sabar menghampiri, membuat Ambarwati melepaskan dekapan Dewi dan mengguncang-guncang tubuh sang anak. Wanita paruh baya itu sudah sangat tidak sabar untuk mendengar cerita yang akan disampaikan oleh Dewi. Namun sayang, anaknya ini tetap saja bungkam.
Dewi mencoba untuk membuka mulutnya namun sama sekali tidak ada gelombang suara yang keluar. Dewi memegang leher sembari menggelengkan kepala sebagai isyarat bahwa ia tidak dapat bersuara. Dan air matanya semakin mengalir deras kala tenggorokannya mulai terasa panas dan terbakar.
Ambarwati menyipitkan mata. Dahinya berkerut dengan kedua pangkal alis yang saling bertaut. Mencoba untuk memahami isyarat yang keluar dari bahasa tubuh Dewi. Seketika Ambarwati menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya yang menjadi pertanda betapa terkejutnya ia.
"Nak, kamu tidak bisa bersuara?"
Dewi mengangguk samar. Dan seketika Ambarwati memeluk erat tubuh putrinya ini. "Ya Tuhan, siapa yang telah tega melakukan ini terhadap anakku? Siapapun mereka, berikan balasan yang setimpal untuk mereka!"
Gelegar suara petir kembali terdengar. Menggetarkan panel-panel jendela kaca kediaman Dewi dan Ambarwati. Suara petir itu seakan menjadi pertanda bahwa doa yang terlisan dari bibir wanita paruh baya itu suatu saat akan menjadi kenyataan. Namun, entah kapan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
noviaryani5
kumenangis 😭😭😭😭😭
2022-03-11
0
Nofi Kahza
haddooh..aku emozeeeh...! itu Langit kenapa jadi nyalahin Dewi sih? bukannya itu karena ulah dia dan antek2 liknitnya itu? iiihhhh! rasanya pingin banget aku manggil nyumpal mulutnya dengan pempers bekas incesku di sini😤😤😤😤😤😤
2022-03-07
0
☠ᵏᵋᶜᶟբɾҽҽKᵝ⃟ᴸMak buaya𒈒⃟ʟʙᴄ
doa orang yg teraniaya itu biasanya terkabul jd siap² lah buat kehancuran langit amara dan adelia
2022-03-06
11