Langkah kaki milik wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu diarahkannya ke sudut bawah jembatan layang. Dari kejauhan, nampak beberapa kumpulan anak kecil yang duduk bersila sembari menghitung kepingan dan lembaran uang. Wajah mereka nampak kusam akibat terlalu lama terpapar sinar sang raja siang. Pakaian yang mereka kenakan pun nampak begitu lusuh dan usang. Namun, tidak dapat dipungkiri jika wajah mereka mengeluarkan aura suasana hati yang riang.
"Hallo semua!"
Dewi menyapa anak-anak kecil yang rata-rata berusia tujuh sampai sembilan tahun. Meski nampak sedikit kikuk namun Dewi tetap berusaha untuk bergabung. Bagaimanapun, anak-anak inilah yang kelak akan menjadi temannya untuk berburu peruntungan di kota Jakarta sehingga benar-benar bisa menjadi orang yang beruntung.
Anak-anak itu hanya sekilas melihat ke arah Dewi kemudian mereka lanjutkan acara menghitung pendapatan hasil mengamen seharian ini. Dewi sedikit tersentak, karena tidak mendapat respon sama sekali. Namun ia tetap tidak menyerah, ia bertekad harus bisa berbaur dan bisa lebih dekat dengan anak-anak ini.
"Apakah Kakak boleh ikut bergabung?"
"Memang Kakak bisa menyanyi? Kalau Kakak tidak bisa menyanyi, tidak boleh ikut dengan kami."
Pada akhirnya, seorang anak kecil berusia sekitar delapan tahun dengan rambut dikucir kuda itu menanggapi apa yang menjadi maksud dan tujuan Dewi. Seakan mendapatkan angin segar, Dewi seketika menganggukkan kepala dan tersenyum penuh arti. Ia pun semakin merapatkan tubuhnya ke arah anak-anak ini.
"Apakah kalian ingin mendengar Kakak bernyanyi?"
"Silakan saja Kakak bernyanyi. Dan jika memang benar suara Kakak bagus, Kakak bisa ikut kami mengamen di pinggir jalan."
Dewi kembali menyunggingkan senyum. Ia mulai mengambil dan mengatur napas untuk mulai bernyanyi.
Hadapi dengan senyuman
Semua yang terjadi biar terjadi
Hadapi, dengan tenang jiwa
Semua kan baik-baik saja
"Bagaimana? Apakah Kakak bisa ikut mengamen bersama kalian?"
Kumpulan anak itu saling melempar pandangan dan sama-sama terperangah tiada percaya. Setelah itu mereka edarkan manik mata mereka ke arah Dewi dengan sorot mata takjub begitu kentara. Ragu bahwa suara wanita yang baru tiba ini tidaklah merdu namun pada kenyataannya adalah sebaliknya. Suara wanita ini sungguh bisa membuat siapa saja yang mendengar merinding seketika. Bukan karena seperti suara kuntilanak atau makhluk tak kasat mata sejenisnya, melainkan suara wanita ini sungguh dapat menggetarkan seonggok daging yang bersemayam di dalam dada.
"Waaaa ... suara Kakak benar-benar merdu. Kalau begitu Kakak boleh bergabung bersama kami. Selepas ini, kita akan mengamen lagi."
Senyum manis membingkai bibir tipis Dewi. Tidak ia sangka jika akan mendapatkan apresiasi semanis ini. Namun dengan cara seperti ini, setidaknya menjadi awal yang baik untuk memulai hari-hari barunya di kota Jakarta ini.
"Terima kasih Sayang. Kelak, kalian pasti juga akan bisa memiliki suara seperti Kakak. Apakah saat ini Kakak bisa menjadi teman kalian semua?"
Lagi-lagi gadis berkucir kuda dan semua orang yang berada di tempat ini hanya bisa saling melempar pandangan. Tanpa terduga, mereka menghamburkan tubuh masing-masing ke dalam dekapan Dewi.
"Mulai saat ini Kakak akan menjadi bagian dari keluarga besar kami. Kita semua akan mencari uang bersama-sama."
Jatuh sudah setetes embun yang bergelayut manja di kelopak mata Dewi. Ketika dirinya ingin menyerah karena mendapatkan sambutan mengesankan dengan kejadian penjambretan yang ia alami, pada kenyataannya penawar itu sudah ia dapatkan kini. Pengakuan keluarga oleh beberapa orang yang tinggal di kota ini sudah cukup menjadi peredam segala kesakitan di hati.
"Terima kasih banyak Sayang. Kakak bahagia sekali bisa menemukan keluarga seperti kalian. Semoga kita bisa senantiasa bersama seperti ini ya."
Kumpulan anak-anak itu melepaskan diri dari dekapan tubuh Dewi. Mereka mengangguk bersamaan seakan menjadi sebuah isyarat bahwa mereka menyambut kedatangan Dewi sepenuh hati. Wajah polos yang memancarkan ketulusan hati.
"Baiklah kalau begitu, Kak...?"
Gadis berkucir kuda itu menggantung ucapannya di kala ia ingin memanggil nama Dewi namun tidak ia ketahui siapa. Dewi pun hanya bisa terkekeh kecil dibuatnya.
"Nama kakak, Dewi, Sayang. Senang bertemu dan berkenalan dengan kalian."
"Baiklah, sebentar lagi kak Dewi bersiap-siap ya. Kita akan mengamen lagi."
"Baik Sayang, terima kasih banyak."
***
Hiruk pikuk keramaian kuda-kuda besi nampak menjamah setiap sudut jalanan ibu kota. Bunyi klakson terdengar bersahutan memekak telinga. Seakan berebut untuk menjadi penguasa jalan yang dapat bertingkah semaunya. Tanpa memperdulikan semua yang berada di sekelilingnya.
Anak-anak kecil dengan peralatan seadanya mulai turun ke jalanan. Menggunakan kemampuan yang mereka miliki untuk bisa menyambung kehidupan. Apalagi yang mereka lakukan jika bukan dengan menjadi pengamen jalanan.
Sebuah potret kerasnya kehidupan ibu kota dapat Dewi saksikan saat ini, tepat di depan kedua matanya. Anak-anak yang sejatinya berhak mendapatkan kehidupan dan pendidikan yang layak, harus mengorbankan itu semua. Mengorbankan masa-masa bahagia mereka untuk bisa mempertahankan nyawa. Sejak kecil, mereka seakan ditempa untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah di jalanan sehingga lupa bahwa pendidikan merupakan satu hal yang begitu penting untuk anak-anak seusia mereka.
Namun kembali lagi, bahwa kebahagiaan masing-masing orang dan masing-masing anak memang berbeda. Bisa saja bagi mereka yang tinggal di tempat ini, bisa mencari uang dengan cara seperti ini sudah menjadi satu hal yang membuat mereka berbahagia. Berbahagia karena mereka bisa ikut menjadi tulang punggung keluarga. Barangkali di tempat tinggal mereka ada raga yang tengah terbaring lemah yang memaksa mereka untuk ikut melawan pahit getirnya dunia. Atau mungkin di tempat mereka tinggal ada seonggok raga yang tidak dapat berbuat apa-apa sehingga hanya mengandalkan hasil dari anak-anak itu menjadi pengamen jalanan untuk sekedar membunuh rasa lapar dan dahaga.
Bukan salah siapa-siapa karena keadaan lah yang mungkin memaksa mereka untuk memilih pilihan ini untuk tetap bertahan. Sehingga membuat mereka berpedoman tidak perlu sekolah asalkan bisa makan. Potret realita kerasnya ibu kota seperti inilah yang membuat air mata Dewi kian tidak dapat tertahankan. Satu persatu menetes perlahan.
Betapa kita yang memiliki takdir hidup yang jauh lebih baik dari mereka banyak-bayak bersyukur akan kebaikan yang telah diberikan oleh sang Maha penggenggam kehidupan. Dengan potret yang disajikan oleh penulis ini semoga bisa menjadi pengingat diri bahwa di sana, di bawah kita masih banyak orang-orang yang memiliki kehidupan yang jauh dari kata sempurna.
Terkadang kita begitu enteng tidak menghabiskan makanan yang masuk ke dalam indara pengecap kita padahal di luar sana masih banyak yang bahkan sampai rela mengorek-orek tempat sampah hanya untuk mencari sesuap nasi, meski hanya nasi basi. Semoga part ini bisa menjadi bahan renungan untuk para pembaca dan pastinya Rasti Yulia sendiri.
🍁🍁🍁🍁🍁
Karena novel ini merupakan salah satu novel yang mengikuti event #Mengubah Takdir, maka terus dukung karya ini dengan like, komentar, favorit, rate bintang 5, gift dan juga vote ya Kak... Serta minta doa dari kakak-kakak semua agar semua bisa menjadi berkah.. Boleh juga di share jika memang tulisan ini menginspirasi... Terima kasih kakak-kakak semua❤️❤️❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
❤️⃟WᵃfJonathan
sukses selalu thor
2022-04-16
0
❤️⃟WᵃfJonathan
dewi hrs terbiasa dgn anak"
2022-04-16
0
Nofi Kahza
Aku terharu..akhirnya Dewi memiliki teman di kota metropolitan yang keras dan kejam ini🥰
di bab Ini memiliki pesan moral yang di mana kita harus bersyukur dengan apa yang bisa kita nikmati..🥰
Semangat ya Kak Rasti..
semoga menang mengikuti kontes🥰
2022-03-13
1