Bab 13. Meminta Izin

Dari balik pintu, Ambarwati menatap nanar tubuh Dewi yang saat ini meluruh di atas lantai sembari ia sandarkan di bibir ranjang. Sorot matanya mengedar ke sembarang arah dengan tatapan menerawang. Terdiam, membisu dari pagi hingga menuju petang.

Seperti inilah hari-hari yang dilalui oleh Dewi. Sudah satu minggu belakangan, Dewi selalu mengurung diri di dalam kamar dan nampak larut dalam dunianya sendiri. Membiarkan dirinya terseret oleh ombak kesedihan dan menenggelamkannya hingga ke palung hati. Kehancuran itu masih saja terekam jelas di dalam memori. Entah bagaimana caranya ia bisa keluar dari pusaran kehidupan yang seperti ini.

Kehidupan yang ia rasakan begitu berat untuk ia jalani. Kehidupan yang tidak sekalipun mengizinkannya untuk mengecap apa itu rasa bahagia di hati. Dan kehidupan yang membuat tulang belulangnya serasa diremukkan dalam waktu bersamaan dan hanya menyisakan serpihan-serpihan kecil yang terasa menusuk jantung hati.

Air matanya telah mengering namun belum untuk luka hatinya. Luka itu masih menganga lebar dan pastinya akan sulit menemukan penawarnya. Bak butiran garam yang ditabur di atas luka, perih itu semakin kian terasa. Memang benar apa yang dikatakan oleh banyak orang, bahwa luka di hati itu jauh akan lebih lama proses penyembuhannya.

Ambarwati menyeka bulir bening yang mulai berjatuhan membasahi pipi. Meski hatinya turut teriris perih melihat keadaan Dewi, namun sebisa mungkin ia menyembunyikan di balik senyum yang ia miliki. Saat ini, sang anak hanya sedang membutuhkan telinga untuk mendengar segala resah di hati. Dan membutuhkan bahu untuk bersandar dari beban diri. Serta membutuhkan uluran tangan untuk membawanya keluar dari kubangan luka yang selami.

"Dew, makan dulu ya. Ibu sudah membuatkan bubur sumsum kesukaanmu. Makan ya Nak?"

Ambarwati ikut duduk di atas lantai sambil memegang sebuah mangkuk yang berisikan bubur sumsum kesukaan Dewi. Selama satu minggu ini, Dewi memang tidak ingin makan apapun selain bubur sumsum buatan Ambarwati. Dan setiap pagi dan sore, wanita paruh baya ini sibuk di dapur membuat bubur sumsum untuk putri sulungnya ini.

Dewi mengangguk samar. Sedikit ia buka rongga mulutnya dan mulai menikmati suapan dari sang ibu tercinta.

"Bu ...," lirih suara Dewi mulai terdengar di telinga.

Suara Dewi sudah berangsur pulih meski masih terdengar serak dan belum sebening suara sebelumnya.

"Ya Nak, ada apa? Apakah kamu membutuhkan sesuatu? Biar Ibu ambilkan untukmu."

Dewi menggelengkan kepala. Saat ini, ia tidak membutuhkan apapun selain sosok Ambarwati dan Seruni yang mana menjadi harta paling berharga yang ia miliki.

"Dewi ingin ke Jakarta!"

Jawaban singkat, padat dan jelas dari bibir Dewi membuat Ambarwati terkejut setengah mati. Pasalnya, Dewi yang ia kenal selalu ingin berada di dekatnya dan tidak ingin berpisah jauh darinya mendadak ingin pergi ke ibu kota. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh putrinya ini.

"Nak, ada keperluan apa kamu tiba-tiba ingin pergi ke Jakarta? Apakah kamu ingin mengunjungi salah satu kenalanmu yang tinggal di sana?"

Dewi kembali menggelengkan kepala. "Tidak Bu. Dewi hanya ingin mencari tempat yang bisa menerima keberadaan Dewi."

Dahi Ambarwati sedikit mengernyit. "Apakah di sini bukanlah tempat yang bisa menerima keberadaanmu, Nak?"

"Keberadaan Dewi di sini hanya seperti kaleng bekas yang di tendang ke sana kemari, Bu. Saat Dewi berada di tempat ini hanya tinggal menunggu waktu saja kapan Dewi harus sampai di tempat sampah dan di bakar."

Dewi memberikan jeda ucapannya, sembari menyeka air mata yang sudah membasahi pipi. Ia meraup udara dalam-dalam untuk mengisi rongga dadanya dengan oksigen.

"Sebelum tubuh Dewi hancur terbakar seperti sampah, Dewi ingin mengubah takdir hidup Dewi di Jakarta, Bu. Barangkali, di ibu kota keberadaan Dewi bisa diakui."

"Tapi Nak, hidup di Jakarta tidak semudah yang kamu bayangkan. Jakarta itu keras. Berbeda jauh dengan tempat tinggalmu saat ini."

Ada sedikit rasa tidak rela di dalam hati Ambarwati untuk memenuhi permintaan Dewi. Karena sejak dulu, sekalipun ia tidak pernah hidup berjauhan dengan sang putri. Dan sekarang, ia ingin pergi jauh dari kehidupannya? Sungguh sebuah hal yang terasa berat untuk ia penuhi.

Dewi yang sebelumnya menatap dinding yang berada di depannya dengan tatapan kosong, kini ia geser untuk menatap sendu wajah sang ibu. Perlahan, ia raih jemari Ambarwati untuk ia kecup dengan perasaan haru.

"Dewi mohon, izinkan Dewi untuk pergi ke Jakarta, Bu. Di sana, Dewi ingin memulai untuk mewujudkan mimpi dan angan yang selama ini Dewi inginkan. Dewi mohon, berikan restu Ibu agar Dewi bisa pergi ke Jakarta dengan tenang."

Bibir Ambarwati sedikit bergetar. Ucapan anak sulungnya ini sungguh hanya membuat hatinya dipenuhi oleh keharuan. Ambarwati nampak menimbang-nimbang apa yang menjadi permintaan Dewi, dan pada akhirnya wanita paruh baya itu menganggukkan kepala sembari membawa tubuh Dewi ke dalam dekapan.

"Ibu mengizinkan dan memberikan restu untukmu, Nak. Ibu sadar bahwa mungkin tempat ini bukanlah tempat yang bisa mendukung keberhasilanmu. Mungkin, di ibu kota lah yang akan menjadi ladang rezeki bagimu."

Sebuah tekad dan niat yang selama satu minggu belakangan ini ia pikir matang-matang, kini sudah mendapatkan titik terang. Restu dari sang ibu lah yang ia yakini bisa membuat langkah kakinya terasa lebih ringan dan tenang. Yang akan senantiasa menjadi suplai semangat dalam berjuang untuk mewujudkan mimpi dan juga angan.

"Terima kasih Bu, terima kasih. Dewi berjanji akan berusaha keras untuk bisa mengubah takdir kehidupan kita ini."

****

Sebuah tas pakaian berwarna biru dongker teronggok di atas pembaringan dengan posisi resleting terbuka. Dengan penuh kehati-hatian, Dewi mulai memasukkan pakaian yang ia miliki ke dalam tas. Ia susun rapi semua pakaiannya dan ia tutup kembali resleting itu kala semua yang ingin ia bawa sudah masuk ke dalam sana. Tidak lupa, bingkai foto kecil yang di dalamnya terdapat foto dirinya, ibu, ayah dan juga sang adik juga turut ia bawa.

"Kak Dewi benar ingin pergi ke Jakarta? Apakah kak Dewi sudah memikirkan hal itu matang-matang?"

Seakan berat untuk merelakan sang kakak merantau ke ibu kota, Seruni berkali-kali melisankan sebuah tanya yang ia sisipi dengan sebuah maksud agar sang kakak mengurungkan niatnya. Bagi Seruni sendiri, berpisah dari sang kakak merupakan hal berat untuk dapat ia terima karena hanya Dewi lah satu-satunya kakak yang ia punya. Pastinya yang selalu ada untuk menemani hari-harinya.

Dewi hanya tersenyum manis di depan Seruni. Ia daratkan bokongnya untuk duduk di tepian ranjang miliknya ini.

"Kemarilah Run!" titah Dewi sembari menepuk-nepuk sisi tempat ia terduduk.

Seruni menurut, ia yang sebelumnya berdiri di dekat pintu kamar sang kakak, mulai mengayunkan tungkai kakinya untuk bisa mendekat ke arah Dewi. Dan ia pun duduk di tempat yang ditunjuk oleh kakaknya ini.

Dewi tersenyum penuh arti. Ia raih jemari Seruni dan ia genggam erat seakan tidak ingin ia lepaskan lagi.

"Kakak sudah memikirkan hal ini jauh-jauh hari, Run. Dan Kakak memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Selama Kakak berada di perantauan, Kakak titip Ibu, Run. Tolong jaga ibu baik-baik. Jaga suasana hatinya dan jaga kesehatannya."

Jendela hati milik Seruni mulai berembun. Namun sebisa mungkin ia tahan agar embun itu tidak menetes. "Lalu, berapa lama Kakak akan merantau ke ibu kota?"

Dewi menggeleng samar sembari mengangkat kedua bahunya. "Kakak sama sekali tidak tahu akan berapa lama merantau ke Jakarta. Namun, jika nanti semua mimpi dan angan Kakak sudah menjadi nyata, Kakak akan pulang."

Terasa semakin kuat rasa sesak dalam dada Runi. Dengan jawaban yang diberikan oleh Dewi, tidak dapat dipastikan kapan ia akan berjumpa lagi dengan kakak semata wayangnya ini. Sudah tidak sanggup untuk menahan segala gejolak di dalam dada, Runi pun meluruhkan tubuhnya ke dalam pelukan Dewi.

"Aku berjanji akan menjaga ibu baik-baik. Doaku juga tidak akan pernah berhenti untuk kak Dewi. Kakak baik-baik di Jakarta, ya. Jika Jakarta tidak seramah yang Kakak kira, pulanglah. Pintu rumah ini akan selalu terbuka untuk Kakak."

Mendadak, kamar milik Dewi ini dipenuhi oleh atmosfer keharuan yang begitu dahsyat. Kakak beradik itu saling berpeluk erat dan rasanya ingin selalu dekat. Tidak ingin dipisahkan oleh ruang dan jarak yang akan membuat kelopak-kelopak kerinduan dalam dada bertumbuh dengan hebat.

Sementara itu, wanita paruh baya yang berada di depan kamar Dewi, hanya bisa menangis dalam diam. Sebagai seorang ibu yang melahirkan Dewi, ia sendiri juga merasa berat untuk ditinggalkan. Namun kembali lagi, ini semua demi mimpi dan angan yang Dewi citakan.

Semoga setelah dahsyatnya badai kehidupan memporakporandakan jiwa dan membuat hidupmu terasa suram, engkau temukan pelangi yang akan menjadi warna dalam kehidupanmu, anakku! Doa Ibu, juga tidak akan berhenti mengalir untukmu.

Terpopuler

Comments

Wanda Harahap

Wanda Harahap

ditempat baru pastinya Dewi akan menemukan orang2 yg akan menghargai suaranya

2022-05-02

0

noviaryani5

noviaryani5

mdh² jakarta menjadi awal kebahagiaan mu ya wi

2022-03-11

0

Nofi Kahza

Nofi Kahza

aku kok sedih bercampur terharu ya bacanya..apa karena kak Rasti yg pintar merangkai kata2😢

Dewi doa ibumu selalu menyertaimu... doa ibu adalah jimat terampuh sepanjang masa.. jadi yakin kau akan sukses🥰

2022-03-09

2

lihat semua
Episodes
1 Bab 1. Hinaan
2 Bab 2. Beban Diri
3 Bab 3. Hengkang
4 Bab 4. Rencana Licik
5 Bab 5. Bergabung Kembali
6 Bab 6. Rasa yang Terpendam?
7 Bab 7. Air Mineral Pembawa Petaka
8 Bab 8. Kekacauan Di Atas Panggung
9 Bab 9. Tak Terduga
10 Bab 10. Luka Tak Kasat Mata
11 Bab 11. Kembali Diuji
12 Bab 12. Mulut Tetangga
13 Bab 13. Meminta Izin
14 Bab 14. Kedatangan Langit
15 Bab 15. Berangkat
16 Bab 16. Sambutan Kota Metropolitan
17 Bab 17. Wanita Berusia Senja
18 Bab 18. Berkorban
19 Bab 19. Menentukan Arah
20 Bab 20. Potret Ibu Kota
21 Bab 21. Bhumi
22 Bab 22. Memberi Kabar
23 Bab 23. Nyonya Kartika
24 Bab 24. Bang Bhumi, Tunggu!
25 Bab 25. Perdana di Ibu Kota
26 Bab 26. Semuanya Untukmu!
27 Bab 27. Job Baru
28 Bab 28. Istana
29 Bab 29. Svarga Bhumi
30 Bab 30. Jodoh Masa Kecil?
31 Bab 31. Sebuah Rencana
32 Bab 32. Terkesima
33 Bab 33. Kafe
34 Bab 34. Untuk Pertama Kali
35 Bab 35. Kalah Cepat
36 Bab 36. Memulai
37 Bab 37. Se-Simpel Ini?
38 Bab 38. Manis
39 Bab 39. Viral
40 Bab 40. Bisik-Bisik Tetangga
41 Bab 41. Menyusul?
42 Bab 42. Undangan
43 Bab 43. Persiapan
44 Bab 44. Show
45 Bab 45. Bertemu
46 Bab 46. Akhirnya
47 Bab 47. Benar-Benar Jodoh
48 Bab 48. Kecelakaan?
49 Bab 49. Pindah
50 Bab 50. Singa Betina
51 Bab 51. Rekaman
52 Bab 52. Rencana Melamar
53 Bab 53. Di Ruang Keluarga
54 Bab 54. Diary
55 Bab 55. Pingsan
56 Bab 56. Diundur
57 Bab 57. Magatra Tiba di Ibu Kota
58 Bab 58. Mereka?
59 Bab 59. Murka
60 Bab 60
61 Bab 61. Pembalasan
62 Bab 62. Dipermalukan
63 Bab 63. Tersadar
64 Bab 64. Masa Lalu
65 Bab 65. Rencana Jahat
66 Bab 66. Berdamai
67 Bab 67. Sedikit Firasat Kartika
68 Bab 68. Menjalankan Rencana
69 Bab 69. Tragedi
70 Bab 70. Kabar
71 Bab 71. Terbongkar
72 Bab 72. Dijemput ke Penjara
73 Bab 73. Segera Menikah
74 Bab 74. Yang Sebenarnya
75 Bab 75. Bercerai
76 Bab 76. Terima Kasih
77 Bab 77. Sadar
78 Bab 78. Pulang
79 Bab 79. Menikah
80 Bab 80. Sang Dewi -End-
81 Ucapan Terimakasih & Promo Novel Baru
82 Rilis novel baru
Episodes

Updated 82 Episodes

1
Bab 1. Hinaan
2
Bab 2. Beban Diri
3
Bab 3. Hengkang
4
Bab 4. Rencana Licik
5
Bab 5. Bergabung Kembali
6
Bab 6. Rasa yang Terpendam?
7
Bab 7. Air Mineral Pembawa Petaka
8
Bab 8. Kekacauan Di Atas Panggung
9
Bab 9. Tak Terduga
10
Bab 10. Luka Tak Kasat Mata
11
Bab 11. Kembali Diuji
12
Bab 12. Mulut Tetangga
13
Bab 13. Meminta Izin
14
Bab 14. Kedatangan Langit
15
Bab 15. Berangkat
16
Bab 16. Sambutan Kota Metropolitan
17
Bab 17. Wanita Berusia Senja
18
Bab 18. Berkorban
19
Bab 19. Menentukan Arah
20
Bab 20. Potret Ibu Kota
21
Bab 21. Bhumi
22
Bab 22. Memberi Kabar
23
Bab 23. Nyonya Kartika
24
Bab 24. Bang Bhumi, Tunggu!
25
Bab 25. Perdana di Ibu Kota
26
Bab 26. Semuanya Untukmu!
27
Bab 27. Job Baru
28
Bab 28. Istana
29
Bab 29. Svarga Bhumi
30
Bab 30. Jodoh Masa Kecil?
31
Bab 31. Sebuah Rencana
32
Bab 32. Terkesima
33
Bab 33. Kafe
34
Bab 34. Untuk Pertama Kali
35
Bab 35. Kalah Cepat
36
Bab 36. Memulai
37
Bab 37. Se-Simpel Ini?
38
Bab 38. Manis
39
Bab 39. Viral
40
Bab 40. Bisik-Bisik Tetangga
41
Bab 41. Menyusul?
42
Bab 42. Undangan
43
Bab 43. Persiapan
44
Bab 44. Show
45
Bab 45. Bertemu
46
Bab 46. Akhirnya
47
Bab 47. Benar-Benar Jodoh
48
Bab 48. Kecelakaan?
49
Bab 49. Pindah
50
Bab 50. Singa Betina
51
Bab 51. Rekaman
52
Bab 52. Rencana Melamar
53
Bab 53. Di Ruang Keluarga
54
Bab 54. Diary
55
Bab 55. Pingsan
56
Bab 56. Diundur
57
Bab 57. Magatra Tiba di Ibu Kota
58
Bab 58. Mereka?
59
Bab 59. Murka
60
Bab 60
61
Bab 61. Pembalasan
62
Bab 62. Dipermalukan
63
Bab 63. Tersadar
64
Bab 64. Masa Lalu
65
Bab 65. Rencana Jahat
66
Bab 66. Berdamai
67
Bab 67. Sedikit Firasat Kartika
68
Bab 68. Menjalankan Rencana
69
Bab 69. Tragedi
70
Bab 70. Kabar
71
Bab 71. Terbongkar
72
Bab 72. Dijemput ke Penjara
73
Bab 73. Segera Menikah
74
Bab 74. Yang Sebenarnya
75
Bab 75. Bercerai
76
Bab 76. Terima Kasih
77
Bab 77. Sadar
78
Bab 78. Pulang
79
Bab 79. Menikah
80
Bab 80. Sang Dewi -End-
81
Ucapan Terimakasih & Promo Novel Baru
82
Rilis novel baru

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!