Dari balik pintu, Ambarwati menatap nanar tubuh Dewi yang saat ini meluruh di atas lantai sembari ia sandarkan di bibir ranjang. Sorot matanya mengedar ke sembarang arah dengan tatapan menerawang. Terdiam, membisu dari pagi hingga menuju petang.
Seperti inilah hari-hari yang dilalui oleh Dewi. Sudah satu minggu belakangan, Dewi selalu mengurung diri di dalam kamar dan nampak larut dalam dunianya sendiri. Membiarkan dirinya terseret oleh ombak kesedihan dan menenggelamkannya hingga ke palung hati. Kehancuran itu masih saja terekam jelas di dalam memori. Entah bagaimana caranya ia bisa keluar dari pusaran kehidupan yang seperti ini.
Kehidupan yang ia rasakan begitu berat untuk ia jalani. Kehidupan yang tidak sekalipun mengizinkannya untuk mengecap apa itu rasa bahagia di hati. Dan kehidupan yang membuat tulang belulangnya serasa diremukkan dalam waktu bersamaan dan hanya menyisakan serpihan-serpihan kecil yang terasa menusuk jantung hati.
Air matanya telah mengering namun belum untuk luka hatinya. Luka itu masih menganga lebar dan pastinya akan sulit menemukan penawarnya. Bak butiran garam yang ditabur di atas luka, perih itu semakin kian terasa. Memang benar apa yang dikatakan oleh banyak orang, bahwa luka di hati itu jauh akan lebih lama proses penyembuhannya.
Ambarwati menyeka bulir bening yang mulai berjatuhan membasahi pipi. Meski hatinya turut teriris perih melihat keadaan Dewi, namun sebisa mungkin ia menyembunyikan di balik senyum yang ia miliki. Saat ini, sang anak hanya sedang membutuhkan telinga untuk mendengar segala resah di hati. Dan membutuhkan bahu untuk bersandar dari beban diri. Serta membutuhkan uluran tangan untuk membawanya keluar dari kubangan luka yang selami.
"Dew, makan dulu ya. Ibu sudah membuatkan bubur sumsum kesukaanmu. Makan ya Nak?"
Ambarwati ikut duduk di atas lantai sambil memegang sebuah mangkuk yang berisikan bubur sumsum kesukaan Dewi. Selama satu minggu ini, Dewi memang tidak ingin makan apapun selain bubur sumsum buatan Ambarwati. Dan setiap pagi dan sore, wanita paruh baya ini sibuk di dapur membuat bubur sumsum untuk putri sulungnya ini.
Dewi mengangguk samar. Sedikit ia buka rongga mulutnya dan mulai menikmati suapan dari sang ibu tercinta.
"Bu ...," lirih suara Dewi mulai terdengar di telinga.
Suara Dewi sudah berangsur pulih meski masih terdengar serak dan belum sebening suara sebelumnya.
"Ya Nak, ada apa? Apakah kamu membutuhkan sesuatu? Biar Ibu ambilkan untukmu."
Dewi menggelengkan kepala. Saat ini, ia tidak membutuhkan apapun selain sosok Ambarwati dan Seruni yang mana menjadi harta paling berharga yang ia miliki.
"Dewi ingin ke Jakarta!"
Jawaban singkat, padat dan jelas dari bibir Dewi membuat Ambarwati terkejut setengah mati. Pasalnya, Dewi yang ia kenal selalu ingin berada di dekatnya dan tidak ingin berpisah jauh darinya mendadak ingin pergi ke ibu kota. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh putrinya ini.
"Nak, ada keperluan apa kamu tiba-tiba ingin pergi ke Jakarta? Apakah kamu ingin mengunjungi salah satu kenalanmu yang tinggal di sana?"
Dewi kembali menggelengkan kepala. "Tidak Bu. Dewi hanya ingin mencari tempat yang bisa menerima keberadaan Dewi."
Dahi Ambarwati sedikit mengernyit. "Apakah di sini bukanlah tempat yang bisa menerima keberadaanmu, Nak?"
"Keberadaan Dewi di sini hanya seperti kaleng bekas yang di tendang ke sana kemari, Bu. Saat Dewi berada di tempat ini hanya tinggal menunggu waktu saja kapan Dewi harus sampai di tempat sampah dan di bakar."
Dewi memberikan jeda ucapannya, sembari menyeka air mata yang sudah membasahi pipi. Ia meraup udara dalam-dalam untuk mengisi rongga dadanya dengan oksigen.
"Sebelum tubuh Dewi hancur terbakar seperti sampah, Dewi ingin mengubah takdir hidup Dewi di Jakarta, Bu. Barangkali, di ibu kota keberadaan Dewi bisa diakui."
"Tapi Nak, hidup di Jakarta tidak semudah yang kamu bayangkan. Jakarta itu keras. Berbeda jauh dengan tempat tinggalmu saat ini."
Ada sedikit rasa tidak rela di dalam hati Ambarwati untuk memenuhi permintaan Dewi. Karena sejak dulu, sekalipun ia tidak pernah hidup berjauhan dengan sang putri. Dan sekarang, ia ingin pergi jauh dari kehidupannya? Sungguh sebuah hal yang terasa berat untuk ia penuhi.
Dewi yang sebelumnya menatap dinding yang berada di depannya dengan tatapan kosong, kini ia geser untuk menatap sendu wajah sang ibu. Perlahan, ia raih jemari Ambarwati untuk ia kecup dengan perasaan haru.
"Dewi mohon, izinkan Dewi untuk pergi ke Jakarta, Bu. Di sana, Dewi ingin memulai untuk mewujudkan mimpi dan angan yang selama ini Dewi inginkan. Dewi mohon, berikan restu Ibu agar Dewi bisa pergi ke Jakarta dengan tenang."
Bibir Ambarwati sedikit bergetar. Ucapan anak sulungnya ini sungguh hanya membuat hatinya dipenuhi oleh keharuan. Ambarwati nampak menimbang-nimbang apa yang menjadi permintaan Dewi, dan pada akhirnya wanita paruh baya itu menganggukkan kepala sembari membawa tubuh Dewi ke dalam dekapan.
"Ibu mengizinkan dan memberikan restu untukmu, Nak. Ibu sadar bahwa mungkin tempat ini bukanlah tempat yang bisa mendukung keberhasilanmu. Mungkin, di ibu kota lah yang akan menjadi ladang rezeki bagimu."
Sebuah tekad dan niat yang selama satu minggu belakangan ini ia pikir matang-matang, kini sudah mendapatkan titik terang. Restu dari sang ibu lah yang ia yakini bisa membuat langkah kakinya terasa lebih ringan dan tenang. Yang akan senantiasa menjadi suplai semangat dalam berjuang untuk mewujudkan mimpi dan juga angan.
"Terima kasih Bu, terima kasih. Dewi berjanji akan berusaha keras untuk bisa mengubah takdir kehidupan kita ini."
****
Sebuah tas pakaian berwarna biru dongker teronggok di atas pembaringan dengan posisi resleting terbuka. Dengan penuh kehati-hatian, Dewi mulai memasukkan pakaian yang ia miliki ke dalam tas. Ia susun rapi semua pakaiannya dan ia tutup kembali resleting itu kala semua yang ingin ia bawa sudah masuk ke dalam sana. Tidak lupa, bingkai foto kecil yang di dalamnya terdapat foto dirinya, ibu, ayah dan juga sang adik juga turut ia bawa.
"Kak Dewi benar ingin pergi ke Jakarta? Apakah kak Dewi sudah memikirkan hal itu matang-matang?"
Seakan berat untuk merelakan sang kakak merantau ke ibu kota, Seruni berkali-kali melisankan sebuah tanya yang ia sisipi dengan sebuah maksud agar sang kakak mengurungkan niatnya. Bagi Seruni sendiri, berpisah dari sang kakak merupakan hal berat untuk dapat ia terima karena hanya Dewi lah satu-satunya kakak yang ia punya. Pastinya yang selalu ada untuk menemani hari-harinya.
Dewi hanya tersenyum manis di depan Seruni. Ia daratkan bokongnya untuk duduk di tepian ranjang miliknya ini.
"Kemarilah Run!" titah Dewi sembari menepuk-nepuk sisi tempat ia terduduk.
Seruni menurut, ia yang sebelumnya berdiri di dekat pintu kamar sang kakak, mulai mengayunkan tungkai kakinya untuk bisa mendekat ke arah Dewi. Dan ia pun duduk di tempat yang ditunjuk oleh kakaknya ini.
Dewi tersenyum penuh arti. Ia raih jemari Seruni dan ia genggam erat seakan tidak ingin ia lepaskan lagi.
"Kakak sudah memikirkan hal ini jauh-jauh hari, Run. Dan Kakak memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Selama Kakak berada di perantauan, Kakak titip Ibu, Run. Tolong jaga ibu baik-baik. Jaga suasana hatinya dan jaga kesehatannya."
Jendela hati milik Seruni mulai berembun. Namun sebisa mungkin ia tahan agar embun itu tidak menetes. "Lalu, berapa lama Kakak akan merantau ke ibu kota?"
Dewi menggeleng samar sembari mengangkat kedua bahunya. "Kakak sama sekali tidak tahu akan berapa lama merantau ke Jakarta. Namun, jika nanti semua mimpi dan angan Kakak sudah menjadi nyata, Kakak akan pulang."
Terasa semakin kuat rasa sesak dalam dada Runi. Dengan jawaban yang diberikan oleh Dewi, tidak dapat dipastikan kapan ia akan berjumpa lagi dengan kakak semata wayangnya ini. Sudah tidak sanggup untuk menahan segala gejolak di dalam dada, Runi pun meluruhkan tubuhnya ke dalam pelukan Dewi.
"Aku berjanji akan menjaga ibu baik-baik. Doaku juga tidak akan pernah berhenti untuk kak Dewi. Kakak baik-baik di Jakarta, ya. Jika Jakarta tidak seramah yang Kakak kira, pulanglah. Pintu rumah ini akan selalu terbuka untuk Kakak."
Mendadak, kamar milik Dewi ini dipenuhi oleh atmosfer keharuan yang begitu dahsyat. Kakak beradik itu saling berpeluk erat dan rasanya ingin selalu dekat. Tidak ingin dipisahkan oleh ruang dan jarak yang akan membuat kelopak-kelopak kerinduan dalam dada bertumbuh dengan hebat.
Sementara itu, wanita paruh baya yang berada di depan kamar Dewi, hanya bisa menangis dalam diam. Sebagai seorang ibu yang melahirkan Dewi, ia sendiri juga merasa berat untuk ditinggalkan. Namun kembali lagi, ini semua demi mimpi dan angan yang Dewi citakan.
Semoga setelah dahsyatnya badai kehidupan memporakporandakan jiwa dan membuat hidupmu terasa suram, engkau temukan pelangi yang akan menjadi warna dalam kehidupanmu, anakku! Doa Ibu, juga tidak akan berhenti mengalir untukmu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Wanda Harahap
ditempat baru pastinya Dewi akan menemukan orang2 yg akan menghargai suaranya
2022-05-02
0
noviaryani5
mdh² jakarta menjadi awal kebahagiaan mu ya wi
2022-03-11
0
Nofi Kahza
aku kok sedih bercampur terharu ya bacanya..apa karena kak Rasti yg pintar merangkai kata2😢
Dewi doa ibumu selalu menyertaimu... doa ibu adalah jimat terampuh sepanjang masa.. jadi yakin kau akan sukses🥰
2022-03-09
2