The Assistant
Seorang gadis keluar dari sebuah gedung perusahaan yang cukup besar, wajah kecewa tergambar jelas di matanya, perusahaan yang ia masuki adalah perusahaan ke sembilan yang ia masuki untuk melamar pekerjaan selama dua hari ini.
“Ya Tuhan kenapa begini susah mendapatkan pekerjaan, padahal nilaiku sangat bagus, dan juga dari universitas ternama, kemana lagi aku harus mencari pekerjaan,” batin Amelia sedih sambil mendekap berkas lamarannya sembari matanya menatap nanar bangunan megah di depannya ini.
Amelia melihat jam di tangannya, ternyata sudah menunjukan pukul setengah dua siang, perutnya terasa keroncongan, saking semangat mencari pekerjaan ia sampai lupa dengan kesehatan perutnya sendiri. Amelia mencari sebuah kedai makanan yang tidak terlalu mahal karena persediaan uangnya sudah hampir menipis, setelah menemukan kedai makan yang pas dengan kantongnya Amelia segera memesan makanan, selesai makan Amelia meneruskan kembali perjalanannya untuk melamar pekerjaan, ada satu perusahaan lagi yang incar untuk melamar pekerjaan yaitu perusahaan Z yang bergerak di bidang kecantikan memproduksi kosmetik dengan brand ternama.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih setengah jam Amelia sampai di perusahaan Z, saat akan memasuki gedung perusahaan Z, Amelia di hadang dua orang security yang berjaga di sana, dua orang security tersebut memandang remeh penampilan Amelia apalagi hari sudah menjelang jam tiga sore yang tentu saja membuat penampilan Amelia tidak serapi dan se segar tadi pagi.
“Ada kepentingan apa nona ingin ke perusahaan ini?” tanya salah satu security sambil memindai penampilan Amelia dari atas sampai bawah dan tentu saja pandangan security tersebut bukanlah pandangan memuja namun meremehkan.
“Saya ingin melamar pekerjaan di perusahaan Z ini pak,” jawab Amelia dengan sedikit takut karena sikap kedua security yang terlihat merendahkan dirinya.
“Ha...ha...apa?, melamar pekerjaan di perusahaan ini?, kamu sudah gila kau pasti pembohong, paling hanya orang yang ingin meminta sumbangan, modus yang kamu lakukan ini sudah tidak mempan nona, lagipula orang-orang yang melamar pekerjaan di perusahaan ini adalah orang-orang yang berpenampilan menarik karena perusahaan memproduksi kosmetik ternama, bukan seperti dirimu yang seperti nenek sihir,” ucap salah seorang security.
“Sudahlah Beni, usir saja dia, melihatnya saja aku sebal, paling-paling cuma mau minta sumbangan seperti katamu tadi!”pinta security yang satu lagi.
“Maaf, nona di perusahaan ini tidak membuka lowongan pekerjaan, kalaupun perusahaan ini membuka lowongan maka sebelum melamar kau sudah di tolak duluan, jadi segera pergilah dari sini sebelum kami memaksamu meninggalkan perusahaan ini! perintah security yang bernama Beni dengan sorot mata penuh ancaman.
Mendengar perkataan dua security tersebut nyali Amelia menciut, ia menyesal kenapa ia sampai punya keberanian ingin melamar pekerjaan di perusahaan kosmetik sedangkan penampilannya saja tidak mendukung, dengan langkah gontai Amelia meninggalkan pelataran perusahaan tersebut tanpa sempat memasuki lobby nya.
“Huh seharusnya aku tidak melamar di perusahaan Z itu, seharusnya aku sadar diri dengan penampilanku yang seperti ini mana mungkin mereka mau menerimaku, ya Tuhan sampai kapan aku begini, ini perusahaan ke sepuluh yang aku lamar, apa selamanya aku tidak bisa bekerja di perusahaan dengan menggunakan ilmu yang aku miliki,” monolog Amelia sambil berjalan menuju halte bus, hari sudah menjelang sore tak mungkin ia meneruskan melamar pekerjaan lagi, Amelia memutuskan untuk pulang karena tubuhnya juga sudah terasa sangat lelah. Satu kenyataan yang harus ia hadapi adalah bahwa kecerdasan yang di miliki seseorang tak menjamin bisa segera mendapatkan pekerjaan yang di inginkan.
****
Di sebuah perusahaan di bidang fashion seorang pria berwajah sangat tampan dengan postur tubuh atletis sedang mengamuk di ruangannya, baik sekretaris, manajer bagian dan desainer tak luput dari amukannya.
Prangg
“Bodoh!, kalian semua bodoh, apa saja yang kalian kerjakan, ini tender bernilai puluhan milyar, bisa-bisanya kita gagal lagi, hah?” maki pria tampan itu pada empat orang yang ada di depannya.
Ke empat orang yang sedang terkena makian itu hanya bisa menunduk, mereka tak berani menatap pria tampan di depannya ini yang berstatus atasannya.
“Ma-maaf, pak Richard, kami sudah melakukan kerja tim yang cukup baik tapi ternyata ada perusahaan lain yang ternyata mengajukan proposal kerjasama yang lebih menguntungkan dari pada proposal kerjasama kita,” jawab manajer marketing dengan raut wajah ketakutan.
“Dimana letak kekurangan proposal kita?” tanya Richard dengan nada yang lebih melunak dari tadi.
“Di bagian pembagian hasil dan juga poin-point kerjasama yang kita ajukan tak menarik bagi perusahaan mereka.
“Baik sekarang kalian boleh pergi!” pinta Richard pada empat orang yang baru saja kena amarahnya.
Sepeninggal keempat bawahannya itu, Richard duduk di kursi kebesarannya, ia memijit pelipisnya, ia sudah frustasi dengan perusahaan yang di pimpinnya. Bagaimana tidak dalam tiga bulan terakhir tidak ada satupun proposal kerjasama yang ia ajukan berhasil, jika seperti ini terus lama-kelamaan nilai saham perusahaannya akan turun dan itu sangat tidak baik bagi kelangsungan Sanjaya group peninggalan sang papa.
Pria yang berwajah tampan dan bertubuh tegap itu adalah Richard Hendrawan Sanjaya, putra sulung Hendrawan Sanjaya. Setelah Hendrawan meninggal maka Richard lah yang mengantikan posisi papanya sebagai ceo Sanjaya group, namun sangat di sayangkan kepintaran Richard dalam memimpin perusahaan kalah jauh dengan pak Hendrawan. Richard hanya bisa bersenang-senang dan melimpahkan semua pekerjaan pada para bawahanya, bagus tidaknya suatu proposal dia kurang bisa mengerti, apa lagi laporan keuangan, dia sama sekali tidak teliti jadi banyak sekali uang perusahaan yang keluar dengan percuma. Saat Richard sedang sangat pusing memikirkan perusahaannya, sebuah ketukan pintu mengagetkan dirinya.
Tok tok
“Siapa?”
“Maaf Pak, di luar ada pak Dion, ingin bertemu dengan pak Richard,” ucap Silvia yang berstatus sekretarisnya.
“Suruh ia masuk!”
“Hai Rich, aku dengar kau sedang mengamuk dengan para manajer, ada masalah apa lagi?” tanya Dion sambil mendudukkan tubuhnya di kursi yang berada di depan meja kerja Richard.
Dion adalah teman sekolah Richard sewaktu sekolah menengah atas, Dion lah tempat Richard berkeluh kesah, sebenarnya Richard menawarkan posisi wakil ceo pada Dion tetapi pria berstatus sahabatnya itu menolak, maka jadilah Dion menjadi manajer bagian HRD.
“Aku gagal mendapatkan tender lagi, King group menolak kerjasama yang aku ajukan, ini sudah sekian kalinya Dion, jika seperti ini terus perusaan Sanjaya group akan gulung tikar,” jawab Richard putus asa dengan wajah lesunya.
“Richard aku memang hanya seorang manajer bagian HRD, tapi aku sangat tahu bagaimana kecakapan om Hendrawan dalam memimpin perusahaan ini, belajarlah dari pengalaman beliau, papamu sangat teliti dalam hal apapun terutama laporan keuangan, karena dari laporan itu kita bisa tahu berapa dana yang sudah di kucurkan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan yang banyak dan juga membuat konsumen puas dengan produk kita. Kalau menganalisis laporan keuangan saja kamu tidak bisa bagaimana kau bisa menyusun sebuah proposal kerjasama yang bisa menarik investor,” ucap Dion memberi pendapatnya, Dion tidak peduli jika ucapannya akan menyinggung Richard, ia hanya ingin sahabatnya mau belajar lebih keras lagi dan mampu menyelamatkan perusahaan dari kehancuran.
“Aku tahu Dion, aku tak sepintar papa, jadi apa yang harus aku lakukan?”
“Semua ada pada dirimu Rich, mungkin kau butuh konsultan , aku bisa mencarikannya untukmu,” tawar Dion.
“Mungkin aku butuh itu.”
“Baik akan aku usahakan,” ucap Dion kemudian meninggalkan ruangan Richard.
Sepeninggal Dion, Richard menyandarkan punggungnya di kursi kebesarannya, matanya terpejam, rasa penyesalan menyeruak ke dalam hatinya, andai dulu ia mendengarkan nasehat sang papa, ia tak akan menghadapi situasi sulit seperti ini.
“Papa maafkan aku.”
.
Dua hari setelah gagal mendapatkan pekerjaan, Amelia tidak lagi keluar mencari pekerjaan, ia membersihkan rumah dan memasak, Amelia ingin menenangkan hatinya terlebih dahulu sambil berfikir apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Saat ia sedang melamun di teras rumahnya sambil memegang sapu, sebuah tepukan di pundak membuyarkan lamunannya.
“Melamun saja!” ucap Dimas sambil menepuk pundak Amelia.
“ Kau Dimas ada apa kesini?”
“Biasa, aku hanya main, aku dengar dari bibi Yeni kamu belum mendapatkan pekerjaan?” ucap Dimas sambil sesekali membenarkan kaca matanya yang tebal hampir sama dengan kaca mata yang di pakai Amelia.
“Iya, Dim, hampir semua perusahaan yang aku lamar menolak ku, apa yang harus aku laukakan, keluargaku tidak punya koneksi di perusahaan,” ucap Amelia sendu.
“Maka dari itu aku ingin membantumu, di perusahaan tempat aku bekerja sedang mencari staff accounting,” ucap Dimas yang sukses membuat Amelia menatapnya serius.
Sungguhkah?, tapi aku takut di tolak lagi.”
“Tenang saja kali ini kau tidak akan di tolak karena aku yang akan merekomendasikan dirimu pada pak Dion, dia orang yang baik dan percaya padaku, makannya pak Dion tidak memasang lowongan pekerjaan ke publik, dia meminta bantuanku, aku yakin kamu pasti di terima, Amel,” ucap Dimas meyakinkan sahabatnya agar mau menerima tawaran pekerjaan darinya.
Keesokan harinya, Amelia berangkat ke Sanjaya group bersama dengan Dimas, dengan membawa berkas lamaran. Sampai di perusahaan hampir semua karyawan yang berpapasan dengan Dimas dan Amelia menatap kedua orang yang terlihat culun itu dengan tatapan aneh, dan hal itu membuat Amelia merasa minder, ia tak yakin akan bisa di terima di perusahaan sebesar Sanjaya group.
“Dimas, apa kau yakin atasanmu akan menerima diriku?” tanya Amelia tak yakin setelah tatapan aneh orang-orang di perusahaan itu terhadapnya.
“Sudahlah Amel, percaya padaku, kau tak usah mempedulikan tatapan orang-orang itu, kau harus percaya diri.”
Dimas dan Amelia memasuki lift yang akan membawa mereka ke lantai empat dimana divisi personalia berada, akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup besar diantara ruangan yang lain dengan pintu yang masih tertutup. Dimas langsung mengetuk pintu ruangan tersebut.
Tok tok
“Siapa?” terdengar sahutan dari dalam.
“Saya, Pak Dimas.”
“Masuk!” perintah sebuah suara dari dalam ruangan tersebut.
“Pagi, Pak Dion!”
“Pagi,” ucap Dion sambil mengangkat kepalanya yang dari tadi menunduk memeriksa berkas.
“Ada apa?” sambung Dion sambil menatap heran dengan sosok wanita di sebelah Dimas.
“Ini, Pak, orang yang saya rekomendasikan untuk posisi accounting mengantikan bu Shila,” jawab Dimas sambil menunjuk Amelia yang berdiri di sebelahnya.
Mendengar perkataan Dimas, Dion melihat dengan seksama penampilan Amelia, mata Dion memindai Amelia dari atas sampai bawah, sedangkan Amelia yang di tatap pria asing di depannya ini menundukkan pandangannya kedua tangannya mendekap erat berkas lamaran pekerjaan yang di bawanya.
“Kau yakin dengan temanmu ini, Dimas?” tanya Dion seakan tak percaya dengan Amelia.
“Tentu saja yakin Pak Dion, memang penampilan teman saya ini agak aneh tapi otaknya sangat cerdas, saya yakin permasalahan yang akhir-akhir ini terjadi di perusahaan ini bisa di atas dengan otak cerdas teman saya ini,” jawab Dimas yakin dengan pilihannya merekomendasikan Amelia.
“Baiklah, aku percaya padamu, tapi ingat Dimas jika dia tak sebaik yang kau katakan, kau akan dapat hukuman, karena posisi Shila sangat penting di perusahaan ini!” ucap Dion memberi peringatan pada Dimas.
“Kalau begitu apa, temanku diterima?”
“Aku akan memberi dia kesempatan dua minggu untuk menunjukkan kualitasnya, jika apa yang kau katakan benar tentang kecerdasannya maka, Amelia akan sepenuhnya di terima di perusahaan ini, bagaimana nona Amelia, apa kau setuju?” tanya Dion sambil menatap Amelia.
“Baik, saya setuju, saya akan menunjukkan kemampuan saya selama dua minggu,” ucap Amelia sambil tersenyum pada Dion, sedangkan Dion hanya tersenyum sekilas membalas senyuman Amelia karena penampilan Amelia benar-benar membuatnya sakit mata.
“Dimas, kau bawa temanmu ini menemui bu Jeny, agar Amelia bisa menempati meja Shila dan memberi tahu tugas apa saja yang harus dia lakukan!” pinta Dion.
Setelah Dimas dan Amelia keluar, Dion langsung menghembuskan nafas kasar seolah ia baru saja melepaskan beban berat dalam hatinya, ia mengucek matanya beberapa kali berharap dia hanya berhalusinasi saja. Penampilan Amelia benar-benar membuatnya sakit mata.
“Ya Tuhan, semoga apa yang dikatakan Dimas benar, otaknya tak seburuk wajahnya,” batin Dion sambil mengusap dadanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Oh Dewi
mampir ah mana tau seru.
Btw, aku pernah baca novel yang judulnya (Siapa) Aku Tanpamu, itu keren banget. Kalo search jangan lupa tanda kurungnya
2022-08-22
0