THE RED LIPS-FINAL
Mereka bicara dalam bahasa Inggris (terjemahan).
Malam sepenuhnya sudah menguasai kawasan daerah pegunungan dalam kegelapan. Terlihat, sebuah rumah besar berlantai dua yang disebut ‘Villa’ di tengah rimbunnya pepohonan kota Bolivia, Amerika Selatan.
Seorang anak lelaki berumur 10 tahun, sedang memegang selembar kertas yang telah di-print dari sebuah mesin cetak dengan logo sebuah perusahaan di bagian atasnya.
Mata birunya terkunci pada pintu di hadapannya, seperti menunggu papan kayu berbentuk persegi empat itu terbuka.
“Hei, kenapa kau belum tidur, Sayang? Ini sudah larut malam. Apa kau terbangun? Mimpi buruk?” tanya seorang wanita cantik berambut cokelat panjang dengan gelombang besar, mendekati anak lelaki yang memiliki warna rambut sama dengannya.
“Ayah tak pernah ingkar janji, Mom. Dia terlambat tiga jam. Dia tak menjawab telepon dan membalas pesanku. Dia ke mana?” jawabnya sedih dengan air mata berlinang dan masih memandangi pintu di hadapannya.
Wanita cantik itu menghela napas seperti ikut tertekan dengan hal ini. Ia berdiri di hadapan anak lelaki itu yang wajahnya tak mirip dengannya, hanya mata biru dan warna rambutnya saja yang sama.
“Mommy juga khawatir, Sayang. Mommy juga melakukan hal yang sama sepertimu. Namun, ini sudah larut malam. Sebaiknya kau istirahat,” pinta wanita yang disebut ‘Ibu’ oleh bocah kecil itu.
“Aku sudah menunggu momen ini, Mom. Aku belajar bahasa Rusia, Mandarin, bahkan Jerman karena ayah mengatakan akan membawaku ke sana!” sahutnya lantang. Tetesan air mata dari mata polos itu meluncur begitu saja membasahi pipinya.
Si ibu memeluk anaknya erat dan ikut bersedih. “I know. Mommy ‘kan yang mengajarimu. Tentu saja Mommy tahu kesulitan dan perjuangan yang kaulakukan selama mempelajari tiga bahasa tambahan itu. Namun, sungguh Rico, tidurlah. Mommy akan mencoba menghubungi beberapa rekanan untuk mencari tahu keberadaan ayahmu. Oke?” pintanya dengan senyum terkembang seraya melepaskan pelukan.
“Promise?”
“Yes, yes. Tidurlah. Ayo, Mommy akan ceritakan sebuah kisah hebat padamu. Kau suka cerita aksi laga ‘kan?” tanya si ibu yang memiliki kulit cokelat eksotis dan tubuh atletis seraya menggandeng tangan anak lelakinya menaiki tangga.
Rico mengangguk dengan senyuman dan sudah bisa membendung air matanya. Keduanya memasuki kamar yang berukuran 5 x 10 meter yang cukup besar, dilengkapi kamar mandi dalam, ruangan khusus untuk lemari pakaian dan juga ruang belajar.
Rico meletakkan kertas yang digenggamnya di samping ia membaringkan tubuh. Si ibu tersenyum manis seraya menyelimuti tubuh buah hatinya yang beranjak remaja.
“Oke. Jadi … ini cerita tentang seorang sniper.”
Terlihat, mata Rico membulat penuh. Rasa kantuk yang ia tahan karena menunggu kepulangan sang ayah, malah pergi dan digantikan rasa ingin tahu. Jantungnya berdebar kencang, menunggu cerita mendebarkan dari ibu.
“Sniper itu seorang wanita. Dia jebolan dari MI6.”
“Wow, that’s cool, Mom,” kagumnya.
“Sttt … jangan memotong cerita. Kau akan kehilangan keseruannya,” sahut si ibu dengan mata melebar seperti menegaskan. Rico mengangguk dan terlihat serius mendengarkan. “Dia direkrut saat berumur 18 tahun. Dia lalu dilatih oleh para instruktur terhebat di bidangnya,” sambungnya dengan penuh semangat. Si ibu bisa melihat sang buah hati begitu antusias dengan cerita yang ia bawakan. “And … the end.”
“What?!”
“Hahahahaha!” tawa ibu cantik itu meledak.
“Agh! Tidak lucu, Mom. Kau menyebalkan!” gerutu Rico marah-marah dan si ibu malah terlihat bahagia karena bisa mengerjai puteranya.
“Oke, oke. Kau terlihat tegang. Relax,” jawab wanita cantik tersebut yang mulai bisa menahan tawa, tapi tetap tersenyum memperlihatkan deretan gigi putih bersihnya.
“Jangan bercanda lagi atau aku akan marah,” ancam Rico menatap ibunya tajam.
“Hem, oke,” jawab wanita bermata biru itu seraya menyelipkan rambut di samping salah satu telinga. Wajahnya kembali serius. “Wanita itu belajar banyak hal. Mulai dari menembak, cara bertarung tangan kosong, membuat jebakan, strategi tempur, bahkan … kamuflase.”
“Kamuflase?” Si ibu mengangguk. “Kamuflase yang bagaimana? Seperti bunglon?” tanya Rico mempertegas dugaannya.
“Ya, itu salah satunya. Namun, wanita itu mempelajari tingkah laku manusia, dari seluruh negara.”
“Wow. Caranya?” tanya Rico makin penasaran hingga jemarinya meremat kuat selimut yang menutupi tubuhnya.
“Dia mempelajari banyak bahasa, sepertimu. Dia bisa 8 bahasa. Inggris, Jerman, Rusia, Arab, Jepang, Mandarin, Spanyol, dan Korea.”
Mulut Rico menganga. Ia yang menguasai empat bahasa termasuk Inggris, merasa tak ada apa-apanya dengan gadis rekrutan usia belia itu. “Lalu, lalu?” pintanya antusias.
“Lalu … saat ia berumur 20 tahun, misi pertama diberikan. Sebuah misi yang beranggotakan 10 orang perempuan, termasuk dirinya. Gadis itu menjalankan misi itu dengan penuh kebanggaan karena ia bekerja untuk negara. Namun, siapa sangka … misi tersebut adalah jebakan,” sambungnya langsung berwajah serius.
“Jebakan?”
Si ibu mengangguk. “Ya. Mereka diserang. Hujan peluru, misil, ledakan, dan puluhan orang-orang berseragam hitam muncul menyerang tim tersebut. Tak ada bantuan datang dan sambungan radio terputus saat permintaan evakuasi. Sembilan dari sepuluh orang itu tewas dan hanya menyisakan satu,” jawabnya dengan suara bergetar.
“Hanya satu yang selamat? Bagaimana bisa dia lolos?”
“Kesembilan kawannya mengorbankan diri agar si gadis itu selamat. Dan yah, usaha mereka berhasil. Gadis itu berhasil kabur menyelamatkan diri. Namun, kepedihan terdalam dirasakan olehnya. Ia kehilangan kawan-kawan seperjuangannya. Ia sendirian dan kau tahu hal terburuknya, hem?” tanya si ibu seperti menahan kesedihan dan amarah. Rico menggeleng. “Dia tak dijemput. Gadis itu terlantar di negara musuh sendirian selama beberapa hari. Hingga akhirnya, ia bisa pulang setelah merasa jika hidupnya akan berakhir di tempat itu.”
“Kejam sekali! Lalu … apa yang gadis itu lakukan, Mom?” tanya Rico makin melebarkan mata dan rasa kantuknya lenyap seketika.
“Dia kembali ke MI6. Ia menyalahkan para petinggi yang mengirimnya saat itu, dan … ia mengancam mereka. Gadis itu keluar dari MI6 atas keputusannya sendiri. Namun, dia tetap diawasi oleh agensi tersebut selama ia menjadi warga sipil. Hanya saja, gadis itu pintar. Ia tahu jika diintai oleh para agent rahasia dan satelit. Para petinggi itu lupa, jika gadis itu adalah salah satu rekrutan terbaik mereka. Gadis itu menerapkan salah satu metode pengajaran dari para instruktur. Apa kautahu?” tanya si ibu menaikkan salah satu alis.
“Ya. Kamuflase.”
Senyum si ibu merekah. “Anak pintar. Dan begitulah. Sampai sekarang, polisi tak pernah bisa menangkapnya. The end,” ucapnya dengan senyum terkembang.
“Wah, kali ini penggunaan kata ‘the end’ mu tepat, Mom,” ucap Rico dan wanita cantik itu tertawa terbahak.
“Baiklah. Sekarang tidur. Mommy akan coba hubungi beberapa orang jika ayahmu sungguh tak muncul sampai fajar menjelang,” pintanya dan si anak mengangguk mengerti.
Ibu cantik itu mengecup kening puteranya dengan mata terpejam. Rico bisa merasakan kasih sayang tulus dari sang ibu.
Wanita cantik tersebut beranjak dan keluar kamar. Ia meninggalkan senyum manis saat menutup pintu kamar puteranya.
“Wah, jantungku sampai berdebar. Hem … cerita yang apik. Eh, tadi Mommy bilang … ‘sampai sekarang polisi tak pernah bisa menangkapnya?’. Apa maksudnya … cerita itu adalah nyata? Atau … ibu salah dalam penggunaan kalimat? Wah, jika itu sungguh benar terjadi, akan sangat keren!” ucap Rico semangat.
Akhirnya, Rico memejamkan mata. Ia berusaha untuk tidur meski raganya masih begitu siap untuk beraktifitas usai mendengarkan cerita si ibu.
Namun, anak itu beranjak dari ranjang karena ingin ke kamar mandi. Rico menuntaskan kegiatannya di toilet dan bersiap untuk berbaring.
Namun, langkah riangnya terhenti, saat mendengar suara di balik pintu kamarnya dan suara itu ia kenali.
Rico mendekatkan telinganya ke pintu dan melihat pergerakan bayangan di celah bagian bawah papan penutup kamarnya tersebut. Wajah Rico tegang seketika.
“What?! Siapa yang melakukannya?” pekik dari suara si ibu di balik pintu. Rico mempertajam pendengarannya. “Dia … memburuku? Apa dia tahu, jika aku melahirkan puteranya?”
Sontak, mata Rico melebar. Banyak asumsi muncul di kepalanya karena ucapan si ibu yang masih sedikit sulit untuk ia pahami karena ibunya hanya bertanya dan menjawab ucapan dari seseorang di telepon.
“Oke. Aku akan ke sana besok. Siapkan keperluanku,” pinta si ibu kepada seseorang. “Rico?” Jantung anak itu berdebar saat namanya disebut. “Rico … akan aku titipkan kepada Lea. Lebih baik aku sendirian. Aku tak mau anakku terluka karena berusaha menyelamatkan ayahnya.”
Mata Rico langsung terbelalak lebar. Ia menyimpulkan, jika ayahnya kini sedang dalam bahaya. Rico merasa, jika ia harus bertindak, tapi ia cukup paham watak dari si ibu yang sangat teliti dan tegas akan sesuatu.
***
ILUSTRASI
SOURCE : GOOGLE
Baiklah, selamat datang di novel baru lele yang berjudul The Red Lips. Silakan untuk segera difavoritkan biar gak ketinggalan ceritanya❤️ Simak dan ikutin terus ceritanya, jangan banyak tanya dulu karena masih eps pertama. Kwkwkw ditunggu tips koin, poin, vocer, like dan juga komen ajaibnya ya. Lele padamu💋
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
👑Ulhak 💣
mulai lg petualangan imajinasi q...
2024-08-16
0
Zidhan Khan Sunggi Langit
hhaallooo....... lele jumbo, aQ hadir lagi, lama banget gak baca novel mu, aQ bersemedi tapi walaupun berabad-abad aQ gak buka novel mu, aQ tetep inget cerita dari karya mu yg pernah aQ baca le, karena sudah mendarah daging 🍖
2023-11-29
2
Mardiana Nur Mokoginta
leee....ketemu lagiiii di novel barumu....keren leee🤩🤩🤩
2023-05-12
1