Mereka bicara dalam bahasa Inggris (terjemahan).
Malam sepenuhnya sudah menguasai kawasan daerah pegunungan dalam kegelapan. Terlihat, sebuah rumah besar berlantai dua yang disebut ‘Villa’ di tengah rimbunnya pepohonan kota Bolivia, Amerika Selatan.
Seorang anak lelaki berumur 10 tahun, sedang memegang selembar kertas yang telah di-print dari sebuah mesin cetak dengan logo sebuah perusahaan di bagian atasnya.
Mata birunya terkunci pada pintu di hadapannya, seperti menunggu papan kayu berbentuk persegi empat itu terbuka.
“Hei, kenapa kau belum tidur, Sayang? Ini sudah larut malam. Apa kau terbangun? Mimpi buruk?” tanya seorang wanita cantik berambut cokelat panjang dengan gelombang besar, mendekati anak lelaki yang memiliki warna rambut sama dengannya.
“Ayah tak pernah ingkar janji, Mom. Dia terlambat tiga jam. Dia tak menjawab telepon dan membalas pesanku. Dia ke mana?” jawabnya sedih dengan air mata berlinang dan masih memandangi pintu di hadapannya.
Wanita cantik itu menghela napas seperti ikut tertekan dengan hal ini. Ia berdiri di hadapan anak lelaki itu yang wajahnya tak mirip dengannya, hanya mata biru dan warna rambutnya saja yang sama.
“Mommy juga khawatir, Sayang. Mommy juga melakukan hal yang sama sepertimu. Namun, ini sudah larut malam. Sebaiknya kau istirahat,” pinta wanita yang disebut ‘Ibu’ oleh bocah kecil itu.
“Aku sudah menunggu momen ini, Mom. Aku belajar bahasa Rusia, Mandarin, bahkan Jerman karena ayah mengatakan akan membawaku ke sana!” sahutnya lantang. Tetesan air mata dari mata polos itu meluncur begitu saja membasahi pipinya.
Si ibu memeluk anaknya erat dan ikut bersedih. “I know. Mommy ‘kan yang mengajarimu. Tentu saja Mommy tahu kesulitan dan perjuangan yang kaulakukan selama mempelajari tiga bahasa tambahan itu. Namun, sungguh Rico, tidurlah. Mommy akan mencoba menghubungi beberapa rekanan untuk mencari tahu keberadaan ayahmu. Oke?” pintanya dengan senyum terkembang seraya melepaskan pelukan.
“Promise?”
“Yes, yes. Tidurlah. Ayo, Mommy akan ceritakan sebuah kisah hebat padamu. Kau suka cerita aksi laga ‘kan?” tanya si ibu yang memiliki kulit cokelat eksotis dan tubuh atletis seraya menggandeng tangan anak lelakinya menaiki tangga.
Rico mengangguk dengan senyuman dan sudah bisa membendung air matanya. Keduanya memasuki kamar yang berukuran 5 x 10 meter yang cukup besar, dilengkapi kamar mandi dalam, ruangan khusus untuk lemari pakaian dan juga ruang belajar.
Rico meletakkan kertas yang digenggamnya di samping ia membaringkan tubuh. Si ibu tersenyum manis seraya menyelimuti tubuh buah hatinya yang beranjak remaja.
“Oke. Jadi … ini cerita tentang seorang sniper.”
Terlihat, mata Rico membulat penuh. Rasa kantuk yang ia tahan karena menunggu kepulangan sang ayah, malah pergi dan digantikan rasa ingin tahu. Jantungnya berdebar kencang, menunggu cerita mendebarkan dari ibu.
“Sniper itu seorang wanita. Dia jebolan dari MI6.”
“Wow, that’s cool, Mom,” kagumnya.
“Sttt … jangan memotong cerita. Kau akan kehilangan keseruannya,” sahut si ibu dengan mata melebar seperti menegaskan. Rico mengangguk dan terlihat serius mendengarkan. “Dia direkrut saat berumur 18 tahun. Dia lalu dilatih oleh para instruktur terhebat di bidangnya,” sambungnya dengan penuh semangat. Si ibu bisa melihat sang buah hati begitu antusias dengan cerita yang ia bawakan. “And … the end.”
“What?!”
“Hahahahaha!” tawa ibu cantik itu meledak.
“Agh! Tidak lucu, Mom. Kau menyebalkan!” gerutu Rico marah-marah dan si ibu malah terlihat bahagia karena bisa mengerjai puteranya.
“Oke, oke. Kau terlihat tegang. Relax,” jawab wanita cantik tersebut yang mulai bisa menahan tawa, tapi tetap tersenyum memperlihatkan deretan gigi putih bersihnya.
“Jangan bercanda lagi atau aku akan marah,” ancam Rico menatap ibunya tajam.
“Hem, oke,” jawab wanita bermata biru itu seraya menyelipkan rambut di samping salah satu telinga. Wajahnya kembali serius. “Wanita itu belajar banyak hal. Mulai dari menembak, cara bertarung tangan kosong, membuat jebakan, strategi tempur, bahkan … kamuflase.”
“Kamuflase?” Si ibu mengangguk. “Kamuflase yang bagaimana? Seperti bunglon?” tanya Rico mempertegas dugaannya.
“Ya, itu salah satunya. Namun, wanita itu mempelajari tingkah laku manusia, dari seluruh negara.”
“Wow. Caranya?” tanya Rico makin penasaran hingga jemarinya meremat kuat selimut yang menutupi tubuhnya.
“Dia mempelajari banyak bahasa, sepertimu. Dia bisa 8 bahasa. Inggris, Jerman, Rusia, Arab, Jepang, Mandarin, Spanyol, dan Korea.”
Mulut Rico menganga. Ia yang menguasai empat bahasa termasuk Inggris, merasa tak ada apa-apanya dengan gadis rekrutan usia belia itu. “Lalu, lalu?” pintanya antusias.
“Lalu … saat ia berumur 20 tahun, misi pertama diberikan. Sebuah misi yang beranggotakan 10 orang perempuan, termasuk dirinya. Gadis itu menjalankan misi itu dengan penuh kebanggaan karena ia bekerja untuk negara. Namun, siapa sangka … misi tersebut adalah jebakan,” sambungnya langsung berwajah serius.
“Jebakan?”
Si ibu mengangguk. “Ya. Mereka diserang. Hujan peluru, misil, ledakan, dan puluhan orang-orang berseragam hitam muncul menyerang tim tersebut. Tak ada bantuan datang dan sambungan radio terputus saat permintaan evakuasi. Sembilan dari sepuluh orang itu tewas dan hanya menyisakan satu,” jawabnya dengan suara bergetar.
“Hanya satu yang selamat? Bagaimana bisa dia lolos?”
“Kesembilan kawannya mengorbankan diri agar si gadis itu selamat. Dan yah, usaha mereka berhasil. Gadis itu berhasil kabur menyelamatkan diri. Namun, kepedihan terdalam dirasakan olehnya. Ia kehilangan kawan-kawan seperjuangannya. Ia sendirian dan kau tahu hal terburuknya, hem?” tanya si ibu seperti menahan kesedihan dan amarah. Rico menggeleng. “Dia tak dijemput. Gadis itu terlantar di negara musuh sendirian selama beberapa hari. Hingga akhirnya, ia bisa pulang setelah merasa jika hidupnya akan berakhir di tempat itu.”
“Kejam sekali! Lalu … apa yang gadis itu lakukan, Mom?” tanya Rico makin melebarkan mata dan rasa kantuknya lenyap seketika.
“Dia kembali ke MI6. Ia menyalahkan para petinggi yang mengirimnya saat itu, dan … ia mengancam mereka. Gadis itu keluar dari MI6 atas keputusannya sendiri. Namun, dia tetap diawasi oleh agensi tersebut selama ia menjadi warga sipil. Hanya saja, gadis itu pintar. Ia tahu jika diintai oleh para agent rahasia dan satelit. Para petinggi itu lupa, jika gadis itu adalah salah satu rekrutan terbaik mereka. Gadis itu menerapkan salah satu metode pengajaran dari para instruktur. Apa kautahu?” tanya si ibu menaikkan salah satu alis.
“Ya. Kamuflase.”
Senyum si ibu merekah. “Anak pintar. Dan begitulah. Sampai sekarang, polisi tak pernah bisa menangkapnya. The end,” ucapnya dengan senyum terkembang.
“Wah, kali ini penggunaan kata ‘the end’ mu tepat, Mom,” ucap Rico dan wanita cantik itu tertawa terbahak.
“Baiklah. Sekarang tidur. Mommy akan coba hubungi beberapa orang jika ayahmu sungguh tak muncul sampai fajar menjelang,” pintanya dan si anak mengangguk mengerti.
Ibu cantik itu mengecup kening puteranya dengan mata terpejam. Rico bisa merasakan kasih sayang tulus dari sang ibu.
Wanita cantik tersebut beranjak dan keluar kamar. Ia meninggalkan senyum manis saat menutup pintu kamar puteranya.
“Wah, jantungku sampai berdebar. Hem … cerita yang apik. Eh, tadi Mommy bilang … ‘sampai sekarang polisi tak pernah bisa menangkapnya?’. Apa maksudnya … cerita itu adalah nyata? Atau … ibu salah dalam penggunaan kalimat? Wah, jika itu sungguh benar terjadi, akan sangat keren!” ucap Rico semangat.
Akhirnya, Rico memejamkan mata. Ia berusaha untuk tidur meski raganya masih begitu siap untuk beraktifitas usai mendengarkan cerita si ibu.
Namun, anak itu beranjak dari ranjang karena ingin ke kamar mandi. Rico menuntaskan kegiatannya di toilet dan bersiap untuk berbaring.
Namun, langkah riangnya terhenti, saat mendengar suara di balik pintu kamarnya dan suara itu ia kenali.
Rico mendekatkan telinganya ke pintu dan melihat pergerakan bayangan di celah bagian bawah papan penutup kamarnya tersebut. Wajah Rico tegang seketika.
“What?! Siapa yang melakukannya?” pekik dari suara si ibu di balik pintu. Rico mempertajam pendengarannya. “Dia … memburuku? Apa dia tahu, jika aku melahirkan puteranya?”
Sontak, mata Rico melebar. Banyak asumsi muncul di kepalanya karena ucapan si ibu yang masih sedikit sulit untuk ia pahami karena ibunya hanya bertanya dan menjawab ucapan dari seseorang di telepon.
“Oke. Aku akan ke sana besok. Siapkan keperluanku,” pinta si ibu kepada seseorang. “Rico?” Jantung anak itu berdebar saat namanya disebut. “Rico … akan aku titipkan kepada Lea. Lebih baik aku sendirian. Aku tak mau anakku terluka karena berusaha menyelamatkan ayahnya.”
Mata Rico langsung terbelalak lebar. Ia menyimpulkan, jika ayahnya kini sedang dalam bahaya. Rico merasa, jika ia harus bertindak, tapi ia cukup paham watak dari si ibu yang sangat teliti dan tegas akan sesuatu.
***
ILUSTRASI
SOURCE : GOOGLE
Baiklah, selamat datang di novel baru lele yang berjudul The Red Lips. Silakan untuk segera difavoritkan biar gak ketinggalan ceritanya❤️ Simak dan ikutin terus ceritanya, jangan banyak tanya dulu karena masih eps pertama. Kwkwkw ditunggu tips koin, poin, vocer, like dan juga komen ajaibnya ya. Lele padamu💋
Rico bergegas merapikan perlengkapan karena ia nekat melakukan rencananya untuk membuntuti sang ibu selama misi pencarian sang ayah—Matthew.
Rico yang telah diajari oleh sang ibu untuk mengemasi barang ke dalam koper jika berpergian jauh, dengan cekatan dan sigap melakukannya.
“Oke. Aku akan mengeset alarm pukul 5.30 pagi. Mommy biasanya membangunkanku pukul 6 untuk bersiap,” gumannya sembari menyetel jam alarm digitalnya dan meletakkan di atas meja samping tempat tidur.
Kali ini, Rico sungguh tertidur karena tak ingin tertinggal saat ia akan meninggalkan rumah yang selama ini menjadi tempat tinggalnya.
TRINGGG!!!
Mata Rico melebar. Ia langsung duduk meski rasa kantuk masih menyelimuti dirinya. Matanya bahkan masih terpejam, tapi tangan kanannya sibuk menekan tombol untuk mematikan alarm tersebut.
KLEK!
“Hoam. Hem, aku sudah bangun. Jadi … apa yang harus aku lakukan sekarang?” gumannya dengan mata tertutup, duduk di atas ranjang, dan masih tertutup selimut.
CEKLEK!
“Oh, wow! Kau sudah bangun. Mommy mendengar suara alarm dan ternyata kau yang menyalakannya. Kenapa?” tanya sang Ibu mendekati buah hatinya dengan senyum terkembang.
“Ayah pulang?” tanyanya sembari mengucek mata.
Sang Ibu menggeleng seraya mengelus kepala buah hatinya dengan wajah sendu.
“Ayo, kita cari ayah, Mom. Kita bisa mengunjungi rumah nenek Lea di Kansas,” ajak Rico yang kini membuka matanya lebar dan terlihat semangat.
“Hem, oke. Kalau begitu bersiap—“
“Aku sudah menyiapkan perlengkapanku agar kita tak membuang waktu. Aku akan ganti baju dan sarapan,” jawab Rico seraya beranjak dari kasur dan berjalan menuju kamar mandi dengan tergesa.
Wanita cantik itu tersenyum sembari menggeret koper tersebut keluar ruangan. Rico mengintip dari balik pintu kamar mandi saat ibunya sudah pergi dan menutup pintu kamarnya kembali.
“Oke. Operasi mencari Ayah Matthew bagian pertama sudah berhasil. Aku tinggal melanjutkan ke bagian kedua. Mengekor ke mana pun Mommy pergi. Hem,” ucapnya menyemangati diri lalu segera bersiap.
Sang Ibu yang bernama Patricia, telah menyiapkan semua dokumen untuk kepergian mereka meninggalkan Bolivia menuju Kansas.
Patricia telah bersiap dan menghubungi beberapa orang untuk bersiaga saat menjemputnya nanti.
Pukul 8 waktu setempat, Rico dan Patricia menyempatkan sarapan bersama sebelum pergi ke Bandara. Rico menatap Ibunya seksama yang berpenampilan lain.
“Kenapa kau memakai wig berwarna pirang? Kau juga ber-makeup. Bahkan, cara berpakaianmu sedikit lain, Mom,” tanya Rico bingung.
Patricia tersenyum. “Karena, beginilah gaya Mommy ketika bekerja, Sayang. Selama ini, Mommy bekerja dari rumah. Mommy akan mendatangi beberapa tempat dan mereka tahunya, rambut Mommy pirang. Mommy tidak mau berbasa-basi hanya karena penampilan Mommy lain dari yang biasa mereka lihat,” jawab Patricia santai sembari mengiris daging panggang di piringnya.
Rico hanya mengangguk. Ia selalu penasaran dengan pekerjaan ibunya selama ini. Patricia tak pernah berterus-terang tentang pekerjaannya kepada sang anak entah apa alasannya.
Usai sarapan, Patricia mengajak Rico masuk ke mobil dan memberikan beberapa peraturan padanya.
Rico yang terbiasa hidup dengan jadwal pemberian sang ibu semenjak ia bisa membaca dan menulis, tak terlihat tertekan dengan permintaan wanita cantik itu.
“Oke. Aku mengerti, Mom,” jawabnya tenang dan sudah duduk di samping sang Ibu yang mengemudikan mobilnya sendirian.
“Kau anak yang cerdas, Rico. Jadi, apa yang kau ingin pelajari hari ini?” tanya Patricia sambil berkendara.
“Mm, aku lihat Mommy selalu kerepotan dengan berkas yang dikerjakan setiap hari. Aku ingin membantu. Aku tahu jika itu berhubungan dengan bisnis dan perusahaan. Namun, jika aku boleh tahu, usaha apa yang kaujalankan, Mom?” tanya Rico menatap ibunya seksama.
Patricia diam sejenak dan kembali tersenyum saat menoleh ke arah anaknya yang menatapnya lekat.
“Well, Mommy bekerja sebagai … penerjemah. Beberapa kolega dari rekanan bisnis ayahmu terkadang meminta surat kontrak yang harus dituliskan dalam bahasa tertentu,” jawabnya tenang.
“Ah, aku bisa membantumu. Aku ‘kan bisa 4 bahasa sepertimu, Mom,” sahut Rico antusias.
Patricia kembali terdiam, tapi tersenyum kemudian. “Sayangnya, kontrak kerja tak bisa dialihkan kepada sembarang orang, meskipun kau anakku, Rico. Nanti, kau akan mendapatkan kesempatan itu ketika berusia 20 tahun. Sebaiknya, kau mulai mempelajari bisnis. Bagaimana? Tak ada salahnya untuk mencoba. Apalagi kau akan bertemu nenek dan kakek yang notabene mereka adalah seorang pengusaha,” jawab Patricia dan Rico mengangguk setuju.
Patricia meminta Rico membuka tablet yang telah ia siapkan dalam sebuah tas ransel. Rico segera mengaktifkan tablet tersebut dan menunggu instruksi dari sang ibu.
“Carilah lewat internet, tugas dari seorang CEO. Perbedaannya dengan Presiden Direktur dan Vice President. Lebih tepatnya, kau mempelajari struktur organisasi sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Travel Agent,” ucap Patricia yang matanya fokus menghadap ke jalanan.
“Oh, oke. Struktur organisasi sebuah Perusahaan Travel Agent,” ucapnya mengulang sembari mengetik dalam kolom pencarian. “Ah, ketemu! Oh, di sini dijelaskan ada Dewan Direksi, Komisaris, Manager, Divisi dan … banyak sekali!” pekik Rico terlihat shock dengan data yang ditemukannya.
Patricia tersenyum. “Yah, itu akan cukup sampai kita tiba di Kansas.”
Rico langsung menghela napas panjang, tapi ia melakukan apa yang ibunya perintahkan. Patricia melirik Rico dengan senyuman dan tanpa sadar, mereka sudah tiba di Bandara.
Patricia mengawasi sekitar dengan mata elangnya. Sedang Rico, masih sibuk dengan tablet dalam genggaman dan terus mempelajari struktur organisasi tersebut dengan serius.
Bahkan sampai waktunya mereka menaiki pesawat, mata dan tangan Rico hanya terfokus pada ilmu baru yang dipelajarinya.
“Mommy ke kamar mandi sebentar. Jangan ke mana-mana,” pintanya serius dan Rico mengangguk pelan lalu kembali fokus pada kegiatan barunya.
Patricia membuka ponsel khusus di dalam kamar mandi dan membaca pesan di sana. Sebuah pesan yang ditulisakan dalam bahasa Arab (terjemahan).
‘Jejaknya terakhir ada di Nigeria. Semua anak buah Matthew tewas. Kami masih mencari pelaku yang sedikit ceroboh dalam menjalankan aksinya. Kami menemukan sebuah jari yang terpotong dalam mulut salah satu bodyguard Matthew. Target pencarian utama kita adalah, seorang pria yang kehilangan kelingkingnya di tangan sebelah kanan. N,’ tulis dari pesan tersebut.
Patricia mematikan ponselnya lagi dan kembali ke bangku sesuai nomor kursi. Namun, matanya melirik saat melihat seorang pria yang ia lewati di koridor, memakai sepatu boots layaknya militer dan membawa sebuah tas ransel yang ia pangku seperti takut kehilangan.
Kecurigaan Patricia semakin berpusat. Ia melirik Rico yang tak tidur selama penerbangan dan memilih untuk belajar.
Rasa khawatir menyelimuti hati Patricia karena anak semata wayangnya berada di sisi dan nyawanya bisa terancam.
Penerbangan kurang lebih 8 jam itu akhirnya berakhir. Rico mulai terlihat lelah dan mengantuk saat pesawat sudah mendarat dengan sempurna di Bandar Udara Internasional Kansas.
Patricia berjalan dengan tergesa sembari menggandeng tangan Rico menuju ke tempat pengambilan bagasi.
“Kenapa kau terburu-buru, Mom?” tanya Rico bingung sembari menggendong tas ransel.
“Mm, Mommy ingin ke toilet. Ayo, cepat-cepat!” pintanya sambil meringis dan Rico mengangguk paham.
Namun ternyata, Rico juga ingin ke toilet. Patricia mengizinkan puteranya masuk ke kamar mandi dan memantaunya dari pelacak yang ia tanam dalam lapisan tas ransel yang puteranya bawa.
Diam-diam, Patricia mengawasi gerak-gerik lelaki yang dicurigainya saat di pesawat.
Dan benar saja, pria itu masuk ke kamar mandi pria dengan gelagat mencurigakan karena ia menoleh ke kanan dan ke kiri seperti memastikan jika ia tak diawasi.
Patricia menyipitkan mata. Ia berdiri tegak dengan pisau yang terbuat dari karet tajam seperti pisau lipat. Benda itu sudah siap dalam genggaman tangan kiri di balik lengan jaket kulit.
“Mom!” panggil Rico saat ia keluar dari kamar mandi dan terlihat baik-baik saja.
Patricia lega. Ia lalu merangkul pundak anaknya dengan tangan kanan menuju ke pengambilan koper. Dengan sigap, ia menyelipkan pisau itu lagi agar tak terlihat sang anak di balik lengan jaket kulit.
DRETTT!
“Hei, kau di mana?” tanya Patricia sembari melihat sekitar mencari keberadaan orang dari sambungan telepon tersebut.
“Aku di luar. Bawa Rico padaku. Dia akan aman sembari kau menunggu bagasi,” jawab seorang wanita dan Patricia mengangguk pelan.
“Hei. Nenek Lea sudah ada di luar. Kautemui dia dulu. Kasihan, dia sangat merindukanmu,” pinta Patricia dengan senyum manis menatap anaknya seksama.
Rico mengangguk dan segera berlari menuju ke luar dari ruang bagasi. Patricia melihat Lea sudah menunggu dengan beberapa anak buah bersamanya berpakaian sipil sedang menyamar.
“Granma!” teriak Rico riang yang langsung memeluk Lea. Sang nenek menyambut pelukan hangat dari cucunya itu.
Patricia melihat Rico dibawa masuk ke sebuah mobil SUV bersama Lea dan beberapa pria menjaganya.
Sang ibu terlihat lega, tapi matanya kembali memindai sekitar untuk mencari tahu keberadaan pria yang tadi masuk ke kamar mandi.
Patricia penasaran. Ia mendatangi kamar mandi karena tak menemukan sosok itu di mana pun.
Hingga akhirnya, matanya menyipit ketika melihat sepasang sepatu yang dikenalinya memijak lantai kamar mandi pada bilik sebuah toilet. Namun, kedua tangan orang itu terjuntai dengan darah mengalir. Mata Patricia terbelalak.
Ia melihat sekitar dan sengaja masuk ke dalam. Wanita cantik itu mengeluarkan ponselnya dan mengaktifkan rekaman video.
Ia berjongkok lalu menyelipkan tangannya yang menggenggam ponsel ke celah bagian bawah bilik. Patricia ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Seketika, mata Patricia terbelalak. Ia melihat hasil rekamannya. Terlihat, pria itu telah tewas dengan leher di gorok dan tas yang ia bawa telah hilang. Patricia segera keluar dari kamar mandi dengan tergesa.
“Mam, sepertinya Anda salah masuk,” tegur seorang lelaki ketika mendapati wanita cantik keluar dari kamar mandi pria.
“Hahaha, ya kau benar. Oh, aku malu sekali. Oleh karena itu, aku bergegas keluar, tapi ketahuan olehmu. Jangan bilang siapa-siapa ya,” ucapnya sembari memegangi wajahnya dengan kedua tangan.
Lelaki itu terkekeh dan mengangguk. Patricia segera pergi dan masih berakting tersipu malu. Patricia segera mengambil koper miliknya dan sang anak lalu menggeretnya keluar menuju ke mobil jemputan.
“Mana Lea dan Rico?” tanya Patricia saat ia sudah masuk di mobil dan ternyata tak satu kendaraan dengan sang anak.
“Mereka jalan duluan. Kenapa, Nyonya?” tanya sopir curiga.
“Ikuti cepat! Ada yang tidak beres,” pintanya mendesak, dan segera, mobil melaju kencang mengejar SUV hitam yang membawa Rico serta Lea menuju ke kediaman Harold. “Ada kabar terbaru?” tanya Patricia lagi dan orang-orang itu menggeleng.
“Nia masih menyelidikinya, Nyonya. Hanya saja, Nyonya Lea meminta Anda untuk ikut serta dalam penyelidikan ini. Kami kekurangan orang mengingat permintaan misi semakin banyak dari pelanggan,” jawab seorang pria yang duduk di sebelahnya.
Kening Patricia berkerut. “Pelanggan? Apakah Lea membuka jasa The Red Lips secara publik?” tanyanya menebak.
“Tidak. Namun, Nyonya Lea sudah mengembangkan tugas bagi para anak didiknya. Mereka kini menjadi pembunuh bayaran sepertimu, Nona Lovy. Anda, pencetus ide tersebut. Bahkan, Peter dan Vivi ikut terlibat.”
Mata Patricia membulat penuh dan mulutnya sampai menganga karena kaget. Ia terlihat marah, tapi berusaha menahannya.
“Ingat. Panggil aku, Patricia. Lovy sudah hilang. Jangan sampai kalian keceplosan di hadapan Rico. Paham?” tegas Patricia dan semua pria dalam mobil tersebut mengangguk.
Patricia menghela napas panjang. Ia terlihat pusing memikirkan banyak hal aneh semenjak hilangnya Matthew. Patricia berpikir, jika ia memang harus turun tangan untuk membawa Matthew kembali.
***
ILUSTRASI
SOURCE : GOOGLE
Jangan lupa vote vocer gratisnya sebelum hangus ya. Kuy mumpung masih kosong segera tips poin dan koin ya💋
Jangan lupa like semua chapter yang kalian baca nanti plus ramaikan kolom komentar. Makasih dan semoga ceritanya berkesan❤️
Patricia tertidur selama perjalanan menuju ke kediaman Harold. Mimpi membawanya kepada kenangan masa kecil dan tahun-tahun sebelum Rico lahir.
‘Sampai kapan kau akan berpura-pura pada Sean? Bagaimana jika ia tahu isterinya adalah seorang penjahat? Aku yakin jika ia akan menangkap, memenjarakan, dan pada akhirnya menceraikanmu. Aku sungguh iba padamu, Lovy. Seandainya kau mau menungguku sedikit lebih lama, kita bisa menikah dan hidup bersama selamanya. Penjahat, takkan pernah bisa hidup bahagia dengan seorang polisi, Lovy sayang. Aku penjahat dan kau juga, kitalah yang ditakdirkan bersama,’ tulis Matthew ketika Patricia atau yang dulu dikenal dengan nama Lovy, telah menikah dengan Sean.
Kenangan masa lalu membawanya semakin jauh ke kehidupan ketika ia bersama Sean dulu.
"Aku sudah tahu, hanya saja … aku ingin kau yang mengatakan padaku, siapa kau sebenarnya, Lovy. Jujurlah padaku, aku sangat mencintaimu, Sayang," ucap Sean seraya meraih pistol dalam genggaman Lovy kala itu dengan senyum menawan saat mereka berada di London merayakan bulan madu.
“Sean …,” panggil Patricia lirih dalam tidurnya. Para lelaki yang satu mobil dengan Patricia saling melirik dalam diam ketika wanita cantik tersebut mengigau.
"Dia sudah mati. Tak ada gunanya membunuhku. Orang mati tak bisa berkuasa lagi. Kekayaan dan kekuasaannya tumbang saat ia tiada. Namun, aku persembahkan Tuan Baron Dimension sebagai penggantinya. Soal urusan dia siapa, kalian tanyakan saja pada bos baru kalian," ucap Lovy santai sembari mencabut dua pisaunya di tubuh Fernando—korban dari salah satu misinya saat menjadi pembunuh bayaran—di depan anak buah Fernando dan mafia bernama Baron kala itu.
Napas Patricia tiba-tiba terengah ketika sebuah trauma masa kecil muncul di kepalanya.
"Lovy, dengar. Ayah dan Ibu sangat menyayangimu. Pergilah dari sini segera. Pergilah sejauh mungkin dan temui polisi. Katakan apa yang kaulihat pada mereka. Apa pun yang kaulihat dan dengar setelah kaupergi dari rumah ini, tetaplah berjalan ke depan, jangan menoleh ke belakang. Kau mengerti?" pinta Richard—mendiang ayah Lovy—dengan ekspresi yang sudah tak bisa digambarkan lagi.
Lovy mengangguk dengan air mata menetes di wajahnya. Gadis kecil berumur 10 tahun itu ketakutan dan membuka pintu lemarinya perlahan.
Ia keluar dari jendela saat Richard mengalihkan para penjahat yang memperkosa ibunya dan membuat sang ayah babak belur. Lovy berlari dengan air mata hingga tiba-tiba, suara ledakan besar terjadi.
BLUARRR!!
“DAD!” teriak Patricia lantang dengan mata melotot dan napas tersengal.
“Hei, hei, kau tak apa? Apa kau bermimpi buruk?” tanya Lea yang menyenggol lengan Patricia saat mendapati wanita cantik itu berkeringat hebat dan napasnya memburu seperti orang yang mengalami asthma.
“Oh, ya Tuhan. Itu … mimpi, ah bukan, itu … ingatan masa laluku. Ingatan itu kembali, Lea. Aku butuh obatku,” pinta Patricia sembari memegangi kepalanya dan wajah penuh permohonan.
“Oke, oke, aku mengerti. Turunlah. Rico sedang tidur di kamar. Kita sudah sepakat untuk merahasiakan masa lalumu darinya. Ia tak boleh terlibat dalam dunia kita. Benar begitu ‘kan, Lovy?” tanya Lea menatapnya saksama dan Lovy mengangguk membenarkan.
Harold—suami Lea—ikut menyambut kedatangan menantunya dengan senyum terkembang.
“Apa kabar, Lovy, ah, maksudku … Patricia. Maaf. Aku mulai pikun,” ucapnya menyumpahi diri sendiri.
“Aku baik-baik saja, Harold. Terima kasih,” jawabnya dengan senyuman manis.
Patricia dibawa masuk ke dalam mansion kediaman Harold di Kansas. Sekitar hunian mewah itu dijaga ketat dari anak buah Lea dengan pisto disembunyikan di balik pinggang.
Di ruang tengah.
“Kau membuka jasa The Red Lips?” tanya Patricia dan Lea mengangguk membenarkan.
“Banyak orang-orang kesusahan membutuhkan bantuan kita, Patricia. Namun aku pastikan, semua terkendali,” jawabnya menenangkan, tapi Patricia terlihat seperti tertekan akan hal ini.
“Kau selama ini sudah bekerja dengan baik dari Bolivia, di rumahku. Matthew yang bekerja di lapangan. Hanya saja, misi terakhir Matthew di luar sepengetahuan kita. Kami bahkan tak tahu apa yang dia lakukan di Afrika. Bertemu dengan siapa, termasuk siapa saja yang ia bawa untuk ikut dalam timnya. Inilah, dia ceroboh. Anak itu, sangat sulit diatur,” geram Harold, meski tak ada teriakan terdengar dari mulutnya.
“Ya aku tahu. Matthew memang nekat dan memiliki pemikiran sendiri dalam mengambil keputusan. Namun, aku yakin. Setiap keputusan yang Matthew ambil, pasti ia sudah pikirkan baik-baik, hanya nasib buruk saja sedang berpihak padanya,” jawab Patricia tenang.
“Oh, Sayang. Aku sangat mengharapkan, sungguh mengharapkan, jika Matthew menjadi suamimu. Lupakan Sean. Dia membencimu, Lovy. Dia bahkan menjadikanmu buronan nomor satu di Amerika. Selama 10 tahun kau tak ditemukannya, itu sebuah keajaiban. Namun, akan sampai kapan keberuntungan itu berpihak padamu?” ucap Lea terlihat sedih penuh penekanan.
Patricia tersenyum. “Maaf, Lea. Aku sudah mencobanya. Hanya saja, setelah kehadiran Rico, aku semakin tak bisa melupakan Sean. Ia selalu muncul di pikiranku. Aku sungguh merasa berdosa pada Matthew dan Rico karena kebohongan ini,” jawabnya dengan embusan napas panjang terlihat merasa bersalah.
“Sudahlah, Lea. Selama Matthew hidup bersama Lovy dan berpura-pura menjadi ayah Rico, semua baik-baik saja. Kalian berdua melakukan hal ini dengan baik. Selain itu, keputusan ini sudah kita sepakati bersama sebelum Rico lahir. Jangan mempersulit keadaan yang sudah memburuk, Ladies,” sahut Harold dan dua wanita itu terkekeh membenarkan.
“Oh, aku sangat mencintaimu, Harold. Meskipun kau sudah semakin gendut, tua, dan keriput, tapi kau makin romantis dari hari ke hari,” ucap Lea sembari memeluk suaminya dari samping.
Harold balas memeluk sang isteri erat dengan senyum terkembang. Patricia ikut bahagia akan keharmonisan dua pasangan yang sudah memasuki usia senja dan harusnya pensiun dalam bisnis ilegal serta legal mereka.
“Jadi … aku akan terbang ke Nigeria?” tanya Lovy memotong suasana bahagia di depannya.
“Yes. Rencananya begitu. Nia sudah di sana menunggumu. Dan Peter, siap menjadi matamu,” jawab Lea yang pandangannya kembali ke wanita cantik di depannya.
“Lalu … Rico?” tanya Patricia terlihat khawatir.
“Ia akan baik-baik saja selama di sini. Percayalah,” sahut Harold dan Patricia mengangguk pelan.
Lea lalu mengajak Patricia ke ruang kerjanya karena wanita cantik itu ingin menunjukkan sesuatu.
“Siapa dia?” tanya Lea ketika melihat rekaman video yang Patricia tunjukkan saat di toilet Bandara.
“Aku juga tak tahu. Aku tak sempat menyelidikinya. Hanya saja, tas yang ia bawa menghilang. Cari tahu siapa pria ini, Lea. Aku cukup yakin jika dia adalah utusan dari seseorang dan instingku mengatakan, itu ada hubungannya denganku,” jawab Patricia tegas berdiri di depan wanita tua yang masih terlihat cantik meski uban sudah mendominasi warna rambutnya.
“Oke. Aku akan menghubungimu meski kau nanti udah berada di Nigeria. Hati-hati, Lovy. Kita tak tahu siapa musuh kita sebenarnya,” tegas Lea dan Patricia mengangguk setuju.
Keesokan harinya.
“Kau meninggalkanku? Tidak mau! Aku harus ikut ke mana pun kaupergi, Mommy! Aku ingin mencari ayah!” teriak Rico meluapkan keinginannya usai si ibu mengatakan tujuan kepergiannya.
Patricia menghela napas. “Sayang, dengar. Mommy belum pernah ke Nigeria. Mommy tak bisa membawamu ke sana. Selain itu, kau akan bosan. Kau akan—“
“Kau akan seperti ayah, pergi dan tak kembali. Apa kau juga akan meninggalkanku? Apakah ini rencana kalian untuk membuangku?” tanya Rico memotong ucapan sang ibu dengan pemikiran gilanya.
“Hei, apa yang kaukatakan? Siapa yang mau membuangmu? Jangan asal bicara!” sahut Patricia marah.
“Sikapmu menunjukkan demikian,” jawabnya sedih dan mulai berlinang air mata.
Patricia memijat kepalanya. Lea dan Harold terlihat bingung dalam menyikapi hal ini.
“Hei, Rico, dengar. Kau harus bisa membedakan mana yang seharusnya kau pertahankan dan kaulepaskan. Ibumu sedang bekerja dan mencoba mencari keberadaan ayahmu melalui koleganya. Kita tak pernah tahu di luar sana. Apakah ada orang yang berniat buruk atau tidak dengan diri kita. Dan akan sangat membahayakan jika kauikut. Ditambah, jika hal buruk terjadi, dan kau terluka, tegakah kau melihat ibumu dan kami semua menangis karena keegoisanmu?” tanya Harold menasehati dengan penuh perhatian.
Patricia dan Lea terdiam. Keduanya menatap ekspresi Rico yang awalnya seperti marah, perlahan tertunduk dan mengangguk.
“Aku mengerti. Aku akan di sini menunggu kepulangan Mommy,” jawabnya lirih, meski terlihat sedih.
“Mommy akan baik-baik saja. Akan lebih cepat diselesaikan jika kau tak ikut, Sayang. Kau bisa mempelajari banyak hal selama di sini bersama nenek dan kakek. Mereka memiliki banyak hal menarik yang tak kauketahui,” ucap Patricia sembari memegangi kedua lengan puteranya dan membungkuk, hingga wajah keduanya saling bertatapan.
“Hal menarik yang tak kuketahui. Apa itu?” tanya Rico penasaran.
“Oh, dia mengumpankan kita,” keluh Lea memalingkan wajah dan Harold ikut mengembuskan napas panjang.
“Pergilah ke halaman belakang, maka kau akan tahu. Mommy pergi dulu. Doakan Mommy pulang dengan selamat bersama ayahmu. Oke?” jawab Patricia dan Rico langsung memeluk ibunya erat seolah ia akan berpisah sangat lama dengannya.
“Aku menyayangimu, Mom. Jaga dirimu baik-baik.”
“I love you too. Sampai jumpa, Sayang. Belajarlah yang tekun, maka … kau akan sehebat ayahmu kelak,” ucap Patricia sembari mengecup kening sang buah hati dan Rico mengangguk mantap.
“Hem! Aku akan menjadi seorang pemimpin perusahaan yang hebat seperti ayah Matthew! Bye, Mom!” jawabnya semangat seraya melambaikan tangan.
Patricia tersenyum dan balas melambai seraya masuk ke mobil. SUV hitam meninggalkan kediaman Harold di Kansas. Patricia terdiam terlihat memikirkan sesuatu.
“Bukan Matthew, Rico, tapi Sean. Mommy mengharapkan kau bisa seperti ayahmu Sean. Semoga … kau memiliki kesempatan bertemu dengannya,” ucap Patricia lirih dengan mata terpejam, teringat akan sosok suaminya yang kini tak tahu bagaimana keadaannya.
***
ILUSTRASI
SOURCE : GOOGLE
Makasih yg udah bantu play AB❤ Novel ini daily update 1 eps ya. Peraturan lama ttp berlaku. Kl ada tips koin masuk nanti bs dobel eps atau 1 eps tapi jumlah katanya panjang.
Panjang pendek naskah ditentukan dari byknya tips koin yg masuk (per 19 koin +100 kata) dari jumlah kata normal per eps 1000 kata.
Nah, bonus tips akan lele kasih di Red Lips aja ya biar epsnya banyak. Jangan lupa boom like audio book lele biar dpt bonus eps bulan depan. Tengkiyuw❤
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!