Kampus Horror

Kampus Horror

Part 1

Kampus Horror

Part 1

“Stev, yakin nih kampus kita di sini?”

“Tuh tulisannya juga bener kan Fakultas Sastra."

Stevina dan Agia adalah mahasiswa baru yang akan menghabiskan masa kuliahnya selama empat tahun di sini. Di universitas besar dengan banyak pilihan fakultas di dalamnya. Mereka akan memulai aktivitas baru sebagai seorang mahasiswi mulai minggu depan. Namun, sebelumnya mereka terlebih dahulu mengunjungi kampus. Dengan maksud saat hari pertama itu tiba, mereka tidak lagi kebingungan mencari lokasi kampus. Maklum saja, ini pertama kali juga mereka ke daerah area universitas.

Stevina memasukan mobilnya ke arah gerbang kampus. Terdapat jalan menanjak setelah gerbang. Jalan tersebut mengarah ke tempat parkir yang luas. Sepertinya cukup menampung lima belas mobil. Sepi. Tidak ada satupun kendaraan yang terparkir di sana kini. Sampah daun kering mendominasi area kampus bagian depan.

Setelah berhasil menemukan tempat yang cocok untuk parkir , Stevina mematikan mobil.

“Stev, jangan dimatiin!"

“Kenapa?”

“Nanti kalau ada apa-apa kita bisa buruan cabut."

“Ah parno amat lo." Sahut Stevina seraya melepas sabuk pengaman dan mengambil telepon genggam di dashboard mobil. Segera Stevina membuka pintu mobil dan keluar.

Stevina meregangkan tangan sambil menghirup udara di kampus yang dekat dengan pantai. Aroma pantai tercium bercampur aroma daun kering. Terdapat banyak pohon besar di sekitar kampus. Teduh dan sejuk.

“Yuk turun! Kita check ke dalam. Sekalian lihat kelas kita yang mana." Ajak Stevina.

“Tapi gue kok takut. Nanti kalau ada penjahat gimana?” Agia membuka pintu mobil namun mengurungkan niatnya untuk keluar.

“Mana ada penjahat nongkrong di kampus. Di suruh ujian nanti mereka sama dosen!"

Stevina berjalan perlahan menuju gedung kampus. Tanah kering menandakan musim kemarau tanpa pernah tersentuh air hujan. Juga beberapa pepohonan kecil yang entah namanya apa tetap berdiri kokoh karena ditompang oleh kayu, dengan daun dan bunga kering yang setia menemaninya.

Terdapat satu warung kecil yang tentu saja dalam keadaan tertutup saat ini di bawah pohon. Sangat rindang dan teduh.

“Stev, tunggu!” Agia setengah berlari mengejar Stevina.

Mereka berjalan di jalan setapak yang terbuat dari paving dengan lebar sekitar seratus cm. Dikanan dan kiri jalan tersebut merupakan tanah yang ditutupi rumput. Saat ini rumput-rumput tersebut mencoba tumbuh menjulang. Sebagian telah tumbuh sampai mata kaki. Sebagian lainnya mungkin setinggi lutut.

Stevina dan Agia memandang ke sekitar. Terdapat 3 bangunan besar yang terpisah membentuk huruf U. Sepertinya itu bangunan kelas yang akan digunakannya saat kuliah nanti. Masing-masing gedung berisikan huruf berukuran besar. Gedung A, Gedung B, Gedung D.

“Gi, kok Gedung C gak ada ya?”

Agia tidak menjawab. Agia terus berjalan mengikuti jalan setapak itu hingga mengantarnya ke depan Gedung D. Gedung A dan Gedung D saling berhadapan.

Terdapat papan informasi di depan Gedung D. Agia membacanya.

Beberapa lembaran yang terlihat, baru ditempel pada papan informasi itu. Agia mencari jurusannya dan mendapati bahwa mereka akan menggunakan Gedung A.

“Kelas kita nanti di gedung itu, Stev.” Agia berujar sambil menunjuk Gedung A.

Jalan setapak yang kini mereka lewati mengantar pada sudut antara Gedung D dan B. Ternyata Gedung C adalah sebuah ruangan yang tidak terlalu besar.

“Oh mungkin gedung ini kantor atau ruang dosen, Gi." Stevina menduga. Namun detik berikutnya Agia berteriak terkejut. Stevina segera mengikuti arah pandang Agia sambil bertanya.

“Kenapa, Gi?”

Agia tercekat. Matanya membelalak menatap sebongkah patung rusak diantara rumput-rumput yang tinggi itu.

Stevina memperhatikan lebih jelas. Patung itu terlihat menyerupai orang. Namun pada wajahnya telah hancur. Bagian kepala dekat telinga pun retak dan terlihat keropos.

“Gi, itu patung. Jangan bikin gue takut dong, please!” sergah Stevina menaikkan nada bicara.

Agia bergeming sambil menatap patung itu. Sedetik kemudian dia tersenyum.

“Yuk, kita pulang aja, Stev. Kita disuruh pulang."

Tanpa perlu menyahut dan mengerti dengan keadaan yang tidak beres, Stevina mengikuti langkah Agia meninggalkan area kampus.

Tiba-tiba dalam suasana menegangkan, terdengar suara sapi yang sangat kencang. Mereka berdua terlonjak kaget lalu mengedarkan pandangan ke segala arah.

Nampak sapi besar sedang berjalan ke arah mereka. Stevina dan Agia menegang tak berani bergerak. Stevina merasa tulang kakinya mendadak layu dan hampir terlipat karena rasa takut yang berlebihan.

Sapi terus mendekat ke arah mereka lalu berhenti di antara rumput tinggi. Ternyata sapi itu hendak mencari makan.

Stevina dan Agia menghela napas lega dan bergegas menuju parkir dan masuk ke dalam mobil. Setelah mengatur napas dan menata hati serta pikiran yang sempat panik, Stevina memberanikan diri untuk bertanya.

“Lo kenapa tadi, Gi?”

“Gue.. Ah nanti saja gue cerita. Sekarang kita cabut dulu, yuk!" Sahut Agia sambil melirik jam yang melingkar dipergelangan tangan kirinya.

“Sambil cari makan siang ya, Stev. Udah jam setengah satu nih,” Ucap Agia seraya menarik sabuk pengaman dan memasangnya.

“Siap, Nyonya!" Sahut Stevina yang juga sedang memasang sabuk pengaman dan segera menstarter mesin mobilnya.

***

“Lo kumat lagi?” Tanya Stevina membuka pembicaraan setelah memesan makanan. Sambil menunggu pesanan datang, dimanfaatkannya untuk menginterogasi Agia. Mereka kini sedang berada di dalam gerai ayam cepat saji dengan kepopuleran nomor satu se-Indonesia.

“Iya, Stev,” Sahutnya lesu.

“Gue malah ngelihat yang bukan sepantasnya gue lihat." Lanjutnya murung.

“Memang lo lihat apa, Gi?”

“Patung tadi bilang ke gue kalau dia mau minta tolong. Tapi gue belum bilang sanggup. Gue terlalu kaget." Jelas Agia dengan raut wajah cemas.

“Lalu, sapi tadi ada hubungannya sama makhluk itu nggak? Kok bisa-bisanya di dalam kampus ada sapi sebesar itu?" Stevina melanjutkan pertanyaannya dengan wajah cemas melebihi Agia.

“Hahahaha. Itu sapi beneran, Stev. Sepertinya sapi itu milik orang sekitaran sana. Kan lo lihat sendiri kalau rumput di sana tinggi-tinggi." Agia tertawa terbahak-bahak mengingat betapa pucatnya wajah Stevina tadi karena sapi yang datang.

“Lo jangan ketawain gue. Gue takut setengah mati setengah hidup!" Pembicaraan mereka terhenti sebentar karena waiter datang membawakan makanan yang mereka pesan. Walaupun gerai tersebut menyediakan makanan cepat saji, namun ada beberapa pilihan menu yang mengharuskan dimasak saat pemesanan datang.

“Tapi ya Stev, hemm.. Nggak jadi deh," Agia hendak bercerita sesuatu tapi segera diurungkannya. Mengingat dia sendiri masih takut dengan kejadian barusan.

Stevina dan Agia merupakan teman satu sekolah. Suatu kebetulan mereka memiliki kesamaan pemikiran tentang memilih tempat untuk menuntut ilmu. Suatu keuntunganlah yang mereka dapatkan, karena bisa bersama-sama lagi seperti ketika Sekolah Menengah Atas.

Baru-baru ini Agia pernah mengungkapkan kepada Stevina, jika dirinya memiliki kelebihan yang tidak dimiliki semua orang. Hal ini disadarinya saat usia dua belas tahun, tepatnya saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, kelas satu.

Awal mula, mata batinnya belum berfungsi dengan sempurna. Agia hanya bisa merasakan kehadiran “orang lain” disekelilingnya. Jika Agia memfokuskan pikiran ke satu tempat yang dikiranya terasa berbeda, lama-lama akan muncul bayangan-bayangan seperti gumpalan kabut. Tanpa wujud sesungguhnya.

Namun karena hal itu adalah yang pertama kali untuk Agia, ia sempat pingsan di sekolah.

Kemampuannya terus bertambah seiring matangnya usia. Pernah suatu kali ia dan keluarganya bepergian dan melewati bekas lokasi pengeboman. Banyak suara-suara yang didengarnya. Namun tanpa wujud apapun.

“Tolooong!”

“Panas, toloooong!”

Begitulah sekiranya suara yang terus mendengung ditelinganya saat mobil melaju melewati tempat itu. Begitu mobil telah menjauh, Agia sempat menoleh ke belakang untuk melihat kembali tempat itu yang kini telah menjadi monumen untuk mengenang kejadian dan korban.

Agia melihat monumen itu dipenuhi oleh orang-orang dengan tubuh hangus dan tidak utuh. Lagi, Agia berakhir pingsan.

Pada akhirnya Agia mengungkapkan segalanya kepada orang tuanya.

“Itu adalah anugerah, Sayang. Menurut Tuhan Agia adalah anak istimewa. Tidak perlulah kamu takut, Nak." Ayah Agia berujar seraya mengelus mata Agia dengan halus dan penuh kasih sayang.

“Tapi Agia masih belum siap, Yah. Agia masih selalu kaget saat hal itu terjadi."

“Memohonlah kepada Tuhan. Mintalah agar dirimu disiapkan secara lahir dan batin. Jalani dengan tulus. Ayah dan Bunda pasti akan selalu menemanimu, Nak.” Bunda memeluk Agia dengan tulus dan penuh kasih sayang.

Karena, hal ini bukanlah hal yang baru bagi Ayah dan Bunda.

Terpopuler

Comments

Abi Zar

Abi Zar

bagus Thor ceritanya...

2024-04-13

0

Shiyaa

Shiyaa

story ngaaa bagsss bejirr😭

2024-04-06

0

Zuly Irawaty Situmorang

Zuly Irawaty Situmorang

Menarik cerita nya Thor 🤩🤩🤩🤩

2024-01-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!