Part 8

Kampus Horror

Part 8

Bunda memasukkan beberapa botol air mineral dan sandwich yang banyak ke dalam sebuah tas.

“Bun, banyak banget sih ini!” Protes Agia setelah mendapati ada beberapa jajanan dalam tas kresek bening disamping botol air mineral.

“Iya biar nggak laper di jalan nanti."

“Makasi ya, Bun.” Agia duduk di teras ditemani Bunda dan Marimar-anjing ras chihuahua kesayangannya.

“Jam berapa Stevina jemput?”

“Lagi di jalan, Bun.”

“Ohya, nanti kakak senior Agia yang namanya Bagi juga akan ikut. Bunda nilai ya orangnya kayak gimana." Agia berkata malu-malu.

Belum sempat Bunda menyahut, mobil putih terlihat berhenti di depan gerbang rumah Agia.

Stevina dan Bagi segera turun. Begitu juga Damar yang turut serta meminta izin kepada orang tua Agia setelah mematikan mesin mobilnya. Perjalanan kali ini menggunakan mobil SUV putih milik Damar.

“Bunda, Stevina nggak bisa minta makan deh sekarang." Sapa Stevina seraya menarik tangan Bunda untuk menciumnya dengan hormat.

Stevina sudah biasa meminta makan, bahkan menginap di rumah Agia.

“Nggak apa-apa, Bunda juga udah bikinin bekal sedikit untuk kalian makan di perjalanan.” Sahut Bunda.

“Selamat pagi, Bu. Saya Bagi dan ini teman saya Damar. Kita seniornya Agia dan Stevina di kampus."

“Ih kok formal amat sih lo, Kak!” Stevina menyikut Bagi gemas dan diikuti dengan tawa semua orang.

“Iya, salam kenal ya. Bunda titip Agia. Kalian hati-hati di perjalanan. Kalau ada yang ngantuk mending berhenti sebentar."

“Kita berangkat dulu ya, Bun.” Pamit Agia.

***

Di dalam mobil mereka bersenda gurau menikmati masa muda yang tak mungkin terulang kembali. Perjalanan jauh yang menempuh waktu tiga jam tidak terasa membosankan jika bersama orang yang tepat.

“Ada yang mau kue atau sandwich?” Agia menawarkan seraya merogoh tas yang dibekali Bunda.

Bagi ikut memeriksa isi tas yang berada di antara Bagi dan Agia di kursi belakang.

Stevina lalu menoleh ke belakang.

“Ada apa aja?”

Agia lalu menyerahkan tas ke Stevina setelah memastikan Bagi mengambil beberapa kue. Dirinya pun telah mengambil rissol mayo dan sandwich telur.

“Kak, kamu mau kue atau sandwich dulu?” Tanya Stevina berusaha melayani Damar yang sedang menyetir.

“Apa aja boleh yang menurut kamu enak."

Kemudian Stevina membuka plastik lumpia dan menyerahkannya kepada Damar. Tidak lupa cabai hijau juga diberikan kepada Damar.

Setelah menempuh perjalanan satu setengah jam, mereka menemukan jalanan sedikit mengular di depan sana, namun tidak macet.

Dengan sangat pelan mobil melaju.

Agia menatap keluar jendela di sebelah kiri.

Sejurus kemudian ia terkejut karena melihat teman SD sekaligus tetangga beda gang berdiri dengan tatapan kosong.

Dengan cepat Agia menurunkan jendela dan memanggilnya keras.

“Eka! Ngapain di sana?” Agia bertanya dengan heran, karena mendapati Eka berdiri sendiri di pinggir jalan yang lokasinya sangat jauh dari rumah. Terkejut Eka menoleh ke arah Agia namun tidak menyahut.

Bagi dan yang lain seketika menoleh ke arah Agia berteriak.

Bagi menyadari bahwa hanya Agia saja yang melihat orang yang dipanggilnya itu.

“Minggir sebentar, Mar.” Pinta Bagi kepada Damar.

Agia melongokkan kepala keluar jendela lalu menoleh kebelakang, dan berbicara keras

“Ngapain lo di sini?”

“Gi, mau nyoba turun?” Bagi menyarankan Agia.

Dengan cepat Agia membuka pintu dan berjalan menuju Eka di luar sana.

“Biar gue yang nemenin Agia, Stev. Lo diem aja di mobil.” Bagi mengatakannya setelah membuka pintu mobil.

Mobil-mobil lain masih berjalan lambat di luar sana. Syukurnya jalan provinsi memiliki lebar yang cukup untuk meminggirkan mobil besar milik Damar. Sehingga tidak mengkhawatirkan menjadi penyebab macet lalu lintas.

“Eka, ngapain lo di sini? Nunggu siapa?”

Bagi melihat Agia berbicara dengan angin. Ia menyadari beberapa mata pengguna kendaraan bermotor memandang Agia heran.

Bagi maju dan menghalangi mata pengendara lain agar tidak menatap heran saat Agia berbicara pada ‘angin’.

Agia terperanjat kaget dan gemetar. Tanpa aba-aba Bagi segera memegang pundak Agia agar tidak terjatuh.

“Lo diem dulu ya, biar gue telepon orang rumah." Perintah Agia kepada Eka.

Agia mengeluarkan telepon genggamnya dari kantong celana dan bergegas menyentuh layar.

“Bu-Bun, Agia boleh minta tolong nggak, Bun?” Agia berbicara dengan suara bergetar kepada Bundanya ditelepon.

“Coba tolong Bunda sekarang ke rumah Eka yang di gang Anggrek, Bun.”

“Iya, Eka temen SD Agia." Agia menjawab kembali kata-kata Bunda di seberang telepon.

“Nanti Agia ceritain. Sekarang Bunda ke sana dulu ya, Bun. Segera ya, Bun. Agia tunggu.”

***

“Sejak kapan, Ka?”

“Tiga hari, gue nunggu Bapak dan Ibu jemput. Tapi nggak dateng-dateng. Gue nggak bisa beranjak dari sini."

“Lo ke mana memangnya? Kenapa bisa sejauh ini?”

“Waktu itu gue mau ke rumah Anggita di kampungnya. Gue mau minta izin ke orang tuanya untuk melanjutkan kehubungan serius. Tapi saat gue bangun, gue di sini sendirian. Nggak ada yang dengerin gue.”

Tanpa bisa ditahan, air mata Agia berjatuhan satu demi satu.

Sedetik kemudian telepon dari Bunda masuk.

“Gi, Bunda tadi sudah ke rumah Eka. Kosong nggak ada siapa. Kata tetangga semua lagi di rumah sakit. Eka kecelakaan dan lagi koma, Gi.”

Informasi dari Bunda membuat telepon genggamnya terlepas. Agia melorot hampir jatuh. Dengan sigap Bagi menangkap Agia.

Melihat hal itu Stevina segera keluar dari dalam mobil dan membantu Bagi.

“Kenapa, Gi? Ayo ke dalem mobil." Perintah Stevina dengan suara khawatir.

Tatapan Agia terlihat kosong, lalu menangis.

Dilihatnya kini telepon genggamnya menampilkan informasi panggilan tak terjawab sebanyak tiga kali dari Bunda.

Agia menelepon kembali Bundanya.

“Bun, maaf tadi Agia kurang stabil. Agia lihat Eka di pinggir jalan.” Agia menjelaskan segalanya dengan detail, tidak lupa Agia menyebutkan nama daerah dan nama jalan yang kini dilewatinya.

Agia juga menginformasikan detail posisi Eka kini berada. Bahkan Agia meminta Bagi untuk meletakkan beberapa batu dan dahan pohon sebagai penanda posisi Eka berada.

“Ya sudah, sekarang Bunda ke rumah sakit dulu untuk infokan kekeluarga Eka ya. Nanti Bunda telepon kamu lagi. Kamu sekarang gimana? Baik-baik aja?” Tanya Bunda terdengar cemas.

“Baik, Bun. Baiknya Agia lanjut atau balik pulang, Bun?”

“Lanjut aja, nanti biar keluarganya Eka yang bereskan ya.”

“Baik, Bun. Maaf ya Agia ngerepotin Bunda.”

***

“Ka, lo maunya gimana? Lo mau pulang atau diem di sini aja?”

“Gue mau pulang, Gi. Gue kangen Ibu, gue kangen Bapak. Gue pengen ketemu Anggita.” Eka tergugu menjelaskan niatannya yang tulus.

“Terus, kenapa lo masih di sini? Kenapa nggak pulang aja sendiri?”

“Gue juga nggak ngerti. Kata adik kecil yang sering muncul, gue mau diajak ke rumah Prabu Lanang.”

“Siapa Prabu Lanang?”

“Yang ngejagain jalanan di sini. Prabu Lanang yang izinkan orang-orang untuk pakai jalanan di sini."

“Tapi kata adik kecil itu, nggak selalu orang-orang diizinkan lewat. Salah satunya gue." Eka melanjutkan ceritanya dengan wajah sendu.

“Lo udah ketemu sama Prabu Lanang itu?”

“Belum. Gue nggak mau. Gue pengen pulang, Gi.”

“Apa yang bisa gue bantu, Ka?”

“Kata adik kecil itu, gue bisa pulang kalau gue membawa pengganti. Pengganti itu yang akan ikut ke rumah Prabu Lanang."

“Pengganti?”

“Ayam hitam atau anjing yang lidahnya hitam.”

“Gue akan segera infoin ke Ibu dan Bapak ya. Hari ini mereka pasti akan dateng kok untuk jemput lo.”

Eka menggangguk semringah.

Stevina, Bagi, dan Damar menatap Agia lekat.

Awalnya Damar menatap ngeri Agia yang terlihat berbicara sendiri menghadap luar jendela mobil yang terbuka.

Setelah Agia menelepon Bundanya, Agia meminta Damar untuk memundurkan mobilnya agak sejajar dengan Eka. Agia merasa kakinya sangat lemas jika harus berdiri berhadapan dengan Eka.

“Lo laper?”

“Laper banget. Tapi gue gabisa makan apapun sekarang."

Dengan cepat Agia mengambil botol air mineral, membuka tutupnya dan menyerahkan ke Eka.

Eka menggapai namun sayangnya tidak berhasil.

Entah insting atau apa, Agia membuka pintu mobil, lalu meletakkan botol dengan tutup terbuka di atas tanah dan menghaturkannya dalam bahasa sederhana.

“Tuhan, izinkanlah saya memberikan sedikit makanan untuk teman saya yang kini sedang berjuang untuk cinta kasihnya." Agia berkata dengan tulus di dalam hati.

“Coba sekarang lo ambil, Ka."

Botol tersebut terangkat. Dan Eka berhasil menegak air dengan lahapnya.

Tentu saja dimata Stevina, Damar, dan Bagi, botol itu masih di atas tanah.

“Stev, kasi gue beberapa jajanan tadi dong."

Dengan cepat Stevina memberikan lima jajanan pasar dengan varian yang berbeda kepada Agia.

Dengan proses sama seperti botol air, Agia memberikan jajanan kepada Eka.

“Lo makan pelan-pelan ya, Ka. Sekarang gue mau lanjutkan perjalan untuk hal yang sangat penting. Tapi tenang aja, lo pasti akan segera dijemput."

***

Terpopuler

Comments

Bambang Setyo

Bambang Setyo

Semoga eka bisa bangun dari koma ya...

2023-04-25

0

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝓼𝓮𝓶𝓸𝓰𝓪 𝓔𝓴𝓪 𝓫𝓲𝓼𝓪 𝓹𝓾𝓵𝓪𝓷𝓰 𝓵𝓰 𝓴𝓮 𝓫𝓪𝓭𝓪𝓷 𝓪𝓼𝓵𝓲𝓷𝔂𝓪 𝔂𝓪🤲🤲🤲🤲🤲

2022-10-11

0

kiyya

kiyya

aq nangis thor bacanya😭😭😭😭

2022-06-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!