Part 10

Kampus Horror

Part 10

Debar jantungku tak kuasa mereda dari pacuannya setelah mendengar pegawaiku menginformasikan tentang datangnya mahasiswa Fakultas Sastra.

Aku berani bertaruh mereka datang karena Asih.

Bahkan setelah tiga puluh lima tahun berlalu, semua tentang Asih masih teringat jelas.

Bukan berarti Aku tak sayang kepada Elin dan Dinda.

Elin istriku yang cantik dan berhati lembut, mampu menyampingkan kisah cinta masa laluku yang belum usai.

Ditambah hadirnya Dinda putriku yang sangat cantik dan juga pintar. Keceriaannya mampu menyamarkan segala haru. Sepuluh tahun usianya kini.

Namun, segala upaya selama ini musnah karena datangnya sekelompok mahasiswa yang ingin menggali sebuah rahasia pahit tentang bobroknya moral manusia.

Kenangan itu kembali muncul. Semakin jelas.

***

"Kalau lo bisa nemu yang lebih cantik dari Asih, gue traktir nasi kantin sebulan."

"Kalau gue bisa jadian sama Asih?"

"Nasi kantin sampai tamat!"

Gelak tawa terdengar riuh dari kamar kos milik Marwan.

Sudah menjadi kebiasaan bagi mereka untuk menghabiskan waktu bersama selepas perkuliahan usai.

Bisa di kamar Runa, bisa di kamar Yono. Di mana pun tidak mengurangi keseruan mereka.

Asih selalu menjadi topik utama pembahasan mereka.

Tanpa polesan, tanpa aksesoris, namun tetap mampu menjadikan Asih sebagai primadona kampus lima angkatan.

Bayangkan betapa mempesonanya Asih hingga mampu menarik perhatian senior-senior bahkan junior tahun ajaran berikutnya.

Siapa kekasihnya? Jangan harap itu adalah kau. Seleranya tinggi. Bukan levelnya mahasiswa dengan uang saku pas-pasan.

Siapa sangka Asih Sang Primadona memiliki rahasia yang mampu memisahkan rahang dari tautannya.

***

"Gue rasa Pak Runa tahu sesuatu." Bagi berbicara disela kegiatannya menyetir mobil Damar.

Kini gilirannya menggantikan Damar menyetir dalam perjalanan kembali ke ibu kota.

"Yah, kita tunggu aja info dari dia. Kalau dalam tiga hari nggak ada kabar, gue telepon aja dia." Damar menyahut sambil meregangkan tubuhnya.

"Agak lucu sih ya kita kayak gini. Atas dasar apa coba? Kenal sama almarhum Asih juga enggak." Stevina berbicara dan tertawa renyah.

"Atas dasar pri kehantuan!" Damar menyahut dan disambut gelak tawa dari temannya.

"Pasti ada alasannya kenapa Asih milih kita. Tepatnya gue sih. Kebetulan gue punya anugerah yang berbeda dari yang lain dan sayangnya kalian harus menanggung kerepotan inj karena kalian bagian dari hidup gue." Agia merasa sungkan kepada teman-temannya.

"Ohya, lo mau dianter ke rumah sakit tempat temen lo atau gimana?" Tanya Damar menyudahi pembicaraan tentang Asih.

"Ke rumah aja, Kak. Kalian pasti capek. Nanti setelah mandi gue berangkat ke rumah sakitnya."

"Nanti aku jemput ya?" Bagi menawarkan diri.

"Memangnya nggak capek?"

"Capeknya hilang kalau sama kamu."

"Pret!" Damar menyahut kata-kata Bagi yang berusaha bersikap romantis.

***

"Ka, gue dateng. Lo jadi pulang kan?" Agia berbicara setelah diam beberapa saat untuk memperhatikan ruangan ICU. Tak ditemukannya jiwa Eka di sekitar sana.

Terdapat beberapa luka pada raga Eka yang kini terbujur di atas ranjang rumah sakit dengan tempelan alat yang Agia tak mengerti fungsinya apa.

Agia merapalkan sebait doa, lalu meniupkannya pada kedua telapak tangannya. Dengan cepat diletakkannya telapak tangan di atas dada Eka.

"Ka, ayo pulang. Gue harap lo denger suara gue. Kalau lo bingung. Ikuti sinar yang paling lo yakinin, ya."

Sebelum meninggalkan ruang ICU, Agia menepuk tangan Eka.

***

"Gi, Tante takut Eka nggak balik lagi." Ibu Eka berbicara dengan linangan air mata.

"Eka pasti balik kok Tante. Karena ini bukan waktunya Eka ninggalin kita. Dan Eka juga bilang kangen sama Tante, juga sama Om."

Tangisan histeris terdengar dari Bapak dan Ibu Eka.

"Ohya, Tante. Apa tante kenal Anggita?" Agia mulai bertanya setelah tangisannya mereda.

"Anggita, temen kampusnya Eka?"

"Agia kurang tahu tante. Dari Eka, Agia tahu nama Anggita. Eka berniat untuk melanjutkan hubungannya lebih serius. Dia mau minta izin ke orang tuanya Anggita."

"Pak! Anggita pasti nggak tahu kalau Eka kecelakaan. Coba telepon, Pak!"

"Cari nomornya di mana, Bu? HP Eka kan rusak nggak bisa dipakai." Bapak Eka menyahut dengan sisa air mata masih terlihat di sudut matanya.

"Coba Tara yang cari informasinya, Pak De. Nanti sekalian Tara yang hubungi Anggita." Salah seorang keluarga Eka menawarkan diri.

Saat keluarga itu berdiskusi, Agia melihat sekelebat cahaya disekitar mereka.

Senyum semringah Agia terpancar seraya berkata.

"Welcome home, Eka!"

***

Agia memandang takjub rumah Bagi yang sangat besar dan indah.

Rumah bergaya daerahnya yang masih sangat kental dengan ukiran dan warna emas di sekelilingnya.

Halaman luas dan tatanan tanaman yang sangat rapi.

Terdapat beberapa bangunan dengan dasar yang tinggi dalam satu pekarangan yang sangat luas ini.

Rumah bagian utara, rumah bagian barat, rumah bagian selatan, dan di bagian timur terdapat bangunan terbuka.

Ada juga sebuah tempat beribadah di sebelah timur rumah bagian utara.

Semua terlihat sangat asri. Bangunan rumah terbuat dari batu alam yang telah dipahat sempurna membentuk beberapa tokoh pewayangan atau binatang.

Pintu dan jendela setiap bangunan rumah terbuat dari kayu yang juga terukir dengan sangat baik.

"Duduk di sini ya,"

Agia mengangguk dan tersenyum. Kini ia duduk di bangunan terbuka di sebelah timur. Berhadapan dengan sebuah kamar bagian barat yang terdapat foto di tembok.

Keluarga besar. Pikir Agia.

"Oh ini yang namanya Agia?" Seru seorang wanita yang terlihat seumuran dengan Bundanya.

"Halo, saya Agia." membungkuk hormat.

"Saya Mamanya Bagi" Mamanya Bagi merengkuh Agia ke dalam pelukannya.

Karena menjadi sumber keributan, beberapa orang terlihat keluar dari rumah masing-masing.

Agia kini telah berkenalan dengan Papa, Mama, Kakek, Nenek, dan beberapa pekerja di rumah Bagi.

Beberapa saat kemudian pintu rumah bagian utara terbuka dan seorang laki-laki dengan penyangga tubuh keluar dengan hati-hati.

Wajahnya mirip sekali dengan Bagi.

Dilihatnya kaki laki-laki itu dengan seksama.

"Bawa siapa nih? Om kira nggak akan bawa cewek ke rumah."

"Halo, saya Agia."

"Saya Omnya Bagi. Deni" Deni mengulurkan tangannya dan disambut hangat oleh Agia.

Setelah berbasa-basi dan menyelesaikan makan siangnya, Bagi mengantarkan Agia pulang.

***

"Ternyata Kakak berasal dari keluarga terpandang ya."

"Ya itu kan keluargaku, bukan akunya."

"Kakek dulu Dekan di Fakultas Sastra. Tapi sudah hampir sepuluh tahun pensiun."

.

Agia mendengarkan penjelasan Bagi dengan antusias.

"Anaknya ada empat. Papaku, tante ada dua, dan yang paling kecil Om Deni"

"Kaki Om Deni sejak kapan kayak gitu?" Tanya Agia mencoba mencari tahu.

"Kenapa? Kamu lihat ada yang janggal ya?"

Agia tidak menyahut.

"Aku nggak ingat sejak kapan Om Deni mulai pakai penyangga, tapi kata Mama dari sebelum aku lahir sudah begitu."

"Om Deni sudah punya anak?"

"Dia nggak pernah menikah, Gi."

Agia menahan banyak pertanyaan yang ingin diutarakannya. Tapi nanti saja. Masih banyak waktu.

***

Terpopuler

Comments

Bambang Setyo

Bambang Setyo

Mirip bagi ternyata cuma omnya.. 😁😁😁kirain bapaknya bagi

2023-04-25

0

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝓹𝓪𝓼𝓽𝓲 𝓪𝓭𝓪 𝓐𝓹𝓪" 𝓷𝓲𝓱 𝓼𝓪𝓶𝓪 𝓸𝓶 𝓓𝓮𝓷𝓲🤔🤔🤔

2022-10-11

0

uutarum

uutarum

Deni salah satu pelaku

2022-06-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!