NovelToon NovelToon

Kampus Horror

Part 1

Kampus Horror

Part 1

“Stev, yakin nih kampus kita di sini?”

“Tuh tulisannya juga bener kan Fakultas Sastra."

Stevina dan Agia adalah mahasiswa baru yang akan menghabiskan masa kuliahnya selama empat tahun di sini. Di universitas besar dengan banyak pilihan fakultas di dalamnya. Mereka akan memulai aktivitas baru sebagai seorang mahasiswi mulai minggu depan. Namun, sebelumnya mereka terlebih dahulu mengunjungi kampus. Dengan maksud saat hari pertama itu tiba, mereka tidak lagi kebingungan mencari lokasi kampus. Maklum saja, ini pertama kali juga mereka ke daerah area universitas.

Stevina memasukan mobilnya ke arah gerbang kampus. Terdapat jalan menanjak setelah gerbang. Jalan tersebut mengarah ke tempat parkir yang luas. Sepertinya cukup menampung lima belas mobil. Sepi. Tidak ada satupun kendaraan yang terparkir di sana kini. Sampah daun kering mendominasi area kampus bagian depan.

Setelah berhasil menemukan tempat yang cocok untuk parkir , Stevina mematikan mobil.

“Stev, jangan dimatiin!"

“Kenapa?”

“Nanti kalau ada apa-apa kita bisa buruan cabut."

“Ah parno amat lo." Sahut Stevina seraya melepas sabuk pengaman dan mengambil telepon genggam di dashboard mobil. Segera Stevina membuka pintu mobil dan keluar.

Stevina meregangkan tangan sambil menghirup udara di kampus yang dekat dengan pantai. Aroma pantai tercium bercampur aroma daun kering. Terdapat banyak pohon besar di sekitar kampus. Teduh dan sejuk.

“Yuk turun! Kita check ke dalam. Sekalian lihat kelas kita yang mana." Ajak Stevina.

“Tapi gue kok takut. Nanti kalau ada penjahat gimana?” Agia membuka pintu mobil namun mengurungkan niatnya untuk keluar.

“Mana ada penjahat nongkrong di kampus. Di suruh ujian nanti mereka sama dosen!"

Stevina berjalan perlahan menuju gedung kampus. Tanah kering menandakan musim kemarau tanpa pernah tersentuh air hujan. Juga beberapa pepohonan kecil yang entah namanya apa tetap berdiri kokoh karena ditompang oleh kayu, dengan daun dan bunga kering yang setia menemaninya.

Terdapat satu warung kecil yang tentu saja dalam keadaan tertutup saat ini di bawah pohon. Sangat rindang dan teduh.

“Stev, tunggu!” Agia setengah berlari mengejar Stevina.

Mereka berjalan di jalan setapak yang terbuat dari paving dengan lebar sekitar seratus cm. Dikanan dan kiri jalan tersebut merupakan tanah yang ditutupi rumput. Saat ini rumput-rumput tersebut mencoba tumbuh menjulang. Sebagian telah tumbuh sampai mata kaki. Sebagian lainnya mungkin setinggi lutut.

Stevina dan Agia memandang ke sekitar. Terdapat 3 bangunan besar yang terpisah membentuk huruf U. Sepertinya itu bangunan kelas yang akan digunakannya saat kuliah nanti. Masing-masing gedung berisikan huruf berukuran besar. Gedung A, Gedung B, Gedung D.

“Gi, kok Gedung C gak ada ya?”

Agia tidak menjawab. Agia terus berjalan mengikuti jalan setapak itu hingga mengantarnya ke depan Gedung D. Gedung A dan Gedung D saling berhadapan.

Terdapat papan informasi di depan Gedung D. Agia membacanya.

Beberapa lembaran yang terlihat, baru ditempel pada papan informasi itu. Agia mencari jurusannya dan mendapati bahwa mereka akan menggunakan Gedung A.

“Kelas kita nanti di gedung itu, Stev.” Agia berujar sambil menunjuk Gedung A.

Jalan setapak yang kini mereka lewati mengantar pada sudut antara Gedung D dan B. Ternyata Gedung C adalah sebuah ruangan yang tidak terlalu besar.

“Oh mungkin gedung ini kantor atau ruang dosen, Gi." Stevina menduga. Namun detik berikutnya Agia berteriak terkejut. Stevina segera mengikuti arah pandang Agia sambil bertanya.

“Kenapa, Gi?”

Agia tercekat. Matanya membelalak menatap sebongkah patung rusak diantara rumput-rumput yang tinggi itu.

Stevina memperhatikan lebih jelas. Patung itu terlihat menyerupai orang. Namun pada wajahnya telah hancur. Bagian kepala dekat telinga pun retak dan terlihat keropos.

“Gi, itu patung. Jangan bikin gue takut dong, please!” sergah Stevina menaikkan nada bicara.

Agia bergeming sambil menatap patung itu. Sedetik kemudian dia tersenyum.

“Yuk, kita pulang aja, Stev. Kita disuruh pulang."

Tanpa perlu menyahut dan mengerti dengan keadaan yang tidak beres, Stevina mengikuti langkah Agia meninggalkan area kampus.

Tiba-tiba dalam suasana menegangkan, terdengar suara sapi yang sangat kencang. Mereka berdua terlonjak kaget lalu mengedarkan pandangan ke segala arah.

Nampak sapi besar sedang berjalan ke arah mereka. Stevina dan Agia menegang tak berani bergerak. Stevina merasa tulang kakinya mendadak layu dan hampir terlipat karena rasa takut yang berlebihan.

Sapi terus mendekat ke arah mereka lalu berhenti di antara rumput tinggi. Ternyata sapi itu hendak mencari makan.

Stevina dan Agia menghela napas lega dan bergegas menuju parkir dan masuk ke dalam mobil. Setelah mengatur napas dan menata hati serta pikiran yang sempat panik, Stevina memberanikan diri untuk bertanya.

“Lo kenapa tadi, Gi?”

“Gue.. Ah nanti saja gue cerita. Sekarang kita cabut dulu, yuk!" Sahut Agia sambil melirik jam yang melingkar dipergelangan tangan kirinya.

“Sambil cari makan siang ya, Stev. Udah jam setengah satu nih,” Ucap Agia seraya menarik sabuk pengaman dan memasangnya.

“Siap, Nyonya!" Sahut Stevina yang juga sedang memasang sabuk pengaman dan segera menstarter mesin mobilnya.

***

“Lo kumat lagi?” Tanya Stevina membuka pembicaraan setelah memesan makanan. Sambil menunggu pesanan datang, dimanfaatkannya untuk menginterogasi Agia. Mereka kini sedang berada di dalam gerai ayam cepat saji dengan kepopuleran nomor satu se-Indonesia.

“Iya, Stev,” Sahutnya lesu.

“Gue malah ngelihat yang bukan sepantasnya gue lihat." Lanjutnya murung.

“Memang lo lihat apa, Gi?”

“Patung tadi bilang ke gue kalau dia mau minta tolong. Tapi gue belum bilang sanggup. Gue terlalu kaget." Jelas Agia dengan raut wajah cemas.

“Lalu, sapi tadi ada hubungannya sama makhluk itu nggak? Kok bisa-bisanya di dalam kampus ada sapi sebesar itu?" Stevina melanjutkan pertanyaannya dengan wajah cemas melebihi Agia.

“Hahahaha. Itu sapi beneran, Stev. Sepertinya sapi itu milik orang sekitaran sana. Kan lo lihat sendiri kalau rumput di sana tinggi-tinggi." Agia tertawa terbahak-bahak mengingat betapa pucatnya wajah Stevina tadi karena sapi yang datang.

“Lo jangan ketawain gue. Gue takut setengah mati setengah hidup!" Pembicaraan mereka terhenti sebentar karena waiter datang membawakan makanan yang mereka pesan. Walaupun gerai tersebut menyediakan makanan cepat saji, namun ada beberapa pilihan menu yang mengharuskan dimasak saat pemesanan datang.

“Tapi ya Stev, hemm.. Nggak jadi deh," Agia hendak bercerita sesuatu tapi segera diurungkannya. Mengingat dia sendiri masih takut dengan kejadian barusan.

Stevina dan Agia merupakan teman satu sekolah. Suatu kebetulan mereka memiliki kesamaan pemikiran tentang memilih tempat untuk menuntut ilmu. Suatu keuntunganlah yang mereka dapatkan, karena bisa bersama-sama lagi seperti ketika Sekolah Menengah Atas.

Baru-baru ini Agia pernah mengungkapkan kepada Stevina, jika dirinya memiliki kelebihan yang tidak dimiliki semua orang. Hal ini disadarinya saat usia dua belas tahun, tepatnya saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, kelas satu.

Awal mula, mata batinnya belum berfungsi dengan sempurna. Agia hanya bisa merasakan kehadiran “orang lain” disekelilingnya. Jika Agia memfokuskan pikiran ke satu tempat yang dikiranya terasa berbeda, lama-lama akan muncul bayangan-bayangan seperti gumpalan kabut. Tanpa wujud sesungguhnya.

Namun karena hal itu adalah yang pertama kali untuk Agia, ia sempat pingsan di sekolah.

Kemampuannya terus bertambah seiring matangnya usia. Pernah suatu kali ia dan keluarganya bepergian dan melewati bekas lokasi pengeboman. Banyak suara-suara yang didengarnya. Namun tanpa wujud apapun.

“Tolooong!”

“Panas, toloooong!”

Begitulah sekiranya suara yang terus mendengung ditelinganya saat mobil melaju melewati tempat itu. Begitu mobil telah menjauh, Agia sempat menoleh ke belakang untuk melihat kembali tempat itu yang kini telah menjadi monumen untuk mengenang kejadian dan korban.

Agia melihat monumen itu dipenuhi oleh orang-orang dengan tubuh hangus dan tidak utuh. Lagi, Agia berakhir pingsan.

Pada akhirnya Agia mengungkapkan segalanya kepada orang tuanya.

“Itu adalah anugerah, Sayang. Menurut Tuhan Agia adalah anak istimewa. Tidak perlulah kamu takut, Nak." Ayah Agia berujar seraya mengelus mata Agia dengan halus dan penuh kasih sayang.

“Tapi Agia masih belum siap, Yah. Agia masih selalu kaget saat hal itu terjadi."

“Memohonlah kepada Tuhan. Mintalah agar dirimu disiapkan secara lahir dan batin. Jalani dengan tulus. Ayah dan Bunda pasti akan selalu menemanimu, Nak.” Bunda memeluk Agia dengan tulus dan penuh kasih sayang.

Karena, hal ini bukanlah hal yang baru bagi Ayah dan Bunda.

Part 2

Kampus Horror

Part 2

[Lo di mana, Gi?] Stevina membaca chat yang telah dikirimnya untuk Agia.

[otw dah dkt] Balasnya singkat menandakan Agia sedang mengendarai sepeda motornya.

Stevina memasukkan kunci mobil kedalam tas setelah menekan tombol mengunci. Dihirupnya napas kuat-kuat dan dihembuskan dengan cepat. Dengan ragu Stevina melangkahkan kaki menuju kelas.

Saat berjalan melewati warung bawah pohon, Stevina menghentikan langkah untuk melihat ke arah warung sebentar. Kemudian ia memutuskan untuk membeli air mineral.

“Pagi, Bu!” Sapa Stevina ramah kepada Ibu Warung.

“Pagi, Non. Mahasiswa baru, ya?” Dengan ramah Ibu Warung menyapa Stevina.

“Iya, Bu. Benar.” Stevina memperkenalkan diri dengan menyebut nama dan jurusan perkuliahannya. Sejurus kemudian Stevina mengambil sebotol air mineral berukuran enam ratus mili liter.

“Berapa, Bu?”

“Tiga ribu rupiah, Non Stevina."

“Panggil saja Stevina, Bu.” Sahut Stevina seraya menyerahkan uang lima ribu rupiah.

Dilihatnya di bawah meja dekat kaki Ibu warung, terdapat seorang anak perempuan yang sangat lucu sedang menulis-nulis kertas dengan pulpen ditangannya.

“Ini Stevina, kembaliannya." Ibu warung menyerahkan uang dua ribu rupiah kepada Stevina.

“Itu siapa, Bu?”

“Anak saya. Yang nomor empat."

“Usianya berapa?”

“Satu setengah tahun, Non. Eh, Stevina.”

“Wah pinter banget ya. Anteng nemenin Ibunya jualan."

“Iya sudah terbiasa dari kecil saya ajak di sini. Tapi sudah dua bulan tidak berjualan karena kampus sedang libur."

“Oh pantas saja dua minggu lalu Ibu tidak ada di sini ya, Bu."

“Dua minggu lalu? Non Stevina ngapain ke kampus dua minggu lalu?” Tanya Ibu Warung terlihat sangat kaget dengan mimik wajah yang berubah menjadi tegang.

“Survey tempat, Bu. Karena ini pertama kalinya saya ke daerah sini. Jadi takut tersesat."

Belum sempat Ibu Warung menjawab, Agia datang dengan motornya. Stevina melambai ke arah Agia yang sedang membuka helm dan jaket lalu memasukkannya kebawah sadel sepeda motor.

“Mari, Bu. Saya duluan ya."

“Terima kasih ya, Non Stevina."

Stevina menuju arah parkir ke tempat Agia. Agia mengedarkan pandangan ke area tempat parkir.

“Sudah banyak mahasiswa yang datang ya, Stev. Jadi nggak sepi lagi deh."

“Iya. Padahal masih pagi, tapi sudah pada datang. Mungkin antusias awal perkuliahan kali ya."

Mereka berdua berjalan menuju area kampus.

"Kunci sepeda motornya sudah diambil, Gi?"

Agia memeriksa lagi kantong kecil ditasnya untuk memastikan keberadaan kunci seleda motornya.

"Sudah. Makasih ya, sudah ingetin gue."

"Supaya enggak kejadian lagi kunci sepeda motor disembunyiin satpam!" Sahut Stevina dengan tawa kecil mengingat kejadian beberapa waktu lalu saat Agia tanpa sengaja meninggalkan kunci sepeda motornya di tempat parkir sebuah swalayan. Nasib baik satpam swalayan yang menemukan, bukan orang jahat. Kalau itu terjadi, lain lagi jalan cerita hidup mereka.

Rumput-rumput yang dua minggu lalu masih tinggi, kini telah terpangkas rapi nan asri.

Tanpa ada yang memberikan aba-aba Stevina dan Agia tidak berjalan mengelilingi gedung untuk menuju kelas mereka di Gedung A. Tapi mereka menyeberang melewati rumput.

Dalam diam mereka berjalan menuju Gedung A. Sesampai di depan Gedung A, Stevina memperhatikan pintu kelas yang berisikan kertas dengan tulisan tahun angkatan milik mahasiswa baru.

Mereka memasuki kelas dan mengedarkan pandangan ke sekeliling.

“Duduk di mana?” Tanya Agia.

Stevina berjalan menuju baris ketiga dari depan.

“Di sini yuk!”

Agia mengikuti dari belakang dan menaruh tas di atas bangku, sebelah kiri Stevina.

Dalam diam Agia mengamati isi kelas.

Kelas ini lumayan besar. Dibuktikan dengan mampunya kelas ini menampung delapan puluh dua orang mahasiswa yang baru saja memulai hari sebagai pelajar di universitas.

Papan tulis berwarna putih membentang lebar di depan puluhan bangku. Meja untuk dosen yang diletakkan sekitar dua meter dari papan pun cukup besar.

Bangku mahasiswa dibagi menjadi dua. Sayap kanan dan sayap kiri. Kini Stevina dan Agia berada di bagian sayap kiri.

Kondisi kelas sangat terang karena memiliki banyak sekali kaca jendela yang menempel pada tembok disebelah kanan dan kiri. Itulah yang menyebabkan dengan bebasnya sinar mentari memasuki ruang kelas.

Karena jendela yang besar dan banyak, segala hal di luar kelas terlihat sangat jelas.

Begitu pun Gedung D yang terdapat tepat di seberang jendela kelas.

Agia berdiri dan berjalan pelan menuju jendela bagian kiri. Agia melihat banyak mahasiswa jurusan dan angkatan lain yang hilir mudik ke sana ke mari. Kebanyakan mereka yang baru datang dan menuju kelasnya masing-masing. Atau ada juga yang berjalan bergerombol menuju warung.

Mata Agia kemudian perlahan mengarah Gedung D yang kini tepat berada di seberang Agia yang telah dipisahkan dengan tembok kelas dan juga halaman kampus yang luas. Di lantai bawah terdapat dua kelas yang mengapit tangga menuju lantai dua. Terlihat aktifitas mahasiswa jurusan lain di kelas itu melalui jendela.

Kemudian mata Agia menuju lantai dua. Dengan kondisi kelas yang sama persis memiliki jendela yang besar dan banyak. Namun Agia tidak bisa melihat keadaan di dalam kelas lantai dua, tentu saja karena bangunan kampus yang tinggi. Sementara posisi Agia di lantai satu.

Sedetik kemudian seseorang terlihat di jendela kelas sebelah kiri yang bersebelahan dengan Gedung C.

Mahasiswi itu melihat kearah depan. Lalu tiba-tiba ia melihat ke bawah. Tepat ke arah Agia.

Agia terkejut dan dengan cepat Agia tersenyum ke arah mahasiswi itu.

Mahasiswi itu terlihat sendu, tidak membalas senyuman dari Agia. Kemudian tangannya bergerak menangkup di depan dada. Lalu berbalik dan tidak terlihat lagi.

Agia masih mematung dengan bingung. Lalu Agia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan apakah mahasiswi itu berinteraksi dengannya atau orang lain di kelas ini. Tapi hanya ia seorang yang sedang berdiri dekat jendela.

Agia membalikkan badan dan berjalan menuju bangkunya. Dilihatnya Stevina sedang berbicara dengan kawan baru.

Tidak memerlukan waktu yang lama jika bergaul dengan Stevina. Karena dia memiliki karakter yang sangat ramah dan menyenangkan.

Dengan wajah cantik dan kulit bersih, Stevina sering menjadi pusat perhatian. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai dengan indah. Gaya bicaranya pun mampu menghipnotis lawan bicara menjadi otomatis mendengarkan Stevina dengan seksama.

“Hai, lo Agia kan? Gue Rasti."

“Oh hai, gue Agia.” Rasti dan Agia berjabatan tangan.

“Boleh gue duduk di sana?” Tanya rasti menunjuk bangku kosong di sebelah kiri Agia.

“Boleh, silahkan.”

Tanpa menunggu, Rasti berjalan melewati Stevina dan Agia, kemudian segera meletakkan tubuhnya di bangku.

“Lo tinggal di mana, Gi?”

“Di Teuku Umar. Kalau lo, di mana?”

“Rumah gue deket sini. Nanti mampir yuk!”

“Boleh. Tapi gue nggak ngerepotin nanti?”

“Nggaklah. Deket banget kok. Paling cuma 7 menit dari kampus."

“Oke deh. Nanti sepulang kuliah ya."

Tiba-tiba kelas mulai penuh terisi oleh mahasiswa. Wajah baru. Teman-teman baru. Semangat baru.

Ternyata dosen pengajar mata kuliah jam pertama sudah datang. Pembelajaran hari itu dihabiskan dengan perkenalan.

Tanpa terasa sembilan puluh menit telah habis. Dosen pengajar yang bernama Ibu Ella segera beranjak meninggalkan kelas dan menuju ruang dosen di Gedung C.

“Ke kantin yuk, Gi!” ajak Rasti.

“Ayo, gue ikut!" Stevina menyahut ajakan Rasti.

“Gue di kelas aja deh, guys."

“Ih serem ah di kelas sendirian. Soalnya hiiii!"

Rasti tidak melanjutkan kata-katanya.

“Apaan sih lo nakut-nakutin gue." Stevina menyahut sambil merengut.

“Memangnya kalau gue cerita kalian siap?”

“Apaan?” Sahut Stevina dan Agia bersamaan.

"Di kampus kita ada hantunya." sahut Rasti berbisik.

Agia melirik Stevina. Sedangkan Stevina menatap Agia khawatir.

"Kok respon kalian biasa aja?" Rasti terlihat kecewa.

"Lantas, lo maunya respon kita kayak gimana?" Stevina balik bertanya.

Belum sempat Rasti menyahut, Agia menggamit lengan Rasti dan Stevina seraya berucap,

"Sudahlah, jadi ke warung nggak?"

"Kantin, Gi. Bukan warung." Ralat Rasti memperbaiki kata-kata Agia.

"Iya kantin."

Mereka berjalan bertiga menuju kantin. Ternyata sebuah gerobak bakso telah terparkir rapi di sebelah kantin bawah pohon.

Ramai mahasiswa mengantri untuk membeli bakso.

Agia melihat ke arah kedua temannya seraya bertanya,

"Ada yang mau bakso?"

Kedua temannya berbarengan menggelengkan kepala.

Tidak ada yang menarik perhatian untuk mereka beli. Sehingga, mereka memutuskan untuk berjalan ke arah kursi taman yang berada di ujung kampus. Bersebelahan dengan gedung A.

Dari tempat mereka duduk, nampak laut biru terhampar luas. Angin semilir menerpa wajah-wajah dengan mimpi dan angan besar untuk masa depan masing-masing.

Beberapa mahasiswa berjalan ke arah mereka. Tepatnya bangku taman yang kosong di samping mereka.

"Halo, boleh gabung?" Tanya salah satu dari mereka.

"Silahkan.." Sahut Stevina singkat disertai senyumnya yang menawan.

"Mahasiswa baru ya?"

"Iya, benar." Stevina menyebutkan jurusan dan tahun angkatan mereka.

"Oh satu tingkat dibawah kita. Kelas kita di Gedung B. Di atas. Ohya, nama gue Damar."

"Gue Stevina, yang ini Agia, dan satu lagi Rasti."

"Gue Bagi,"

"Gue Ratna, dan ini pacar gue Bimo."

Mereka saling berkenalan satu sama lain. Lalu dengan hati-hati Agia bertanya kepada kakak-kakak senior.

"Kalau di Gedung D lantai atas, angkatan berapa, Kak?"

Ratna memandang Bagi dengan tatapan ngeri.

"Gedung D lantai dua sudah kosong bertahun-tahun. Nggak pernah terpakai sama sekali." Sahut Bagi menjelaskan.

"Entah ada konslet listrik atau bagaimana, di lantai dua nggak bisa dialiri listrik. Jadi akan sangat sulit untuk melakukan proses belajar dan mengajar." Sambung Bagi.

"Tapi, melalui berita-berita yang beredar, kelas itu ada penunggunya." Ratna menambahi informasi yang membuat semua menahan napas.

"Ah, kamu kebanyakan nonton film hantu, Yang. Jadinya apa-apa dikaitkan sama hantu." Bimo mencemooh Ratna dengan gemas.

"Kan aku bilang berita yang beredar. Kalau aku sendiri sih amit-amit deh ngelihat yang begituan." Ratna tak mau kalah.

Tanpa ada yang memberikan aba-aba, mereka mengarahkan pandangan pada kelas atas Gedung D.

***

Part 3

Kampus Horror

Part 3

Agia menatap takjub hamparan laut di depan matanya. Walaupun jarak mereka puluhan kilometer dari pantai, namun Agia merasa berada di bibir pantai saat ini.

“Rumah lo asyik banget, Rasti. Gue betah banget di sini." Agia berujar seraya memejamkan mata menikmati semilir angin membuai wajahnya lembut dari balkon kamar milik Rasti.

“Ah bisa aja lo. Apanya yang asyik rumah sempit begini,” Rasti menyahut sambil tetap melanjutkan aktifitasnya membuka semua jendela di kamar.

Rumah Rasti memang mungil. Berada pada lahan kurang dari 100 meter persegi, namun dibuat menjadi sangat cantik. Rumah lantai dua dengan design minimalis, namun mampu memberikan kesan yang nyaman dan simple.

Kamar Rasti terletak di lantai dua dengan balkon menghadap barat. Menjadi hal yang biasa bagi Rasti menikmati senja cantik dengan sinar mentari yang perlahan hilang ditelan air laut.

“Stev, lagi ngapain sih lo sibuk amat sama HP?” Tanya Agia setelah beranjak dari balkon dan mendapati Stevina masih asyik dengan benda pipih ditangannya.

“Coba tebak gue chatting sama siapa?” Tanya Stevina dengan wajah jailnya.

“Sama siapa memang?” Tanya Rasti mendekati Stevina mencoba merebut telepon genggam dari tangan Stevina.

“Eits, nggak kena!" Stevina menghindar.

“Sama Damar.” Sahut Stevina singkat.

“Yang bener lo?” Rasti mebelalak takjub.

“Nggak heran sih gue, kelihatan banget Damar deketin Stevina.” Agia menjawab pertanyaan dari Rasti.

“Ohya, Ras. Nanti bener ya temenin kita balik ke kampus buat ambil mobil gue,"

“Gampanglah itu.”

“Lalu, gimana pendapat kalian tentang info dari temennya Damar tadi? Siapa ya namanya? Lupa gue.” Rasti mulai membuka topik obrolan.

“Kak Ratna namanya seinget gue. Kalau gue sih percaya di mana aja ada kehidupan lain selain kita. Yang membedakan, ada yang bisa terlihat dengan mata biasa, ada juga yang harus menggunakan mata spesial. Kita ‘kan hidup berdampingan sama mereka.” Agia menyampaikan pendapatnya.

“Disamping itu, Agia juga pernah mengalami sendiri di kampus. Ya nggak, Gi?”

Agia memelototi Stevina dengan maksud menyuruhnya untuk diam.

“Serius, Gi?” Rasti memandangnya menunggu jawaban. Agia mengangguk membenarkan.

Kemudian bergantian Stevina dengan Agia menceritakan pengalaman yang mereka alami dua minggu lalu.

“Gue nggak nyangka cerita-cerita yang beredar adalah fakta.”

“Emang ceritanya kayak gimana kalau yang lo denger?” Tanya Agia antusias.

“Katanya nih, Fakultas Sastra dulu bangunannya nggak sebesar sekarang. Waktu itu renovasi masih dalam proses, banyak pekerja yang mendirikan rumah sementara di sekitar halaman kampus. Beberapa dari mereka sering kali diganggu sama perempuan cantik. Bahkan salah satu pekerja melihat perempuan cantik terjun dari lantai dua. Setelah dicari di bawah, tidak ada orang jatuh. Melainkan karung semen yang di dalamnya berisikan batu-batu bekas limbah bangunan."

“Pernah juga salah satu pekerja kesetrum di kelas lantai dua Gedung D. Padahal saat itu belum terpasang listrik. Kelasnya bahkan belum selesai direnovasi”

Rasti menjelaskan dengan volume suara yang direndahkan. Seolah takut terdengar oleh mereka.

“Iiiih kok serem amat sih kampus kita," Stevina merasa tidak nyaman setelah mendengar cerita dari Rasti.

“Apa jangan-jangan yang meminta pertolongan ke Agia itu, Si Dia ya? Barangkali ada rahasia dibalik segala cerita yang beredar." Rasti berasumsi dengan wajah serius.

“Gi, kok lo diem aja?” Rasti melempar Agia dengan boneka.

“Sebenernya tadi pagi gue lihat sesuatu lagi. Seseorang di lantai dua menunjukkan dirinya ke gue dari jendela."

“Tadi waktu lo bengong di jendela itu, Gi?” Tanya Stevina penasaran. Agia menganggukan kepalanya.

“Terus orang itu mengatupkan telapak tangannya di depan dada," Agia melanjutkan ceritanya seraya menirukan gerakan orang itu.

“Jangan-jangan kita akan melalui masa perkuliahan yang seru seperti film-film horror di bioskop ya, guys?” Rasti mendadak menunjukan wajah semangat.

“Ada banyak misteri yang harus kita pecahkan."

Rasti melanjutkan. Sementara Agia dan Stevina hanya menatapnya ragu.

***

Sejak masa pengenalan dan orientasi mahasiswa baru, Agia memiliki daya tarik sendiri untuk Bagi.

Wajah yang teduh dan manis, melengkapi penampilannya yang terlihat bersahaja.

Dengan warna kulit yang lebih gelap jika dibandingkan dengan Stevina, namun tidak mengurangi pancaran pesona dalam dirinya.

Beruntung Damar memiliki ketertarikan kepada Stevina. Karena sedikitpun dirinya tidak memiliki keberanian untuk mendekati Agia.

'Tidak bisa berhenti gue memikirkan Agia. Kalau menurut Damar, Stevina adalah yang terbaik, Agia justru memancarkan aura yang berbeda.

Suatu hari nanti gue akan sangat berterima kasih kepada Damar karena telah berhasil menyapa Stevina dan teman-temannya. Tentu saja tujuan gue hanya semata untuk mengenal dan mendekati Agia.'

Damar menginformasikan jika Stevina dan Agia tengah mengunjungi rumah temannya yang bernama Rasti.

“Tapi mobilnya Stevina ditinggal di kampus, Bro. Gue rencana untuk nggak pulang dulu sebelum Stevina ambil mobilnya. Katanya sih bentar lagi balik." Damar memberikan informasi yang sangat penting saat ini.

“Gue temenin deh lo nunggu mereka dateng.” Sahutnya sambil mendaratkan tubuhnya di sebelah Damar. Mereka sedang duduk di bangku taman dekat kantin bawah pohon.

“Nggak usah, Bro. Kasihan lo nemenin gue.”

“Nggak apa kok. Sekalian gue mau download film. Kalau anak-anak udah pada pulang kan WiFi jadi kenceng banget."

“Oke deh kalau gitu. Lo mau bakso gak?” Tanya Damar seraya berjalan menuju gerobak bakso. Penjual bakso itu sedang berbincang dengan Ibu kantin bawah pohon.

“Enggak, Bro. Lo aja, gue nggak laper."

***

Saat mereka tengah asyik menonton film yang telah berhasil didownload, terdengar suara ramai dari dalam Gedung D. Entah di lantai satu atau di lantai dua.

Damar menghentikan kegiatan menontonnya dan menegakkan punggungnya tegang.

“Bro, lo denger gak?”

“Apaan?”

Tanpa menyahut Damar beranjak dan berjalan pelan. Kemudian mengintip sisi depan Gedung D dari sudut tembok sisi samping kiri Gedung D.

Beberapa detik Damar bertahan dengan posisi mengintip dari balik tembok. Kemudian berdiri tegak dan berjalan ke depan Gedung D.

“Ada apa?” Ibu kantin mengikuti langkah Damar.

Dari kejauhan Damar dan Ibu kantin menyaksikan proyektor Gedung D lantai dua menyala dan menyorot papan tulis samar.

Berlari Damar menuju pohon mangga besar di ujung kampus, lalu memanjatnya. Dengan sigap pedagang bakso membantu Damar memanjat pohon mangga. Sedetik kemudian Damar berusaha berdiri pada salah satu dahan pohon.

Damar terperangah menatap jendela lantai dua Gedung D.

Sejurus kemudian Agia, Stevina dan Rasti datang lalu memarkirkan motor di sebelah mobil Stevina.

Dengan heran Stevina berjalan cepat ke arah pohon mangga diikuti Agia dan Rasti melewati Bagi yang masih duduk memangku laptop.

“Kak Damar, ngapain di sana?” Stevina berbicara dengan suara yang keras.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!