Part 20

Kampus Horror

Part 20

“Mahasiswa hilang?”

“Iya, Kek. Beberapa waktu lalu ada yang posting di website universitas. Katanya ada mahasiswa yang hilang tahun 1986. Itu saat Kakek masih jadi Dekan, bukan?”

“Banyak mahasiswa yang berhenti kuliah tanpa informasi apapun. Banyak juga yang pindah kuliah dan malas mengurus administrasinya. Jadi ada banyak sekali kasus mahasiswa hilang di dunia perkuliahan.”

Bagi memperhatikan dengan seksama cara bicara kakeknya yang tenang tanpa dibuat-buat.

“Kalau penampakan di kelas lantai dua gimana, Kek?”

“Penampakan apa?”

“Hantu perempuan.”

“Kamu percaya takhayul begitu?”

“Bagi melihatnya sendiri, Kek.”

Kakek menoleh pelan ke arah Bagi.

“Banyak orang bilang kalau kita hidup berdampingan dengan mereka. Tapi Kakek belum pernah memiliki pengalaman seperti itu. Selama mereka tidak mengganggu, tidak akan pernah menjadi masalah. Sebaliknya, kita pun sebagai makhluk tertinggi ciptaan Tuhan, sekiranya tidak mengganggu keberadaan mereka.”

“Kalau memang tidak ada masalah, kenapa sampai sekarang kelas di lantai dua tidak pernah digunakan?”

“Kamu membicarakan kelas gedung yang mana?”

“Gedung D.” Jawab Bagi singkat.

“Sejak dulu peminat jurusan yang menempati Gedung D memang sedikit. Jarang melebihi empat puluh mahasiswa dalam satu angkatan. Dua kelas di lantai satu saja sudah cukup. Untuk menghemat listrik.”

***

Bagi memandang keluar jendela dari meja belajar di kamarnya.

Bagi memiliki keluarga terpandang yang berpendidikan tinggi. Hampir seluruh keluarganya menjabat sebagai pengajar atau pengabdi masyarakat.

Bagi menghela napas pelan.

“Bagaimana caranya mencari petunjuk dari Kakek?” Bagi mengeluarkan segala idenya dalam pikiran.

“Semua pertanyaannya dijawab dengan diplomatis. Tak ada sedikitpun petunjuk tentang kejadian saat itu.”

Tiba-tiba Bagi beranjak dari kursi lalu menuju taman belakang.

“Mama...” Panggil Bagi.

Rumah terlihat kosong. Lalu Bagi ke luar rumah. Sepi.

Diliriknya garasi, mobil Om Deni ada. Yang lain tidak ada.

Bagi lalu berjalan menuju kamar Om Deni.

“Om....”

“Om Deni!”

Kriet! Pintu kamarnya berderit. Lalu dengan susah Om Deni melangkah ke luar.

“Kenapa?”

“Lagi ngapain? Papa dan Mama kemana, ya?”

“Om nggak tahu.”

Bagi duduk di teras depan kamar Om Deni. Om Deni mengikuti Bagi untuk duduk.

“Gimana kuliah kamu?”

“Lagi libur Om. Kelar ujian akhir.”

“Oh iya, Om. Om pernah denger nggak kalau ada mahasiswa yang hilang di kampus sastra dulu?”

Om Deni terlihat menaikkan alisnya.

“Hilang gimana?”

“Ya hilang, Om. Tanpa jejak.”

“Om nggak pernah denger, tuh.”

Bagi hanya mengangguk. Diputarnya isi kepala agar dapat menyentuh pembicaraan ke arah Asih.

“Om, Bagi sekarang lagi naksir cewek.”

“Siapa? Agia?”

Bagi mengangguk mantap.

“Pepet terus. Jangan kasi kendor.”

“Om punya pengalaman nggak deketin cewek?”

Om Deni diam sebentar.

“Kalau pengalaman Om bagus, mungkin anak Om sudah ada lima. Apa daya, dengan fisik seperti ini Om sulit.”

“Maksud Bagi dulu sebelum Om kecelakaan.”

Deni tersenyum. Lalu mengangguk.

“Dulu. Dulu sekali. Ada perempuan cantik dengan hati yang luar biasa menakjubkan. Tapi sayang sekali bukan Om yang jadi pilihannya.” Deni menghela napas berat.

“Maksudnya, Om? Cewek itu selingkuh?”

“Begitulah. Om lihat sendiri kalau dia diantar pulang oleh pria lain. Bahkan senyumnya menyiratkan kebahagiaan. Om terpukul sekali. Rasanya enggan untuk bertemu dengan dia lagi.”

Bagi terkejut karena membayangkan Asih pada cerita Om Deni.

“Bagi boleh tahu namanya nggak Om?”

“Nama siapa?”

“Nama perempuan itu, Om.”

“Asih. Asih Prabandari.”

Bagi terdiam mematung. Dia merasa telah terlempar ke dimensi lain dengan perasaan terombang-ambing.

“Terus? Om putus sama dia?”

Deni menggeleng.

“Om nggak pernah ketemu lagi sama dia. Sudah Om cari ke kampus. Ke kampungnya. Tapi kata keluarganya, sudah lama sekali dia tidak pernah pulang. Keluarganya kacau. Seperti tidak mengakui bahwa Asih adalah keluarganya."

"Kenapa Om mencari Asih lagi?"

Deni terdiam menatap pohon bunga anggrek yang tertata apik di depan terasnya.

"Mungkin itu yang dinamakan cinta. Untuk Om, dia adalah segalanya. Om akui kalau Om salah karena menaruh curiga terhadapnya. Tapi saat Om sadari, itu hanya sekedar ego lelaki yang cemburu. Om tidak bertanya, atau membiarkan Asih membela dirinya. Om yang pergi."

Bagi terpukau. Tidak pernah dia bayangkan bahwa Om nya memiliki hati yang sangat rapuh.

"Lalu? Siapa laki-laki yang mengantarnya, Om?"

"Om nggak tahu. Om lihatnya dari jauh."

"Om nyesel?"

"Banget."

Deni menerawang dan menghela napas berat.

"Om yakin, di suatu tempat. Asih bahagia dengan pilihannya. Om percayakan kepada Tuhan untuk melindungi Asih selalu, bagaimanpun keadaannya."

***

Stevina berlinang air mata tak kuasa menahan sedih yang menyentuh relung kalbu karena cerita Bagi tentang Om Deni.

Agia menatap nanar meja di hadapannya. Bingung harus mempercayai cerita Bagi atau spekulasinya selama ini bahwa Om Deni adalah penyebab kematian tidak wajar dari Asih.

"Jadi, sekarang kita harus bagaimana?" Damar membuka pembahasan tentang kasus Asih.

"Apa yang kita lewati?" Bagi mengambil bagan yang telah dibuat oleh Damar.

Ditelitinya bagan tersebut. Lalu mengambil hasil cetakan data daftar pengunjung perpustakaan.

Beberapa detik kemudian Bagi membuka suara.

"Coba perhatikan, buku-buku yang dibaca Asih sebagian besar mengenai perjalanan wisata. Lihat!" Bagi menyerahkan kertas ke Damar.

"Benar juga. Bahkan ada buku yang dibaca sampai dua kali."

Kertas itu kini sampai ditangan Stevina.

"Apa yang membuat orang sampai membaca buku sampai dua kali?" Tanya Damar.

"Bisa jadi buku itu adalah favorite. Atau bisa juga karena tidak ada pilihan buku lain. Coba perhatikan." Stevina meletakkan kertas data di atas meja dan membiarkan yang lain mendekat ke arah kertas.

Stevina menunjuk waktu dan judul buku yang tertera pada data tersebut.

"Saat Asih mulai membaca buku-buku ini kembali, setelahnya dia jarang berkunjung."

Mereka saling pandang.

"Berarti Asih punya tempat lain untuk mencari bahan bacaan baru." Damar mengajukan asumsinya.

"Dimana tempat yang sesuai? Gratis, lengkap, dan mudah mencari."

Semua terdiam dalam pikirannya masing-masing.

***

Bagi memutuskan untuk ke kampus Fakultas Pariwisata.

Kampus nampak sepi karena mahasiswa libur setelah ujian.

Dia berjalan pelan menyusuri jalan setapak mencari gedung perpustakaan.

Terlihat ada lima orang sedang duduk di atas kursi dengan menunduk asik dalam bukunya masing-masing.

Bagi mendekati meja petugas lalu menyerahkan Kartu Tanda Mahasiswa dan mengisi buku daftar berkunjung.

Perlahan bagi meyusuri rak-rak besar dengan berbagai macam buku tersusun rapi.

Ada banyak sekali buku yang berkategori kegemaran Asih.

Lalu dengan cepat Bagi menanyakan tentang daftar pengunjung di perpustakaan ini.

Betapa terkejutnya Bagi melihat nama Asih yang setiap hari datang berkunjung pada tahun 1986.

Bagi segera mengabadikan hasil penemuan menggunakan telepon genggamnya.

***

Sebelumnya mereka telah sepakat untuk membagi diri untuk menyelidiki beberapa perpustakaan yang sekiranya dikunjungi Asih.

Kini hasil peyelidikan mereka semakin mengerucut.

Namun masih jauh dari hasil.

Agia memandang lurus patung di hadapannya. Sejurus kemudian, tanah dekat patung yang ditumbuhi rumput nampak menarik perhatian Agia.

"Kenapa, Gi?" Stevina merasa Agia tidak beres.

Agia mencari sesuatu disekelilingnya. Diraihnya sebuah ranting pohon dan segera digunakan untuk menggali tanah.

Merasa ada yang tidak beres, Stevina memanggil Damar dan Bagi yang kini sedang memanjat pohon mangga untuk melihat kondisi kelas di lantai dua.

Mereka melompat dan berlari berhamburan mendekati Agia dan Stevina.

"Ngapain, lo?" Damar bertanya heran kepada Agia.

"Ada sesuatu di sini."

Dengan cepat Bagi membantu Agia dengan tangan kosong.

Damar berlari menuju gudang kampus untuk mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menggali.

Terkunci.

Tak habis akal, Damar membuka jendela gudang dengan maksud untuk melompat ke dalam sana.

Dengan kesulitan Damar berhasil menemukan cangkul kecil dan linggis.

***

Dibantu Damar, Bagi berhasil menggali tanah sedalam lutut orang dewasa. Namun setelahnya terdapat beton yang menghalangi aktifitas mereka.

Damar dan Bagi saling pandang. Dengan satu hentakan kuat, beton di dalam tanah retak. Beberapa kali gerakan tersebut dilakukan oleh Damar.

Beberapa menit kemudian mereka teriak histeris.

Agia dan Stevina mendekat.

Lalu ikut berteriak.

Sebuah kerangka tangan manusia menyembul sedikit dari balik tanah.

***

Terpopuler

Comments

Bambang Setyo

Bambang Setyo

Itu kuburan asih bukan ya..

2023-04-25

0

Sekar Sekar

Sekar Sekar

jasat asih
mngkin asih menjalin hub dngan dosen fak pariwisata yg suka kasih makanan itu

2022-06-08

0

Else Widiawati

Else Widiawati

ternyata asih dikubur disitu yah thor??, ato mayat siapa?

2022-05-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!