Hazel berdiri di depan pagar rumah bercat merah itu. Walaupun mbok Darmi melarangnya, tetapi ia tidak bisa berhenti begitu saja.
Hanya harapan ini yang ia punya, hanya ini yang tersisa. Walau harus mengorbankan seluruh harga dirinya, ia tidak akan menyerah.
Seorang lelaki paruh baya keluar dari rumah itu, dengan seragam kerjanya ia mulai memasuki mobil sedan berwarna silver itu.
Saat mobil itu keluar dari perkarangan rumah, Hazel berlari ke arah mobil itu. Mencoba menyetop laju mobil itu.
Seorang lelaki gagah keluar dari dalam mobil, melihat Hazel dengan segala amarahnya.
"Apa yang kamu lakukan? Kamu mau mati?" tanya lelaki itu ketus.
"Bang, kasih aku kesempatan. Aku ingin bicara dengan Ayah," pinta Hazel lembut.
"Ayah? Siapa yang kamu panggil Ayah?" tanya lelaki itu.
"Bang, aku mohon. Bantulah aku, mohon izinkan aku bicara sama Ayah."
Lelaki itu mendacakan tangannya di pinggang, membuang pandangan ke sisi kosong.
"Ikram! Ada apa ini? Cepatlah sedikit, Ayah masih harus piket." Lelaki paruh baya itu menurunkan kaca jendelanya.
Melihat lelaki itu, Hazel langsung berlari mendekati pintu mobil. Mengetuk kaca jendelanya.
"Ayah, aku mohon. Kasih aku kesempatan untuk bicara," pinta Hazel lembut.
Lelaki paruh baya itu hanya memandang kosong ke depan. Tidak menggubris sedikitpun panggilan Hazel.
"Ayah, kumohon dengarkan aku. Aku mohon Ayah," pinta Hazel melas.
"Jangan panggil saya seperti itu. Dulu saya sempat menaruh kasih padamu. Tetapi sampai kamu menghilangkan anak sulung saya, kamu bukan lagi menantu keluarga ini. Hazel, saya tahu kamu ingin apa? Saat ini saya benar-benar sadar, saya menyesal karena telah membelamu dulu."
"Ayah, dengarkan aku dulu. Ayah salahpaham, aku tidak seburuk itu."
"Ikram, ayo pergi. Ayah tidak ada waktu mendengarkan celoteh wanita ini," perintah lelaki itu tanpa menoleh sedikitpun ke arah Hazel.
Lelaki muda itu mengangguk dan menginjak pedal rem dengan kuat. Melajukan mobil dengan kencang, tidak mempedulikan wanita yang berusaha mengetuk pintu mobil mereka.
Berlari mengejar rasa iba mereka, namun terkadang hati bisa lebih keras dari baja. Bisa berbuat lebih kejam dari serigala.
Hazel mengambil napas dengan memburu kencang saat laju mobil itu tidak lagi terkejar. Mengusap wajah dengan kasar, kembali menatap rumah bercat merah itu.
Ia hanya ingin memperjuangkan anaknya, apakah dia salah jika harus mengemis dengan cara seperti ini?
Perlahan Hazel berjalan memasuki perkarangan rumah itu. Menemui wanita paruh baya yang sedang duduk dengan segelas teh di sebelahnya.
"Ngapain lagi kamu ke sini?" tanya wanita itu ketus.
Hazel langsung bersimpuh di bawah kaki wanita itu. Memeluk betis wanita yang pernah melahirkan suaminya dulu.
"Ma, aku mohon. Berikan aku sertifikat rumah itu."
Wanita itu tersenyum sinis, ia mengangkat kakinya dengan sedikit kasar.
"Hanya demi harta, bahkan harga diripun tidak lagi kamu pedulikannya? Dasar wanita serakah!"
"Terserah Mama mau mengatakan aku apa. Tapi setelah Mama puas memaki aku, mohon berikan sertifikat rumah itu, Ma. Aku mohon," pinta Hazel mengiba.
"Hem, jangan mimpi! Sekarang pergi kamu dari sini!" Wanita itu bangkit dan menghempaskan betisnya yang di peluk oleh Hazel.
Memasuki rumahnya dan menutup daun pintu dengan keras.
Sedikit terkejut, Hazel memejamkan matanya saat mendengar dentuman keras itu. Seperti hatinya yang terbanting kuat, kini kepingan itu hancur tanpa sisa.
Hazel bangkit dari teras rumah itu perlahan. Berjalan sempoyongan meninggalkan rumah berwarna merah-biru itu.
Sesekali tangisan Hazel pecah, ia tidak lagi peduli saat ini berada di mana. Mau di tengah jalan atau di tengah keramaian sekalipun.
Rasanya kaki ia sudah tidak sanggup lagi berdiri. Menahan segala beban hati yang kian berat mendera. Lara tanpa asa, seperti bermimpi tanpa memejamkan mata.
"Tuhan, kumohon. Berikan aku jalan," lirih Hazel pahit.
***
Hazel meletakan tasnya di atas meja kerja dengan sedikit membanting. Ia menghidupkan komputernya, tetapi pandangannya kosong menatap layar datar itu.
Kemanapun ia memandang, dalam penglihatannya selalu tergambar wajah Surya yang sedang menahan kesakitannya.
Ia hidup, namun rasanya ingin mati saja. Bahkan walau mati sekalipun, ia masih tetap merasakan sakit, karena masih ada Surya yang ia tinggalkan di dunia kejam ini.
Perasaannya bingung, kalut, sakit dan perih. Bercampur menjadi satu. Tidak ada tempat untuk mengadu dan mengeluh, hanya bisa menikmati setiap sayatan yang terasa kian memerih setiap detiknya.
"Hazel," panggil Ferdi.
Hazel mengalihkan pandangan, setetes air menetes dari salah satu matanya.
Cepat ia menghapus dengan punggung tangan. Mencoba menyembunyikan keadaan dari atasannya itu.
"Ayo keruangan rapat. Kamu sudah menyiapkan konsep untuk majalah edisi bulan depan, kan?"
"Sudah."
"Baguslah. Saya tunggu di ruang rapat."
Hazel menganggukan kepalanya, ia menyiapkan beberapa berkas yang akan ia bawa ke dalam ruangan rapat.
Sudah ada beberapa Manager yang menunggu ia di sana. Termasuk Ardan, lelaki yang selalu berusaha untuk ia hindari. Namun juga menjadi jalan terkahirnya saat ini.
"Silahkan, Hazel. Mulai presentasenya!" perintah Ferdi lembut.
Hazel mengangguk, ia mulai menampilkan konsep yang ia buat beberapa hari ini. Walaupun pikirannya terus bercabang oleh Surya. Tetapi ia tetap harus bekerja. Setidaknya inilah satu-satunya pemasukannya yang bisa ia dapatkan ini.
Setelah melakukan presentase selama empat puluh lima menit. Hazel menutup presentasenya, diakhiri applause dari para peserta rapat yang lainnya.
"Bagus, saya suka idenya," puji Ferdi sembari memberikan applause untuk wanita itu.
"Ardan, ada yang ingin kamu tambahkan?" tanya Ferdi melirik ke arah Ardan.
Lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya, memainkan pena di jari tangannya.
"Baiklah, kalau begitu rapat berkahir sampai di sini. Terima kasih, Hazel," ucap lelaki berkacamata tipis itu mengakhiri.
Satu persatu peserta rapat meninggalkan ruangan. Hazel merapikan beberapa dokemennya dengan cepat, bersiap untuk meninggalkan ruangan itu juga.
"Hazel," panggil Ardan lembut.
"Iya, Pak."
"Taruh laporannya di atas meja saya. Kamu tunggulah di sana, saya ingin berbicara sama kamu sebentar."
"Baik." Hazel membawa dokumen itu, berjalan menuju ruangan Ardan.
Sementara Ardan masih terdiam, memandangi wanita itu memasuki ruangan miliknya. Ardan menghela napasnya, perasaannya benar-benar kacau saat ini.
Terus terang ia menjadi merasa bersalah, pernah menempatkan Hazel dalam sebuah masalah.
Ia tahu wanita itu sedang terluka, tetapi ia malah menyiram cuka di atasnya.
Ardan menghela napas dan menyandarkan bahu di kursi. Mengusap wajahnya dengan sedikit kasar.
"Sebenarnya perasaan apa ini?" tanya Ardan bingung sendiri.
.
Ardan membuka jasnya sembari berjalan mendekati Hazel. Ia mengeluarkan sebuah cek dan mulai menuliskan nominal yang diminta oleh Hazel.
Mungkin, ia tidak seharusnya bermain-main dengan wanita ini. Kali ini ia ingin membantu tanpa meminta sesuatu darinya. Iba, ada rasa yang muncul dalam hatinya saat melihat wanita itu terseduh di tengah malam saat itu.
Sedang Hazel tidak bisa berhenti memandangi wajah pria itu. Ia terus meremat kedua jemari tangannya, tidak tahu ini jalan yang terbaik atau bukan.
Tetapi yang ia tahu, hanya jalan inilah yang menyambutnya saat ini. Entah hanya sebuah jebakan atau permainan takdir yang menyakitkan.
Entahlah, saat ini berhenti juga tidak bisa.
Ia tidak punya pilihan. Surya masih membutuhkan banyak biaya, kali ini dia akan mengorbankan dirinya, bahkan walau harus terjebak seumur hidup, ia rela.
Walau harus mendengar banyak hinaan setelah ini, atau judge yang akan semakin mengoyak hati. Apapun itu, mungkin ini adalah beban seumur hidup yang harus ia jalani.
Takdir pahit yang mungkin akan berakhir luka.
"Pak," panggil Hazel lirih
"Hem," jawab Ardan tanpa memalingkan wajah.
"Saya terima," ucap Hazel lirih.
"Terima apa?" tanya Ardan masih sibuk pada cek yang ia tulis.
"Saya akan lahirkan anak untuk anda."
Seketika gerakan tangan Ardan terhenti sebelum ia sempat menyelasaikan cek itu. Ia langsung menatap Hazel yang ada di hadapannya.
"Saya ... akan lahirkan anak untuk anda. Dan anda harus berikan saya uang dua ratus juta itu. Seperti itukan perjanjiannya?"
Ardan terdiam, ia masih mencerna ucapan Hazel. Baru saja ia akan memberikan uang itu secara cuma-cuma. Kenapa saat ini wanita itu sudah menyerah?
"Kenapa?" tanya Ardan sembari meremat kertas cek itu.
"Karena saya butuh uang, dan anda butuh anak, bukan? Apa yang harus saya lakukan? Anda katakan saja, setelah itu, berikan saya uangnya."
Ardan menarik napas, tangannya terus meremat kertas itu dengan kuat. Kenapa saat ini Hazel terlihat sama saja seperti wanita serakah di luar sana? Rela menukar harga dirinya dengan uang.
"Kamu yakin?" tanya Ardan sekali lagi.
"Iya," jawab Hazel pasrah.
Ardan kembali terdiam, ia menatap wajah Hazel dengan lekat dan dalam. Saat ini dia sudah tidak lagi tertarik untuk memainkan wanita ini.
Tetapi malah semakin ingin memiliki, sebenarnya apa ini?
'Entah kenapa? Aku sama sekali tidak bahagia. Melainkan merasa terluka saat melihatnya seperti ini? Apa aku benar-benar gila? Dia, ternyata sama saja seperti wanita pada umumnya.'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 275 Episodes
Comments
Yovi Zakaria
ardan jangan salah menilai seseorang kenali jiwa hazel
2021-03-20
0
New R
next
2020-10-25
0
☠⏤͟͟͞R⚜🍾⃝ ὶʀαͩyᷞαͧyᷠυᷧͣ🏘⃝Aⁿᵘ
jangan salah paham dong Ardan...Hazel terpaksa
2020-07-09
2