Hazel merapikan barang-barang yang ada di atas meja kerjanya, setelah memastikan tak ada lagi barang yang tertinggal. Hazel mengambil surat pengunduran diri miliknya itu, menatap amplop putih itu dan menghela napasnya dengan sedikit berat.
Masih butuh banyak biaya, Surya masih sangat membutuhkan ia. Namun saat ini, ia sudah tak lagi berdaya, apa mau di kata, semua sudah menjadi seperti ini.
Hazel mengambil napasnya dan berjalan menuju ruangan Ardan. Mengetuk daun pintu ruangan General Manager itu, namun tak ada jawaban. Hazel membuka pintunya perlahan, dan benar saja. Meja Ardan masih kosong.
Dengan langkah cepat, Hazel meletakan surat pengunduran dirinya, berjalan keluar setelahnya.
"Hazel, apakah kamu menyerah lebih dahulu sebelum malu?" ledek Issabel.
Tak peduli pada ejekan rival kerjanya itu, Hazel kembali melangkah menuju mejanya. Mengambil kardus barang-barang dan keluar perlahan.
"Mbak Hazel," panggil seorang gadis muda.
"Iya, Cha," jawab Hazel menoleh.
"Mbak Hazel mau resign? Kan penjualan kita meningkat, Mbak."
"Iya, aku mau resign. Kamu bisa kan gantikan aku. Aku sudah gak bisa kerja di sini lagi," ucap Hazel lembut.
"Tapi kenapa, Mbak? Mbak kan baik-baik saja selama ini?" tanya Echa.
"Aduh, Echa, yang benar saja. Sudah lama Hazel itu selalu buat masalah, jadi jangan urusi dia, urusi saja pekerjaanmu."
"Bisa gak sih? Mbak Ibel itu gak usah ikut campur, ini masalah aku dan mbak Hazel."
"Hey, Echa siapa kamu? Beraninya melawan aku?" tanya Issabel emosi.
"Siapa mbak Ibel? Kenapa aku harus takut?" tantang Echa.
"Sudahlah Echa, ssstt ..." ucap Hazel menengahi.
"Baguslah, lebih baik Hazel itu sadar diri. Dia sudah tak lagi berharga seperti dulu," sambung Issabel sengit.
"Tutup mulutmu!" sanggah Ardan yang berjalan melewati perkumpulan Hazel dan yang lainnya.
"Hazel, ikut saya ke ruangan. Yang lain, jika kalian tak bisa memperkerjakan mulut kalian dengan baik, keluar saja!" Ardan berjalan melalui mereka.
Tanpa menoleh sedikitpun, ia terus berjalan memasuki ruangannya.
Hazel meletakan kembali kardus yang berada di tangannya, berjalan mengikuti langkah besar Ardan.
Begitu Hazel sampai di depan Ardan, Ardan merobek surat pengunduran diri Hazel dan membuangnya ke tong sampah.
"Kamu menganggap perusahaan saya tong sampah?" tanya Ardan sengit.
"Tidak, Pak," jawab Hazel menundukan pandanganya.
"Luar biasa, Hazel. Kamu sungguh luar biasa. Kamu yang berbuat kesalahan, tapi kamu yamg mengundurkan diri, dan seakan-akan mencampakan perusahaan saya?"
"Saya gak bermaksud seperti itu, Pak. Saya tahu saya salah, karena itu saya mengundurkan diri."
"Kenapa kamu memilih meninggalkan perusahaan saya? Kenapa tidak kamu tinggalkan pekerjaan di cafe itu?" tanya Ardan dengan sedikit berteriak.
Hazel terdiam, ia menundukan pandangannya ke bawah.
"Apa perusahaan saya gak bisa memberikan gaji yang lebih tinggi dari cafe tempat kamu bekerja?" tanya Ardan kembali.
Hazel hanya menggelengkan kepala, tak ingin menatap dan juga melihat Ardan yang berada di hadapannya saat ini.
"Saya tidak mengizinkan kamu untuk resign. Jadi kamu tinggalkan pekerjaan di cafe itu."
"Tidak bisakah saya tetap bekerja di cafe itu, Pak? Saya akan bekerja lebih baik lagi."
"Kenapa saya harus memberikan pengecualian terhadap kamu, Hazel? Apa karena saya memperhatikan kamu, jadi kamu pikir kamu penting buat saya?" tanya Ardan angkuh.
"Apa?" Hazel mendongakan kepalanya seketika, saat mendengar pernyataan Ardan.
Ardan langsung menutup mulutnya, ia kelepasan berbicara.
"Saya tidak pernah merasa kalau Bapak memperhatikan saya. Saya hanya meminta izin, jika Bapak tidak mengizinkan saya resign, bisakah Bapak juga tidak menyuruh saya berhenti kerja di cafe?"
"Tidak! Kamu harus berhenti bekerja di cafe," sanggah Ardan ketus.
"Jika saya tidak mau?"
"Hazel, kamu bekerja di perusahaan saya, jadi kamu harus dengarkan saya!"
"Jika saya tidak mendengarkan Bapak, apa Bapak akan memecat saya?"
"Tidak!" sanggah Ardan keras.
"Kalau begitu, terima kasih." Hazel berbalik dan meninggalkan ruangan Ardan dengan cepat.
"Apa? Kenapa berterima kasih?" tanya Ardan kesal.
"Hei ... Hazel!" panggil Ardan lantang
Namun lebih cepat Hazel keluar dari ruangan Ardan. Ardan mengambil napasnya yang memburu kencang, menahan amarahnya yang meluap karena ulah wanita itu.
"Hazel, berani sekali kamu. Lihat saja nanti, kamu akan berlutut di hadapanku." Ardan mengenggam tangannya kuat.
Matanya menatap sengit pada gadis kurus yang berada di balik kaca ruangannya itu.
Kembali mengeluarkan barang-barangnya dan menyusunnya di atas meja.
"Kita lihat saja, Hazel. Siapa yang akan lebih dulu menyerah pada cinta?" ucap Ardan dengan tersenyum sinis.
Matanya terus terfokus pada wanita di balik kaca itu. Memperhatikan tangan kurusnya yang hanya tulang terbalut kulit.
"Aku bersumpah, Hazel. Bahwa aku akan membuat suamimu menghilang dari dalam hatimu," lirih Ardan kembali.
***
Hazel menumpuhkan dagu di atas telapak tangannya. Matanya berbinar saat melihat Surya yang sedang tertidur, wajah Surya begitu manis saat ia tertidur pulas.
Wajahnya yang mirip sekali dengan Iqbal--suami Hazel, membuat ia selalu merasakan kerinduan yang dalam setiap kali memandang wajah putranya itu.
"Hazel, kamu gak berangkat kerja?" tanya mbok Darmi.
"Sebentar lagi, Mbok. Lagi enak mandangi Surya," ucap Hazel dengan tersenyum.
"Hem, Mbok tahu ini. Kalau kamu sudah mandangi Surya terus, pasti kamu kangen sama Ayahnya Surya kan?" tanya mbok Darmi menggoda.
Hazel tersenyum lebar dan menganggukan kepalanya. Ia kembali membelai lembut pipi putranya itu.
Perlahan salah satu mata Hazel meluruhkan bebannya. Membiarkan tetesan yang lain ikut membasahi pipi putih pucatnya.
"Sudah dua tahun lebih, Mbok. Tapi mas Iqbal gak pernah pulang semenjak kepergiannya yang terakhir kali."
Hazel memandangi Surya dengan lekat, perlahan bibirnya kembali tersenyum lembut.
"Kesatuan masih mengirimkan gaji mas Iqbal, tetapi aku bukanlah lagi ibu persitnya. Mas Iqbal ... dia--"
Hazel menghela napasnya, berat untuk mengakuinya. Tetapi memang itulah kenyatannya.
"Dia tidak akan pernah kembali ke sisi kita lagi, Mbok. Sudah dua tahun, aku berharap bahwa ini hanya mimpi buruk saja. Tetapi, mas Iqbal memang sudah tiada, aku rindu. Aku rindu dia, Mbok." Hazel meluruhkan genangan air matanya.
Sesaat ia terisak, menangis dalam, melepaskan beban hatinya yang kian menyesakan dada.
Mbok Darmi berjalan mendekati Hazel. Mengelus punggung belakang wanita itu dengan lembut.
"Iqbal meninggal karena tugas mulia, Sayang. Jangan disesali lagi, Iqbal akan menderita nanti."
Hazel menghapus buliran air matanya dengan punggung tangan. Bibirnya kembali tersenyum, berusaha menunjukan diri, bahwa ia masih kuat menahan segalanya sendiri.
"Kalau gitu, Mbok ke warung bentar ya, beli sabun cuci," pamit Mbok Darmi.
"Eh ... Mbok, biar aku saja yang beli, sekalian aku mau beli yang lain."
"Oh, yasudah."
Hazel menghapus sisa air mata di sudut pipinya. Kembali tersenyum sebelum keluar dari rumah mungil peninggalan suaminya itu.
Hazel berjalan dengan sedikit tersenyum, menuju warung ujung di jalan. Beberapa lelaki yang sedang bersantai di bibir jalan, menyapa Hazel saat ia melewati mereka.
Walau bagaimanapun, Hazel masih tetap menggoda dengan statusnya saat ini.
Wajah cantik dan kulit putih seputih susu. Bola mata indah dengan lentik bulu menghiasi kelopak matanya. Hidung yang mancung kecil dan lancip. Dagu yang indah dengan sedikit belahan di tengahnya dan bibir kecil yang ranum, walau tanpa riasan warna sekalipun.
Ditambah dengan umur yang masih sangat muda walau dengan satu anak yang melekat pada jati dirinya.
"Hazel, tumben keluar? Mau kemana?" sapa seorang pemuda yang sedang santai di bibir jalan.
Hazel hanya tersenyum, membalas sapaan mereka. Tak jauh berjalan, ia sampai ketempat tujuannya.
"Pak, tolong sabun cuci, kecap manis dan minyak goreng kemasan," pinta Hazel langsung, saat berada di depan warung.
"Hazel, kok tumben belanja?" tanya seorang wanita paruh baya yang sedang belanja di situ.
"Iya, biasa Mbok Darmi yang selalu belanja," sambung salah satu yang lainnya.
"Oh, Mbok Darmi lagi jagain Surya di rumah," jawab Hazel dengan tersenyum lembut.
"Hazel kamu kerja apa sih? Kok tiap malam pulangnya larut sekali?"
"Aku kerja di cafe," jawab Hazel lembut.
"Bener hanya kerja di cafe? Gak kerja yang lainnya juga?" tanya Ibu itu kembali.
"Hazel, kamu gak kerja yang macam-macam kan? Kamu gak kerja yang aneh-aneh kan?"
"Insha Allah, saya kerja halal," jawab Hazel sendu.
"Halal menurut kamu, atau halal menurut agama?" sambung yang lainnya lagi.
Hazel menghela napasnya, ia tidak ingin menjawab. Percuma menjelaskan pada mereka yang selalu menjudge orang lebih dulu.
"Jangan-jangan ... Surya sakit begitu karena dia gak sanggup nangung dosa kamu lagi? Secara Ibunya pulang malam setiap hari."
Hazel memejamkan kelopak matanya saat mendengar ucapan pahit itu. Entah kenapa, sakit sekali, saat mereka membawa-bawa Surya. Surya adalah anugerah, bukan penembusan dosa.
Ia masih bisa menahannya saat dirinya difitnah. Namun jika Surya yang menanggungnya, bukankah itu tidak adil buat Surya?
"Berapa, Pak?" tanya Hazel saat barang belanjaannya sudah selesai dikemas.
"Hazel, apa kamu beli barang itu uang dari lelaki yang naik mobil itu?"
"Aku beli ini pakai hasil keringat sendiri, dan lelaki yang kalian bilang itu, aku sama sekali gak kenal."
"Alah, yang benar? Beberapa kali mobil lelaki datang, mereka sering bertanya tentangmu, masuk kedaerah sini, kalau bukan mereka pacar kamu, siapa lagi?"
Hazel hanya terdiam, ia tak ingin menjawab dan memperdebatkan. Saat ini, ia hanyalah melakukan segala sesuatunya dengan baik dan benar. Tak pernah berpikir untuk mencari jalan pintas, walau rintangan hidupnya tak pernah berakhir.
Setelah membayar sejumlah uang, Hazel beranjak pergi meninggalkan warung itu.
"Hazel, kamu sudah punya pacar kaya. Jadi jangan suka tebar pesona sama suami orang lagi ya. Malu sama almarhum suamimu yang pernah berjuang keras demi kamu."
Hazel menghela napasnya yang terasa sangat menyengal di dada. Ia kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti karena ucapan ibi-ibu tadi.
Semenjak status janda itu ia sandang, tak pernah habis cercaan dan fitnah yang menyerang dirinya. Menjadi janda dan menjadi ibu dari penderita Syndrom angelman, bukanlah pilihannya. Namun semua ini kehendak Tuhan.
Kenapa saat ini, ia seperti orang yang terkena kutukan dan selalu dikucilkan?
Bukan Hazel yang meminta, bukan Hazel yang mau.
Menjadi janda di usia muda, bukan ia yang mau. Jika ia bisa memilih, ia akan memilih untuk menjadi istri dari suaminya.
Hidup bersama dengan lelaki yang ia cintai. Berbagi beban dan bisa berkeluh kesah. Ada tempat untuk ia bersandar di kala lelah melanda.
Tidak seperti saat ini, sendiri menghadapi segalanya. Menahan derita, dan menanggung semua ucapan pahit dari para tetangga.
Dengan sedikit berlari Hazel kembali kerumahanya. Ia mengangkat tubuh lemah putranya yang baru terbangun dari tidur.
"Surya, kesayangan Ayah dan Bunda. Sudah bangun." Hazel menggendong badan putra semata wayangnya itu.
Memeluk seeratnya, mata Hazel terpejam, namun air mata terus mengalir dari mata letihnya.
Perasaan gagal kembali menghinggapi pikiran Hazel. Gagal telah menjadi ibu yang baik untuk Surya, gagal karena telah melahirkan Surya dalam penderitaan seperti ini.
Hazel terduduk di atas sofa, jemarinya lembut mengelus kulit Surya. Kembali air mata membanjiri pipinya.
"Surya, maafin Bunda. Maaf, seandainya Bunda tak melahirkanmu seperti ini, pasti kamu tidak akan menderita, Nak," ucap Hazel sendu.
"Maaf, maaf karena Bunda melahirkanmu seperti ini." Hazel memeluk badan Surya erat. Tubuh lemahnya bergetar karena menahan isakan yang semakin pecah.
"Maaf karena kamu harus lahir dari rahim Bunda, dan harus menerima ini semua."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 275 Episodes
Comments
Dirah Guak Kui
knp tdk pindah saja dari tempat tinggalnya,
atau terus terang aja ditempat kerjanya bahwa dia butuh uang yg banyak karna punya anak yg begitu
2021-08-12
0
Noor
sukses bikin mewekkk 😭😭
like mendarat lagi kak...
2021-01-18
0
Ratih Tiyawan
kuat terus hazel.. km wanita tangguh.. baru bab brp udah menyayat hati sih thor.. jahara deh bikin mewek dari awal 😢😢😢
2021-01-18
0