Hazel berlari secepat yang ia bisa, memasuki koridor rumah sakit. Menyusuri lorong panjang menuju ruang terapi putra semata wayangnya itu.
Hazel menarik napasnya dengan memburu kencang, bibirnya melengkung dengan lebar saat melihat mbok Darmi dan Surya sedang duduk di kursi penunggu.
"Mbok," panggil Hazel lembut.
"Hazel, si Mbok pikir kamu gak jadi datang."
"Kalau aku bilang datang ya pasti akan datang. Sini Surya sama aku, Mbok." Hazel menarik badan putranya itu dari dekapan mbok Darmi.
Menciumi Surya dengan membabi buta.
"Bunda datang, Sayang. Kamu senang gak terapi sama Bunda? Hem?" Hazel melebarkan bibirnya, mengenggam jemari mungil Surya.
Seorang perawat datang, memanggil mereka untuk masuk ke dalam.
Seorang Dokter di dalam sini mengernyitkan dahinya, tumben sekali Hazel menenami putranya menjalani terapi.
"Apa hari ini matahari terbit dari selatan?" tanya Dokter itu setengah bercanda.
"Sejak kapan Dok, ada istilah matahari terbit dari selatan?" tanya Hazel kembali.
"Surya, tumben sekali Bundamu ada di sini. Apa dia sudah tidak tertarik lagi pada uang?"
"Sesibuk apapun aku saat ini, Surya tetaplah prioritasku, Dok."
"Saya hanya bercanda, ayo kita mulai terapinya."
Hazel menganggukan kepalanya, menyiapkan Surya untuk menjalani terapi perkembangannya.
Sepanjang berjalannya terapi, bibir Hazel terus melengkung dengan lebar. Memperhatikan perkembangan si kecil yang sedikit lebih baik dari sebelumnya.
Dokter Pedro mengurut lembut telapak kaki Surya, terlihat Surya yang mulai merengek karena pergerakan tangan Dokter Pedro.
Hazel mengelus lembut kepala Surya, menenangkan Surya yang mulai menangis karena gerakan Dokter Pedro mungkin cukup sakit buat Surya.
"Cukup hari ini, ya," ucap Dokter Pedro menyudahi terapinya.
Hazel mengangkat badan Surya dan memberikannya ke mbok Darmi.
"Dok, bisa kita bicara sebentar?"
"Baik," Dokter Pedro berjalan ke mejanya dan mempersilahkan Hazel untuk duduk di depannya.
"Ada apa, Hazel?"
"Saya mau bertanya soal brace kaki yang hari itu Dokter katakan pada mbok Darmi," ucap Hazel lembut.
"Saya sudah menjelaskan ini pada mbok Darmi. Karena menurut pemeriksaan terkahir, terjadi genu valgum pada kaki Surya. Saya menyarankan agar dia memakai brace kaki, tetapi kalau kamu hanya mengandalkan fisioterapi, itu juga tidak masalah. Perlahan, Surya pasti bisa berjalan."
"Genu valgum?"
"Bentuk kaki X, ini terlihat dari kaki Surya yang mulai membengkok. Tetapi saya akan berusaha untuk memaksimalkan efek fisioterapi Surya."
Hazel menghela napasnya, ia mengalingkan pandangannya ke arah Surya.
Ia tidak tega melihat mbok Darmi yang harus menggendong Surya setiap saat. Lebih tidak tega lagi jika harus membiarkan Surya terbaring lebih lama lagi.
Hazel menyentuh sudut dahinya, ia kembali pada Dokter Pedro yang duduk berseberangan meja dengannya.
"Bisakah Dokter menyiapkan brace kakinya?"
"Hazel, jangan dipaksakan. Surya masih bisa menunggu sedikit lebih lama."
"Aku yang tidak sanggup membiarkan Surya seperti itu lebih lama lagi, Dok."
Dokter Pedro tersenyum dan menganggukan kepalanya.
"Baiklah." Dokter Pedro menyentuh punggung tangan Hazel.
Hazel menggeser tangannya, tersenyum kaku saat mendapati perlakuan Dokter itu.
"Kamu masih belum pikirkan tentang lamaran saya?" tanya Dokter Pedro.
"Saya sudah katakan Dokter, saya hanya ingin bersama Surya saat ini. Sekali lagi, maaf."
"Tetapi Surya juga bisa dapatkan perawatan yang baik, saat saya bisa menjadi Ayah sambungnya."
"Maaf, Dokter. Maaf," jawab Hazel lirih.
Dokter Pedro menganggukan kepalanya, tersenyum lembut sembari memandamgi wajah Hazel.
Sudah setahun ini dia mengejar Hazel, namun sikap Hazel masih tetap dingin padanya. Entah apa yang Hazel pikirkan, tapi menurutnya, lebih baik seperti ini.
Meski menjadi janda adalah kenyataan pahit, belum tentu setelah menikah kehidupannya bisa menjadi lebih baik. Apalagi saat ini ia memiliki seorang putra seperti Surya.
Saat sebelum menikah, mereka bisa bilang mau menerimanya. Tetapi hati manusia siapa yang tahu?
Surya bisa menjadi aib bagi orang yang tak menginginkannya. Daripada Surya tersakiti, menahan rasa sepi lebih baik untuk dijalani.
***
Ardan meraih ponselnya yang berdering di atas dashboard mobil, ia menghela napas saat melihat nama penelpon itu.
Ardan kembali meletakan ponselnya, memgacuhkan begitu saja. Tetapi panggilan itu terus berulang.
Ia menepikan mobilnya, menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan dengan nama 'Presdir' itu.
"Apa.yang sedang kamu lakukan? Kenapa tidak mengangkat panggilan dari Papa?" tanya seorang lelaki di seberang sana.
"Saya sedang di jalan dan menyetir mobil pak Presdir yang terhormat."
"Oh, begitu."
"Ada apa Papa menelponku?" tanya Ardan langsung.
"Papa sudah mendapatkan laporan bulan ini dari perusahaan Green Kosmetik."
"Lalu?" tanya Ardan malas.
"Kamu sudah bekerja keras selama sebulan ini, Ardan. Pulanglah ke rumah. Mama sangat merindukanmu, dia ingin memasakan makanan kesukaanmu."
Ardan menghela napasnya, duduk menyandarkan bahu pada jok mobilnya.
"Katakan Papa ingin aku ke mana lagi?" tanya Ardan langsung.
Terdengar suara kekehan di seberang sana, Ardan memutar bola matanya dengan malas. Sebagai anak tertua di keluarganya, ia terus terbebani oleh permasalahan dari perusahaan yang dibangun oleh Papanya tersebut.
Tanpa sengaja mata Ardan menangkap sosok yang membuat moodnya berantakan hari ini.
Hazel berjalan memasuki taman dengan Surya dan mbok Darmi. Membeli beberapa balon sebelum masuk ke taman itu.
Ardan melepaskan seatbeltnya, mengikuti langkah Hazel yang memasuki taman pusat kota.
Perhatiannya teralih, ia tidak mendengarkan dengan jelas lagi apa yang diucapkan sang Papa dari seberang sana.
"Ardan, kamu masih di sana?"
"Ya, aku di sini," jawab Ardan mengikuti langkah Hazel.
"Jadi, apa kamu akan pulang ke ibukota?" tanya lelaki itu kembali.
"Ada masalah apa? Kali ini siapa yang membuat masalah?" tanya Ardan malas.
"Kamu memang terlalu pintar, Ardan. Tidak salah jika kamu menjadi anak sulung keluarga kita."
"Kenapa basa-basi sekali?"
"Ha ha ha, kamu ini, Ardan, santailah sedikit. Papa dengar, Arfan mencarikan calon istri buatmu, bagaimana? Apa Papa harus lamarkan dia segera?"
Ardan menghela napasnya, langkahnya terhenti saat mendengar ucapan sang papa.
"Tiga," ucap Ardan kesal.
"Baiklah, baiklah. Jangan hitung waktunya. Kamu seperti anak kecil saja."
"Dua."
"Perusahaan yang dikelola oleh adikmu, Arfi. Mengalami kemunduran drastis, datanglah ke sana untuk mengajarinya."
"Aku tidak mau!" tolak Ardan sembari melanjutkan langkahnya kembali. Mengikuti Hazel yang terus berjalan memutari taman.
"Kenapa?"
"Biarkan Arfi mengurus masalahnya sendiri. Aku ingin mengembangkan perusahaan Green kosmetik dulu."
"Tapi, Ardan--"
"Arfi memiliki perusahaannya sendiri, begitu juga dengan Arfan. Sampai kapan Papa ingin aku membantu mereka semua? Aku juga ingin menetap dan mengurus perusahaanku sendiri. Dan aku sudah memutuskan untuk menetap di Green Kosmetik."
"Kenapa Green Kosmetik? Kamu bisa kelolah perusahaan yang lebih besar, Ardan. Bantulah dulu adikmu, Papa akan jadikam kamu CEO di kantor utama kita."
"Tidak perlu, General Manager saja sudah cukup buatku."
"Kenapa cepat sekali menolaknya, pulanglah dulu ke ibukota. Kita bahas ini dengan santai di rumah."
"Aku tidak punya waktu," jawab Ardan cepat.
"Haish, Ardan. Kenapa susah sekali bernegosiasi denganmu?"
"Sudah tahu? Kalau begitu jangan cari aku lagi."
Terdengar helaan napas panjang di seberang sana.
"Ardan, Papa mohon bantu dia kali ini saja?" pinta lelaki itu lembut.
"Biarkan Arfi mengurusnya sendiri. Cepat atau lambat, dia harus bisa.menjalani perusahaannya sendiri."
"Tetapi dewan direksi sudah tidak sabar lagi. Mereka meminta kamu untuk mengambil alih perusahaan, Ardan. Jika tidak, mereka bisa menarik sahamnya."
Ardan menghela napas, ia menumpuhkan sebelah bahunya di batang pohon. Memandangi Hazel yang duduk di rumput dan bermain bersama putranya itu.
Perlahan bibir Hazel melengkung dengan lebar, menampilkan lesung di kedua pipinya. Bermain dengan balon-balon untuk menghibur putranya.
Sesaat Ardan terdiam, sudah sebulan dia menginjakan kaki di anak perusahaan, tetapi baru kali ini dia melihat Hazel tersenyum lebar.
Semakin terlihat mempesona dengan lesung pipi yang menghiasi manis senyumnya.
Kenapa Hazel bisa begitu menghipnotisnya? Ia seperti hilang kendali saat melihat wanita itu berada dalam pandangannya.
"Cantik sekali," lirih Ardan tanpa sadar.
"Ardan! Kamu mendengarkan?" teriak lelaki itu mengembalikan kesadaran Ardan.
"Eh, maaf Presdir. Anda bilang apa?"
"Bantulah adikmu kali ini saja. Jika kamu tidak ingin membantunya, Papa takut dewan direksi akan mengganti dia sebagai direktur utama."
"Baiklah, aku akan bantu kali ini saja. Tetapi setelah itu aku akan kembali ke Green Kosmetik tanpa gangguan lagi. Dan Green Kosmetik, akan berada di bawah kendaliku sepenuhnya."
"Baiklah, jika itu maumu."
Ardan mematikan ponselnya, ia kembali melihat ke arah Hazel. Bibirnya ikut tersenyum saat ia melihat wanita itu tersenyum dan tertawa lepas.
Sesekali suara jeritannya terdengar, membuat Ardan tenang untuk meninggalkannya sementara.
Ia terlihat begiti bahagia saat bermain bersama buah hatinya.
"Untuk pertama kalinya, kamu terlihat begitu bahagia, Hazel. Aku harap, aku bisa melihat senyum itu setelah aku kembali, nanti."
Ardan melangkahkan kakinya, keluar dari perkarangan taman kota. Melajukan mobilnya dengan kencang, menuju Ibukota.
Kembali pada kekehidupan yang sebelumnya. Menjadi ujung tombak untuk usaha keluarganya. Atau lebih tepatnya, tumbal atas kesalahan adik-adiknya yang harus ia bersihkan dengan mempertaruhkan namanya.
Hazel memalingkan pandangannya, menyisir area sekitar taman. Matanya menatap satu persatu pengunjung yang ada di sana.
Setelah melihat ke beberapa arah, Hazel tersenyum getir. Ia menggelengkan kepala, bingung oleh perasaannya kali ini.
'Kenapa aku merasa, kalau lelaki itu ada di sini?' tanya Hazel dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 275 Episodes
Comments
Dirah Guak Kui
wah Ardan bakalan pergi utk sementara dong
2021-08-12
1
New R
mulai ada feel...
2020-10-25
1
sonya perina
kpan up nya mba. izaa
2020-07-01
0