"Bagaimana semua paham?" tanya Ardan, bangkit dari kursi.
"Paham, Pak," jawab peserta rapat serentak.
"Saya berharap perusahaan ini akan semakin meningkat saat di bawah kendali saya. Mohon bantuan dan kerja samanya," ucap Ardan mengakhiri rapat perdana, semenjak ia menjabat sebagai GM di anak perusahaan milik keluarganya.
"Pak Derik," panggil Ardan saat melihat Derik yang ingin berjalan keluar dari ruang rapat.
"Saya, Pak Ardan," jawab Derik sambil menundukan pandangannya.
"Bisa kita bicara sebentar."
"Baik, Pak," jawab Derik sambil membuang bokongnya kembali ke kursi.
"Langsung terus terang saja ya, Pak Derik. Jadi saya berharap Pak Derik bisa bekerja lebih keras, karena jabatan yang pak Derik tempati saat ini adalah jabatan yang sangat penting di perusahaan ini," ucap Ardan tegas.
"Pak Derik tahu kan, divisi promosi adalah ujung tombak perusahaan ini. Jadi saya harap, Pak Derik bisa paham apa yang saya maksud," sambung Ardan kembali, tegas.
"Baik, Pak. Saya paham," ucap Derik sambil menundukan pandangannya.
"Baiklah, kalau begitu Pak Derik bisa keluar sekarang."
"Saya permisi, Pak."
Ardan hanya mengangguk pasrah, sesaat setelah Derik keluar Ardan menghela napasnya. Ia menyandarkan kepalanya ke belakang sisi kursi.
Mata Ardan menerawang jauh ke langit-langit kantor. Semenjak pertama kali ia bertemu dengan Hazel, bayangan Hazel terus bermain di pelupuk matanya.
Ardan tersenyum getir dan menggeleng pasrah. Menertawai dirinya yang telah terpaut oleh istri orang.
"Konyol sekali kamu Ardan, sekali ada yang mampu menarik perhatianmu, malah istri orang. Bodoh!" ucap Ardan sambil tersenyum simpul.
****
"Hazel, saya mohon sama kamu. Jangan buat ulah lagi, kalau kamu gak bisa lagi saya andalkan. Siap-siap angkat kaki dari perusahaan ini!" ancam Derik di depan wajah Hazel.
"Baik, Pak," jawab Hazel bersalah.
"Sekarang tugas kita adalah buat promosi sebaik mungkin, buat promosi yang akan menarik banyak customer untuk percaya sama produk kita," ucap Derik ke seluruh divisi yang berada di bawah kendalinya.
"Paham semua?!"
"Paham, Pak!" jawab seluruh karyawan divisi promosi serentak.
"Kalau begitu, semangat. Ayo mulai kerja!" sambung Derik tegas.
"Hazel."
"Iya, Pak."
"Kali ini kamu bertugas di lapangan. Buat perusahaan kita kebanjiran costumer, seperti awal kamu bergabung disini."
"Tapi, saya--"
"Ingat Hazel, kalau bukan karena kinerja pertama kamu yang luar biasa. Kamu sudah saya keluarkan dari divisi ini," putus Derik mengingatkan Hazel.
"Baik, Pak," jawab Hazel lemas.
Setelah Derik pergi meninggalkan ruang divisi, Hazel menghela napasnya lemas. Hazel terduduk lemas di kursinya, memegang sudut dahinya yang mulai cenutan karena pekerjaannya kali ini.
Dua setengah tahun yang lalu, keadaan Surya belum seburuk ini. Hazel mampu menjual banyak produk kosmetik karena penampilannya yang masih sangat cantik dan segar.
Saat itu Hazel masih baru memasuki perusahaan ini. Karena kinerja yang sangat bagus saat itu, posisi Hazel masih aman sampai sekarang. Karena Hazel yang dianggap berpotensi di bidang pemasaran.
Tapi saat ini, keadaan Hazel sudah sangat berbeda. Hazel terlalu sibuk bekerja dan tak lagi peduli pada penampilannya. Jangankan untuk perawatan dirinya, terkadang kapan terakhir kali ia makan saja, Hazel lupa.
"Aku yakin, kali ini Dewi Fortuna gak lagi berpihak pada Hazel," celetuk salah satu karyawati di divisi Hazel.
"Ya, saat ini Dewi Hazel sudah lusuh dan tak cantik lagi. Bagaikan sayur layu yang terinjak," sambung Issabell, saingan sengit Hazel.
"Benar banget tuh, dulu Hazel adalah primadona divisi, sekarang Hazel malah jadi biang kerok yang selalu mengancam posisi pak Derik," sambung Hanny, teman seperjuangan Issabell.
"Aku yakin, setelah ini posisi Hazel akan tergeser. Jangan terlalu sombong jadi perempuan Hazelku, Sayang," sambung Issabell dengan senyum sinisnya.
Sementara Hazel hanya tersenyum getir, kembali bekerja di balik meja kerjanya. Saat ini bukan omongan mereka yang jadi beban pikiran Hazel. Jika dia harus menjadi pekerja lapangan, maka sabtu dan minggu ia masih harus bekerja ekstra.
Demi penjualan yang mencapai target, Hazel harus bekerja ekstra. Kalau seperti ini, maka waktunya untuk menemani Surya terapi juga akan berkurang.
Hazel berlari menuju rumah sederhana, sesekali ia melirik jam di tangannya. Sudah hampir jam 5 sore. Karena menyiapkan konsep penjualan ia menjadi telat, dan harus berlari saat pulang seperti ini.
"Assalamualaikum," ucap Hazel berlari masuk kedalam rumahnya.
"Waalaikum salam," jawab mbok Darmi keluar dari kamar Surya.
Secepat kilat Hazel berlari ke kamar mandi. Membuka pakaiannya dan membasuh tubuhnya dengan air. Setelah selesai memakai bajunya, Hazel menarik segelas air dan menengguknya sampai habis.
Sebelum keluar dari rumah, Hazel mengecup wajah Surya beberapa kali.
"Mbok, aku sudah hampir telat ini. Aku berangkat dulu ya, Mbok," pamit Hazel sambil berlari keluar.
Hazel mengeluarkan sepeda bututnya, dengan sisa tenaganya, ia mengkayuh sepeda itu menuju cafe yang agak jauh dari rumahnya.
Dengan cepat Hazel memarkirkan sepedanya di parkiran cafe. Secepat kilat Hazel berlari ke belakang dan memulai pekerjaannya sebagai cleaning service di salah satu cafe mewah di kotanya.
Hazel menghela napasnya, ia terduduk lemas di salah satu kursi di belakang cafe. Lelah dan juga letih, selama dua setengah tahun ini, Hazel banting tulang sekuat tenaga demi pengobatan Surya. Walaupun saat ini belum ada obat yang bisa menyembuhkan Surya sepenuhnya.
****
Pagi itu, Hazel membereskan sarapan pagi di atas meja. Dengan senyum yang sumringah, Hazel menata makanan di atas meja sederhana milik mereka.
"Hazel, kamu pagi-pagi sudah siap masak. Kenapa gak banguni si Mbok saja?"
"He he, si Mbok dibawa Mas Iqbal pulang kerumah ini kan sebagai teman aku saat mas Iqbal tugas. Bukan jadi pembantu kan," ucap Hazel dengan senyum yang merekah lebar.
"Kamu dan Iqbal memang orang-orang baik. Mbok gak tahu jika saat itu Iqbal tidak menyelamatkan si Mbok, entah jadi apa si Mbok ini."
Hazel hanya menggulum senyumnya, ia masih sibuk dengan pekerjaannya di dapur.
Mbok Darmi memang bukan asisten rumah tangga mereka. Mbok Darmi adalah seorang ibu yang kehilangan anaknya saat perang perbatasan beberapa waktu lalu.
Saat itu, Iqbal yang menjadi tentara perbatasana menyelamatkan Mbok Darmi dari pemberontakan masyarakat setempat. Saat Iqbal pulang tugas, Iqbal membawa serta Mbok Darmi yang menjadi sebatang kara semenjak putra tunggalnya meninggal di tangan pemberontak.
Mbok Darmi di bawa Iqbal untuk menenami Hazel yang sering kali ia tinggal tugas sendiri.
"Mbok, ayo sarapan duluan, aku mau lihat Surya dulu ya," ucap Hazel berlalu ke kemar sederhana mereka.
Dengan senyum sumringah Hazel mengajak Surya bermain. Saat itu Hazel tak menyadari, keadaan Surya yang selalu gembira dan sering tersenyum sepanjang hari adalah awal dari gejala Syndrome Angelman.
Hazel hanya mengira jika Surya hanya bermain layaknya bayi biasa saja. Sampai umur Surya mencapai 6 bulan, gejala lain mulai terlihat.
Kepala Surya yang mulai kelihatan peyang, dan keterlambatan dalam perkembangan. Rambut, kulit dan mata Surya yang kelihatan lebih terang dari bayi yang lainnya.
"Hazel," panggil seorang teman kerja, membuyarkan penggalan masa kelam yang sempat terlintas di pikiranya.
Hazel bangkit dan menghapus buliran airmata yang sempat menghiasi sudut matanya.
"Kamu nangis Hazel?" tanya Rania, teman seperkerjaan Hazel.
"Aku hanya mengantuk Rania. Aku hanya lelah sekali hari ini," ucap Hazel menutupi keadaannya.
"Yasudah, ini sudah jam pulang. Ayo pulang bareng aku," ajak Rania.
"Hem." Hazel mengangguk dan mulai beranjak dari duduknya.
Membereskan barang-barangnya. Keluar bersamaan dengan Rania. Gadis cantik yang sering masuk shift malam karena siang harinya, ia masih harus aktif kuliah.
Sampai di perempatan jalan Hazel dan Rania berpisah. Hazel mendorong sepedanya menembus dinginnya dini hari malam, melewati jalanan kampung tempat ia tinggal.
"Hazel, baru pulang?" tanya salah seorang penjaga pos di kampung Hazel.
"Iya, Pak," jawab Hazel dengan senyum letihnya.
"Kamu memang wanita tangguh ya Hazel. Hebat kamu," puji seorang yang lainnya.
Hazel hanya mengumbar senyumnya, ia kembali melanjutkan perjalanannya menembus jalanan gelap tengah malam.
"Assalamuailaikum," ucap Hazel saat membuka pintu rumah sederhananya.
Tak ada jawaban dari Mbok Darmi, seperti biasa, mbok Darmi pasti sudah tertidur setelah seharian menjaga Surya yang selalu aktif luar biasa.
Hazel membasuh tubuh letihnya, sebelum ia tidur, Hazel memeluk dan mencium Surya yang saat ini sedang tertidur pulas.
"Sehat terus anak Bunda, demi kamu, Bunda akan selalu berdiri tegak, melawan dunia yang kejam ini." Hazel menghujani ciuman di seluruh badan Surya. Saat ini, jika bukan karena Surya, mungkin Hazel sudah menyerah pada kerasnya dunia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 275 Episodes
Comments
Dirah Guak Kui
Thor papanya Surya kmn?
2021-08-04
2
Wanita Tangguh27
hallo ka... aku mampir nih mampir juga yu k ceritaku
2021-01-18
1
Nuri Ning
😭😭😭
2021-01-18
0