17

Sesaat Hazel terdiam, memandangi wajah lelaki angkuh yang ada di depannya itu. Hazel menggelengkan kepalanya dan tertawa getir.

"Maksud anda? Saya harus menjadi mesin pencetak anak untuk anda?" tanya Hazel sinis.

"Tidak seperti itu juga. Saya hanya ingin satu orang anak dan kamu butuh uang yang banyak. Bukannya kita sama-sama saling membutuhkan?" tanya Ardan enteng.

Hazel tersenyum getir, memandangi wajah Ardan dengan mata yang semakin memerah menahan amarah. Bagaimana mungkin dia sanggup mengatakan itu semua dengan sangat mudah?

Apakah melahirkan seorang anak itu sama seperti membuat kue?

"Anda pikir saya ini manusia seperti apa? Anda pikir saya ini seorang wanita penjual anak? Saya memproduksi anak, lalu saya jual pada orang kaya seperti anda?" tanya Hazel geram.

"Hazel, saya tidak mengatakan seperti itu. Saya akan menikahimu dulu sebelum meminta anak darimu. Jadi saya tidak berpikir bahwa kamu menjual anak pada saya."

Hazel tertawa getir, ia menghapus sudut matanya yang berair.

"Anda menikahi saya hanya karena anda ingin seorang anak, kan? Anda pikir pernikahan itu apa? Pengikat perjanjian jual beli anak?"

Hazel menangkupkan tangannya di depan dahi. Ia tidak habis pikir kenapa bisa terjebak pada situasi rumit seperti ini.

Hazel menghela napasnya, kembali menatap Ardan yang berada di depannya.

"Maaf saya menganggu waktu anda. Tapi soal permohonan pinjaman saya, maaf. Saya tarik kembali," ucap Hazel geram.

Hazel membalikan badan dan keluar dari ruangan itu dengan sedikit kesal. Ia berlari keluar dari gedung perusahaan itu dengan sesekali menyeka matanya.

Kenapa harus seperti ini? Ia rela melakukan apapun demi anaknya. Tetapi jika harus menjual anaknya yang lain, apakah itu adil?

Kenapa ia harus mengenal dunia yang kejam ini? Dunia yang saling membutuhkan hanya untuk sama-sama saling menguntungkan.

Menggadaikan nurani demi memenuhi egonya sendiri. Sedang, orang-orang yang terjebak di dalamnya hanya bisa diam dan mengikuti. Walau terkadang perlakuan harus bertentangan dengan hati.

Lalu apalagi yang bisa dilakukan, jika tidak tunduk pada keadaan?

Sementara, Ardan masih terdiam. Ia masih memandangi pintu yang membiarkan wanita pujaannya itu menghilang.

Ardan tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

Biasa wanita akan dengan sukarela naik ke ranjangnya dan menawarkan diri untuk melahirkan anaknya.

Kali ini, ia membayar dengan harga mahal hanya untuk seorang anak. Tetapi dia malah menolak dengan kasar.

Ardan menutup laptopnya dan menjatuhkan kepala di atas sandaran kursi. Menutup kedua belah kelopak matanya.

"Hah, Hazel. Kenapa kamu harus menarik seperti ini? Aku bisa gila jika tidak mendapatkanmu nanti."

***

Hazel membuka pintu kayu rumah sederhananya itu, menjatuhkan diri di atas sofa ruang tamu mini itu.

Ia memandangi langit-langit rumah itu, sekilas terbayang kenangan yang pernah terukir dengan almarhum suaminya dulu.

Indah saat itu, ataupun tawa ceria yang pernah terukir bersama. Kini semuanya hampir memudar karena kerasnya hantaman cobaan.

Bahkan manis kisah itu tidak pernah lagi terasa walaupun Hazel mencoba mengingatnya. Bukan karena ia mulai lupa, tetapi kerasnya luka yang semakin dalam setiap harinya membuat ia susah. Bahkan walau hanya mengingatnya saja.

Terdengar suara rengekan Surya yang mulai rewel, Hazel menghapus matanya yang entah kapan akan berhenti berair.

Ia membuka sepatunya dan berjalan memasuki kamar Surya. Melihat mbok Darmi yang sedang kewalahan menenangkan Surya.

"Surya demam lagi, Mbok?" tanya Hazel sembari meraih dahi Surya.

"Panasnya sudah turun, Hazel. Tetapi dia gak berhenti nangis. Gak mau tiduran, duduk juga gak mau, si Mbok bingung toh, Nduk."

Hazel mengambil Surya, melepaskan peyangga badan yang selalu melekat pada tubuh putranya itu.

Perlahan Hazel membuka kaus yang Surya gunakan. Membiarkan anaknya itu bertelanjang dada.

Air matanya kembali luruh saat melihat punggung belakang putranya itu. Perlahan jemarinya mulai mengelus kulit putih anaknya itu.

Tidak tega, tetapi tidak berdaya.

Keadaan ini seperti ingin membunuhnya. Bertahan, ia terlalu lelah. Berhenti, juga tidak ada tempat untuk kembali.

"Dokter Pedro bilang, kurva skoliosis Surya sudah hampir 90%, Mbok. Aku gak tahu, tetapi aku juga tidak mampu. Terus terang aku bingung, Mbok. Aku hampir gila menghadapi ini semua," ucap Hazel pahit.

"Sabar, Nduk. Pelan-pelan kita cari jalannya ya. Si Mbon yakin, Allah pasti punya rencana tersendiri."

Hazel hanya diam, memandangi punggung belakang putranya yang semakin terlihat melengkung. Pantas saja jika Surya tidak bisa berjalan. Bahkan sekadar duduk saja ia kesakitan.

Betapa egoisnya dia, memaksakan keadaan buah hatinya itu untuk bisa sempurna.

Hazel menghela napasnya, ia mengalihkan pandangan ke dinding rumah bercat putih yang mulai kusam itu.

"Aku akan ke rumah Mama, Mbok."

"Kamu mau apa ke sana toh, Nduk? Mereka itu sama sekali tidak peduli padamu. Jangan sakiti harga dirimu lagi."

"Apa saat ini harga diri itu penting, Mbok? Apa saat seperti ini ego diri itu penting? Aku tidak peduli, mau dihina atau dikatakan sampah sekalipun. Aku akan meminta sertifikat rumah ini, Mbok."

"Tapi, Hazel--"

"Mbok, apa kita punya pilihan lain? Kita gak punya apapun lagi selain rumah ini, Mbok. Mama mengambilnya setelah mas Iqbal tiada, memang rumah ini milik mas Iqbal, tapi Surya juga anak mas Iqbal, Mbok."

"Si Mbok, paham, Nduk. Tetapi percuma kamu ke sana. Hasilnya juga kamu yang akan terluka."

"Aku tidak peduli, Mbok. Aku akan tetap mencobanya, meski harus terluka ataupun disiksa oleh mereka. Aku akan minta sertifikat rumah ini," ucap Hazel ngeyel.

Hazel menarik tas tangannya, keluar dari rumah sederhana itu. Walau dia tahu bagaimana hasil akhirnya. Tetapi ia masih berharap.

Berharap agar nurani mereka masih tersisa, berharap jika kebaikan itu masih ada. Walau tidak sebagai mertua, setidaknya sebagai sesama manusia.

Hazel melihat rumah bercat merah itu dari bibir jalan. Beberapa kali ia menghela napasnya, bersiap untuk menerima segala cacian saat ia menginjakan kaki ke rumah itu lagi.

Hazel menggenggam tali tasnya dengan erat. Langkahnya terasa berat untuk memasuki rumah beton itu. Tetapi pilihan itu tidak pernah ada, dari awal, Hazel hanya bisa melangkah tanpa memiliki pilihan yang lebih baik.

Perlahan, langkahnya pasti memasuki perkarangan rumah bercat merah-biru itu. Tangan kurusnya mengetuk daun pintu dengan pelan.

Terdengar suara hentakan kaki berlari dari dalam. Seorang gadis keluar dari balik pintu berwarna cokelat itu.

"Kak Hazel," ucap gadis itu terkejut.

"Sasy, apakah Mama ada?" tanya Hazel ragu.

"Ada."

"Bisakah aku bertemu, sebentar saja? Aku mohon, Sasy."

Gadis itu menghela napasnya, ia mengangguk perlahan. Membuka pintu dengan lebar. Membiarkan wanita kurus itu memasuki rumah mereka.

"Siapa, Sasy?" tanya seorang wanita yang dipanggilnya Mama itu.

Sasy hanya diam, ia berjalan ke arah sang Mama sembari menggiring Hazel di belakangnya.

Mata wanita itu langsung memerah saat ia melihat tamu yang paling tidak ia harapkan menginjakan kaki di rumahnya.

"Kamu?" teriak wanita itu tidak suka.

"Ma, apa kabar?"

"Jangan basa-basi kamu, keluar dari sini. Saya tidak sudi melihat kamu di sini!" perintah wanita itu ketus.

Hazel menggelengkan kepalanya, ia berlutut di hadapan wanita itu. Membuang harga dirinya untuk meminta iba nurani wanita di hadapannya.

"Ma, aku mohon izinkan aku bicara sebentar. Sebentar saja," bujuk Hazel lembut.

Wanita itu hanya diam, ia memalingkan wajahnya ke sisi kosong ruangan.

"Saya tidak punya banyak waktu untuk melayanimu. Cepat katakan dan cepat pergi dari sini."

"Ma, bisakah Mama tolong aku. Surya harus dioperasi, Ma."

Wanita itu tersenyum getir, ia melihat ke arah Hazel dengan mata yang menajam.

"Kamu, mau minta saya biayain anak kamu? Saya tidak punya uang."

"Ma, aku gak minta Mama biayain operasi Surya. Tapi bisakah, Mama memberikan sertifikat rumah kami, Ma?"

Seketika wajah wanita itu menggarang, ia memandamg Hazel dengan sengit.

"Akhirnya, saya melihat sifat aslimu."

"Maksud, Mama?"

"Inikah alasanmu merebut anakku dulu? Kamu ingin rumah itu menjadi milikmu? Hazel, kenapa harus ada wanita selicikmu di dunia ini!" bentak wanita itu lantang.

"Ma, Mama salahpaham. Aku meminta sertifikat rumah itu karena Surya. Cucu Mama butuh pengobatan, Ma."

"Jangan sebut dia cucu saya. Bahkan sampai akhir saya tidak pernah menganggap Iqbal pernah menikah. Keluar kamu dari sini! Sebelum saya menyeretmu, keluar!"

"Enggak, Ma. Tolong aku, Ma. Mama juga seorang ibu, kan? Mama juga pasti tahu rasanya saat anak sakit, kan? Ma, tolong aku, Ma, aku mohon. Tolong aku," pinta hazel bersimpuh di kaki wanita itu.

Sedang wanita itu hanya memalingkan wajahnya. Melepaskan pegangan tangan Hazel pada betisnya.

"Iqbal telah salah membawamu pulang ke sini. Lebih salah lagi dia menikahimu. Sekarang bisa-bisanya kamu mau merebut peninggalan anak saya satu-satunya."

"Tapi Surya juga anak mas Iqbal, Ma. Kami juga berhak atas rumah itu."

"Selama ini, bukankah kamu masih makan uang dari Iqbal? Bukannya kamu masih menerima hasil kematian, Iqbal? Dasar wanita serakah! Cepat keluar!" teriak wanita itu lantang.

Hazel menggelengkan kepalanya, mencoba bertahan pada keinginannya.

"Sasy, bawa keluar wanita tidak tahu diri ini. Jangan sampai aku melihatnya walau dia berada di depanku seratus meter sekalipun."

Sasy mengangkat badan Hazel, menarik badan kurus wanita itu keluar dari rumah mereka.

"Sasy, aku mohon tolong aku. Surya itu keponakanmu. Tolong bantu aku," pinta Hazel melas.

Sasy hanya terdiam, ia sebenarnya tidak tega. Tetapi ia juga tidak bisa membantah. Sebagai anak, ia harus membela ibunya, walau salah sekalipun.

"Sasy tutup pintunya!" teriak wanita itu dari dalam.

Hazel menggelengkan kepalanya, berusaha menahan pintu agar tidak tertutup.

"Maaf," lirih Sasy menarik daun pintu dengan kuat.

"Enggak! Ma, tolong aku. Aku mohon, bantulah Surya!" teriak Hazel di depan pintu rumah.

"Ma, percayalah. Surya memang benar-benar harus dioperasi. Aku mohon, bantu aku."

Hazel berusaha mengetuk daun pintu itu berkali-kali. Tetapi sama sekali tidak ada jawaban yang terdengar dari balik sana.

Perlahan Hazel terduduk, menangisi segala kegagalannya ini. Ia melipat kedua kaki, membenamkan wajah kedalamnya.

Tidak tahu harus berbuat apa, yang ia tahu hanya rasa lelah. Lelah yang tiada ujungnya.

Entah sampai kapan ia harus menerjangnya. Saat ini, setitik harapanpun tak bersisa.

Terpopuler

Comments

Caroline

Caroline

ikutan sedih bacanya

2022-06-11

0

Umi Ne Nazla

Umi Ne Nazla

nangiiiis

2021-01-19

0

New R

New R

sedih

2020-10-25

0

lihat semua
Episodes
1 01
2 02
3 03
4 04
5 05
6 06
7 07
8 08
9 09
10 10
11 11
12 12
13 13
14 14
15 15
16 16
17 17
18 18
19 19
20 20
21 21
22 22
23 23
24 24
25 25
26 26
27 27
28 28
29 29
30 30
31 31
32 32
33 33
34 34
35 35
36 36
37 37
38 38
39 39
40 40
41 41
42 42
43 43
44 44
45 45
46 46
47 47
48 48
49 49
50 50
51 51
52 52
53 53
54 54
55 55
56 56
57 57
58 58
59 59
60 60
61 61
62 62
63 63
64 64
65 65
66 66
67 67
68 68
69 69
70 70
71 71
72 72
73 Visual Karakter
74 73
75 74
76 75
77 76
78 77
79 78
80 79
81 80
82 81
83 82
84 83
85 84
86 85
87 86
88 87
89 88
90 89
91 90
92 91
93 92
94 93
95 94
96 95
97 96
98 97
99 98
100 99
101 100
102 101
103 102
104 103
105 104
106 105
107 106
108 107
109 108
110 109
111 110
112 111
113 112
114 113
115 114
116 115
117 116
118 117
119 118
120 119
121 120
122 121
123 122
124 123
125 124
126 125
127 126
128 127
129 128
130 129
131 130
132 131
133 132
134 133
135 134
136 135
137 136
138 137
139 138
140 139
141 140
142 141
143 142
144 143
145 144
146 145
147 146
148 147
149 148
150 149
151 150
152 151
153 152
154 153
155 154
156 155
157 156
158 157
159 158
160 159
161 160
162 161
163 162
164 163
165 164
166 165
167 166
168 167
169 168
170 169
171 170
172 171
173 172
174 173
175 174
176 175
177 176
178 177
179 178
180 179
181 180
182 181
183 182
184 183
185 184
186 185
187 186
188 187
189 188
190 189
191 190
192 191
193 192
194 193
195 194
196 195
197 196
198 197
199 198
200 199
201 200
202 201
203 202
204 203
205 204
206 205
207 206
208 207
209 208
210 209
211 210
212 211
213 212
214 213
215 214
216 215
217 216
218 217
219 218
220 219
221 220
222 221
223 222
224 223
225 224
226 225
227 226
228 227
229 228
230 229
231 230
232 231
233 232
234 233
235 234
236 235
237 236
238 237
239 238
240 239
241 240
242 241
243 242
244 243
245 244
246 245
247 246
248 247
249 248
250 249
251 250
252 251
253 252
254 253
255 254
256 255
257 256
258 257
259 258
260 259
261 260
262 261
263 262
264 263
265 264
266 265
267 266
268 267
269 268
270 269
271 270
272 271
273 272
274 273
275 274
Episodes

Updated 275 Episodes

1
01
2
02
3
03
4
04
5
05
6
06
7
07
8
08
9
09
10
10
11
11
12
12
13
13
14
14
15
15
16
16
17
17
18
18
19
19
20
20
21
21
22
22
23
23
24
24
25
25
26
26
27
27
28
28
29
29
30
30
31
31
32
32
33
33
34
34
35
35
36
36
37
37
38
38
39
39
40
40
41
41
42
42
43
43
44
44
45
45
46
46
47
47
48
48
49
49
50
50
51
51
52
52
53
53
54
54
55
55
56
56
57
57
58
58
59
59
60
60
61
61
62
62
63
63
64
64
65
65
66
66
67
67
68
68
69
69
70
70
71
71
72
72
73
Visual Karakter
74
73
75
74
76
75
77
76
78
77
79
78
80
79
81
80
82
81
83
82
84
83
85
84
86
85
87
86
88
87
89
88
90
89
91
90
92
91
93
92
94
93
95
94
96
95
97
96
98
97
99
98
100
99
101
100
102
101
103
102
104
103
105
104
106
105
107
106
108
107
109
108
110
109
111
110
112
111
113
112
114
113
115
114
116
115
117
116
118
117
119
118
120
119
121
120
122
121
123
122
124
123
125
124
126
125
127
126
128
127
129
128
130
129
131
130
132
131
133
132
134
133
135
134
136
135
137
136
138
137
139
138
140
139
141
140
142
141
143
142
144
143
145
144
146
145
147
146
148
147
149
148
150
149
151
150
152
151
153
152
154
153
155
154
156
155
157
156
158
157
159
158
160
159
161
160
162
161
163
162
164
163
165
164
166
165
167
166
168
167
169
168
170
169
171
170
172
171
173
172
174
173
175
174
176
175
177
176
178
177
179
178
180
179
181
180
182
181
183
182
184
183
185
184
186
185
187
186
188
187
189
188
190
189
191
190
192
191
193
192
194
193
195
194
196
195
197
196
198
197
199
198
200
199
201
200
202
201
203
202
204
203
205
204
206
205
207
206
208
207
209
208
210
209
211
210
212
211
213
212
214
213
215
214
216
215
217
216
218
217
219
218
220
219
221
220
222
221
223
222
224
223
225
224
226
225
227
226
228
227
229
228
230
229
231
230
232
231
233
232
234
233
235
234
236
235
237
236
238
237
239
238
240
239
241
240
242
241
243
242
244
243
245
244
246
245
247
246
248
247
249
248
250
249
251
250
252
251
253
252
254
253
255
254
256
255
257
256
258
257
259
258
260
259
261
260
262
261
263
262
264
263
265
264
266
265
267
266
268
267
269
268
270
269
271
270
272
271
273
272
274
273
275
274

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!