Sesaat Hazel terdiam, memandangi wajah lelaki angkuh yang ada di depannya itu. Hazel menggelengkan kepalanya dan tertawa getir.
"Maksud anda? Saya harus menjadi mesin pencetak anak untuk anda?" tanya Hazel sinis.
"Tidak seperti itu juga. Saya hanya ingin satu orang anak dan kamu butuh uang yang banyak. Bukannya kita sama-sama saling membutuhkan?" tanya Ardan enteng.
Hazel tersenyum getir, memandangi wajah Ardan dengan mata yang semakin memerah menahan amarah. Bagaimana mungkin dia sanggup mengatakan itu semua dengan sangat mudah?
Apakah melahirkan seorang anak itu sama seperti membuat kue?
"Anda pikir saya ini manusia seperti apa? Anda pikir saya ini seorang wanita penjual anak? Saya memproduksi anak, lalu saya jual pada orang kaya seperti anda?" tanya Hazel geram.
"Hazel, saya tidak mengatakan seperti itu. Saya akan menikahimu dulu sebelum meminta anak darimu. Jadi saya tidak berpikir bahwa kamu menjual anak pada saya."
Hazel tertawa getir, ia menghapus sudut matanya yang berair.
"Anda menikahi saya hanya karena anda ingin seorang anak, kan? Anda pikir pernikahan itu apa? Pengikat perjanjian jual beli anak?"
Hazel menangkupkan tangannya di depan dahi. Ia tidak habis pikir kenapa bisa terjebak pada situasi rumit seperti ini.
Hazel menghela napasnya, kembali menatap Ardan yang berada di depannya.
"Maaf saya menganggu waktu anda. Tapi soal permohonan pinjaman saya, maaf. Saya tarik kembali," ucap Hazel geram.
Hazel membalikan badan dan keluar dari ruangan itu dengan sedikit kesal. Ia berlari keluar dari gedung perusahaan itu dengan sesekali menyeka matanya.
Kenapa harus seperti ini? Ia rela melakukan apapun demi anaknya. Tetapi jika harus menjual anaknya yang lain, apakah itu adil?
Kenapa ia harus mengenal dunia yang kejam ini? Dunia yang saling membutuhkan hanya untuk sama-sama saling menguntungkan.
Menggadaikan nurani demi memenuhi egonya sendiri. Sedang, orang-orang yang terjebak di dalamnya hanya bisa diam dan mengikuti. Walau terkadang perlakuan harus bertentangan dengan hati.
Lalu apalagi yang bisa dilakukan, jika tidak tunduk pada keadaan?
Sementara, Ardan masih terdiam. Ia masih memandangi pintu yang membiarkan wanita pujaannya itu menghilang.
Ardan tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
Biasa wanita akan dengan sukarela naik ke ranjangnya dan menawarkan diri untuk melahirkan anaknya.
Kali ini, ia membayar dengan harga mahal hanya untuk seorang anak. Tetapi dia malah menolak dengan kasar.
Ardan menutup laptopnya dan menjatuhkan kepala di atas sandaran kursi. Menutup kedua belah kelopak matanya.
"Hah, Hazel. Kenapa kamu harus menarik seperti ini? Aku bisa gila jika tidak mendapatkanmu nanti."
***
Hazel membuka pintu kayu rumah sederhananya itu, menjatuhkan diri di atas sofa ruang tamu mini itu.
Ia memandangi langit-langit rumah itu, sekilas terbayang kenangan yang pernah terukir dengan almarhum suaminya dulu.
Indah saat itu, ataupun tawa ceria yang pernah terukir bersama. Kini semuanya hampir memudar karena kerasnya hantaman cobaan.
Bahkan manis kisah itu tidak pernah lagi terasa walaupun Hazel mencoba mengingatnya. Bukan karena ia mulai lupa, tetapi kerasnya luka yang semakin dalam setiap harinya membuat ia susah. Bahkan walau hanya mengingatnya saja.
Terdengar suara rengekan Surya yang mulai rewel, Hazel menghapus matanya yang entah kapan akan berhenti berair.
Ia membuka sepatunya dan berjalan memasuki kamar Surya. Melihat mbok Darmi yang sedang kewalahan menenangkan Surya.
"Surya demam lagi, Mbok?" tanya Hazel sembari meraih dahi Surya.
"Panasnya sudah turun, Hazel. Tetapi dia gak berhenti nangis. Gak mau tiduran, duduk juga gak mau, si Mbok bingung toh, Nduk."
Hazel mengambil Surya, melepaskan peyangga badan yang selalu melekat pada tubuh putranya itu.
Perlahan Hazel membuka kaus yang Surya gunakan. Membiarkan anaknya itu bertelanjang dada.
Air matanya kembali luruh saat melihat punggung belakang putranya itu. Perlahan jemarinya mulai mengelus kulit putih anaknya itu.
Tidak tega, tetapi tidak berdaya.
Keadaan ini seperti ingin membunuhnya. Bertahan, ia terlalu lelah. Berhenti, juga tidak ada tempat untuk kembali.
"Dokter Pedro bilang, kurva skoliosis Surya sudah hampir 90%, Mbok. Aku gak tahu, tetapi aku juga tidak mampu. Terus terang aku bingung, Mbok. Aku hampir gila menghadapi ini semua," ucap Hazel pahit.
"Sabar, Nduk. Pelan-pelan kita cari jalannya ya. Si Mbon yakin, Allah pasti punya rencana tersendiri."
Hazel hanya diam, memandangi punggung belakang putranya yang semakin terlihat melengkung. Pantas saja jika Surya tidak bisa berjalan. Bahkan sekadar duduk saja ia kesakitan.
Betapa egoisnya dia, memaksakan keadaan buah hatinya itu untuk bisa sempurna.
Hazel menghela napasnya, ia mengalihkan pandangan ke dinding rumah bercat putih yang mulai kusam itu.
"Aku akan ke rumah Mama, Mbok."
"Kamu mau apa ke sana toh, Nduk? Mereka itu sama sekali tidak peduli padamu. Jangan sakiti harga dirimu lagi."
"Apa saat ini harga diri itu penting, Mbok? Apa saat seperti ini ego diri itu penting? Aku tidak peduli, mau dihina atau dikatakan sampah sekalipun. Aku akan meminta sertifikat rumah ini, Mbok."
"Tapi, Hazel--"
"Mbok, apa kita punya pilihan lain? Kita gak punya apapun lagi selain rumah ini, Mbok. Mama mengambilnya setelah mas Iqbal tiada, memang rumah ini milik mas Iqbal, tapi Surya juga anak mas Iqbal, Mbok."
"Si Mbok, paham, Nduk. Tetapi percuma kamu ke sana. Hasilnya juga kamu yang akan terluka."
"Aku tidak peduli, Mbok. Aku akan tetap mencobanya, meski harus terluka ataupun disiksa oleh mereka. Aku akan minta sertifikat rumah ini," ucap Hazel ngeyel.
Hazel menarik tas tangannya, keluar dari rumah sederhana itu. Walau dia tahu bagaimana hasil akhirnya. Tetapi ia masih berharap.
Berharap agar nurani mereka masih tersisa, berharap jika kebaikan itu masih ada. Walau tidak sebagai mertua, setidaknya sebagai sesama manusia.
Hazel melihat rumah bercat merah itu dari bibir jalan. Beberapa kali ia menghela napasnya, bersiap untuk menerima segala cacian saat ia menginjakan kaki ke rumah itu lagi.
Hazel menggenggam tali tasnya dengan erat. Langkahnya terasa berat untuk memasuki rumah beton itu. Tetapi pilihan itu tidak pernah ada, dari awal, Hazel hanya bisa melangkah tanpa memiliki pilihan yang lebih baik.
Perlahan, langkahnya pasti memasuki perkarangan rumah bercat merah-biru itu. Tangan kurusnya mengetuk daun pintu dengan pelan.
Terdengar suara hentakan kaki berlari dari dalam. Seorang gadis keluar dari balik pintu berwarna cokelat itu.
"Kak Hazel," ucap gadis itu terkejut.
"Sasy, apakah Mama ada?" tanya Hazel ragu.
"Ada."
"Bisakah aku bertemu, sebentar saja? Aku mohon, Sasy."
Gadis itu menghela napasnya, ia mengangguk perlahan. Membuka pintu dengan lebar. Membiarkan wanita kurus itu memasuki rumah mereka.
"Siapa, Sasy?" tanya seorang wanita yang dipanggilnya Mama itu.
Sasy hanya diam, ia berjalan ke arah sang Mama sembari menggiring Hazel di belakangnya.
Mata wanita itu langsung memerah saat ia melihat tamu yang paling tidak ia harapkan menginjakan kaki di rumahnya.
"Kamu?" teriak wanita itu tidak suka.
"Ma, apa kabar?"
"Jangan basa-basi kamu, keluar dari sini. Saya tidak sudi melihat kamu di sini!" perintah wanita itu ketus.
Hazel menggelengkan kepalanya, ia berlutut di hadapan wanita itu. Membuang harga dirinya untuk meminta iba nurani wanita di hadapannya.
"Ma, aku mohon izinkan aku bicara sebentar. Sebentar saja," bujuk Hazel lembut.
Wanita itu hanya diam, ia memalingkan wajahnya ke sisi kosong ruangan.
"Saya tidak punya banyak waktu untuk melayanimu. Cepat katakan dan cepat pergi dari sini."
"Ma, bisakah Mama tolong aku. Surya harus dioperasi, Ma."
Wanita itu tersenyum getir, ia melihat ke arah Hazel dengan mata yang menajam.
"Kamu, mau minta saya biayain anak kamu? Saya tidak punya uang."
"Ma, aku gak minta Mama biayain operasi Surya. Tapi bisakah, Mama memberikan sertifikat rumah kami, Ma?"
Seketika wajah wanita itu menggarang, ia memandamg Hazel dengan sengit.
"Akhirnya, saya melihat sifat aslimu."
"Maksud, Mama?"
"Inikah alasanmu merebut anakku dulu? Kamu ingin rumah itu menjadi milikmu? Hazel, kenapa harus ada wanita selicikmu di dunia ini!" bentak wanita itu lantang.
"Ma, Mama salahpaham. Aku meminta sertifikat rumah itu karena Surya. Cucu Mama butuh pengobatan, Ma."
"Jangan sebut dia cucu saya. Bahkan sampai akhir saya tidak pernah menganggap Iqbal pernah menikah. Keluar kamu dari sini! Sebelum saya menyeretmu, keluar!"
"Enggak, Ma. Tolong aku, Ma. Mama juga seorang ibu, kan? Mama juga pasti tahu rasanya saat anak sakit, kan? Ma, tolong aku, Ma, aku mohon. Tolong aku," pinta hazel bersimpuh di kaki wanita itu.
Sedang wanita itu hanya memalingkan wajahnya. Melepaskan pegangan tangan Hazel pada betisnya.
"Iqbal telah salah membawamu pulang ke sini. Lebih salah lagi dia menikahimu. Sekarang bisa-bisanya kamu mau merebut peninggalan anak saya satu-satunya."
"Tapi Surya juga anak mas Iqbal, Ma. Kami juga berhak atas rumah itu."
"Selama ini, bukankah kamu masih makan uang dari Iqbal? Bukannya kamu masih menerima hasil kematian, Iqbal? Dasar wanita serakah! Cepat keluar!" teriak wanita itu lantang.
Hazel menggelengkan kepalanya, mencoba bertahan pada keinginannya.
"Sasy, bawa keluar wanita tidak tahu diri ini. Jangan sampai aku melihatnya walau dia berada di depanku seratus meter sekalipun."
Sasy mengangkat badan Hazel, menarik badan kurus wanita itu keluar dari rumah mereka.
"Sasy, aku mohon tolong aku. Surya itu keponakanmu. Tolong bantu aku," pinta Hazel melas.
Sasy hanya terdiam, ia sebenarnya tidak tega. Tetapi ia juga tidak bisa membantah. Sebagai anak, ia harus membela ibunya, walau salah sekalipun.
"Sasy tutup pintunya!" teriak wanita itu dari dalam.
Hazel menggelengkan kepalanya, berusaha menahan pintu agar tidak tertutup.
"Maaf," lirih Sasy menarik daun pintu dengan kuat.
"Enggak! Ma, tolong aku. Aku mohon, bantulah Surya!" teriak Hazel di depan pintu rumah.
"Ma, percayalah. Surya memang benar-benar harus dioperasi. Aku mohon, bantu aku."
Hazel berusaha mengetuk daun pintu itu berkali-kali. Tetapi sama sekali tidak ada jawaban yang terdengar dari balik sana.
Perlahan Hazel terduduk, menangisi segala kegagalannya ini. Ia melipat kedua kaki, membenamkan wajah kedalamnya.
Tidak tahu harus berbuat apa, yang ia tahu hanya rasa lelah. Lelah yang tiada ujungnya.
Entah sampai kapan ia harus menerjangnya. Saat ini, setitik harapanpun tak bersisa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 275 Episodes
Comments
Caroline
ikutan sedih bacanya
2022-06-11
0
Umi Ne Nazla
nangiiiis
2021-01-19
0
New R
sedih
2020-10-25
0