"Nara," panggil Hazel lembut.
"Iya, Mbak."
"Nih, bekal makan siangmu." Hazel menyodorkan sebuah bekal ke hadapan Nara.
"Huwaaa, makasih mbak Hazel. Aku sayang kamu," ucap Nara senang.
"Ehm, Nara. Kemarin bagaimana?" tanya Hazel kembali.
"Bagaimana apanya? Ya jelas pak Ardan marah besar sama Mbak. Pak Ardan ada tetapi Mbak malah pergi begitu saja."
"Kamu gak bilang kalau aku ke rumah sakit?"
"Bilang, tapi pak Ardan gak mau dengar alasan. Kalau Mbak gak mau minta maaf sama dia, dia bilang akan memecat, Mbak."
"Apa?" tanya Hazel tidak percaya. "Kenapa bisa begini?"
Nara mengerdikan bahunya, sementara Hazel hanya bisa menghela napas. Ia melihat ke arah ruangan GM itu. Belum terlihat ada pergerakan di sana. Mungkin Ardan belum datang.
Hazel menggaruk kepalanya, baru saja satu masalah selesai. Sekarang ia dihadapkan oleh masalah yang lain.
Kapan sebenarnya ia bisa hidup dengan tenang.
Sedang Nara menahan tawanya saat melihat ekspresi Hazel. Setelah Hazel pergi dari mejanya, Echa mendekati Nara.
"Nara, memang ada pak Ardan bilang begitu?"
"Ngak ada."
"Terus?"
Nara menyelentikan jarinya di dahi Echa. Gadis.itu berteriak dan mengelus dahinya lembut.
"Dasar bodoh, kamu gak lihat kemarin bagaimana pak Ardan perhatiin mbak Hazel?"
"Lihat," jawab Echa polos.
"Pak Ardan suka sama mbak Hazel."
"Hah?" teriak Echa spontan.
Nara menutup mulut Echa dengan tangannya.
"Jangan berisik Echa. Kamu mau mbak Hazel di serang lagi sama mbak Ibel?" bisik Nara.
Echa menganggukan kepalanya, perlahan Nara membuka bekapan tangannya.
"Kamu tahu dari mana, Ra?"
"Gak perlu dikasih tahu. Dari cara pak Ardan yang perhatian sama makan mbak Hazel. Terus reaksi pak Ardan yang berlebihan saat mbak Hazel pergi. Gak mungkin pak Ardan gak ada rasa sama mbak Hazel."
"Yah ... kok mbak Hazel sih? Kenapa bukan aku atau kamu yang masih gadis? Pak Ardan mah gitu."
"Hei, Echa. Kamu lihat mbak Hazel, dia wanita yang pendiam tetapi pekerja keras. Mbak Hazel sangat cantik saat dia pertama kali masuk ke sini. Kita sama dia, jelas berbeda sekali, Echa."
"Hem, sepertinya benar."
"Benar apa?"
"Zaman sekarang janda semakin di depan," jawab Echa.
"Echa, mungkin kamu gak tahu. Tapi Mbak Hazel itu bukan orang yang suka diperhatikan. Mbak Hazel itu kuat, aku senang jika ada lelaki yang menyukainya, terlebih lagi itu pak Ardan. Mungkin, Tuhan akan memberikan dia kemudahan setelah apa yang dia alami selama ini."
"Aku hanya tahu kalau anak.mbak Hazel sakit dan butuh banyak uang untuk merawatnya. Tetapi mbak Hazel gak pernah bilang ataupun mengeluh apapun. Jadi aku gak tahu," jawab Echa lembut.
"Sudahlah, aku hanya ingin memberikan kesempatan untuk mbak Hazel bisa berinteraksi dengan pak Ardan. Tapi jangan sampai ada yang tahu, terlebih lagi mbak Ibel. mengerti?"
"Iya, aku tahu."
***
Hazel mengambil sebuah semangka di atas rak buah, sebuah tangan juga mengambil semangka yang sama dengan Hazel. Ia memalingkan wajahnya, tersenyum saat melihat pemilik tangan itu.
"Sasy, kamu mau beli buah juga?" tanya Hazel ramah.
Hazel mengangkat semangka itu dan memberikannya ke tangan si gadis itu.
"Ambil ini, biar Kakak belikan untukmu."
"Gak perlu!" sanggah seorang wanita paruh baya, datang mendekati mereka berdua.
"Sasy, berikan buah itu padanya. Aku tidak sudi memakan sesuatu yang tersentuh tangannya."
"Mama, apa kabar?" Hazel berjalan mendekati wanita itu dan mengulurkan tangannya, ingin mencium tangan wanita itu.
Wanita itu tersenyum sinis dan menampel tangan Hazel.
"Apa kamu pikir saya sudi disentuh oleh kamu?" tanya wanita itu ketus.
"Mama," tahan Sasy lembut.
"Jangan pernah dekati keluarga kami, jangan pernah sentuh kulit anak-anakku lagi. Sudah cukup Iqbal yang menjadi tumbalmu. Jangan libatkan anakku yang lainnya."
Hazel menundukan pandangannya dan mengangguk pelan. Bukan setahun dua tahun dia mendapatkan perlakuan seperti ini. Walaupun sakit, namun sepertinya ia sudah terbiasa.
"Dari dulu saya tidak pernah setuju Iqbal menikahimu. Padahal Iqbal sudah punya tunangan, bisa-bisanya dia memilih wanita sepertimu. Bahkan melahirkan anak saja tidak becus," celoteh tajam wanita yang pernah menjadi Ibu mertuanya itu.
Hazel menelan salivanya yang terasa pahit, sepahit ucapan yang terlontar dari mulut wanita yang melahirkan suaminya itu. Ia menatap wajah wanita paruh baya itu dengan genangan kaca yang membuat pandangannya memburam seketika.
"Mama boleh gak suka sama aku, tapi bagaimana juga Surya tetaplah cucu, Mama."
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Aku gak sudi mendengar kata itu dari bibirmu. Dan siapa? Surya? Jika saja Iqbal tidak menikahimu, mungkin saya memang memiliki cucu darinya. Yang pasti bukan cucu yang hanya bisa mempermalukan saya, bukan!"
"Ma, bukan mau aku ataupun mau mas Iqbal. Bahkan jika Surya bisa memilih dia juga gak mau terlahir seperti itu. Kenapa Mama berkata seperti itu?"
"Bukan mau saya juga Iqbal menikahimu. Demi kamu, saya harus menahan malu, karena demi kamu Iqbal membatalkan pertunangannya begitu saja. Kamu pikir, saya harus melakukanmu seperti apa?"
Hazel terdiam, jika dia tahu kalau Iqbal dulu sudah memiliki tunangan, ia juga tidak mau menerima lamaran Iqbal.
Karena setelah keluarganya pergi, hanya Iqbal lah tempat ia berteduh. Iqbal yang melindunginya, perlahan Iqbal juga yang memberikannya perhatian dan cinta. Berujung pada ikatan yang sah, namun ditolak oleh keluarga.
"Entah apa yang dilihat Iqbal darimu, jika saja Iqbal tidak menikahimu. Mungkin sekarang Iqbal masih hidup bersama istri pilihan orang tuanya. Memiliki anak yang sehat, tidak cacat yang seperti kamu berikan padanya."
Hazel tersenyum getir, ia mengambil beberapa buah yang ingin ia beli. Segera membawanya ke kasir untuk membayarnya.
Percuma saja jika ia bertahan di sini. Semakin lama apa yang diucapkan sang mantan mertua akan semakin menyakiti hatinya.
Siapa yang ingin Iqbal pergi? Siapapun tidak ada yang ingin kehilangan suaminya.
Menjadi janda dan dipandang buruk oleh masyarakat lain.
Tetapi yang namanya takdir tidak mungkin bisa dihindari. Ia akan tetap hadir walau hati tidak ingin. Karena hidup akan berjalan dengan apa yang Dia rencanakan, bukan apa yang kamu inginkan.
Hazel membawa beberapa kantung berisi buah, keluar dari toko itu sebelum ucapan sang mertua lebih menyakitkan untuknya.
"Kak Hazel," panggil Sasy mengejar langkah Hazel.
Hazel membalikan badannya, menghapus sudut mata yang sempat berair karena tajamnya kata-kata.
"Sasy, ada apa?" tanya Hazel tersenyum lembut.
"Kak, aku mohon. Setelah hari ini, kalau kakak ketemu aku, ataupun yang lainnya. Kakak anggap saja kita gak saling kenal," ucap Sasy lembut.
"Kenapa?"
"Kak Iqbal sudah tiada. Otomatis hubungan antara kak Hazel dan keluarga kami juga sudah berakhir. Jadi kak Hazel gak perlu basa-basi. Jika bertemu, anggap saja kita tidak saling tahu."
"Tapi, Sasy, aku sudah tidak memiliki keluarga lagi. Keluarga mas Iqbal adalah keluargaku juga. Mana mungkin aku bisa berbuat seperti itu."
"Kakak ngerti gak sih apa yang aku bilang? Kenapa suka sekali mencari masalah dan membuat Mama menjadi marah? Kakak selalu membuat Mama tampak seperti mertua yang jahat."
Hazel terdiam, ia menundukan pandangannya.
"Hanya itu yang ingin aku katakan. Selamat tinggal," ucap Sasy mengakhiri.
Hazel hanya menganggukan kepalanya, menatap punggung gadis itu pergi meninggalkannya.
'Maaf kak Iqbal, bahkan hanya untuk melindungi wanita yang kamu sayangi saja, aku masih harus menyakiti hatinya,' lirih Sasy dalam hati.
Langkah Sasy terhenti, ia menolehkan sedikit pandangannya. Melihat Hazel yang masih berdiri sendirian di ujung sana.
Sebenarnya ia tidak tega, bagaimana juga dia dan Hazel sama-sama perempuan. Memiliki perasaan yang sama lembutnya.
Namun sering kali kita harus menyakiti hati orang yang paling ingin kita lindungi. Bahkan membuat orang itu semakin membenci.
Terkadang, hubungan manusia berjalan serumit itu. Ada jalan yang mudah, tetapi ego lebih memilih yang susah. Bukan tidak bisa, tetapi tidak mampu.
Kadang manusia lebih memilih mempertahankan egonya, dan mengeyampingkan nuraninya.
Memang, kadang maksud baik bisa disampaikan dengan cara menyakiti. Terkadang malah membuat semakin benci.
Karena rasa peduli, bukan hanya ada saat kita bisa menunjukan rasa kasih. Sering kali peduli terjadi saat kita membenci.
Hazel mencengkeram kantungan itu dan menghela napasnya. Melanjutkan kembali langkahnya yang sempat terhenti. Berjalan melewati trotoar jalan dengan sesekali menghapus air yang keluar dari matanya.
Perlahan, buah yang ada di dalam genggaman Hazel terlepas. Ia menumpuhkan tangannya pada tembok di sisi jalan. Menyudutkan badanya ke tembok.
Perlahan ia berjongkok, menyembunyikan wajahnya sembari melepaskan air matanya.
Kenapa? Hanya karena dia wanita yang menjadi korban pemberontakan negara, hidupnya menjadi sesulit ini?
Bukan inginnya menjadi sebatang kara dan bertemu dengan anggota tentara. Tetapi kenapa, sebagian manusia hanya mengangap dukanya sebagai alasan agar dia bisa merebut apa yang seharusnya bukan miliknya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 275 Episodes
Comments
Ani Yuliati
padahal bagus yah novel ini ceritany juga tidak seperti novel yg lain semoga yg baca tambah banyak y thor sayang semngat untuk buat karya terus y thor
2021-01-18
2
Noor
air mataku banjir kak... 😭😭
2021-01-18
0
New R
sedih
2020-10-25
0