Hazel memasukan beberapa makanan ke dalam rantang bekalnya. Sebelum pergi, ia menemui Surya yang masih tertidur di atas kasur.
Tidak seperti biasa, beberapa minggu terakhir ini Surya kelihatan tidak nyaman saat tidur.
Ia sering rewel dan menangis sepanjang hari. Jauh berbeda dari sebelumnya yang selalu hiper aktif dan juga ceria.
Hazel mencium dahi putranya itu, sesaat Hazel terdiam. Ia meraih dahi Surya, sementara satu tangannya lagi ia letakan pada dahinya.
Mengecek suhu badan Surya yang kembali memanas.
"Mbok," panggil Hazel lembut.
"Kenapa, Hazel?"
"Apa setelah minum obat Surya ada perubahan?"
"Biasanya Demamnya akan turun, tetapi Surya terus rewel, Hazel. Si Mbok gak tahu kenapa?" jawab Mbok Darmi polos.
"Apa kata Dokternya Surya ada sakit lain?"
"Si Mbok gak paham, tapi Dokter bilang Surya harus dibawa ke rumah sakit untuk di rontgen."
"Rontgen?" tanya Hazel bingung. "Kenapa Mbok gak bilang dari awal?"
"Kan si Mbok sudah bilang, Dokter ada bilang istilah apa, si Mbok gak ngerti toh, Nduk."
Hazel menghela napasnya, ia mengangkat badan Surya. Terdengar rengekan Surya yang semakin mengencang, seperti tidak ingin digendong oleh bundanya tersebut.
"Tenang, Sayang. Ini Bunda," ucap Hazel menenangkan.
Hazel menggoyangkan badannya, mencoba menenangkan putranya itu. Tetapi bukannya tenang, Surya semakin menangis dengan keras. Terlebih lagi saat Hazel memeluk badannya dengan erat.
Sejenak Hazel terdiam, ia menekan bahu Surya sedikit keras, lalu menurun ke pinggang, mengikuti alur tulang belakang Surya.
Semakin Hazel menekannya, semakin kencang pula tangisan Surya terdengar.
"Mbok, tolong ambil tas aku, kita ke rumah sakit sekarang." Hazel mengambil kain gendongan, ia mengirimkan pesan dengan cepat ke ponsel Nara.
Meminta izin untuk tidak masuk kantor hari ini.
Bagaimana ini bisa terjadi? Jika dugaan Hazel benar, maka keadaan akan lebih buruk dari sebelumnya.
***
Ardan memarkirkan mobil hitamnya, keluar dengan kemeja putih lusuh dan memasuki kantor yang sudah ia tinggali hampir sebulan ini.
Beberapa pasang mata memandang Ardan dengan sedikit heran. Biasa lelaki itu selalu datang dengan tampilan rapi dan berbalut jas. Kenapa hari ini ia bagaikan mahasiswa yang habis di DO oleh kampus.
Saat menyadari ke datangan Ardan, Ferdi langsung mendekati pria dewasa itu, menarik lengan tangan Ardan memasuki ruangan GM.
"Ada apa denganmu, Ardan? Kenapa lusuh sekali?" tanya Ferdi bingung.
"Belum sempat ganti baju, aku baru sampai," jawab Ardan menyandarkan badannya pada kursi empuk miliknya.
Sekadar melepaskan letih karena menempuh perjalanan jauh dari subuh tadi.
"Kenapa gak istirahat di rumah dulu? Tidak seperti kamu, biasa kamu akan sangat perhatian pada penampilan."
Ferdi tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Melihat Ardan yang sedang duduk memejamkan matanya.
"Tolong ambilkan bajuku, Fer. Aku akan bekerja hari ini juga."
"Hei, ayolah. Perusahaan masih baik-baik saja. Tidak perlu terlalu diforsir, kawan," ucap Ferdi lembut.
Ardan membuka matanya, mengubah posisi duduk menjadi lebih tegak.
"Aku mau bekerja, kenapa? Ada masalah?" tanya Ardan kembali.
Ferdi tersenyum dan menggelengkan kepala. Ia membetulkan letak kacamatanya.
"Mau bekerja atau kangen seorang pekerja?" tanya Ferdi menggoda.
"Ferdi apa kamu tidak mendengar ucapanku? Ambilkan bajuku!" perintah Ardan ketus.
"Hei, apa kamu lupa. Jabatanku lebih tinggi darimu di perusahaan ini. Atas dasar apa aku menuruti perintahmu?"
"Benarkah? Kenapa aku tidak ingat?"
Ferdi kembali tersenyum, ia bangkit dari duduknya dan berjalan keluar ruangan itu.
"Ardan, hari ini Hazel tidak masuk, kamu yakin ingin bekerja?"
"Apa urusanya sama dia? Aku ya bekerja pada bagianku, kenapa memangnya kalau dia tidak masuk? Itu bukan urusanku," jawab Ardan angkuh.
Ferdi menggelengkan kepalanya, menarik daun pintu kaca itu.
"Aku sudah katakan, terserah mau itu urusanmu atau bukan," ucap Ferdi mengakhiri percakapan.
Ardan menghela napasnya, ia kembali menyandarkan punggung ke belakang kursi.
"Huh, hampir sebulan gak ketemu, sekarang saat ingin ketemu malah gak datang. Dasar Hazel, aku rindu." Arfan mengacak rambutnya, kesal sendiri.
.
"Skoliosis kongenital, saat ini gejalanya semakin terlihat. Nyeri di bagian belakangnya semakin terasa, sebab itu Surya rewel dan juga demam, Hazel."
Hazel memejamkan mata, meraih sudut dahi. Kepalanya terasa semakin berdenyut saat mendengar penjelasn Dokter Pedro.
Sudah diduga, kalau skiolosis bawaan Surya akan terus memburuk seiring berjalannya waktu.
"Apa yang harus saya lakukan, Dokter?"
"Kita sudah melakukan fisioterapi dalam jangka panjang, kamu juga sudah memakaikannya peyangga. Tetapi hasilnya juga tidak sebaik yang kita kira, kami menyarankan agar kamu melakukan bedah tulang belakang."
"Di umur Surya yang sekecil itu, Dok?" tanya Hazel cemas.
"Kalau kamu tidak siap, kita akan melakukan fisioterapi lagi agar nyerinya semakin berkurang. Tetapi kita tidak tahu, Surya akan sanggup menahan nyeri yang semedikian sakit berapa lama lagi?"
"Apakah tidak ada cara lain, Dok? Memang saat ini umur Surya sudah tiga tahun lebih, tetapi, saya juga tidak sanggup kalau membiarkan dia untuk menjalani operasi."
"Saya paham perasaanmu, Hazel. Tetapi keadaan Surya juga sudah memasuki kurva gawat darurat. Skoliosis jika tidak ditangani segera, bisa menyebabkan komplikasi lainnya, terlebih Surya adalah anak berkebutuhan khusus, kita tidak bisa bertanya padanya separah apa sakit yang ia derita."
Sejenak Hazel terdiam, ia melihat Surya yang masih berbaring di atas ranjang pasien.
Dari kecil, Surya sudah dipakaikan peyangga tulang belakang yang membuatnya susah untuk bergerak. Bulan lalu ia malah dipakaikan peyangga kaki agar bisa berjalan.
Sebenarnya mau sampai kapan ia terus di sanggah oleh alat? Kenapa di umurnya yang sekecil itu dia sudah harus menanggung beban seberat ini?
Perlahan air mata Hazel luruh dengan sendirinya, tidak tega melihat satu-satunya keluarga yang ia miliki dalam keadaan begini.
Hazel berjalan ke arah Surya, mengenggam jemari mungil Surya. Perlahan bibirnya tersenyum, tetapi air matanya terus luruh.
Sudah tidak ada kekuatan untuk terus bertahan, tetapi berhenti juga tidak bisa. Sebenarnya apa yang harus dia lakukan?
"Jika Surya dioperasi, apakah resikonya tidak terlalu berat, Dok?"
"Operasi tulang belakang untuk kasus skoliosis kongenital juga bukan rangkaian yang mudah, Hazel. Terus terang kasus ini lebih rumit untuk ditangani, dan pastinya banyak prosedur yang harus dijalani sebelum kita memulai operasinya. Kita harus melalukan CTscan dan MRI, terlebih lagi perawatan pasca operasi. Ini proses yang panjang, Hazel."
Hazel tersenyum getir, matanya terus memandangi Surya dengan genangan air yang terus mengaliri kulit pipinya.
"Proses ini akan banyak memakan biaya, Hazel. Selain kamu harus menyiapkan diri, kamu juga harus menyiapkan dana yang tidak sedikit pastinya."
"Berapa banyak?" tanya Hazel pahit.
"Tahap awal, mungkin akan memerlukan biaya sekitar dua ratus juta."
Seperti mendengar petir di siang hari, kini rasa hati Hazel hancur berkeping-keping.
Selama ini dia sudah pontang-panting mencari uang untuk biaya pengobatan Surya. Seperti tidak ada habisnya, setiap hari keperluan itu semakin banyak saja.
Kemana lagi dia akan mencarinya? Kemana lagi dia harus bekerja?
Ingin menjerit rasanya, tetapi suaranya tertahan oleh luka. Surya yang terluka tetapi dia yang menanggung segala sesuatunya.
"Dua ratus juta," lirih Hazel pahit.
Hazel tersenyum, tetapi matanya tak berhenti meluruhkan air.
'Tuhan, beri tahu aku. Ke mana lagi aku harus pergi untuk mencarinya?'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 275 Episodes
Comments
yeina sehani yunjaekyusung
hueh.... aq baru baca tapi dada ku da gak bisa berhenti berdegup... nyesek nya
2023-04-11
0
Yovi Zakaria
kenapa sesedih ini cerita nya. 😭😭😭😭
2021-03-20
0
Erna III
kapan bahagianya
2020-11-30
0