Hazel mencepol rambutnya tinggi keatas. Dengan menaburkan bedak bayi di wajah manisnya, Hazel bersiap-siap pergi ke kantor.
"Sayang, jangan nakal. Bunda berangkat kerja dulu, ya." Sebuah ciuman mendarat di pipi mungil Surya.
"Hari ini jadwal terapi Surya kan, Hazel?"
"Iya, Mbok. Tapi sepertinya aku gak bisa pulang siang ini. Bagaimana ya?"
"Yasudah, si Mbok pergi sendiri saja."
Hazel menghela napasnya, ia mengerucutkan bibirnya.
"Maaf ya, harus merepotkan Mbok terus."
"Gak ada yang merasa repot Hazel, kamu sudah Mbok anggap anak mbok sendiri," ucap Mbok Darmi sambil meraih kedua tangan Hazel dan menggenggamnya erat.
"Aku bersyukur sekali Mbok. Seandaianya dulu mas Iqbal gak bawa Mbok pulang, mungkin saat ini aku gak tahu harus bagaimana?"
"Si Mbok juga bersyukur Hazel. Kalau dulu Iqbal gak bawa Mbok pergi, entah seperti apa kehidupan yang Mbok jalani saat ini," jawab Mbok Darmi sendu.
"Yasudah, kalau begitu aku berangkat ya Mbok. Surya, jangan nakal anak Bunda."
"Kamu gak sarapan dulu, Hazel?"
"Hem, enggak deh, Mbok. Takut telat." Hazel mulai membereskan tas bawaannya dan melangkah keluar rumah.
"Assalamualaikum," pamit Hazel saat keluar rumah.
Dengan sedikit berlari Hazel memasuki gerbang perusahaan tempat ia bekerja. Sebuah ban sepeda menabrak betis mulus milik Hazel.
"Aww," rintih Hazel sambil melirik kearah samping.
Brugh ....
Bersamaan si penunggang ikut terjatuh dari atas sepedanya. Dengan sigap Hazel membantu lelaki tua itu untuk bangun.
"Bapak gak kenapa-kenapa?" tanya Hazel saat membangungkan sepeda tua milik lelaki lansia itu.
"Gak kenapa-napa, Nduk. Maaf, Bapak gak sengaja nabrak kamu," jawab lelaki berambut putih itu, bersalah.
Hazel hanya tersenyum dam memeriksa kedua telapak tangan si Bapak. Hazel mengelap telapak tangan lelaki tua itu saat melihat kotoran menempel di kulit keriputnya.
"Saya baik-baik saja, Pak. Lain kali Bapak hati-hati ya," ucap Hazel lembut.
"Maaf Nduk, penglihatan Bapak sudah buram. Jadi kurang jelas saat memandang."
"Lain kali jangan naik sepeda, Pak. Bahaya buat Bapak."
"Iya, Nduk. Terima kasih."
"Terima kasih kembali," jawab Hazel sambil mengumbar senyum manisnya. "Kalau begitu, saya permisi ya, Pak."
Dengan langkah cepat Hazel menaiki anak tangga perusahaan tempat ia bekerja. Dengan berjalan sedikit menunduk, Hazel membersihkan betisnya yang kotor karena tertabrak ban sepeda tadi.
Bugh.
Hazel menabrak dada bidang milik seseorang. Seketika Hazel mengangkat kepalanya dan melihat siapa pemilik dada bidang itu.
Ardan berdiri di hadapannya dengan menyilanglan kedua tangan di dada. Matanya menatap Hazel sinis.
"Jadi ini, wanita yang mengingatkan orang lain untuk hati-hati, namu dia sendiri tidak hati-hati," ucap Ardan datar.
"M-m-maaf, Pak," jawab Hazel lirih.
Ardan melihat penampilan Hazel dari atas hingga bawah. Tak ada yang berubah dari penampilan lusuhnya. Hazel masih sangat kucel dengan wajah letihnya.
"Hazel, bukan kah saya sudah katakan sama kamu untuk perbaiki tampilan luar kamu?"
Hazel menundukan pandangan dan merapikan helaian rambutnya. Saat ini rambutnya sudah di cepol, seharusnya lebih rapi dari biasanya. Tapi kenapa penampilannya masih sangat salah di mata Ardan.
"Maaf, Pak," ucap Hazel lirih.
"Bukan kah saya sudah mengatakannya dengan jelas. Kamu bekerja di perusahaan kosmetik, Hazel. Saya tekankan sekali lagi, kosmetik!" sambung Ardan lembut tapi penuh penekanan.
"Maaf, tapi--"
"Selain kata maaf adakah kata yang bisa keluar dari bibirmu?" putus Ardan, sengit.
"Maaf, dan maaf terus. Kamu berucap maaf tapi tanpa penyesalan. Jika kamu tidak tahu apa makna kata maaf itu, sebaiknya jangan ucapkan." Ardan beranjak pergi setelah mengatakan kalimat itu.
Hazel menarik napasnya dan membuangnya kasar. Dengan langkah malas, ia berjalan memasuki gedung perusahaan.
Meletakan tasnya dengan sedikit lemas di atas meja kerjanya.
"Hazel, Issabell, dan Tria. Ikut saya keruangan!" perintah Derik saat berjalan melewati divisi mereka dan memasuki ruangan Manager.
Disusul dengan tiga wanita yang namanya disebutkan tadi.
"Saya memilih kalian bertiga untuk menjadi ketua sekaligus pengawas koordinasi lapangan. Persiapkan promosi kalian, dan mulai besok sampai tiga minggu kedepan, kalian akan bekerja di lapangan. Paham!" ucap Derik tegas.
"Paham, Pak." jawab mereka serentak.
"Baiklah, siapkan pelatihan untuk promosi besok dan berikan lampiran seminggu sekali untuk saya. Saya harap kali ini kalian mampu bekerja lebih baik dari tahun sebelumnya."
"Baik, Pak," jawab mereka serentak.
"Baiklah, kalau begitu. Kalian boleh pergi."
Dengan langkah serentak ketiga wanita itu mulai berjalan keluar dari ruangan Manager. Hazel dan yang lainnya mulai mempersiapkan bahan promosi dan juga pelatihan singkat untuk kerja lapangan besok.
"Kali ini aku yakin. Aku akan bisa ngalahin Hazel dengan telak," ucap Issabell melirik ke arah Hazel.
Sementara Hazel hanya acuh, ia lebih fokus pada pelatihannya dibandingkan mendengar ocehan temannya itu.
Ting ....
Sebuah notifikasi masuk kedalam gawai Hazel. Dengan cepat Hazel membuka pesan itu.
(Fisioterapi siang ini, pukul 12.30, oke).
Pesan yang terkirim dari Pedro, Dokter yang merawat Surya selama ini.
Hazel memegang sudut dahinya yang sedikit cenutan. Kali ini ia tak bisa pergi meninggalkan kantor, tidak mungkin pelatihan ini ia lewatkan begitu saja.
(Siang ini Surya akan di temani Mbok Darmi, Dok. Saya lagi banyak pekerjaan,) balas Hazel cepat.
(Oh, jaga kesehatanmu Hazel. Terakhir kali saya ketemu kamu, wajahmu selalu pucat,) balasan cepat dari Dokter di seberang sana.
Hazel hanya membaca pesan itu tanpa mau membalasnya. Kali ini pun ia melewati terapi Surya. Surya lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Mbok Darmi di bandingkan dirinya.
"Maafkan Bunda, Sayang," ucap Hazel lirih, sembari mengelus foto Surya di wallpaper ponselnya.
"Andai Bunda punya pilihan yang lain, Bunda tak akan meninggalkanmu sendiri." Hazel menghela napasnya, perlahan ia kembali memasukan ponsel kedalam tasnya.
Beban ini semakin sulit saja, entah sampai kapan ia bertahan di tengah kesulitan ini. Jalan hidupnya tak pernah mudah. Sampai saat ini, jalan yang di tempuh Hazel penuh luka dan juga fitnah.
****
Hazel mempersiapkan beberapa kosmetik dari brand perusahaannya. Beberapa ia letakan di tangannya sebagai barang contoh.
Hazel sudah beberapa kali menawarkan barang dagangannya ke toko kosmetik dan juga supermarket. Tapi usahanya masih jauh dari kata berhasil.
Ini sudah hari ketiga, namun usahanya masih juga tak membuahkan hasil.
Sinar terik panas matahari menyengat kulit di wajah Hazel. Peluh keringat sudah mulai bercucuran, membasahi kemeja putih yang Hazel kenakan saat ini.
Matahari sudah berada di atas kepalanya, namun satupun kosmetiknya belum masuk ke toko hari ini.
Hazel membuang bokongnya ke trotoar bibir jalan. Kakinya terasa sangat pegal. Istirahat dan asupan gizi yang tak cukup membuat wajah Hazel selalu pucat dan lesu.
Hazel meneguk botol air mineral di tangannya, matanya menatap kesekeliling. Di tengah padat lalu lintas kota, Hazel seakan tak peduli polusi dan debu. Ia malah santai, duduk di bibir jalan.
Sementara sepasang mata terus memperhatikan Hazel dari kejauhan. Dari balik kaca hitam mobilnya, Ardan memperhatikan garak-gerik Hazel dari satu jam yang lalu.
Entah apa yang membuat Hazel begitu menarik perhatiannya. Namun saat ini, Ardan sering sekali memperhatikan Hazel, saat di kantor ataupun di luar kantor.
Seperti ada magnet yang terus menarik diri Ardan. Ia seperti tak bisa lepas dari pesona Hazel semenjak pertama kali bertemu.
"Sebenarnya apa yang dilakukan wanita itu? Bisa-bisanya dia duduk tanpa peduli area sekitar?" ucap Ardan datar.
Ardan mencari tempat untuk parkir mobilnya. Dengan langkah besar ia berjalan mendekati Hazel.
"Echem." Ardan berdehem saat berada di sebelah Hazel.
Dengan malas Hazel memalingkan wajahnya. Ia langsung berdiri saat melihat Ardan yang berdiri di sebelahnya.
"Em, Pak," sapa Hazel dengan menundukan kepalanya.
"Hazel, saya bingung sama kamu. Sebenarnya kamu dengar gak sih apa kata saya?" tanya Ardan terus terang.
Sementara Hazel masih menundukan pandangannya, tak berani menatap lelaki dingin di hadapannya ini.
"Kamu, promosi dengan pakaian kucel seperti ini? Duduk di tengah debu dan polusi? Kamu pikir ada yang tertarik sama produk kita kalau kamu begini?" cerca Ardan garang.
"Sudah berapa kali saya bilang, perhatikan penampilan kamu!" sambung Ardan sengit.
Sementara Hazel masih terus menundukan pandangannya. Ia tahu ia bersalah, namun saat ini, dia pun tak berdaya.
Melihat Hazel yang terus menundukan pandangannya, kembali membuat emosi Ardan meradang.
"Hazel!" bentak Ardan keras.
"Kamu selalu saja tak pernah melihat saya, saat saya ajak kamu bicara. Saya disini!" Ardan meraih dagu Hazel dan mendongakannya.
Tanpa sengaja mata mereka saling bertemu, menatap dalam dan lekat ke dalam binar lawan. Ardan kembali tertegun melihat wajah Hazel yang pucat pasi.
'Ada apa sebenarnya dengan wanita ini? Kenapa wajahnya selalu terlihat letih dan pucat pasi?' lirih Ardan dalam hati.
"M-m-maaf, Pak," ucap Hazel gagu.
"Maaf lagi dan maaf lagi, saya sudah pernah katakan, jangan ucapkan kata maaf jika kamu tak pernah menyesal."
"Jadi saya harus ucapin apa, Pak?" tanya Hazel takut.
"Hazel!" teriak Ardan garang, Ardan menyentuh dahinya, tak habis pikir dengan wanita yang sebenarnya polos atau bodoh ini.
"Saya sudah pernah katakan, kamu harus lebih perhatikan penampilan kamu saat bekerja. Apa lagi kamu sedang kerja lapangan, seharusnya kamu lebih perhatian sama penampilan!"
"Tapi saya sudah perhatikan, Pak," jawab Hazel takut.
"Apanya yang kamu perhatikan? Kamu bekerja tanpa riasan, ini yang kamu bilang perhatian?"
"Jadi saya harus bagaimana, Pak?" tanya Hazel polos.
"Ya kamu pakai riasan sedikit, buat wajah kamu menarik. Kamu jual alat kosmetik tapi wajah kamu tanpa make-up, apa kamu pikir orang akan percaya?" tanya Ardan garang.
"Tapi, tapi, saya, saya gak punya alat make-up, Pak," jawab Hazel kembali menundukan pandangannya.
"Gak perlu berlebihan, cukup gunakan bedak ataupun lipstik saja."
"Saya sudah pakai bedak, Pak," jawab Hazel lirih.
"Tapi saya gak lihat tuh? Kamu gunakan bedak apa?" tanya Ardan penasaran.
"Bedak bayi, Pak," jawab Hazel polos.
"Allahuakbar, Hazel." Ardan menyapu kasar wajahnya, ia benar-benar kehabisan kata menghadapi karyawannya yang satu ini.
"Kamu itu sudah bukan bayi lagi, kenapa masih pakai bedak bayi?" tanya Ardan, geram.
"Saya, saya gak sanggup buat beli make-up, Pak."
Ardan menggelengkan kepalanya, ia membuang napasnya kasar.
"Saya gak ngerti, sebenarnya apa yang dikerjakan suami kamu. Kamu bekerja keras begini, tapi kebutuhan kamu saja dia gak mampu penuhi. Apa dia laki-laki?" tanya Ardan, kesal.
Sontak perkataan Ardan membuat Hazel mendongakan kepalanya. Wajah Hazel yang awalnya pucat pasi perlahan berubah memerah.
Hazel memandang wajah Ardan serius, perlahan lapisan bening mulai menghiasi mata bening milik Hazel.
Terasa buruan napas yang membuat dada Hazel naik-turun, menahan gejolak amarah.
Lelaki di hadapannya ini, kapan dia bisa berbicara yang tidak menyakiti?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 275 Episodes
Comments
Dirah Guak Kui
apakah Ardan adalah bpk biologisnya Surya
2021-08-04
0
Harlina Jauhari
Mungkin ini cerita novel aja...tapi real kerja di perusahaan kosmetik ada SOP make up bagi karyawan wanita...bahkan tanaga ADM dikantorpun wajib mengikuti SOPnya. Apalagi bagian sales, penjualan, promosi...tidak ikuti SOP ada sanksi dari denda sampai SP😊
2021-04-01
0
Hyunata
Suka melelh kalo dipanggil "Nduk", kangen masa kecil😅
Oh ya kak, like sampe sini dlu ya
tolong dong mampir di novel keduaku "Kembalinya sang puteri"
terimakasih😉
2020-11-03
0