"Bapak boleh hina saya, Bapak boleh marahi saya. Tapi Bapak gak berhak hina suami saya," ucap Hazel dengan menatap Ardan, sengit.
Melihat rona wajah Hazel, perasaan bersalah mulai bersarang di benak Ardan. Mungkin perkataan ia terlalu kasar, tak sepantasnya ia berkata begitu.
"Apa yang dikerjakan suami saya Bapak gak perlu tahu. Bapak gak pernah tahu hidup saya, Bapak itu cuma atasan saya," sambung Hazel lembut, namun perkataannya sangat menekan.
Sementara Ardan hanya mampu terdiam, kali ini dia benar-benar merasa bersalah.
"Bapak gak tahu apa-apa tentang hidup saya. Jadi Bapak gak perlu capek-capek mengomentari kehidupan pribadi saya. Permisi, Pak!" ucap Hazel sambil membalikan badannya dan melangkah pergi.
Ardan ingin meraih bahu Hazel saat melihat punggung gadis itu berbalik pergi. Namun ia mengurungkan niat itu, perkataannya telah melukai perasaan wanita itu, dari pada ia menambah luka hatinya, lebih baik ia diam saja.
Hazel melemparkan tasnya ke sofa sederhana di ruang tamu rumah kecilnya. Terik matahari, hari ini membuat kepalanya pusing, ditambah perkataan Ardan yang begitu menyakiti hatinya.
Hazel menghela napasnya, menyandarkan badannya ke sisi bagian belakang sofa.
"Hazel."
"Iya, Mbok."
"Kamu baru pulang?" tanya Mbok Darmi ikut duduk sambil menggendong Surya.
"Anak Bunda." Hazel menggulum senyumnya, mengambil Surya dari gendongan mbok Darmi.
"Anak Bunda gak nakal kan, Sayang, hem?" Hazel menghujani pipi Surya dengan ciumannya.
Seletih apapun itu, asalkan ada Surya semua akan kembali baik-baik saja. Sejenak Hazel lupa akan lelahnya, ia lupa akan beban yang saat ini terus mengimpit dirinya.
"Hazel," panggil Mbok Darmi lembut.
"Iya, Mbok," jawab Hazel yang masih asyik bermain dengan Surya.
"Sebenarnya ada yang belum Mbok sampaikan sama kamu."
"Mbok mau bilang apa?"
"Si Mbok bingung mau bilangnya ke kamu."
"Mau bilang apa, Mbok? Bilang saja," ucap Hazel masih sibuk pada Surya yang hiperaktif, angelman syndrome membuat Surya terus tersenyum dan gembira, perasaannya terus senang sepanjang hari.
"Dokter Pedro bilang sama Mbok, katanya Surya butuh brace kaki, agar Surya bisa berjalan."
Seketika senyum Hazel menghilang dari wajahnya, kini rasa letih itu semakin jelas terasa.
"Brace kaki?" tanya Hazel, membuang pandangan ke mbok Darmi yang saat ini duduk di sebelahnya.
Hazel menelan salivanya yang terasa sangat pahit. Ia tersenyum getir, kembali otaknya berputar, apalagi yang harus ia lakukan untuk menghasilkan uang lebih banyak.
"Aku akan cari biayanya, Mbok," jawab Hazel dengan senyum getir.
"Hazel, si Mbok bingung, si Mbok gak punya apa-apa buat bantuin kamu cari uang, Sayang."
"Ada Mbok di sini saja, aku sudah sangat bersyukur, Mbok," ucap Hazel lirih, air matanya menetes dari salah satu matanya.
Hazel menarik napasnya yang terasa kian berat.
"Aku masih sanggup dan aku masih sangat kuat, Mbok," sambung Hazel dengan bibir yang bergetar, menahan pedih yang kian hari kian terasa perih di hidupnya.
Mbok Darmi bangkit dan memeluk badan Hazel yang semakin kurus dan tak terawat. Bahkan wajah Hazel saat ini tak lagi berlapiskan bedak, wajahnya selalu pucat.
"Kasian kamu, Nduk. Di umur kamu yang masih sangat muda, kamu sudah harus mengalami kepahitan hidup yang luar biasa. Mbok hanya bisa berdoa, semoga kamu akan selalu bahagia, Hazel," ucap Mbok Darmi mengeratkan pelukannya.
Mbok Darmi paham betul, saat ini Hazel pasti merasa sangat lelah. Hazel bertahan di tengah badai yang terus menerjang dirinya. Hazel adalah perempuan yang sangat kuat, ia begitu tangguh, tak pernah menyerah pada keadaan.
Walaupun Saat ini tubuh Hazel bagaikan tulang berlapiskan kulit. Kulit putihnya yang dulu mulus dan cantik, kini hanya menjadi putih pucat dan kering. Wajah cantiknya tak pernah lagi merona dan bahagia.
Bibirnya hanya akan tersenyum saat ia bermain bersama Surya. Selain itu, Hazel hanya bagaikan mesin yang terus bekerja untuk menghasilkan uang.
***
Ardan mengendurkan dasi yang melingkari lehernya. Ia membuang badannya ke atas kasur.
Kebodohannya adalah terlalu peduli pada wanita pucat yang selalu mengganggu pikirannya semenjak pertama kali berjumpa.
Deringan ponsel Ardan bersenandung keras, dengan sedikit malas Ardan menyapu layar ponselnya. Langsung, wajah seorang lelaki muncul di layar pipih miliknya itu.
"Hey, Bro. Kucel amat tuh muka?" tanya seorang lelaki di ujung sana.
"Ada apa?" tanya Ardan malas.
"We ... santai. Jangan jutek amat kenapa?"
"Kalau kamu video call aku gak ada guna, aku matikan sekarang juga," balas Ardan jutek.
"We ... we ... we. Jangan judes amat kenapa, Dan?" tahan seorang di seberang sana.
"Ada apa? Cepetan ngomong?" tanya Ardan tanpa basa-basi.
"Aku lagi di Star cafe bareng anak-anak yang lain. Kamu kesini sekarang ya."
"Males!" jawab Ardan spontan.
"Ayolah Ardan, kami adain acara party buat kepulangan kamu. Masa bintangnya malah gak muncul sih?" bujuk Arfan, saudara kembar Ardan.
"Siapa yang suruh ngadain party? Aku lelah, Fan," tolak Ardan langsung.
"Kamu masih bujang saja pakai alasan lelah segala. Pokoknya dalam waktu lima menit gak datang, aku bisa paksa kamu buat datang."
Tut ... Tut ....
Seketika Arfan memutuskan panggilannya. Dengan berdecak kesal, Ardan membuang ponselnya. Mau tak mau ia bangkit dari atas kasur dan bersiap-siap untuk pergi.
Arfan, jika ia suruh pergi ya pergi. Atau gak dia bisa membawa seluru isi cafe ke rumah.
Ardan membanting daun pintu mobilnya dengan keras. Sedikit malas, ia berjalan memasuki salah satu cafe mewah di kotanya.
Mata Ardan langsung tertuju pada kursi VIP di cafe ini. Sudah berkumpul beberapa sahabat lama mereka di sana.
"Akhirnya, sampai juga kamu," ucap Rama, sahabat baik Ardan semasa SMA.
"Ardan, lama gak pulang, sekali pulang wajah masih kaku saja," goda Ferla, sahabat wanita Ardan dan Arfan dari kecil.
"Hamil lagi kamu, Fer?" tanya Ardan saat duduk di kursi sebelah Arfan.
"Yoi dong. Kamu kapan lagi?" tanya Arfan sambil menumpuhkan lengan tangannya di bahu Ardan.
Ardan hanya mengerdikan bahunya dan tersenyum simpul. Saat ini ia lebih butuh waktu menyendiri di bandingkan berkumpul begini.
"Sudah mau punya tiga ponakan kamu, Ardan. Kali ini kamu kalah telak sama, Arfan. Ha ha ha," sambung Hendar di sambut tawa yang lainnya.
"Kalau soal pelajaran dan kecerdasan, kuakui Ardan tak akan pernah terkalahkan. Tapi kalau soal asmara, Ardan ini selalu lemah," sahut Arfan mengejek.
"Anj*r ... gini-gini gue masih kakak kamu ya, Fan," jawab Ardan sambil menjitak kepala Arfan.
"Baiklah, baiklah. Jangan bertengkar lagi, ayo kita nikmati acara malam ini saja," ucap Ferla, menengahi.
Arfan dan Ardan adalah kembar yang tak identik. Wajah mereka hanya punya satu kemiripan di bagian mata, selain itu mereka sama sekali tak mirip. Karena itu, banyak yang tak percaya jika mereka di bilang kembar.
Ardan memiliki kulit sawo matang, sementara Arfan, kulitnya putih mulus dan terawat. Namun itu tak menjadikan hubungan mereka berdua retak, hubungan Ardan dan Arfan terbilang sangat baik. Mereka bukan hanya sekedar saudara, tapi juga sahabat karib yang tak terpisahkan.
Ardan masih terduduk di sofa, sementara teman-temannya yang lain sedang asyik bermain biliard bersama di cafe tersebut.
Ardan menghela napasnya, ia menyandarkan kepalanya, perlahan matanya mulai terpejam.
"Masih belum jumpa wanita yang bisa buat kamu jatuh cinta, Ardan?" tanya Ferla membuka percakapan.
"Belum," jawab Ardan tanpa membuka matanya.
Saat ini di pelupuk matanya masih terbayang wajah Hazel yang sedang menahan tangis tadi siang. Ada rasa bersalah yang menyelimuti hati Ardan.
"Dari sekian banyak wanita yang kamu pacari, masa iya satupun gak ada yang menarik hatimu?" Kembali Ferla membuka suaranya.
Ardan membuka mata dan mengubah posisi duduknya, kembali tegak. Ia meraih gelas wine yang ada di atas meja, meminumnya seteguk.
Menggoyang-goyangkan gelas itu perlahan, bibirnya tersenyum simpul.
"Wanita itu makhluk manja, mereka itu lemah dan hanya bisa berlindung di balik punggung pria," jawab Ardan angkuh, matanya menatap kosong ke gelas wine di tangannya.
"Memang seperti itu kodrat wanita, Ardan."
"Karena itu aku malas. Wanita hanya akan membuat repot saja."
"Belum Ardan," balas Ferla spontan.
"Kamu belum bertemu wanita yang membuat matamu hanya tertuju padanya saja. Kelak saat kamu sudah bertemu dia, kamu akan tahu rasanya bagaimana," sambung Ferla dengan senyum sendu.
Ardan hanya tersenyum dan menggeleng pasrah. Umurnya sudah sangat matang, ia juga sudah banyak mengenal wanita dalam hidupnya. Kapan lagi, ia bisa bertemu wanita yang seperti Ferla bilang.
"Seperti Arfan, yang hanya memandangmu dari semenjak kita SMP?" tanya Ardan menggoda. "Aku tak akan senaif dia, Ferla," sambungnya sambil tersenyum getirnya.
"Ya ... setidaknya kamu akan merasakan, Ardan. Saat kamu jatuh cinta, maka direpotkan wanita adalah hal yang paling membuatmu bahagia."
Bersamaan dengan ponsel Ferla yang berdering keras. Ferla bangkit dan menjauh dari tempat duduk mereka.
"Aku yakin cepat atau lambat kamu akan bertemu wanita itu, dan jatuh cinta padanya." Tepuk Ferla di pundak Ardan sambil berlalu menjauh.
Ardan hanya tersenyum dan kembali menenggak gelas wine di tangannya.
"Sepertinya, aku sudah menemukan dia. Hanya saja--" Ardan tersenyum dan menggeleng pasrah.
"Saat ini ia sudah menjadi istri orang lain," sambung Ardan getir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 275 Episodes
Comments
Noor
hi kak... aku mampir ni... kasih rate 5 juga boomlike... feedback ya kak... 😊
duh, suer... cerita ni tuh bagus bgt... bikin air mata meleleh... sungguh, perjuangan seorang ibu buat anaknya bgtu besar.😢
2021-01-18
1
New R
next
2020-10-24
0
alone
benar hazel wanita yg tangguh dg beban yg terus bertmbh...btw gmn dg suami hazel,ad dmnbdia saat ini...
fizaaa kok sedih bgt siih...
2020-06-22
0