Ardan membuang bokongnya di cor-an beton bawah pohon. Ia mengeluarkan sebatang rokok dan membakarnya perlahan.
Suasana di dalam cafe begitu sangat membosankan, membuat Ardan jengah berlama-lama di dalam sana.
Ardan mengepulkan asap dari dalam bibirnya perlahan. Menikmati sesapan dari tembakau yang dihisapnya perlahan.
Matanya menatap ke hamparan luas jalan raya yang mulai sepi. Malam yang semakin larut, menyuguhkan desir angin yang menyapa wajah, memberikan ketenangan pada pikiran Ardan yang sedikit kacau.
Tanpa sengaja matanya menangkap sosok wanita yang selalu terbayang di pelupuk matanya akhir-akhir ini.
Ardan menaiki sebelah alis matanya, ia melirik jam di tangan kirinya.
Ini sudah hampir dini hari pagi, kenapa wanita itu masih berkeliaran dengan mendorong sepeda bututnya?
Mata Ardan terus memperhatikan gerakan Hazel. Ardan berlari mengikuti langkah Hazel saat wanita itu semakin jauh dari pandangan.
Hazel menghela napasnya, membuang dengan kasar. Mengulangi beberapa kali sekadar untuk melepaskan beban pikirannya.
Ia masih terus kepikiran dengan brace kaki yang harus disediakan untuk keperluan Surya. Entah bagaimana caranya? Namun yang pasti, langkahnya masih harus kuat demi buah hatinya itu.
Hazel menghentikan langkahnya, matanya memandang ke kesekitar, terduduk lemas di atas trotoar jalan.
Pikirannya terus berperang, mencari jalan untuk menghasilkan lebih banyak uang.
Hazel mengusap wajahnya kasar, menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Bingung dengan keadaan yang terus mengimpitnya semakin terdesak.
Ingin menjerit dan menangis sekuat tenaga. Tetapi siapa yang ada untuk menyandarkan segala lelah?
Sepasang sepatu casual berhenti di depan Hazel. Perlahan ia membuka matanya, melihat siapa pemilik kaki tersebut dengan ekspresi datar.
"Pantas kamu selalu tertidur di kantor, ternyata selarut ini kamu masih berada di luar," ucap Ardan memecahkan keheningan malam.
Hazel kembali menghela napasnya, ia bangkit dan beranjak pergi dari tempat itu.
Malas jika harus berdebat lagi dengan lelaki angkuh itu.
Tak mendapati jawaban dari bibit Hazel, membuat emosi Ardan mulai tertantang. Lelaki itu menarik lengan tangan Hazel yang saat ini sedang mendorong sepeda butut miliknya.
"Hey, saya sedang berbicara dengan kamu!" teriak Ardan sambil menarik lengan tangan Hazel, membuat badan Hazel berbalik menghadap ke arah Ardan.
"Apa yang kamu lakukan tengah malam duduk disini sendirian?" tanya Ardan angkuh.
"Apa yang saya lakukan itu bukan urusan anda," jawab Hazel sengit.
"Kamu!" Ardan mengencangkan cengkeraman tangannya di lengan Hazel.
"Aw," rintih Hazel, menahan sakit.
Melihat ekspresi Hazel, sontak Ardan langsung melepaskan cengkeramannya.
"Ah, maaf," ucap Ardan bersalah.
"Jangan ucapkan kata maaf, jika anda tidak tahu maknanya." Hazel berbalik membalakangi Ardan dan mulai mendorong sepedanya perlahan.
Ardan meraih belakang sepeda Hazel, menahan langkah wanita itu yang berniat pergi meninggalkannya.
"Malam-malam begini, apa yang kamu kerjakan?" tanya Ardan melembut.
"Itu bukan urusan anda," jawab Hazel sengit. "Tolong! Lepaskan sepeda saya," sambungnya ketus.
"Saya hanya bertanya, kenapa kamu harus sejutek itu?"
"Selain di kantor dan jam kerja saya. Tolong! Anggap kita tidak saling mengenal."
"Kamu!" bentak Ardan meradang.
Hazel menarik sepedanya, mendorong menjauh dari Ardan.
Semenatra Ardan hanya bisa terdiam. Perlakuan Hazel benar-benar tak bisa ia terima. Hazel sudah sangat meremehkannya.
"Aku tak peduli mau kamu istri orang atau bukan. Kamu sudah memulai dengan orang yang salah." Ardan menggeretakan rahangnya, ia tak terima dengan perlakuan Hazel.
***
Setelah malam itu, Ardan memutar otaknya. Mencari cara agar Hazel bisa berada di dalam genggamannya. Kali ini, apa yang ia inginkan harus segera ia dapatkan.
Entah bagaimana caranya, Hazel harus berada dalam kendalinya.
Ardan keluar dengan sebuah paper bag di tangannya. Mengendarai mobil sportnya menembus jalan raya.
Ardan mencari keberadaan wanita itu. Setelah hampir satu jam berlalu, akhirnya pencarian Ardan menemukan hasil.
Ardan menyungingkan bibirnya saat melihat pungung badan mungil milik Hazel yang sedang menawarkan produk ke beberapa orang.
Terlihat seuntai senyum menghiasi wajah letih wanita itu, namun bersamaan dengan tatapan sendu yang begitu menyedihkan terpancar dari binar matanya.
Banyak hal yang begitu misterius di dalam diri Hazel. Itu yang membuat Ardan terus masuk kedalam rasa penasarannya. Wanita terlalu banyak menyimpan rahasia di setiap tatapan matanya.
Setelah Hazel selesai menjual beberapa produk ke costumer. Ardan keluar dari dalam mobilnya, membawa sebuah paper bag di tangannya.
Ardan mengulurkan tangannya. Hazel menolehkan pandangannya, menghela napasnya dengan malas.
"Pakai ini saat kamu bekerja!" perintah Ardan datar.
Namun seperti tak peduli, Hazel terus melanjutkan pekerjaannya. Membereskan beberapa produk yang sempat ia keluarkan tadi. Setelah selesai, Hazel langsung beranjak pergi tanpa menoleh ke arah Ardan sedikitpun.
Kembali tingkah Hazel membuat Ardan tertantang. Wanita itu kembali membuat emosi Ardan meluap.
"Hazel!" teriak Ardan menghentikan langkah Hazel yang sudah lima meter berjalan menjauh.
"Hari ini saya adalah atasan kamu, jika kamu tidak mau saya pecat. Kembali kesini!" perintah Ardan garang.
Hazel menghela napasnya dan membalikan badan perlahan. Walau sebenarnya ia malas, namun ia juga masih harus mempertahankan pekerjaannya. Demi Surya.
"Ambil ini!" Kembali Ardan memerintah saat Hazel berdiri di depannya.
Dengan malas, Hazel meraih paper bag yang diberikan Ardan. Perlahan ia mulai membuka paper bag itu dan melihat isinya.
"Pakai itu saat bekerja, demi nama baik perusahaan ini," ucap Ardan sesaat setelah Hazel melihat isi paper bag itu.
"Terima kasih, Pak."
"Hem, sama-sama," jawab Ardan angkuh.
"Sekarang ikut saya!" perintah Ardan kembali.
"Kemana, Pak?" tanya Hazel bingung.
"Sudah ikut saja," ucap Ardan sembari menarik pergelangan tangan Hazel.
"Eh, Pak, tunggu dulu!" tahan Hazel sambil berlari mengikuti langkah besar Ardan.
Tetapi apa yang dikatakan Hazel tak lagi Ardan pedulikan. Ia menarik pergelangan tangan Hazel, memasuki restoran mewah di dekat tempat promosi tadi.
Memesan beberapa makanan, mendudukan Hazel tepat di hadapannya.
Hazel hanya menatap bingung lelaki yang ada di depannya itu. Beberapa hidangan mewah sudah tersaji di hadapannya. Tetapi sedikitpun ia tidak berani menyentuhnya.
"Ayo makan," ucap Ardan memecahkan keheningan.
"Maaf, tapi saya masih harus bekerja, Pak." Hazel meraih tasnya, bangkit perlahan.
"Saat ini saya perintahkan kamu duduk dan makan dengan saya!" perintah Ardan menghentikan langkah Hazel.
Hazel membalikan badannya dan kembali menatap Ardan, datar.
"Tapi, Pak--"
"Ini perintah!" putus Ardan langsung.
Mau tak mau Hazel mengikuti keinginan Ardan. Walau sebenarnya ia sangat malas makan dan berhadapan dengan lelaki yang suka mencampuri pribadinya itu.
"Makanlah yang banyak, wajah kamu terlihat sangat pucat Hazel," ucap Ardan sembari menggulum senyumnya.
Tak ingin menjawab, Hazel hanya melahap potongan-potongan daging di dalam piringnya.
Perlahan bibir Hazel tersenyum manis, saat merasakan hidangan lezat itu masuk ke dalam mulutnya. Pikirannya kembali teringat akan mbok Darmi dan Surya di rumah.
Kapan ia bisa membawa mereka berdua menikmati makanan lezat ini. Makanan di sini pasti sangat mahal, mungkin satu porsinya saja sama harganya dengan brace kaki Surya.
Mengingat itu, Hazel langsung bangkit dari tenpat duduknya. Sontak pergerakan Hazel membuat Ardan terkejut.
"Ada apa?" tanya Ardan spontan.
"Maaf, Pak. Saya harus kembali bekerja."
"Hazel, duduk dan makan kembali!" perintah Ardan sambil memotong daging di dalam piringnya.
"Tapi, Pak--"
"Saya bilang, duduk! Habiskan makananmu. Atau kamu yang harus membayar seluruh makanan ini," ancam Ardan datar.
"Apa?" tanya Hazel tak percaya.
Ardan ini terlalu licik, ada saja hal yang ia gunakan untuk membuat Hazel tak berdaya.
Hazel kembali terduduk, memakan kembali sisa makanan di piringnya.
Ardan tersenyum puas, memindahkan beberapa potong daging ke piring Hazel.
"Saya bukan Belanda yang memaksa orang bekerja sampai tak boleh makan," ucap Ardan tanpa melihat ke arah Hazel.
"Nanti kalau kamu sakit, perusahaan juga yang akan rugi," sambungnya datar.
"Tapi kalau saya tak bisa menjual produk mencapai target, perusahaan Bapak juga yang akan merugi," jawab Hazel lembut.
Ardan meletakan sendok dan garpu yang ia pegang. Melemparkan pandangan ke arah Hazel yang berseberangan meja dengannya.
"Jadi dari tadi kamu pikiri masalah itu?" tanya Ardan dengan tersenyum lebar.
Hazel mengangguk, menjawab pertanyaan Ardan.
"Kamu memang pekerja yang baik, Hazel. Mungkin ada alasan kenapa pak Derik belum memecatmu walaupun kamu banyak berbuat kesalahan."
"Untuk itu, saya--"
"Maaf," putus Ardan langsung.
Hazel melemparkan pandangannya saat mendengar ucapan Ardan.
Ardan menggulum senyumnya dan menggeleng pasrah.
"Selain itu, kamu tak pernah berucap yang lainnya," sambung Ardan dengan menampilkan jejeran giginya dan sebuah ginsul di sebelah kanan giginya.
"Kamu tahu caranya memakai make-up?" tanya Ardan kembali.
"Em," jawab Hazel di sambung dengan anggukan kepala.
"Kalau begitu, pakai yang saya berikan ke kamu tadi. Saya akan menunggu kamu disini."
"Hem, kenapa Pak?" tanya Hazel bingung.
"Sudah, pergi saja ke toilet dan keluar dengan make-up yang lengkap, ya."
Ardan langsung bangkit dari kursinya dan berjalan menjauh.
Sementara Hazel masih terduduk diam, ia bingung dengan permintaan Ardan tadi. Namun tak ada alasan juga untuk menolak, karena pekerjaan ini juga menuntut penampilan yang menarik.
Hazel membawa paper bag yang di berikan Ardan tadi. Memasuk toilet cafe, mengeluarkan isi di dalam paper bag itu.
Matanya membulat sempurna, terkejut dengan alat make-up yang di berikan Ardan. Lelaki itu memberikan peralatan lengkap dari produk termahal brand perusahaan tempat ia bekerja.
"Kenapa Pak Ardan memberikan ini untukku?" tanyanya bingung.
Hazel mengserdikan bahunya, tidak terlalu peduli dengan hal itu. Ia mencuci wajahnya dan mulai mengaplikasikan ke wajahnya.
Sementara Ardan mendatangi owner cafe mewah itu. Meminta izin untuk melakukan promosi di dalam cafe. Ardan meletakan beberapa produknya di atas meja dan menyusunnya dengan rapi.
"Permisi, boleh saya minta perhatiannya sebentar " ucap Ardan menggunakan microfon yang ada di panggung cafe.
Seluruh mata tertuju pada Ardan. Pesona keren dan wajah manis Ardan mampu menarik sebagian pelanggan wanita di cafe itu untuk datang mendekat.
"Maaf, mengganggu makan siang kalian. Tapi izinkan saya untuk memperkenalkan beberapa produk kecantikan dari perusahaan kami," ucap Ardan memulai promosinya.
Dengan menyunggingkan bibirnya selebar mungkin, Ardan mampu menyihir beberapa pelanggan wanita di sana.
Tak perlu banyak bicara, dengan tersenyum menampilkan ginsulnya saja. Wanita di sana sudah mulai mengerubungi Ardan.
"Ini adalah produk kecantikan dari--" Ardan menggantungkan kalimatnya saat melihat Hazel berjalan mendekatinya.
Wajah Hazel berubah drastis, sesaat Ardan terpaku. Ia tidak mampu memalingkan pandangannya dari wanita itu.
Wajah Hazel yang selalu pucat, kini terlihat sangat segar dan menggoda. Membuat Ardan terpaut pada pesona wanita itu yang semakin menawan.
"Cantik sekali," lirih Ardan tanpa sadar.
'Benarkah dia wanita berwajah pucat yang selalu kumel selama ini?' sambungnya dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 275 Episodes
Comments
🍇annoura naura ☀︎(hiatus)
emmm jadi ini ceritanya cinta pd pandangan pertama...
2021-03-20
1
New R
lanjut baca
2020-10-24
0
ratmie lutfy
ardan,, mngkin aku mengagumimu.
2020-10-03
0