Hazel membuka pintu rumah sederhananya itu. Satu air mata kembali terjatuh saat ia menginjak keramik putih yang mulai kusam.
Hazel langsung berlari memeluk badan gempal mbok Darmi saat melihat wanita itu berdiri menunggunya di ruang tengah.
Hazel membenamkan wajahnya pada pundak wanita gempal itu, memecahkan tangisan yang sangat pedih menyayat hati.
"Apa yang harus aku lakukan, Mbok? Apa?" tanya Hazel tergugu.
"Aku bingung, aku tidak tahu harus ke mana, Mbok. Tolong bilang sama aku, aku harus bagaimana?" tanya Hazel kembali.
Semakin kencang tangisannya semakin erat pula ia memeluk badan wanita itu. Tidak tahu harus berbuat apa, hanya bisa pasrah dengan segalanya.
"Sabar ya, Nduk. Kita berdoa saja, Mbok yakin Allah akan memberikan jalan."
"Aku gak tahu lagi harus bagaimana, Mbok. Manusia itu, bahkan mereka sama sekali tidak memiliki nurani. Kenapa mereka memperlakukan aku sekejam ini?"
"Yang sabar, Hazel. Mereka bisa memperlakukanmu begini. Tetapi suatu saat dunia yang akan memperlakukan mereka lebih kejam dari ini. Percayalah."
"Surya masih darah keturunan mereka, Mbok. Surya masih anak mas Iqbal, tapi kenapa? Kenapa aku meminta hak kami saja harus sesakit ini?"
Mbok Darmi hanya bisa diam, ia mengelus pundak Hazel untuk menenangkan wanita itu.
Terus terang hatinya teriris, sebagai seorang Ibu, mbok Darmi paham betul bagaimana sulitnya membesarkan anak seorang diri. Terlebih lagi dengan anak yang memiliki kebutuhan khusus.
Bukan lagi lelah raga, namun juga lelah tenaga dan juga jiwa. Entah kapan semua ini menemukan jalan, dia juga tidak mampu untuk membantu. Hanya doalah yang selalu terpanjat di setiap sujud.
"Sudah, jangan pernah lagi ke sana, Hazel. Si Mbok mohon, jangan ke sana lagi."
"Jadi aku harus ke mana, Mbok? Aku harus ke mana? Haruskah aku menyusul mas Iqbal."
"Hush ... jangan bicara seperti itu. Lelah boleh, tapi menyerah jangan. Ikhlaskan apapun yang terjadi, Hazel. Ingat, Surya bukan hanya titipan, Allah. Tetapi Surya juga ladang pahala untukmu, kelak di sana. Surya yang akan berjuang menyelamatkanmu, hem."
Hazel melepaskan dekapannya dan memandang wajah wanita gempal itu. Tangan keriput wanita paruh baya itu menghapus air di pipi pucat Hazel.
"Ingat, Hazel. Dunia ini kejam, tetapi sekejam-kejamnya dunia, kita masih punya tempat untuk berteduh dan mengeluh. Jangan khawatir, masih ada Allah bersama kita."
Seperti mendapatkan bantuan, serasa ada perasaaan lega yang memasuki relung hati Hazel. Seberat apapun yang di alami manusia, memang hanya Dialah tempat kita mencari dan meminta.
Sebab di mana masalah itu datang, maka di sana pula masalah itu kembali. Dan satu-satunya tempat segala sesuatunya kembali, hanya pada Dia. Sang Maha Pencipta Segalanya.
***
Hazel menyeret sebuah ember, bersiap untuk mengepel lantai cafe. Dua orang wanita berjalan tanpa melihat tanda yang diberikan Hazel.
Satu di antaranya hampir jatuh dan terjungkal. Nasib baik teman wanita itu sigap menangkap tubuh kawannya.
"Hei, kamu!" teriak teman wanita yang hampir terjatuh itu.
Hazel membalikan badannya, melihat suara lantang yang memanggilnya itu. Matanya melebar, saat melihat rivalnya ada di sana.
"Hazel?" ucap wanita itu ketus.
"Serli, kamu kenapa di sini?" tanya Hazel kaget.
Wanita itu menyilangkan kedua tangannya di dada, wajahnya berubah angkuh seketika.
"Jadi dia pelayan cafe ini, pantas saja kerjanya gak becus!" ketus Serli.
"Maksud kamu?"
"Kamu masih bertanya maksud aku? Teman aku, Sharon. Hampir terjungkal karena kamu mengepel terlalu basah."
Hazel melihat ke arah wanita yang dikatakan Serli itu, ia berjalan mendekati Sharon dan menundukan badannya.
"Maaf, Mbak. Mbak gak apa-apa?" tanya Hazel lembut.
"Dia baik-baik saja karena aku yang menjaganya. Seandainya dulu mas Iqbal tidak memutuskan pertunangan kami. Mungkin sampai sekarang dia masih baik-baik saja," jawab Serli angkuh.
"Mas Iqbal meninggal karena takdir. Bukan karena siapa yang dia nikahi," jawab Hazel tegas.
"Serli, kamu kenal dia?" tanya Sharon yang masih bingung oleh keadaan temannya ini.
"Jelas aku tahu. Dia, gadis yang sudah merebut mas Iqbal dariku. Membuat seluruh keluargaku malu karena pernikahan yang batal. Semua itu karena dia," jawab Serli emosi.
"Oh, jadi dia." Sharon memandangi wajah Hazel dari atas sampai bawah.
"Ternyata selera mantan tunanganmu hanya sebatas dia?" tanya Sharon angkuh.
Sementara, langkah Ardan terhenti di depan pintu cafe. Ia menyaksikan pertengkaran antara dua wanita itu dari ujung sini.
"Sialan, Arfan. Dia bilang ingin bicarain soal masalah Arfi, kenapa malah ada Sharon di sini?" rutuk Ardan geram sendiri.
Ardan mengeluarkan ponselnya, menelpon kembarannya di seberang sana. Siap meluncurkan segala makian pada lelaki itu, sahabatnya dari bayi.
"Panggilkan Manager cafe ini!" perintah Sharon ketus.
Hazel menganggukan kepalanya, memanggil pria setengah dewasa yang menjadi penanggung jawab cafe itu.
"Permisis, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?"
Sharon mengeluarkan sebuah kartu, meletakannya ke atas meja dengan sedikit membanting.
"Aku, tidak akan menjadi member lagi di sini."
Lelaki itu terkejut, ia mengambil kartu itu dan melihat ke arah Hazel.
"Karyawan anda ini, tidak becus dalam bekerja. Dia mengepel lantai terlalu basah, aku hampir terjungkal karena dia. Kalau aku sampai jatuh, bagaimana?" tanya Sharon ketus.
"Maaf, Mbak. Kami minta maaf atas kesalahan itu. Tapi bisakah Mbak tidak membatalkan member ini?"
Sharon menyilangkan kedua tangannya di dada. Serli membisikan sesuatu ke telinga Sharon. Gadis itu mengangguk dan tersenyum sinis.
"Baik, aku akan tetap menjadi member di cafe ini. Tetapi jika wanita ini dipecat!"
Seketika mata Ardan teralih pada perkumpulan wanita itu. Ia mematikan panggilannya yang sama sekali tidak dijawab. Sudah pasti, Arfan yang merencanakan pertemuannya dengan Sharon kali ini.
"Cih ... dasar Arfan buta. Gadis sempurna, sempurna apanya? Angkuhnya bahkan seakan-akan dia pemilik dunia," ucap Ardan menggelengkan kepalanya.
Ia kembali membuka pintu kaca cafe dan keluar dari sana. Bosan melihat tingkah-tingkah wanita yang angkuhnya luar biasa.
"Maaf, Mbak. Tetapi kami ada prosedurnya saat memecat karyawan. Tidak bisa sembarangan."
"Baiklah. Kalau begitu, aku akan membatalkan menjadi member dan juga akan mengatakan pada teman-teman. Bahwa pelayanan cafe ini, kacau," ancam Sharon lembut.
Manager cafe itu menghela napasnya, ia beralih pada Hazel.
"Hazel, maaf. Kamu tahu kalau cafe ini kesulitan pelanggan akhir-akhir ini. Kita tidak bisa lagi mempertahankanmu."
Hazel memejamkan matanya sejenak, menikmati sesak dalam dadanya yang kian bertambah berat.
"Baik, Pak." Hazel mengambil ember itu dan membawanya ke arah dapur.
Rasanya kali ini dia memang tidak bisa lagi bertahan. Sudah cukup dengan segala penghinaan ini. Cukup dengan kata-kata kasar yang selalu menyayat hati.
Ia masih bisa mencari pekerjaan yang lainnya, tetapi kali ini. Biarlah dia mempertahankan harga dirinya.
Manager lelaki itu berjalan ke arah dapur, melihat Hazel yang mulai mengganti seragamnya. Ia tersenyum dan menyerahkan sebuah amplop ke tangan wanita itu.
"Makanlah dulu sebelum pulang. Ini gajimu bulan ini, maaf Hazel. Saya tidak berdaya," ucap lelaki itu lembut.
Hazel tersenyum dan menganggukan kepalanya. Mengambil amplop yang diberikan Manager cafe itu.
"Hazel, saya akan merekomendasikan kamu dengan teman saya yang bekerja di cafe lain. Semoga setelah ini kamu masih bisa bekerja dengan baik ya."
"Terima kasih, Pak. Maaf saya mengacaukan cafe, malam ini."
"Saya bukan baru lagi di dalam dunia ini, Hazel. Terkadang, orang-orang seperti mereka memang ada. Saya tidak menyalahkanmu, tetapi saya juga tidak bisa mempertahankanmu."
"Saya memgerti, Pak. Kalau begitu, saya pamit ya, Pak." Hazel tersenyum dan meraih tasnya.
Keluar dari pintu belakang cafe, Hazel duduk di antara kursi yang ada di belakang cafe. Menunggu Rania untuk mengucapkan selamat tinggal.
Lima belas menit menunggu, Rania keluar dengan wajah sendunya. Memeluk badan Hazel dengan erat.
"Hazel, maaf aku tidak bisa membantumu," ucap Rania lembut.
Perlahan Hazel membalas dekapan erat Rania. Memeluk badan gadis itu sembari membenamkan wajahnya.
Perlahan isak tangis Hazel mulai terdengar, badannya terasa bergetar. Meluruhkan tangisan yang berusaha ia tahan.
"Hazel, kamu baik-baik saja?"
"Aku tidak baik-baik saja, Ran. Aku tidak baik-baik saja."
Rania menarik bahu Hazel dan menatap lekat wajah temannya itu.
"Ada apa? Kamu ada masalah?" tanya Rania mencoba membuka mulut temannya itu.
Hazel hanya menganggukan kepalanya, ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Kembali menangis dalam. Sesaat, Rania membiarkan temannya itu melepaskan segala bebannya.
Setelah beberapa lama, Hazel mulai tenang. Ia membuka kedua tangan perlahan. Menjatuhkan kepala pada pundak Rania.
Beberapa kali Hazel menghela napas, matanya mengawan jauh ke langit gelap malam ini.
"Ran," panggil Hazel lembut.
"Ada apa? Ceritakan padaku, Hazel. Kita sudah berteman lama, kenapa kamu menyimpan semuanya sendiri?"
Hazel hanya diam, matanya masih menatap jauh ke langit luas. Beberapa kali napasnya terhela dengan berat, sebelum ia membuka suara untuk bercerita.
"Kita akan menikah, kita akan punya anak dan membeli rumah. Aku memang tidak bisa selalu berada di sisi kamu setiap saat. Tetapi aku akan menuliskan impian kita, menggapainya bersama, membesarkan anak-anak kita, dan melihat mereka menikah." Hazel menghela napasnya, ia kembali meluruhkan air dari salah satu matanya.
Ia memejamkan kedua belah kelopak matanya, mengingat sepenggal kisah indah yang pernah terukir dalam hidupnya.
"Itu yang pernah mas Iqbal ucapkan padaku, dulu. Mas Iqbal merencanakan masa depan kami berdua. Berjanji akan menggapainya bersama," ucap Hazel lirih.
Ia kembali terdiam, mengambil napas yang semakin terasa berat menyesak di dada.
"Saat ini aku butuh dia, Ran. Aku butuh seseorang yang membantuku, aku butuh orang yang menguatkanku, aku butuh pundak itu. Tempat bersandar dan juga tempat melabuhkan perasaan. Mas Iqbal janji akan meraihnya bersamaku, tetapi kenapa mas Iqbal meninggalkanku?"
"Sabar, Sayang. Semua ini pasti akan berlalu. Pasti Allah menciptakan kesulitan bersama jalan keluarnya. Harus kuat ya," ucap Rania lembut.
Hazel kembali meluruhkan air matanya, jalan keluar yang mana lagi, yang diucapkan Rania. Malam ini semuanya terasa semakin berat saja.
Jalan ia telah buntu seluruhnya, tidak ada jalan untuk melangkah maju tidak ada jalan untuk melangkah mundur. Bahkan bertahan di tempat juga tidak bisa.
Bagaikan berdiri di atas duri. Bertahan akan terluka, keluar juga akan berdarah. kemanapun ia melangkah, semuanya hanya ada luka. Luka yang terus mengisap darahnya sampai habis tak bersisa.
Hazel kembali memeluk badan Rania, kali ini ia benar-benar putus asa. Kehilangan segala kepercayaan, bahwa yang namanya jalan itu, masih ada.
"Kami menuliskan impian ini berdua, Ran. Tetapi kenapa hanya aku yang berusaha mewujudkannya. Kenapa hanya aku yang berjuang untuk meraihnya? Kenapa mas Iqbal meninggalkan aku?" Hazel semakin mengeratkan dekapannya, tergugu dalam, sampai membuat seluruh badannya bergetar.
Rania menyeka matanya yang berair karena ikut merasakan luka.
"Aku ingin menyerah, tetapi aku tidak bisa. Ada harapan mas Iqbal di sana. Aku tidak bisa mengecawakannya, Ran. Tidak bisa," ucap Hazel parau.
Hazel bukan orang yang mudah menyerah, apalagi mengeluh seperti ini. Mungkin ini adalah titik terendah dalam hidupnya. Menerima segala cobaan yang membuat harapannya putus tanpa asa.
Sementara ada mata yang memperhatikan mereka dari seberang jalan. Ardan menaikan kaca mobilnya.
Entah kenapa dadanya ikut sesak saat melihat Hazel terluka di sana. Ia ingin menjadi pundak itu. Pundak tempat Hazel mengeluh dan juga bersandar. Tetapi ia tidak bisa, Hazel terlalu rapuh. Ia akan hancur jika sedikit saja tersentuh.
Terkadang, tanpa kita sadari. Ego manusia mampu menghancurkan harapan manusia yang lainnya. Berdiri pada ego dan merasa diri sudah menang dengan cara menghancurkan asa orang lain.
Kejam, terkadang sifat manusia memang sekejam itu. Tanpa disadari, kita melukai harapan orang lain dengan cara menginjaknya terlalu dalam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 275 Episodes
Comments
Jenab Nurjanah
kenapa sedih bangets thor😭😭😭
2021-04-20
0
Sharla Ali Wafa
oh sungguh bukan cuma air mata hazel yg gk mau berhenti tapi air mataku juga thor..nyesek bgt
2021-03-07
0
Umi Ne Nazla
sesenggukan nangisnya baca part ini😭😭😭
2021-01-19
0