Ardan memandangi wajah pucat wanita itu. Tidak ada ekspresi, tidak ada gairah ataupun keinginan. Wajahnya terlihat sangat datar, seperti mengatakan kalimat itu tanpa penyesalan.
Hazel menaikan pandangannya, melihat Ardan yang masih berdiri dengan menumpuhkan kedua tangannya di atas meja. Satu tangannya meremat erat sebuah kertas, tetapi ia sama sekali tidak peduli dengan apa yang digenggam oleh Ardan.
Sesaat mereka hanya terdiam dan saling bertukar pandang. Satu, memandang tanpa perasaan dan yang lainnya memandang dengan seluruh emosinya
"Bagaimana saya harus melakukannya?" tanya Hazel memecahkan keheningan.
Ardan melemparkan cek itu ke dalam tong sampah yang ada di bawah mejanya. Duduk di kursi GM sembari memegangi tengkuk leher.
"Ehm, itu." Ardan kembali melirik ke arah Hazel.
Terus terang ia juga bingung, ia tidak menyangka Hazel akan berhbah pikiran secepat ini. Jelas ia masih marah saat pertama kali ditawari. Seolah ia adalah wanita yang sama sekali tidak peduli dengan duniawi.
Tapi nyatanya? Semua hanya awalan saja.
Ardan pikir ia harus mengubah strateginya untuk mendekati wanita ini. Namun sepertinya, ia terlalu memandang tinggi wanita itu.
Ia juga tidak berbeda dengan yang lainnya. Menolak di awal agar semakin dikejar, lalu luluh dengan umpan yang lebih besar.
'Munafik,' batin Ardan memaki.
"Apakah saya hanya perlu melahirkan anak, setelah itu memberikannya pada anda?" tanya Hazel kembali.
"Apa ... kita akan melakukannya diam-diam?" lirih Hazel pelan.
"Tentu saja, tidak!" sanggah Ardan langsung.
"Lalu?"
"Kamu harus melahirkan anak dan tinggal di sisi anak itu sampai batas umur dua tahun. Setelah anak itu berumur dua tahun lebih, kamu boleh meninggalkannya. Saya yang akan merawatnya," jelas Ardan kembali.
"Selama itu, apakah saya harus tinggal di sisi anda. Atau kita bisa tinggal terpisah?"
"Ehm, tentu saja kita akan menikah!" jawab Ardan langsung. Sesaat ia terdiam, mencerna ucapannya yang keluar tanpa ia sadari.
Ardan mengacak rambutnya dan kembali memandang ke arah Hazel. Sebenarnya ia mau buat seperti apa, ia masih bingung.
"Begini." Ardan menghela napasnya dan mengubah posisi duduk menjadi sedikit lebih tegak.
Memutar otaknya agar bisa menyusun rencana secepat dan sebaik mungkin.
Ardan kembali menghela napasnya, ia mengeluarkan dompet dan mengambil salah satu ATM miliknya.
"Kita akan menikah terlebih dahulu, bagaimana juga saya ingin anak yang sah di dalam sebuah pernikahan. Bukan sekedar anak tanpa status yang jelas. Jadi persiapkan dirimu dahulu dan siapkan segala keperluan yang kamu butuhkan," ucap Ardan sembari menyodorkan sebuah ATM ke hadapan Hazel.
Hazel melirik ATM itu, tetapi ia tidak berniat untuk mengambilnya. Bukan pernikahannya yang utama, tetapi uangnya. Surya lebih membutuhkan uang itu dibandingkan pernikahan Bundanya.
Ardan mengernyitkan dahinya saat melihat Hazel yang masih terdiam terpaku. Tidak membuka suara tetapi juga tidak menyentuh apa yang dia berikan.
"Ambillah, di sana ada uang sejumlah tiga kali lipat dua ratus juta yang kamu mau." Ardan tersenyum sinis.
"Anda menikah hanya untuk mengikat status, kan? Saya tidak perlu gaun, saya juga tidah butuh acara. Selain uang dua ratus juta yang anda janjikan, saya tidak menerima apapun yang lainnya."
Sesaat Ardan tercekat, ia semakin bingung dengan maksud wanita ini. Sebenarnya apa yang ingin dilakukan? Kemarin malam ia masih menangis saat mengingat suaminya, sekarang malah mengajak menikah pria lain.
Dia memaki dengan kasar saat menolak tawaran Ardan kala itu. Tetapi kini menyetujui tanpa syarat apapun.
'Hazel, kamu benar-benar membuatku gila," lirih Ardan dalam hati.
"Em ... kalau begitu ambil ATM ini untuk uang yang saya janjikan. Kembalikan saat kamu selesai memakainya," ucap Ardan mengalah.
Ardan menuliskan enam digit angka dan meletakannya tepat di sebelah ATM itu.
Perlahan Hazel mendekat, sekilas ia melirik ke arah Ardan sembari mengambil benda tipis itu. Terlihat pergelangan tangan kurusnya yang begitu kecil namun sangat putih, masih sangat mulus meski tanpa perawatan.
"Kita akan menikah secara hukum dan agama, bukan?" tanya Hazel sendu.
"Benar."
"Kapan anda akan menikahi saya?" tanya Hazel getir.
"Secepatnya. Kenapa? Kamu menyesal sekarang?" tanya Ardan sinis.
Hazel menghela napasnya dan menggeleng pelan. Perlahan genangan air mulai melapisi kornea matanya. Bahkan hanya memikirkan ia akan menikah dengan lelaki ini saja, sudah membuat hatinya teriris.
Ada perasaan kecewa, ada perasaan tak rela. Kecewa pada diri sendiri yang terlalu lemah dan tak berdaya. Tak rela saat harus mengakhiri pernikahannya dengan mantan suaminya itu.
Walau pada kenyataannya pernikahan ia telah berakhir dua tahun yang lalu. Tetapi sedikitpun ia tidak pernah mengkhianati lelaki itu. Lelaki yang membawa dia ke daerah asing ini dan menjadikannya ibu dari seorang putra. Lelaki yang menjadikannya janda di usia muda.
"Ada apa? Apa kamu ingin lari setelah mendapatkan uangnya?" tanya Ardan sinis.
Hazel hanya menggeleng, jemari kurusnya meremat kartu itu dengan kuat.
"Beri saya sedikit waktu."
"Untuk apa?" tanyanya ketus.
"Saya adalah mantan istri seorang prajurit negara. Saat saya menjadi janda saya masih dibiayai oleh negara. Sesuai hukum, saya harus melaporkan kepada kesatuan untuk melepaskan status ini. Mengatakan bahwa saya--" Hazel menundukan pandangan, sesaat oksigen yang ia hirup terasa semakin berat. Menyesak di dada.
Bahkan hanya sekedar mengatakannya saja, hatinya terasa sangat perih.
"Akan menikah lagi," sambung Hazel pahit.
"Baiklah. Selesaikan dengan cepat, karena saya tidak suka menunggu terlalu lama."
Hazel menganggukan kepalanya perlahan.
"Baiklah. Saya pamit, Pak."
Ardan mengeluarkan ponselnya dan meletakan di atas meja. Matanya teralih menatap wanita yang masih berdiri di depan mejanya itu.
"Berikan nomor ponselmu. Saya tidak membuat perjanjian hitam di atas putih ataupun perjanjian tertulis lainya. Hanya lisan yang terucap, saya harap kamu menepati janjimu."
Hazel mengambil ponsel Ardan dan mulai mencatat nomor ponselnya. Meletakan kembali setelah ia selesai menyimpan nomornya.
"Saya adalah ibu persit, saya tidak akan mempermalukan nama itu dan mengingkari janji." Hazel berbalik dengan cepat dan berjalan keluar dari ruangan itu.
Menahan sengalan dada yang kian berat saat ia harus menerima kenyataan ini.
Merasa diri teramat keji, menjual anak yang bahkan belum lahir demi menyelamatkan anak yang lainnya.
Masih pantaskah ia dipanggil Bunda?
Sedang, Ardan hanya tersenyum puas sembari menghela napasnya, ia mengambil ponsel itu dan melihat nama yang tersimpam di ponsel miliknya.
"Hazel?" lirih Ardan saat membaca nama yang tersimpan di dalam ponselnya.
"Dan apa dia bilang? Ibu persit?" Ardan tersenyum getir dan menggelengkan kepalanya.
"Saat ini gelarmu bukan lagi ibu persit, Hazel. Tetapi Nyonya Ardan. Nyonya Ardan Erlangga."
Ardan menyentuh bibir dengan ujung ponsel miliknya. Matanya beralih pada wanita yang saat ini sedang duduk di balik kaca ruangannya itu.
Menatap komputer di depannya dengan punggung tangan sesekali mengusap pipi putihnya.
"Mengejutkan, ternyata Hazel si wanita tangguh itu. Masih bisa takhluk oleh dunia yang berhiaskan harta," lirih Ardan senang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 275 Episodes
Comments
New R
lanjut thor
2020-10-25
0
alone
aq yakin stlh menikahi hazel bny kejutan yg d dpt ardan ttg kehdpn yg d jlni hazel slm ini,ttg perjuangan hazel untk menyelamatkn putrany...
g ngerti lg mo blg ap ttg sosok hazel...hebat tegar kuat...semoga semua akn terbalas dg kebahagiaan suatu saat nanti...tq fizaaa walau perih ttp kutunggu upmu...
2020-07-09
0
☠⏤͟͟͞R⚜🍾⃝ ὶʀαͩyᷞαͧyᷠυᷧͣ🏘⃝Aⁿᵘ
tuh kan.. pemikiran nya si Ardan nih bener bener deh..bikin orang kezeeeel..
2020-07-09
2