Prank ...
Sebuah gelas terjatuh, saat tanpa sengaja tangan Hazel menyenggolnya. Hazel berjongkok, membersihkan pecahan gelas tersebut.
Pandangannya teralih, melihat seorang lelaki yang sedang berdiri di ujung bar cafe. Menyilangkan kedua tangannya di depan dada sembari menggelengkan kepala.
"Ah," rintih Hazel saat tanpa sengaja tangannya tertusuk pecahan kaca.
Hazel menekan darahnya agar keluar sedikit lebih banyak, perlahan ia menghapus pipinya dengan punggung tangan. Bergegas membersihkan sisa pecahan yang masih berserakan di lantai.
"Hazel," panggil lelaki itu lembut.
"Iya, Pak."
Terdengar helaan napas keluar dari bibir lelaki itu. Ia menatap jari tangan Hazel yang terluka.
"Ada apa denganmu hari ini? Sudah dua kali kamu memecahkan barang. Dan sekarang, kamu melukai jarimu sendiri. Kamu sakit?" tanyanya lembut.
Hazel menggelengkan kepalanya, ia bukannya sakit di fisik. Tetapi sakit di jiwa dan juga raga. Lebih tepatnya sakit karena memikirkan jalan buntu di hidupnya.
"Hati-hati, Hazel. Fokuslah saat bekerja," ucap lelaki itu kembali.
"Maaf, Pak. Saya akan lebih fokus lagi."
"Obati dulu lukamu, istirahat jika kamu lelah. Jangan ulangi kesalahan lagi ya, Hazel."
"Baik, Pak."
Lelaki itu tersenyum dan pergi meninggalkan Hazel sendiri. Hazel menghela napasnya, melihat jarinya yang sudah tidak lagi mengeluarkan darah.
Perlahan Hazel menyeka jari dengan air hangat, membalutkan plaster sembari menghapus buliran yang sudah beberapa kali melintas.
Kali ini bukan lagi beban hidupnya yang terasa berat, tetapi jalannya juga sudah tidak lagi ada. Kalau hanya bekerja sebagai pelayan cafe, mau berapa lama ia harus bekerja mengumpulkan uangnya.
***
Hazel berjalan gontai menapaki jalanan di depan perusahaannya. Matanya memandang kosong ke depan, raganya ada tetapi pikirannya melayang entah kemana.
Tanpa sengaja ia melihat Ferdi yang baru keluar dari parkiran. Berjalan menaiki tangga perusahaan.
Hazel mengencangkan langkahnya, mengejar Ferdi yang ingin memasuki gedung perusahaan itu.
"Pak Ferdi," panggil Hazel lembut.
Ferdi membalikan badannya, melihat wanita yang memanggilnya itu.
"Ada apa?" tanya Ferdi.
"Pak, bisakah saya bicara sebentar?"
"Baiklah, ayo ke ruangan saya."
Hazel mengangguk, ia berjalan mengikuti langkah Ferdi memasuki ruangannya. Ia terus meremat kedua jemari tangan, perlahan keringat dingin mulai membanjiri pelipis matanya.
Ferdi menatap lekat wajah Hazel untuk beberapa saat, detik kemudian pandangannya beralih pada kedua jemari tangan wanita itu.
"Ada apa, Hazel?" tanya Ferdi membuka suaranya.
Hazel menghela napas sedikit berat, ia mengangkat kepalanya perlahan. Melihat lelaki berkacamata tipis yang ada di depannya itu.
"Pak, sebenarnya, saya--" Hazel menggantungkan kalimatnya. Ia ragu ingin mengutarakan niat hatinya.
"Ada apa?" tanya Ferdi lembut.
"Saya ingin meminta bantuan, Pak Ferdi," lirih Hazel pelan.
"Bisa kamu ulangi sekali lagi? Saya tidak bisa mendengarnya."
Hazel kembali menghela napasnya, ia menatap lelaki itu. Jantungnya berdebar dengan kencang, walaupun kemungkinannya kecil Ferdi bisa menolong, tetapi ia tidak bisa menyia-nyiakan peluang. Sekecil apa pun itu.
"Hazel," panggil Ferdi kembali.
"Iya."
"Kamu mau bilang apa? Katakan saja," ucap Ferdi lembut.
"Itu, Pak. Saya, saya--"
"Iya, katakan saja. Saya mendengarkan."
"Bisakah, saya meminta bantuan, Pak Ferdi?"
"Katakan, saya akan membantumu jika saya bisa."
"Itu, saya ingin meminjam uang dari perusahaan. Apakah bisa?"
Ferdi tersenyum lembut dan membetulkan letak kacamatanya. Hanya ingin mengatakan itu, kenapa harus setegang itu?
"Tentu saja bisa, kamu hanya perlu datang ke bagian keuangan, ajukan permohonan."
Hazel terdiam, ia tidak berhenti meremat jemari tangannya. Ia tahu, tetapi mana mungkin perusahaan akan meminjamkan uang dalam jumlah besar.
"Tapi, Pak--"
"Kenapa?"
"Itu, Pak. Saya ingin meminjam dalam jumlah besar. Bisakah?" tanya Hazel kembali.
Ferdi menghela napasnya, ia memandangi wajah pucat Hazel yang sedang kebingungan.
"Begini, Hazel. Saya hanya Direktur yang ditunjuk oleh Dewan Direksi. Saya hanya bertugas untuk memimpin perusahaan ini. Jadi, saya tidak bisa meminjamkan uang melebihi standart perusahaan."
Hazel menundukan pandangannya, segurat kekecewaan tergambar dari raut wajahnya.
Melihat ekspresi Hazel, perasaan iba mulai memasuki nurani Ferdi.
"Berapa banyak yang kamu perlukan?" tanya Ferdi kembali.
Hazel menaikan jarinya, membentuk huruf v.
"Dua juta?" tanya Ferdi kembali.
Hazel menggelengkan kepala, ia kembali meremat kedua tangannya.
"Dua ratus juta," lirih Hazel pelan.
Ferdi membulatkan matanya, nominal yang disebutkan oleh Hazel jelas sekali tidak akan disetujui oleh perusahaan.
Dari letak jabatan yang diduduki oleh Hazel, butuh waktu tahunan untuk dia melunasi pinjaman itu.
"Kalau sebanyak itu, saya juga tidak ada, Hazel. Maaf, tetapi perusahaan juga tidak bisa memberikan uang sebanyak itu pada karyawan kontrak sepertimu," jawab Ferdi lembut.
Hazel tersenyum getir, ia menganggukan kepalanya.
"Baiklah, saya mengerti. Terima kasih untuk waktu, Pak Ferdi. Kalau begitu saya permisi, Pak."
Hazel membalikan badannya, berniat untuk keluar dari ruangan Direktur itu.
"Hem, Hazel."
Hazel mengalihkan pandangannya, melihat Ferdi sekilas.
"Sebentar," tahan Ferdi lembut.
Hazel kembali berjalan ke depan meja Ferdi. Berdiri dengan menundukan pandangannya ke bawah.
"Saya memang tidak bisa membantu kamu. Akan tetapi, mungkin Ardan bisa. Coba kamu minta bantuan sama dia," ucap Ferdi.
"Pak Ardan?"
Ferdi menganggukan kepalanya, bibirnya tersenyum tipis.
"Gak apa-apa, Pak. Nanti saya akan cari cara lain," jawab Hazel.
"Cara apa? Hem? Kamu mau bekerja dua puluh empat jam, juga butuh waktu lama untuk mengumpulkannya, Hazel."
"Tapi, jika Pak Ferdi saja tidak bisa bantu saya. Bagaimana lagi dengan Pak Ardan? Sedangkan, Pak Ardan itu bawahan Pak Ferdi."
Ferdi melepaskan senyum dan menggelengkan kepala. Membetulkan posisi duduknya sedikit lebih tegak.
"Begitu banyak gosip beredar di kantor ini. Benarkah kamu tidak tahu?"
"Gosip apa?"
"Kamu benar gak tahu?" tanya Ferdi sekali lagi.
Hazel menggelengkan kepalanya pasrah. Ferdi kembali melepaskan senyum, lucu melihat Hazel.
"Apa kamu pikir Ardan itu hanya General Manager, biasa?"
"Memang Pak Ardan hanya GM, kan? Terus kalau bukan GM, lalu apa?" tanya Hazel polos.
"Gak heran saya kalau kamu gak tahu gosip. Kamu memang gak pernah peduli pada hal-hal seperti itu ya, Hazel."
Ferdi bangkit dari kursi, berjalan mendekati Hazel dan menumpuhkan bokongnya pada meja kerja. Menyilangkan kedua tangan di depan dada, menatap lekat wanita yang ada di depannya itu.
"Hazel, kamu pikir kenapa karyawan wanita di sini, tergila-gila pada Ardan?"
"Em, kalau itu saya tidak tahu."
"Ardan bukan hanya General Manager. Tetapi dia adalah anak dari pemilik perusahaan ini, saya gak punya uang pribadi sebanyak itu. Tetapi kalau, Ardan--" Ferdi tersenyum sinis dan memainkan kedua alis matanya.
Mengkode Hazel yang masih diam sembari menatap wajahnya.
Hazel tersenyum lembut dan menggelengkan kepalanya. Ia sama sekali tidak tahu kalau lelaki yang selalu bertentangan dengannya itu adalah anak dari pemilik perusahaan.
"Saya, permisi." Hazel memundurkan langkahnya, keluar dari ruangan Ferdi dengan sedikit melamun.
Teringat bagaimana semua perlakuan ia terhadap Ardan selama ini. Bahkan dia terang-terangan menantang Ardan saat ketahuan bekerja di dua tempat.
Hazel menghela napasnya, ia berjalan sembari menundukan pandangannya. Sebuah langkah berhenti di depan Hazel.
Bugh.
Hazel menabrak dada seseorang, ia memundurkan langkahnya. Melihat lelaki yang berdiri tepat di depannya.
"Melamun saat bekerja?" tanya lelaki itu angkuh.
"Maaf, Pak."
"Maaf lagi?" tanya Ardan malas.
"Jadi?"
"Ikut saya ke ruangam, ada yang mau saya berikan sama kamu."
Hazel mengangukan kepalanya, mengikuti langkah Ardan memasuki ruangan GM.
Ardan memberikan sebuah majalah, Hazel membuka majalah itu, memperhatikan dengan seksama setiap lembaran majalah tersebut.
"Menurut kamu, apa yang kurang dari promosi majalah kita?" tanya Ardan langsung.
"Menurut saya, majalah ini terlalu monoton, Pak. Hanya terfokus pada item, tetapi datail itemnya kurang jelas."
Hazel menjelaskan beberapa kekurangan dan juga beberapa alternativ yang bisa digunakan untuk majalah edisi selanjutnya.
Sedang, Ardan sama sekali tidak mendengarkan apa yang dikatakan oleh Hazel, ia terus memandangi wajah Hazel yang begitu mempesona. Selalu mampu menghipnotis dirinya.
Hazel menutup lembaran majalah itu, ia beralih menatap Ardan. Tanpa sengaja matanya beradu pandang, Hazel menundukan pandangannya. Berusaha menghindari tatapan mata Ardan yang begitu tajam.
"Baiklah, saya bisa terima usulanmu. Siapkan konsep, kita akan adakan rapat edisi bulan depan," ucap Ardan sembari berjalan ke kursinya.
Ia membuka laptop dan mulai mengerjakan beberapa file yang sempat tertunda.
Hazel menganggukan kepalanya, ia berjalan keluar dari ruangan itu. Langkahnya terhenti sebelum meraih gagang pintu.
Hazel membalikan badannya, melihat sekali lagi ke arah Ardan yang masih sibuk pada layar datarnya.
Ia ragu, haruskah ia meminta bantuan lelaki itu?
Namun, kesempatan mungkin saja ada dari tangan dia. Bagaimana juga, Surya lebih membutuhkan usahanya dibandingkan egonya.
Hazel berjalan kembali ke depan meja Ardan. Mengatur napasnya yang memburu kencang, bahkan sebelum ia mengatakan niatnya.
"Pak Ardan," panggil Hazel lembut.
"Hem," jawab Ardan cuek.
"Saya mau minta maaf atas kejadian bulan lalu. Maaf meninggalkan anda di sana tanpa pamit," ucap Hazel lembut.
Ardan menghentikan gerakan tangannya, melihat ke arah Hazel yang berdiri di depannya.
"Oh, masih tahu minta maaf, ya?" tanya Ardan meledek.
"Saya tahu saya agak kelewatan. Mohon anda maafkan saya."
"Baiklah, saya akan memaafkan kamu. Tetapi ganti acara makan siang kita. Bagaimana?" tanya Ardan.
"Maksudnya saya makan siang lagi sama anda?"
"Benar, tetapi kali ini kamu yang harus mentraktir saya."
"Hah?" Hazel langsung melihat ke arah Ardan. Ia terkejut dengan permintaan Ardan.
"Tapi, Pak. Saya gak sanggup untuk bayar makanan di sana."
"Siapa yang minta kamu bayar makanan di sana? Saya hanya ingin makan siang bersama, gak harus di cafe mewah. Kamu bawa bekal dari rumah juga saya terima," jawab Ardan lembut.
Hazel terdiam, perlahan ia menganggukkan kepala.
"Baiklah, saya sudah selesai. Kamu boleh keluar." Ardan kembali menegakan badannya. Menatap serius ke layar datar miliknya.
"Tapi, tapi, saya belum selesai, Pak," lirih Hazel.
"Ada yang ingin kamu katakan lagi?"
"Ada."
"Kalau begitu katakan," balas Ardan tanpa melihat ke arah Hazel.
"Saya, saya--" Hazel menghela napasnya, memejamkan mata sejenak.
"Saya ingin mengajukan permohonan pinjaman, Pak."
"Ya sudah, kamu tinggal minta sama bendahara perusahaan saja."
"Tetapi, saya butuh uang dalam jumlah banyak, Pak."
"Berapa banyak?" tanya Ardan cuek.
"Dua--" Hazel menelan salivanya dengan berat. "Dua ratus juta," sambungnya pelan.
Seketika, gerakan tangan Ardan terhenti. Ia melihat ke arah Hazel yang masih berdiri di depannya.
"Dua ratus juta?" tanya Ardan kembali.
Hazel menganggukan kepalanya, kali ini kepalanya terus tertunduk ke bawah. Tidak berani untuk melihat ekspresi wajah sangar lelaki itu.
Ardan menyandarkan badannya ke belakang kursi. Ia menyilangkan kedua tangan di depan dada sembari tersenyum sinis.
"Saya tidak akan bertanya padamu untuk apa uang sebanyak itu. Tetapi saya akan bertanya, bagaimana cara kamu akan melunasinya?"
Ardan memandangi wajah Hazel yang masih tertunduk jauh ke bawah. Kali ini tidak perlu bersusah payah, Hazellah yang datang ke dalam dekapannya.
"Anda bisa memotong dari gaji saya, Pak."
"Berapa lama? Sepuluh tahun? Dua puluh tahun? Atau seumur hidup kamu akan bekerja di perusahaan ini?" tanya Ardan kembali.
"Saya berjanji tidak akan mengembalikannya selama itu, Pak."
"Bagaimana saya bisa memegang janji kamu? Dua ratus juta, tanpa jaminan? Bagaimana mungkin?"
Hazel menarik napasnya, memang tidak mungkin ada yang mau memberikan uang sebanyak itu tanpa jaminan apapun.
"Kalau begitu, saya--"
"Begini saja," putus Ardan langsung.
"Saya akan berikan sebanyak apa yang kamu mau, tapi kamu berikan satu keinginan saya padamu," ucap Ardan lembut.
"Keinginan? Apa?" tanya Hazel bingung.
"Saya akan memberikan uang sebanyak yang kamu mau. Tetapi kamu harus penuhi satu keinginan saya. Kamu tidak perlu membayar, kamu bisa terus memintanya pada saya jika kamu perlu uang."
"Apa yang anda inginkan dari saya?"
"Lahirkan seorang anak untuk saya."
"Apa?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 275 Episodes
Comments
🌸nofa🌸
mantap. to the point.🤣🤣🤣
2021-07-16
0
New R
eh...maksudnya?
2020-10-25
0
Dyah Agustin
modus ihhh ..hbs nangis ehhh senyum2 sendiri aku
2020-10-07
1