Ikrar Cinta Bersulam Surga

Ikrar Cinta Bersulam Surga

BAB 1. Kerelaan

"Eh Nis, kira-kira siapa ya yang bakalan gelar tenda duluan di kelas kita?

Gelar tenda? Otakku bekerja keras untuk mencari makna kata itu. Biasanya orang gelar tenda kalau ada acara hajatan, sunatan, hari raya qurban untuk mencit hewan, nikahan juga gelar tenda sih.

"Kalau aku sih belum ada calonnya, gimana mau gelar tenda... "kata Fey sambil senyum-senyum tidak jelas.

"Kalau kamu Nis?" Aku mengerjap-ngerjap kaget, saat Fey menanyakan itu ke aku yang masih sibuk menyalin resuman materi Fiqih.

"Nikah maksud kamu?" tanyaku skeptis.

Fey mengangguk, tersenyum.

"Hehehe... " Aku tertawa hambar.

"Kamu sendiri punya target menikah?" tanya Fey dengan menatap kedua bola mataku beberapa detik.

"Kamu ngapa tanya-tanya tentang nikah sih? Nggak ada topik lain apa?"

"Daripada aku nanyanya kapan mati? Kan horor. Bisa dikeroyok warga satu sekolah kalo setiap ketemu nanyanya kapan mati."

Aku terkekeh. "Ya, kali nanya begituan"

"Kamu siap nggak kalau misalkan harus menikah muda?" Fey bertanya seperti sedang membayangkan sesuatu.

Pernah sih kepikiran buat nikah muda. Tapi pikiran itu seketika sirna jika ditanya tentang kesiapan. Menikah bukan hanya tentang ijab dan kabul lalu romantis-romantisan. Perlu juga dipertanyakan siap nggak lahir dan batin. Apalagi kalau dijodohin. Ekspektasi dan kenyataan itu kadang berbanding terbalik.

"Nis, kok kamu melamun sih? Kamu lagi bayangin gimana serunya nikah muda ya?"

Aku menepis jari telunjuk yang mengarah ke wajahku.

"Apaan sih! Nggak ada nikah muda. Lagian target aku menikah itu umur 25 tahun. Kalau tahun ini target aku bukan menikah tapi menyelesaikan studi dan lanjut kuliah," ujarku memperjelas.

Fey menghela. "Yahh, aku juga sama sih. Tapi kalau udah dapat jodohnya mau gimana? Nggak mungkinkan menghindar terus." Fey berkomentar.

"Yang jelas aku ogah nikah muda. Titik. No koma," balasku menekan. "Lagian kenapa jadi bahas nikah sih, kita kan mau belajar ini!"

"Iya, kan aku cuman nanya doang. Nggak usah jutek gitu dong." Fey menarik pipiku gemas.

"Kamu sendiri memangnya udah siap? Siap ngasih nafkah lahir dan nafkah batin? Karena nikah bukan cuman tentang cinta. Tapi ada kewajiaban yang harus dipenuhi suami sebagai kepala keluarga."

"Kok kamu tau tentang itu? Jangan-jangan selama ini kamu... "

"Apa lagi? Nggak usah aneh deh! Kan aku baca dari buku ini" Tanganku mengangkat tinggi-tinggi buku Fiqih.

Fey mengangguk.

"Kalau aku sih siap aja nikah muda."

Mendengar perkataan Fey membuatku bergidik geli. "Ihh, pantes dari tadi bahasnya itu mulu, ternyata kamu yang udah kebelet mau nikah."

Rasanya tidak penting melanjutkan obrolan itu lagi. Tanganku kembali meraih pena untuk lanjut menulis. Tapi baru aku ingin menulis satu kalimat, bel pulang sudah berbunyi.

Suara siswa kembali menggema memenuhi setiap sudut ruangan. Mereka berhamburan keluar dari ruang kelas, setelah seharian berkutat dengan buku.

***

Matahari sudah menyembul kembali ke permukaan bumi. Ia menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Menerangi setiap bagian bumi, supaya manusia tahu bahwa kehidupan masih berjalan sebagaimana mestinya.

Krringgg...

Tanganku meraba-raba demi meraih jam beker di nakas. Aku terpaksa membuka mata yang masih terkatup katup sekedar hendak melihat angka yang tertera pada jam yang berdering tadi.

Aku melenguh. "Masih pukul 06.30 pagi. Nanti dulu deh! 10 menit lagi.”

Tak hampir satu menit jeda alarm itu berhenti, sebuah teriakan panggilan kembali menggema dari luar. “Nisa! Dhanisa! Dah siang. Anak gadis nggak boleh bangun siang-siang. Nanti jodohnya mandeg.” Suara itu jelas seperti sedang mengutukku.

Tidak ada kata lain selain tentang jodoh yang selalu ibu gunakan untuk membangunkanku yang masih betah memeluk erat bantal guling.

“Iya Bu! Sebentar lagi ya 10 menit,” balasku setengah sadar karena nyawa masih diawang-awang.

“Nisa dalam hitungan ketiga Ibu mau kamu bangun sekarang juga!” suara itu terdengar dekat sekali.

"Satu... Dua... Tiga... "

Ibu sudah selesai menghitung. Tapi aku masih juga belum bergerak dari posisi menelungkupkan badan. Sekoyong-koyong aku merasa ada butiran dingin dan basah menerpa mukaku berulang-ulang. Aku gelagapan dan memaksa mengangkat kelopak mata yang berat seperti batu. Samar-samar sebuah telapak tangan mendekat ke arahku. Jari-jarinya menjentik. Aku tergeragap, dan mukaku sekali lagi basah dengan air.

"Bangun!" yang punya tangan mengeram. Geraman yang kukenal. Geraman Ibu. Ya Tuhan! Kantukku tiba-tiba punah. Dengan cepat aku menyibak selimut dan meloncat turun dari tempat tidur.

"Cepat siap-siap!" Perintah itu datang tiba-tiba.

Aku menguap.

"Siap-siap apanya, Bu?"

Tangan ibu bergerak cepat memilin kupingku. Ibu memang kadang sejahat itu dengan aku.

"Aw.. aw," pekikku, meringis kesakitan.

“Makannya kamu sadar dulu. Itu muka, masih muka bantal gitu."

Aku menggaruk tengkukku.

"Nisa, udah sadar Ibu, ini Nisa bangun!" kataku terduduk dipinggir ranjang sambil mengucek mata.

"Hari ini kita akan ke rumah Paman Hamzah. Sekarang Nisa buruan mandi, Ibu mau nyiapin makanan dulu."

Aku bangkit, lalu menghempaskan tubuh pada jok kursi.

"Nisa harus ikut memangnya?” tanyaku dengan suara masih serak khas orang baru bangun tidur.

Pertanyaanku yang demikian membuat ibu berhenti dan membalikkan kembali badannya ke arahku.

“Ya iyalah Nisa," nadanya panjang diakhir.

"Harus banget memangnya?" tanyaku lagi.

"Nisa! Sekali lagi kamu nanya Ibu masukin kamu ke pesantren," nada Ibu mengancam.

Aku menanggapinya santai. “Tapi Ibu Nisa malas. Biar Ibu sama Ayah ajalah yang ke sana. Nisa ada janji nih nanti ketemu kawan-kawan.”

“Nisa! ketemuan dengan teman itu nanti bisa ditunda. Tapi kalau acara keluarga seperti ini tidak bisa ditunda. Lagi pula Paman Hamzah dengan Ayah Nisa kan adik-beradik, saudara. Ada baiknya kita menjalin tali silaturahmi dengan keluarga dekat. Sanak family,” tukas ibu seketika.

Sudahlah dalam hati aku hanya bisa pasrah, kalau tidak aku turuti kehendaknya bisa-bisa panjang kali lebar lagi celotehan yang keluar dari mulut ibu, pagi ini.

“Iya-iya, Nisa mandi."

Aku berjalan dengan malas ke kamar mandi.

***

Lebih kurang sejam perjalanan akhirnya mobil yang membawa kami sekeluarga tiba di rumah Paman Hamzah. Aku masih di dalam mobil, belum hendak turun rasanya. Entah kenapa tiba-tiba kepalaku terasa sakit. Aku sedikit mengurut-urut kening dengan tangan, siapa tahu sakitnya bisa sedikit reda. Dari dalam kaca mobil aku melihat ayah dan ibu sudah berjalan keluar, sementara aku masih ngurut kepala di dalam mobil. Tanganku meraba-raba tas kecil yang aku kenakan dengan maksud menemukan obat pereda sakit kepala yang dokter berikan beberapa hari lalu. Tapi aku tidak menemukannya.

“Mana Nisa, Bu?” Terdengar suara ayah yang menanyakan perihalku.

Ibu kemudian melihat ke arah mobil sedan berwarna putih. “Nisa ayo turun, kenapa masih di dalam!” nadanya sedikit berteriak.

“Iya Bu." Segera aku keluar dari mobil sebelum mood ibu berubah lagi.

Dari kejauhan aku melihat Kak Soraya dan Abang Fikri sudah berdiri di depan, menunggu kami.

“Assalamu’alaikum,” sapa ayah dengan salam untuk memohon keselamatan.

“Wa’alaikumsalam.” Kedengaran kakak beradik itu menjawab bersamaan.

“Mana Abah dan Umi kalian?” Kali ini giliran ibu yang bersuara.

“Di dalam Umi.” Itulah sapaan panggilan yang mereka gunakan untuk memanggil nama ibuku. Keluarga Paman Hamzah ini memanglah keluarga yang dekat dengan agama. Paman Hamzah adalah seorang dosen yang mengampu mata kuliah Usuludin adab dan dakwah, sementara istrinya, Salamah adalah guru mengaji. Itulah tidak salah lagi bagaimana sikap dan karakter anak-anak mereka yang penyantun, rama serta sopan. Paman Hamzah hanya memiliki tiga orang anak, yaitu Abang Fikri, Kak Soraya dan Abang Azzam. Semuanya belum ada yang berumah tangga.

“Eh! Ini Nisa kan?” tanya Kak Soraya, meneliti wajahku dengan saksama.

Aku pun langsung menyambut tangan Kak Soraya untuk bersalaman. “Iya kak."

“Wah sudah lama kita nggak ketemu ya, Nisa, hmm... kira-kira mungkin hampir lima tahunan,” ujar Kak Soraya, tangannya menepuk pundakku, pelan. “Sudah kuliah?”

Aku menyunggingkan gigi, baru membalas, “Belum Kak. Nisa masih SMA.”

Kak Soraya mengangguk. “Kelas?”

“Tiga Kak.”

Tiba-tiba abang Fikri bersuara, “Heh, sudahlah! Tunda dulu mengobrolnya lebih enak kalau kalian ngobrol di dalam. Nggak bagus kalau di luar seperti ini,” kata Abang Fikri.

“Ha-ha iya, iya. Abah dan Umi juga sudah ada di dalam, ayo sayang,” ujar Kak Soraya lagi.

Abang Fikri dan Kak Soraya sudah berjalan duluan di depan. Sementara aku agak sedikit melambatkan derap langkah karena masih menahan rasa nyeri di kepala, Jangan sampai aku ambruk.

Benar-benar tak tertahankan, aku merasa sudah tak mampu menumpu beban tubuhku. Akhirnya aku berjalan sedikit demi sedikit sambil memegangi dinding bercat putih dengan tangan terus memijit-mijit pelipis.

Tak lama, seseorang datang merangkulku. Aku memandang wajahnya berusaha untuk mengenali orang itu. Namun, agak blur pandanganku melihatnya.

“Nisa, kenapa?”

Aku menggeleng, rasa tak sanggup lagi mau bersuara. Ia terus memapahku sampai ke ruangan tempat dimana keluarga berkumpul.

Ibu yang melihatku datang dengan dipapah Azzam, sontak membuatnya kaget. “Azzam, kenapa Nisa?”

“Tidak tahu Umi, tadi aku melihat dia agak kepayahan makanya aku bantu dia berjalan,” jawabnya ringkas.

“Nisa, sakit lagi?” tanya ibu sambil menuntunku duduk di kursi. “Nisa bawa obat yang diberikan dokter Hendra?"

Aku menggeleng.

“Coba bawa Nisa istirahat dulu di kamar, supaya sakitnya agak sedikit reda,” kata Umi Salamah, istri Paman Hamzah yang juga terlihat khawatir dengan aku.

“Ahm, Azzam coba telepon Dokter Maldi suruh ke sini,” perintah Paman Hamzah pada anak bungsunya.

“Iya, Abah."

Sekitar lima belas menit menunggu Dokter Maldi tiba di rumah Paman Hamzah. Aku masih berbaring di tempat tidur, aku kurang tahu persis kamar siapa yang aku tempati ini. Mungkin kamar Kak Soraya.

Dokter Maldi sudah memeriksaku dan baru saja memberikan obat untuk aku minum.

“Dia hanya sedikit kelelahan makannya sakitnya kambuh lagi. Setelah ini biarkan dia istirahat dulu,” kata Dokter Maldi. “Jangan lupa obatnya supaya rutin diminum,” lanjutnya.

“Terima kasih Dokter Maldi, sudah bersedia kemari lagi,” ujar Paman Hamzah.

Dokter Maldi tersenyum. “Iya Ustadz, sudah kewajiban seorang dokterlah jika dimintai bantuan segera datang. Kalau begitu saya pamit dulu Ustadz, kebetulan masih ada pasien yang menunggu saya di klinik. Assalamu’alaikum,” ucapnya kemudian berlalu meninggalkan kami.

“Wa’alaikumsalam,” jawab mereka.

“Sebenarnya Nisa sakit apa, Hamidah?” tanya Umi Salamah pada Ibu.

“Vertigo. Sebenarnya baru seminggu ini juga dia baru keluar dari rumah sakit,” terang ibu.

“Kalau begitu biarlah Nisa bermalam dulu di sini,” tawar Umi Salamah.

Lembut ibu mengelus kepalaku. “Bagaimana Nisa menginap dulu semalam di sini, ya?” bujuk ibu lembut.

“Nggak! Nggak mau, Nisa mau pulang karena Nisa ada janjilah dengan kawan,” kataku merenggut. Lagian awalnya aku memang nggak mau ikut ke sini, malah di paksa lagi.

***

“Azzam, kemari Nak yang sedikit hal yang mau Umi bicarakan,” suara umi memecah kesunyian malam.

Mendengar perintah umi, Azzam menghentikan langkahnya sejenak dan menghampiri wanita paruh baya yang dipanggilnya Umi. Padahal usai pulang sholat isya berjamaah tadi setelah ini ia bermaksud untuk menyusun berkas-berkas yang diperlukan untuk lamaran pekerjaan.

“Azzam sibuk?”

“Tidak umi, cuman rencananya tadi mau menyiapkan berkas untuk lamaran pekerjaan.”

“Di mana rencananya Azzam mau bekerja, Nak?” tanya Umi sambil lekat memandang putranya.

“Kalau masalah kerja di mana saja Azzam mau Umi. Cuman tadi siang datang panggilan untuk mengajar sebagai dosen di salah satu universitas di Malang.”

“Azzam ambil?”

“Insyaallah, Umi.”

“Kalau Umi boleh beri saran Azzam mengajar saja dulu di Yayasan Madrasah Aliyah Muallimin, tempat sekolahnya Nisa. Paman Ahsan pernah bilang sekolah mereka sangat membutuhkan tenaga pengajar bidang Al-Qur’an Hadist. Umi rasa cocoklah tuh.”

Azzam diam, menatap objek lain di ruangan itu. Melihat ekspresi anaknya Umi Salamah kembali berujar, “Umi tidak maksa, janganlah terlalu Azzam pikirkan,” ucap Umi sambil tertawa sedikit.

Azzam mengangguk pelan, ikut melempar senyum. “Oh begitu ya, Umi. Insyaallah kalau pun itu baik Azzam bersedia.”

“Zam.”

Azzam menganggkat wajahnya. “Iya”

“Ada yang Umi mau beritahu dengan Azzam?”

“Apa Umi? Kenapa Umi seperti gelisah.”

“Iya, Umi takut-takut kalau Azzam tidak setuju dengan keputusan kita,” ujar umi Salamah dengan perasaan tak enak hati, hendak mengutarakan kalimat itu.

Azzam mulai mengerutkan dahi, tanda hendak betul mengetahui maksud ibunya. “Setuju apa, Umi? tadi Azzam sudah bilang insyaallah, atas izin allah saya bersedia ditempatkan mengajar di madrasah, Umi.”

Umi tertawa. “Ini topiknya lain lagi Azzam.”

Azzam mengangkat kedua alisnya. “Topik apalagi?”

“Umi dengan abah juga kakak-kakakmu sudah berunding untuk ini, dan sekarang Umi mau dengar pendapat Azzam.”

“Pendapat mengenai apa?" Azzam menatap binggung wanita paruh baya di depannya.

Wanita yang telah berusia kepala lima itu memandang lekat wajah anaknya dan mengusap pelan lengan Azzam.

“Abah dan Umi punya keinginan untuk menikahkan Azzam dengan Dhanisa, putri angkat Paman Ahsan. Gimana? Lagiankan kamu juga sudah kenal dan tau bagaimana Nisa." Umi menarik napas dan menelan ludah. "Dulu kalau Umi lihat kalian sangat akrab, selalu bercanda dan main berdua.”

Azzam menatap kedua bola mata ibunya dan mengela napas pelan. Ada jeda di antara keduanya. Umi Azzam membiarkan anak bungsungnya itu berpikir atas keputusan yang telah mereka ambil, dan untuk keputusan akhirnya mereka serahkan sepenuhnya kepada Azzam. Mereka percaya bahwa Azzam akan mengambil keputusan yang menurut diabbaik untuk kedepannya. Lagian mereka tidak mau terlalu memaksakan Azzam untuk cepat menikah.

Sebenarnya alasan di balik keputusan ini adalah orang tua Azzam mau merekatkan kembali tali persaudaraan dan juga menembus rasa bersalahnya, lima tahun silam. Meskipun kalau ditarik kesimpulan tidak ada hubungannya, karena kematian seseorang itu telah ditulis dalam kitabnya (Lauh Al-Mahfuz).

Kebetulan juga keluarga Paman Ahsan kemarin datang untuk membicarakan itu, keinginan dia untuk merubah perilaku Dhanisa, yang suka keluyuran sampai larut malam membuat orang tua angkat Nisa itu tampak khawatir. Sebenarnya paham betul bagaimana kerisauan hati orang tua. Lagian orang tua mana yang tidak risau, kalau anaknya suatu saat nanti bisa saja terjerumus dalam pergaulan yang bebas dan melakukan hal-hal yang tidak senonoh.

Setelah berdiam cukup lama, akhirnya Azzam membuka suara. “Biar Azzam pertimbangkan dulu, Umi. Azzam tidak bisa jawab sekarang.”

“Tidak apa-apa Azzam Umi tahu ini keputusan yang tidak mudah,” kata Umi lembut.

Ya allah beri aku petunjukmu

Tiga hari kemudian ...

Sudah tiga malam Azzam melakukan sholat istikharah memohon petunjuk agar dibukakan penerangan untuk permintaan Umi beberapa hari yang lalu. Akhirnya dengan tekad bulat Azzam datang untuk membicarakan ini kembali keinginannya dengan abah dan umi.

Azzam sudah duduk berhadap-hadapan dengan abah dan umi, di tempat biasa keluarga itu berkumpul. Dengan tenang Azzam duduk dari sikap duduknya ia juga tampak rileks. Lekat-lekat ia memandang wajah dan kedua mata orang tua yang telah melahirkan, merawat, membesarkannya itu. Jika Azzam teringat semua itu, tidak kuasa hatinya hendak menolak. Merekalah kunci surga seorang anak.

“Aku terima perjodohan ini, Umi, Abah.” Tiba-tiba ucapan itu keluar dari mulut Azzam. Mata Azzam menatap umi dan abahnya bergantian.

Abah terlihat tersenyum lega. Sementara Umi mengelus pelan bahu anaknya. “Apa Azzam sudah pikirkan ini matang-matang, Nak?”

Azzam mengangguk pelan.

“Umi tidak memaksa Azzam. Kalau memang Azzam tidak setuju tidak apa-apa, nanti Umi sampaikan saja sama Paman Ahsan. Umi juga tidak mau kalau nanti malah membawa mudharat untuk kehidupan rumah tangga Azzam. Kalau Azzam melakukan itu dengan terpaksa."

“Tidak Umi. Ini sepenuhnya keputusan Azzam,” kata Azzam sembali memegang halus tangan ibunya. Dengan kebulatan niat dan keteguhan hati Azzam, ia berharap ini adalah keputusan terbaiknya.

Mendengar pengakuan dari Azzam, umi dan abah terlihat melemparkan senyum sumringah. Tidak ada alasan lain kenapa abah dan umi lebih memilih Azzam untuk menikahi Nisa karena karakter, tabiatnya serta tutur kata yang lembut, pembawaan yang tenang, dan sedikit humoris membuat orang senang bila bergaul dengannya. Maka tidak heran banyak sebenarnya wanita yang mencoba mencuri pandang dengan Azzam, tapi seperti belum ada yang menggetarkan hatinya untuk memilih wanita-wanita itu, padahal wanita yang mendekat itu anak orang-orang kenamaan, ada juga penghafal qur'an. Entah apa yang dicarinya, sehingga tidak ada satupun wanita yang mampu mengisi hati Azzam.

Berbicara tentang saudara Azzam lainnya, bukan berarti mereka tidak berkarakter baik seperti Azzam. Namun, agaknya anak bungsu satu ini memang sedikit berbeda.

Terpopuler

Comments

Akhi Jemmy

Akhi Jemmy

kakaknya umur berapa Thor koq blm pada nikah, masa Iyya orang persantren koq dah tua g nikah nikah sih... kepo akunya

2023-05-09

0

Defi Andriani

Defi Andriani

mampir

2021-08-22

0

Saiyah

Saiyah

save dulu

2021-08-16

0

lihat semua
Episodes
1 BAB 1. Kerelaan
2 BAB 2. Kontingen Hati
3 BAB 3. Pertikaian
4 BAB 4. Permintaan Menikah
5 BAB 5. Janji Kita Bersama
6 BAB 6. Keputusan
7 BAB 7. Sah
8 BAB 8. Malam Pertama
9 BAB 9. Sorry I’am Late
10 BAB 10. Si putih, Mou
11 BAB 11. Kasih Bertepuk Sebelah Tangan
12 BAB 12. Mashita!
13 BAB 13. Mirip Tawanan
14 BAB 14. Siraman Rohani Dadakan
15 BAB 15. Munakahat
16 BAB 16. Siratan Kenangan
17 BAB 17. Jiwa yang Sunyi
18 BAB 18. Surga Dunia
19 Bab 19. Sebuah Luka Lama
20 BAB 20. In The Kitchen
21 BAB 21. Nikah-Nikahan
22 BAB 22. Kamu Cantik, Istriku
23 BAB 23. Masih Sabar
24 BAB 24. Bertemu Kembali
25 BAB 25. Pingsan
26 BAB 26. Drama Amnesia
27 BAB 27. Rasa Bersalah
28 BAB 28. Fitting Baju
29 BAB 29. Acara Makan-makan
30 BAB 30. Kejadian Buruk
31 BAB 31. Perkelahian
32 BAB 32. Mimpi Buruk
33 BAB 33. Cewek Agresif
34 BAB 34. Percakapan Itu
35 BAB 35. Inspeksi Bulanan
36 BAB 36. Secarik Kertas
37 BAB 37. Hilang
38 BAB 38. Perkara Pakaian Takwa
39 BAB 39. Ada yang Beda
40 BAB 40. Keributan Kecil
41 BAB 41. Mengakui
42 BAB 42. Kalung Liontin
43 BAB 43. Tempat Indah
44 Bab 44. Berbagi Cerita
45 Ilustrasi
46 BAB 45. Berangkat
47 BAB 46. Ketahuan
48 BAB 47. Apa Iya Rindu?
49 BAB 48. Gelisah
50 BAB 49. Di Bully
51 BAB 50. Virus Merah Jambu
52 BAB 51. Cinta Sebenarnya
53 BAB 52. 'Andai'
54 BAB 53. Mencari Cara
55 BAB 54. Harapan
56 BAB 55. Semua Untukmu
57 BAB 56. Perasaan Sarah
58 BAB 57. Sakit
59 BAB 58. Cemburu
60 BAB 59. Honey
61 BAB 60. Kekalahan
62 BAB 61. Tebaik
63 BAB 62. Study Group
64 BAB 63. Tulus
65 BAB 64. Ikhlasku
66 BAB 65. Saling Mengungkapkan
67 BAB 66. Berjuang
68 BAB 67. Bahagia karena Cinta-Nya
69 BAB 68. Menunaikan Kewajiban
70 BAB 69. Memancing Asmara
71 BAB 70. Muroja'ah
72 BAB 71. Kelulusan
73 BAB 72. Rumah Baru
74 BAB 73. Kenalan Tetangga Baru
75 BAB 74. Modus
76 BAB 75. Panti Asuhan 1
77 BAB 76. Panti Asuhan 2
78 BAB 77. Sick
79 BAB 78. Canda Pagi
80 BAB 79. Resah
81 BAB 80. Lancang
82 BAB 81. Berubah
83 BAB 82. Foto yang Lenyap
84 BAB 83. Bahagia itu
85 BAB 84. Harus Pulang
86 BAB 85. Permintaan
87 BAB 86. Curiga
88 BAB 87. Penjelasan
89 BAB 88. Kiriman Foto
90 BAB 89. Temuan Foto
91 BAB 90. Kunjungan
92 BAB 91. Pujian
93 BAB 92. Hadiah Spesial
94 BAB 93. Pilihan
95 BAB 94. Prahara Rumah Tangga
96 BAB 95. Jebakan (1)
97 BAB 96. Jebakan (2)
98 BAB 97. Jebakan (3)
99 BAB 98. Back to Home
100 BAB 99. Keputusan itu
101 BAB 100. Part Spesial 17-an (1)
102 BAB 101. Part Spesial 17-an (2)
103 BAB 102. Kabar Duka
104 BAB 103. Bukan Kesengajaan
105 BAB 104. Suasana Duka
106 BAB 105. Mengungkap Kasus
107 BAB 106. Puzzle Kerinduan
108 BAB 107. Teman Berbagi
109 BAB 108. Pembongkaran
110 BAB 109. Bazar
111 BAB 110. Pemilik Suara
112 BAB 111. Manisnya Kesabaran
113 BAB 112. Tindakan Operasi
114 BAB 113. Halal Love
115 BAB 114. Saving Private Baby (1)
116 BAB 115. ....... Baby (2)
117 BAB 116. ..... Baby (3)
118 BAB 117. ..... Baby (4)
119 BAB 118. Extra Part [End]
Episodes

Updated 119 Episodes

1
BAB 1. Kerelaan
2
BAB 2. Kontingen Hati
3
BAB 3. Pertikaian
4
BAB 4. Permintaan Menikah
5
BAB 5. Janji Kita Bersama
6
BAB 6. Keputusan
7
BAB 7. Sah
8
BAB 8. Malam Pertama
9
BAB 9. Sorry I’am Late
10
BAB 10. Si putih, Mou
11
BAB 11. Kasih Bertepuk Sebelah Tangan
12
BAB 12. Mashita!
13
BAB 13. Mirip Tawanan
14
BAB 14. Siraman Rohani Dadakan
15
BAB 15. Munakahat
16
BAB 16. Siratan Kenangan
17
BAB 17. Jiwa yang Sunyi
18
BAB 18. Surga Dunia
19
Bab 19. Sebuah Luka Lama
20
BAB 20. In The Kitchen
21
BAB 21. Nikah-Nikahan
22
BAB 22. Kamu Cantik, Istriku
23
BAB 23. Masih Sabar
24
BAB 24. Bertemu Kembali
25
BAB 25. Pingsan
26
BAB 26. Drama Amnesia
27
BAB 27. Rasa Bersalah
28
BAB 28. Fitting Baju
29
BAB 29. Acara Makan-makan
30
BAB 30. Kejadian Buruk
31
BAB 31. Perkelahian
32
BAB 32. Mimpi Buruk
33
BAB 33. Cewek Agresif
34
BAB 34. Percakapan Itu
35
BAB 35. Inspeksi Bulanan
36
BAB 36. Secarik Kertas
37
BAB 37. Hilang
38
BAB 38. Perkara Pakaian Takwa
39
BAB 39. Ada yang Beda
40
BAB 40. Keributan Kecil
41
BAB 41. Mengakui
42
BAB 42. Kalung Liontin
43
BAB 43. Tempat Indah
44
Bab 44. Berbagi Cerita
45
Ilustrasi
46
BAB 45. Berangkat
47
BAB 46. Ketahuan
48
BAB 47. Apa Iya Rindu?
49
BAB 48. Gelisah
50
BAB 49. Di Bully
51
BAB 50. Virus Merah Jambu
52
BAB 51. Cinta Sebenarnya
53
BAB 52. 'Andai'
54
BAB 53. Mencari Cara
55
BAB 54. Harapan
56
BAB 55. Semua Untukmu
57
BAB 56. Perasaan Sarah
58
BAB 57. Sakit
59
BAB 58. Cemburu
60
BAB 59. Honey
61
BAB 60. Kekalahan
62
BAB 61. Tebaik
63
BAB 62. Study Group
64
BAB 63. Tulus
65
BAB 64. Ikhlasku
66
BAB 65. Saling Mengungkapkan
67
BAB 66. Berjuang
68
BAB 67. Bahagia karena Cinta-Nya
69
BAB 68. Menunaikan Kewajiban
70
BAB 69. Memancing Asmara
71
BAB 70. Muroja'ah
72
BAB 71. Kelulusan
73
BAB 72. Rumah Baru
74
BAB 73. Kenalan Tetangga Baru
75
BAB 74. Modus
76
BAB 75. Panti Asuhan 1
77
BAB 76. Panti Asuhan 2
78
BAB 77. Sick
79
BAB 78. Canda Pagi
80
BAB 79. Resah
81
BAB 80. Lancang
82
BAB 81. Berubah
83
BAB 82. Foto yang Lenyap
84
BAB 83. Bahagia itu
85
BAB 84. Harus Pulang
86
BAB 85. Permintaan
87
BAB 86. Curiga
88
BAB 87. Penjelasan
89
BAB 88. Kiriman Foto
90
BAB 89. Temuan Foto
91
BAB 90. Kunjungan
92
BAB 91. Pujian
93
BAB 92. Hadiah Spesial
94
BAB 93. Pilihan
95
BAB 94. Prahara Rumah Tangga
96
BAB 95. Jebakan (1)
97
BAB 96. Jebakan (2)
98
BAB 97. Jebakan (3)
99
BAB 98. Back to Home
100
BAB 99. Keputusan itu
101
BAB 100. Part Spesial 17-an (1)
102
BAB 101. Part Spesial 17-an (2)
103
BAB 102. Kabar Duka
104
BAB 103. Bukan Kesengajaan
105
BAB 104. Suasana Duka
106
BAB 105. Mengungkap Kasus
107
BAB 106. Puzzle Kerinduan
108
BAB 107. Teman Berbagi
109
BAB 108. Pembongkaran
110
BAB 109. Bazar
111
BAB 110. Pemilik Suara
112
BAB 111. Manisnya Kesabaran
113
BAB 112. Tindakan Operasi
114
BAB 113. Halal Love
115
BAB 114. Saving Private Baby (1)
116
BAB 115. ....... Baby (2)
117
BAB 116. ..... Baby (3)
118
BAB 117. ..... Baby (4)
119
BAB 118. Extra Part [End]

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!