Ikrar Cinta Bersulam Surga
"Eh Nis, kira-kira siapa ya yang bakalan gelar tenda duluan di kelas kita?
Gelar tenda? Otakku bekerja keras untuk mencari makna kata itu. Biasanya orang gelar tenda kalau ada acara hajatan, sunatan, hari raya qurban untuk mencit hewan, nikahan juga gelar tenda sih.
"Kalau aku sih belum ada calonnya, gimana mau gelar tenda... "kata Fey sambil senyum-senyum tidak jelas.
"Kalau kamu Nis?" Aku mengerjap-ngerjap kaget, saat Fey menanyakan itu ke aku yang masih sibuk menyalin resuman materi Fiqih.
"Nikah maksud kamu?" tanyaku skeptis.
Fey mengangguk, tersenyum.
"Hehehe... " Aku tertawa hambar.
"Kamu sendiri punya target menikah?" tanya Fey dengan menatap kedua bola mataku beberapa detik.
"Kamu ngapa tanya-tanya tentang nikah sih? Nggak ada topik lain apa?"
"Daripada aku nanyanya kapan mati? Kan horor. Bisa dikeroyok warga satu sekolah kalo setiap ketemu nanyanya kapan mati."
Aku terkekeh. "Ya, kali nanya begituan"
"Kamu siap nggak kalau misalkan harus menikah muda?" Fey bertanya seperti sedang membayangkan sesuatu.
Pernah sih kepikiran buat nikah muda. Tapi pikiran itu seketika sirna jika ditanya tentang kesiapan. Menikah bukan hanya tentang ijab dan kabul lalu romantis-romantisan. Perlu juga dipertanyakan siap nggak lahir dan batin. Apalagi kalau dijodohin. Ekspektasi dan kenyataan itu kadang berbanding terbalik.
"Nis, kok kamu melamun sih? Kamu lagi bayangin gimana serunya nikah muda ya?"
Aku menepis jari telunjuk yang mengarah ke wajahku.
"Apaan sih! Nggak ada nikah muda. Lagian target aku menikah itu umur 25 tahun. Kalau tahun ini target aku bukan menikah tapi menyelesaikan studi dan lanjut kuliah," ujarku memperjelas.
Fey menghela. "Yahh, aku juga sama sih. Tapi kalau udah dapat jodohnya mau gimana? Nggak mungkinkan menghindar terus." Fey berkomentar.
"Yang jelas aku ogah nikah muda. Titik. No koma," balasku menekan. "Lagian kenapa jadi bahas nikah sih, kita kan mau belajar ini!"
"Iya, kan aku cuman nanya doang. Nggak usah jutek gitu dong." Fey menarik pipiku gemas.
"Kamu sendiri memangnya udah siap? Siap ngasih nafkah lahir dan nafkah batin? Karena nikah bukan cuman tentang cinta. Tapi ada kewajiaban yang harus dipenuhi suami sebagai kepala keluarga."
"Kok kamu tau tentang itu? Jangan-jangan selama ini kamu... "
"Apa lagi? Nggak usah aneh deh! Kan aku baca dari buku ini" Tanganku mengangkat tinggi-tinggi buku Fiqih.
Fey mengangguk.
"Kalau aku sih siap aja nikah muda."
Mendengar perkataan Fey membuatku bergidik geli. "Ihh, pantes dari tadi bahasnya itu mulu, ternyata kamu yang udah kebelet mau nikah."
Rasanya tidak penting melanjutkan obrolan itu lagi. Tanganku kembali meraih pena untuk lanjut menulis. Tapi baru aku ingin menulis satu kalimat, bel pulang sudah berbunyi.
Suara siswa kembali menggema memenuhi setiap sudut ruangan. Mereka berhamburan keluar dari ruang kelas, setelah seharian berkutat dengan buku.
***
Matahari sudah menyembul kembali ke permukaan bumi. Ia menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Menerangi setiap bagian bumi, supaya manusia tahu bahwa kehidupan masih berjalan sebagaimana mestinya.
Krringgg...
Tanganku meraba-raba demi meraih jam beker di nakas. Aku terpaksa membuka mata yang masih terkatup katup sekedar hendak melihat angka yang tertera pada jam yang berdering tadi.
Aku melenguh. "Masih pukul 06.30 pagi. Nanti dulu deh! 10 menit lagi.”
Tak hampir satu menit jeda alarm itu berhenti, sebuah teriakan panggilan kembali menggema dari luar. “Nisa! Dhanisa! Dah siang. Anak gadis nggak boleh bangun siang-siang. Nanti jodohnya mandeg.” Suara itu jelas seperti sedang mengutukku.
Tidak ada kata lain selain tentang jodoh yang selalu ibu gunakan untuk membangunkanku yang masih betah memeluk erat bantal guling.
“Iya Bu! Sebentar lagi ya 10 menit,” balasku setengah sadar karena nyawa masih diawang-awang.
“Nisa dalam hitungan ketiga Ibu mau kamu bangun sekarang juga!” suara itu terdengar dekat sekali.
"Satu... Dua... Tiga... "
Ibu sudah selesai menghitung. Tapi aku masih juga belum bergerak dari posisi menelungkupkan badan. Sekoyong-koyong aku merasa ada butiran dingin dan basah menerpa mukaku berulang-ulang. Aku gelagapan dan memaksa mengangkat kelopak mata yang berat seperti batu. Samar-samar sebuah telapak tangan mendekat ke arahku. Jari-jarinya menjentik. Aku tergeragap, dan mukaku sekali lagi basah dengan air.
"Bangun!" yang punya tangan mengeram. Geraman yang kukenal. Geraman Ibu. Ya Tuhan! Kantukku tiba-tiba punah. Dengan cepat aku menyibak selimut dan meloncat turun dari tempat tidur.
"Cepat siap-siap!" Perintah itu datang tiba-tiba.
Aku menguap.
"Siap-siap apanya, Bu?"
Tangan ibu bergerak cepat memilin kupingku. Ibu memang kadang sejahat itu dengan aku.
"Aw.. aw," pekikku, meringis kesakitan.
“Makannya kamu sadar dulu. Itu muka, masih muka bantal gitu."
Aku menggaruk tengkukku.
"Nisa, udah sadar Ibu, ini Nisa bangun!" kataku terduduk dipinggir ranjang sambil mengucek mata.
"Hari ini kita akan ke rumah Paman Hamzah. Sekarang Nisa buruan mandi, Ibu mau nyiapin makanan dulu."
Aku bangkit, lalu menghempaskan tubuh pada jok kursi.
"Nisa harus ikut memangnya?” tanyaku dengan suara masih serak khas orang baru bangun tidur.
Pertanyaanku yang demikian membuat ibu berhenti dan membalikkan kembali badannya ke arahku.
“Ya iyalah Nisa," nadanya panjang diakhir.
"Harus banget memangnya?" tanyaku lagi.
"Nisa! Sekali lagi kamu nanya Ibu masukin kamu ke pesantren," nada Ibu mengancam.
Aku menanggapinya santai. “Tapi Ibu Nisa malas. Biar Ibu sama Ayah ajalah yang ke sana. Nisa ada janji nih nanti ketemu kawan-kawan.”
“Nisa! ketemuan dengan teman itu nanti bisa ditunda. Tapi kalau acara keluarga seperti ini tidak bisa ditunda. Lagi pula Paman Hamzah dengan Ayah Nisa kan adik-beradik, saudara. Ada baiknya kita menjalin tali silaturahmi dengan keluarga dekat. Sanak family,” tukas ibu seketika.
Sudahlah dalam hati aku hanya bisa pasrah, kalau tidak aku turuti kehendaknya bisa-bisa panjang kali lebar lagi celotehan yang keluar dari mulut ibu, pagi ini.
“Iya-iya, Nisa mandi."
Aku berjalan dengan malas ke kamar mandi.
***
Lebih kurang sejam perjalanan akhirnya mobil yang membawa kami sekeluarga tiba di rumah Paman Hamzah. Aku masih di dalam mobil, belum hendak turun rasanya. Entah kenapa tiba-tiba kepalaku terasa sakit. Aku sedikit mengurut-urut kening dengan tangan, siapa tahu sakitnya bisa sedikit reda. Dari dalam kaca mobil aku melihat ayah dan ibu sudah berjalan keluar, sementara aku masih ngurut kepala di dalam mobil. Tanganku meraba-raba tas kecil yang aku kenakan dengan maksud menemukan obat pereda sakit kepala yang dokter berikan beberapa hari lalu. Tapi aku tidak menemukannya.
“Mana Nisa, Bu?” Terdengar suara ayah yang menanyakan perihalku.
Ibu kemudian melihat ke arah mobil sedan berwarna putih. “Nisa ayo turun, kenapa masih di dalam!” nadanya sedikit berteriak.
“Iya Bu." Segera aku keluar dari mobil sebelum mood ibu berubah lagi.
Dari kejauhan aku melihat Kak Soraya dan Abang Fikri sudah berdiri di depan, menunggu kami.
“Assalamu’alaikum,” sapa ayah dengan salam untuk memohon keselamatan.
“Wa’alaikumsalam.” Kedengaran kakak beradik itu menjawab bersamaan.
“Mana Abah dan Umi kalian?” Kali ini giliran ibu yang bersuara.
“Di dalam Umi.” Itulah sapaan panggilan yang mereka gunakan untuk memanggil nama ibuku. Keluarga Paman Hamzah ini memanglah keluarga yang dekat dengan agama. Paman Hamzah adalah seorang dosen yang mengampu mata kuliah Usuludin adab dan dakwah, sementara istrinya, Salamah adalah guru mengaji. Itulah tidak salah lagi bagaimana sikap dan karakter anak-anak mereka yang penyantun, rama serta sopan. Paman Hamzah hanya memiliki tiga orang anak, yaitu Abang Fikri, Kak Soraya dan Abang Azzam. Semuanya belum ada yang berumah tangga.
“Eh! Ini Nisa kan?” tanya Kak Soraya, meneliti wajahku dengan saksama.
Aku pun langsung menyambut tangan Kak Soraya untuk bersalaman. “Iya kak."
“Wah sudah lama kita nggak ketemu ya, Nisa, hmm... kira-kira mungkin hampir lima tahunan,” ujar Kak Soraya, tangannya menepuk pundakku, pelan. “Sudah kuliah?”
Aku menyunggingkan gigi, baru membalas, “Belum Kak. Nisa masih SMA.”
Kak Soraya mengangguk. “Kelas?”
“Tiga Kak.”
Tiba-tiba abang Fikri bersuara, “Heh, sudahlah! Tunda dulu mengobrolnya lebih enak kalau kalian ngobrol di dalam. Nggak bagus kalau di luar seperti ini,” kata Abang Fikri.
“Ha-ha iya, iya. Abah dan Umi juga sudah ada di dalam, ayo sayang,” ujar Kak Soraya lagi.
Abang Fikri dan Kak Soraya sudah berjalan duluan di depan. Sementara aku agak sedikit melambatkan derap langkah karena masih menahan rasa nyeri di kepala, Jangan sampai aku ambruk.
Benar-benar tak tertahankan, aku merasa sudah tak mampu menumpu beban tubuhku. Akhirnya aku berjalan sedikit demi sedikit sambil memegangi dinding bercat putih dengan tangan terus memijit-mijit pelipis.
Tak lama, seseorang datang merangkulku. Aku memandang wajahnya berusaha untuk mengenali orang itu. Namun, agak blur pandanganku melihatnya.
“Nisa, kenapa?”
Aku menggeleng, rasa tak sanggup lagi mau bersuara. Ia terus memapahku sampai ke ruangan tempat dimana keluarga berkumpul.
Ibu yang melihatku datang dengan dipapah Azzam, sontak membuatnya kaget. “Azzam, kenapa Nisa?”
“Tidak tahu Umi, tadi aku melihat dia agak kepayahan makanya aku bantu dia berjalan,” jawabnya ringkas.
“Nisa, sakit lagi?” tanya ibu sambil menuntunku duduk di kursi. “Nisa bawa obat yang diberikan dokter Hendra?"
Aku menggeleng.
“Coba bawa Nisa istirahat dulu di kamar, supaya sakitnya agak sedikit reda,” kata Umi Salamah, istri Paman Hamzah yang juga terlihat khawatir dengan aku.
“Ahm, Azzam coba telepon Dokter Maldi suruh ke sini,” perintah Paman Hamzah pada anak bungsunya.
“Iya, Abah."
Sekitar lima belas menit menunggu Dokter Maldi tiba di rumah Paman Hamzah. Aku masih berbaring di tempat tidur, aku kurang tahu persis kamar siapa yang aku tempati ini. Mungkin kamar Kak Soraya.
Dokter Maldi sudah memeriksaku dan baru saja memberikan obat untuk aku minum.
“Dia hanya sedikit kelelahan makannya sakitnya kambuh lagi. Setelah ini biarkan dia istirahat dulu,” kata Dokter Maldi. “Jangan lupa obatnya supaya rutin diminum,” lanjutnya.
“Terima kasih Dokter Maldi, sudah bersedia kemari lagi,” ujar Paman Hamzah.
Dokter Maldi tersenyum. “Iya Ustadz, sudah kewajiban seorang dokterlah jika dimintai bantuan segera datang. Kalau begitu saya pamit dulu Ustadz, kebetulan masih ada pasien yang menunggu saya di klinik. Assalamu’alaikum,” ucapnya kemudian berlalu meninggalkan kami.
“Wa’alaikumsalam,” jawab mereka.
“Sebenarnya Nisa sakit apa, Hamidah?” tanya Umi Salamah pada Ibu.
“Vertigo. Sebenarnya baru seminggu ini juga dia baru keluar dari rumah sakit,” terang ibu.
“Kalau begitu biarlah Nisa bermalam dulu di sini,” tawar Umi Salamah.
Lembut ibu mengelus kepalaku. “Bagaimana Nisa menginap dulu semalam di sini, ya?” bujuk ibu lembut.
“Nggak! Nggak mau, Nisa mau pulang karena Nisa ada janjilah dengan kawan,” kataku merenggut. Lagian awalnya aku memang nggak mau ikut ke sini, malah di paksa lagi.
***
“Azzam, kemari Nak yang sedikit hal yang mau Umi bicarakan,” suara umi memecah kesunyian malam.
Mendengar perintah umi, Azzam menghentikan langkahnya sejenak dan menghampiri wanita paruh baya yang dipanggilnya Umi. Padahal usai pulang sholat isya berjamaah tadi setelah ini ia bermaksud untuk menyusun berkas-berkas yang diperlukan untuk lamaran pekerjaan.
“Azzam sibuk?”
“Tidak umi, cuman rencananya tadi mau menyiapkan berkas untuk lamaran pekerjaan.”
“Di mana rencananya Azzam mau bekerja, Nak?” tanya Umi sambil lekat memandang putranya.
“Kalau masalah kerja di mana saja Azzam mau Umi. Cuman tadi siang datang panggilan untuk mengajar sebagai dosen di salah satu universitas di Malang.”
“Azzam ambil?”
“Insyaallah, Umi.”
“Kalau Umi boleh beri saran Azzam mengajar saja dulu di Yayasan Madrasah Aliyah Muallimin, tempat sekolahnya Nisa. Paman Ahsan pernah bilang sekolah mereka sangat membutuhkan tenaga pengajar bidang Al-Qur’an Hadist. Umi rasa cocoklah tuh.”
Azzam diam, menatap objek lain di ruangan itu. Melihat ekspresi anaknya Umi Salamah kembali berujar, “Umi tidak maksa, janganlah terlalu Azzam pikirkan,” ucap Umi sambil tertawa sedikit.
Azzam mengangguk pelan, ikut melempar senyum. “Oh begitu ya, Umi. Insyaallah kalau pun itu baik Azzam bersedia.”
“Zam.”
Azzam menganggkat wajahnya. “Iya”
“Ada yang Umi mau beritahu dengan Azzam?”
“Apa Umi? Kenapa Umi seperti gelisah.”
“Iya, Umi takut-takut kalau Azzam tidak setuju dengan keputusan kita,” ujar umi Salamah dengan perasaan tak enak hati, hendak mengutarakan kalimat itu.
Azzam mulai mengerutkan dahi, tanda hendak betul mengetahui maksud ibunya. “Setuju apa, Umi? tadi Azzam sudah bilang insyaallah, atas izin allah saya bersedia ditempatkan mengajar di madrasah, Umi.”
Umi tertawa. “Ini topiknya lain lagi Azzam.”
Azzam mengangkat kedua alisnya. “Topik apalagi?”
“Umi dengan abah juga kakak-kakakmu sudah berunding untuk ini, dan sekarang Umi mau dengar pendapat Azzam.”
“Pendapat mengenai apa?" Azzam menatap binggung wanita paruh baya di depannya.
Wanita yang telah berusia kepala lima itu memandang lekat wajah anaknya dan mengusap pelan lengan Azzam.
“Abah dan Umi punya keinginan untuk menikahkan Azzam dengan Dhanisa, putri angkat Paman Ahsan. Gimana? Lagiankan kamu juga sudah kenal dan tau bagaimana Nisa." Umi menarik napas dan menelan ludah. "Dulu kalau Umi lihat kalian sangat akrab, selalu bercanda dan main berdua.”
Azzam menatap kedua bola mata ibunya dan mengela napas pelan. Ada jeda di antara keduanya. Umi Azzam membiarkan anak bungsungnya itu berpikir atas keputusan yang telah mereka ambil, dan untuk keputusan akhirnya mereka serahkan sepenuhnya kepada Azzam. Mereka percaya bahwa Azzam akan mengambil keputusan yang menurut diabbaik untuk kedepannya. Lagian mereka tidak mau terlalu memaksakan Azzam untuk cepat menikah.
Sebenarnya alasan di balik keputusan ini adalah orang tua Azzam mau merekatkan kembali tali persaudaraan dan juga menembus rasa bersalahnya, lima tahun silam. Meskipun kalau ditarik kesimpulan tidak ada hubungannya, karena kematian seseorang itu telah ditulis dalam kitabnya (Lauh Al-Mahfuz).
Kebetulan juga keluarga Paman Ahsan kemarin datang untuk membicarakan itu, keinginan dia untuk merubah perilaku Dhanisa, yang suka keluyuran sampai larut malam membuat orang tua angkat Nisa itu tampak khawatir. Sebenarnya paham betul bagaimana kerisauan hati orang tua. Lagian orang tua mana yang tidak risau, kalau anaknya suatu saat nanti bisa saja terjerumus dalam pergaulan yang bebas dan melakukan hal-hal yang tidak senonoh.
Setelah berdiam cukup lama, akhirnya Azzam membuka suara. “Biar Azzam pertimbangkan dulu, Umi. Azzam tidak bisa jawab sekarang.”
“Tidak apa-apa Azzam Umi tahu ini keputusan yang tidak mudah,” kata Umi lembut.
Ya allah beri aku petunjukmu
Tiga hari kemudian ...
Sudah tiga malam Azzam melakukan sholat istikharah memohon petunjuk agar dibukakan penerangan untuk permintaan Umi beberapa hari yang lalu. Akhirnya dengan tekad bulat Azzam datang untuk membicarakan ini kembali keinginannya dengan abah dan umi.
Azzam sudah duduk berhadap-hadapan dengan abah dan umi, di tempat biasa keluarga itu berkumpul. Dengan tenang Azzam duduk dari sikap duduknya ia juga tampak rileks. Lekat-lekat ia memandang wajah dan kedua mata orang tua yang telah melahirkan, merawat, membesarkannya itu. Jika Azzam teringat semua itu, tidak kuasa hatinya hendak menolak. Merekalah kunci surga seorang anak.
“Aku terima perjodohan ini, Umi, Abah.” Tiba-tiba ucapan itu keluar dari mulut Azzam. Mata Azzam menatap umi dan abahnya bergantian.
Abah terlihat tersenyum lega. Sementara Umi mengelus pelan bahu anaknya. “Apa Azzam sudah pikirkan ini matang-matang, Nak?”
Azzam mengangguk pelan.
“Umi tidak memaksa Azzam. Kalau memang Azzam tidak setuju tidak apa-apa, nanti Umi sampaikan saja sama Paman Ahsan. Umi juga tidak mau kalau nanti malah membawa mudharat untuk kehidupan rumah tangga Azzam. Kalau Azzam melakukan itu dengan terpaksa."
“Tidak Umi. Ini sepenuhnya keputusan Azzam,” kata Azzam sembali memegang halus tangan ibunya. Dengan kebulatan niat dan keteguhan hati Azzam, ia berharap ini adalah keputusan terbaiknya.
Mendengar pengakuan dari Azzam, umi dan abah terlihat melemparkan senyum sumringah. Tidak ada alasan lain kenapa abah dan umi lebih memilih Azzam untuk menikahi Nisa karena karakter, tabiatnya serta tutur kata yang lembut, pembawaan yang tenang, dan sedikit humoris membuat orang senang bila bergaul dengannya. Maka tidak heran banyak sebenarnya wanita yang mencoba mencuri pandang dengan Azzam, tapi seperti belum ada yang menggetarkan hatinya untuk memilih wanita-wanita itu, padahal wanita yang mendekat itu anak orang-orang kenamaan, ada juga penghafal qur'an. Entah apa yang dicarinya, sehingga tidak ada satupun wanita yang mampu mengisi hati Azzam.
Berbicara tentang saudara Azzam lainnya, bukan berarti mereka tidak berkarakter baik seperti Azzam. Namun, agaknya anak bungsu satu ini memang sedikit berbeda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Akhi Jemmy
kakaknya umur berapa Thor koq blm pada nikah, masa Iyya orang persantren koq dah tua g nikah nikah sih... kepo akunya
2023-05-09
0
Defi Andriani
mampir
2021-08-22
0
Saiyah
save dulu
2021-08-16
0