“Bang, apa sih yang membuat abang mau menerima pernikahan itu?" tanyaku geram, tapi nada di pelankan.
"Memangnya ada apa?"
"Tidak, Nisa tidak suka. Abang terima pernikahan itu!" tegasku.
"Tapi abang menerimanya, Nisa!" tekannya namun dengan melembut.
Aku mendesis sebal. "Memang harus apa kita menikah? Lagian Abang itu hanya Abang Nisa. Kalau Nisa terima itu, serasa Nisa tidak ada pilihan laki-laki lain selain menikah dengan saudara sendiri.
Huft!
Aku melipat kedua tanganku di depan dada. Beruntung ruangan ini sepi. Guru-guru tidak banyak di sini. Mereka sebagian nampaknya sedang mengikuti rapat.
"Sudahlah, tidak perlu Nisa khawatirkan semuanya. Yang jelas mungkin ini yang paling baik. Dan keputusan itu abang terima," kemudian balik membereskan buku tugas siswanya.
"Ih, abang tolak nggak! kalau nggak.... "
Belum sempat melanjutkan ucapanku, bel sekolah sudah berbunyi. Azzam bangkit merapikan buku-buku yang berserakan di mejanya.
"Kalau nggak Nisa bakalan... " Azzam memotong perkataanku.
“Sudah, sudah... Abang rasa sekarang Nisa tidak perlu khwatir dan berpikir yang aneh-aneh. Sekarang baliklah ke kelas, bel sudah bunyi,” ujarnya, seperti sengaja mau cepat-cepat mengusirku dari sini, supaya aku tidak terus memaksa untuk merubah keputusan itu.
"Setelah ini, abang mau menemui Pak Hasan dulu nanti lagi kita bicarakan itu, ya."
Azzam pergi berlalu meninggalkan aku yang masih berdiri di depan mejanya.
Aku mendesis sebal padanya, sambil mengupat dalam hati.
"Dasar! Nyebelin!" cebikku, menghentakkan kakiku ke lantai. Kemudian, berbalik pergi meninggalkan ruangan guru dengan muka ditekuk.
Aku menghela napas berat untuk kesekian kalinya.
Huft! Nasib apa yang aku terima saat ini Tuhan! Aku membatin.
Tulang kakiku seperti melunak. Aku melangkahkan menuju kelas dengan lunglai. Melihat ke depan dengan tatapan kosong dan tanpa memperdulikan sisi kiri dan kanan.
Orang-orang yang menyapaku juga aku abaikan.
Agaknya sekarang aku lebih mirip seperti orang yang sedang kemasukan setan. Berjalan dengan tatapan kosong, tak tahu tujuan. Ada banyak beban yang bergelayut dipikiranku, mulai dari ujian kelulusan, sampai pada perjodohan. Aku tidak tahu bagaimana nasibku ke depannya jika perjodohan itu benar terjadi, bagaimana hubunganku dengan Fey? Rasanya sulit untuk menerima ini semua.
Di tengah pikiran yang mengerayang. Tiba-tiba seseorang merangkul pundakku. Dengan malas aku memutar bola mata untuk memastikan siapa dia.
“Hey, dari mana?" suara Fey menyergap.
“Dari ruangan guru,” jawabku sekenanya.
Kedua alis Fey terangkat ke atas. "Ada apa? Kena tegur lagi?"
"Nggak!" kataku menggeleng.
Fey mengangguk pelan. "Bagus deh!"
Laki-laki di sebelahku berjalan sambil sesekali menilik ke wajahku. "Tumben kok mendung ya?"
Mendengar ucapannya, kepalaku aku tadahkan ke langit. "Nggak kok mataharinya cerah gini," kataku melihat kondisi langit masih cerah, bahkan matahari memancarkan sinarnya dengan semangat yang tak tertandingi.
"Bukan langitnya. Tapi wajah kamu yang mendung hari ini. Kenapa?"
Aku menggeleng lemas.
“Nggak, lagi males aja,” jawabku dengan acuh.
“Aih, ada masalah? Cerita siapa tahu aku bisa bantu.” Fey menatap dengan begitu dekat.
Aku berhentikan sejenak langkahku, lalu menyentuh lembut wajah Fey yang handsome dengan kedua tangan. Sekarang mata kami saling bertemu pandang. “Fey, kalau suatu saat ada seorang wanita yang lebih cantik, baik dan manis dari aku, apa kamu akan pergi dengan dia dan menjauh dari aku?”
Fey balik memegang kedua tanganku yang masih melekat dipipinya. “Kamu tanya apaan, sih?"
“Jawablah Fey!” pintaku segera, dengan nada menekan.
Fey menyunggingkan senyum. “Nggak, aku akan tetap dengan kamulah,” balasnya.
“Okey,” jawabku singkat. Lalu kembali melanjutkan jalanku yang terhenti.
“Hey! udah itu ajah? Apa maksudnya, tumben nanya begitu?” tanya Fey sambil sedikit berlari untuk menyamakan langkah denganku.
“Nggak. Wblekkkk"
“Wah, kurang ajar." Fey menggelitik tubuhku, seketika aku menggeliat karena merasa geli.
Tanpa mereka sadari, sepasang mata sedang memandang keakraban mereka dari kejauhan.
Pikirannya masih mencoba menyangkal tentang apa yang dilihatnya. Azzam tentunya telah terlebih dahulu mengetahui akan perjodohannya dengan Nisa, dan batinnya juga sudah menerima dengan tulus dan ikhlas. Tapi yang sekarang menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan Dhanisa, apakah dia juga mampu ikhlas menerima Ustadz itu sebagai suami yang notabenenya adalah guru sekaligus sepupunya sendiri.
***
Sepertinya malam ini ayah dan ibu akan pulang larut malam lagi karena sibuk. Aku berjalan menuju dapur. Ku buka lemari es, mataku memutar mencari sesuatu. Meskipun lemari es ini terisi penuh, tapi sepertinya tidak ada yang bisa dimakan. Inilah akibatnya kalau tidak ada keinginan untuk belajar memasak. ‘Huh! dasar Nisa! Nisa!’
Aku mengeluh. Aku menutup kembali lemari es itu. “Apakah aku harus makan mie lagi malam ini?” ucapku. Cukuplah sudah dua hari berturut-turut ini aku makan mie instan, masa malam ini makan mie lagi, bisa-bisa aku tambah bodoh. Aku berjalan ke kamar. Kosong. Sunyi. Ah! inilah penyakit aku apabila tinggal diam di rumah sendirian. Tidak ada pilihan lain. Aku kemudian menggapai handphone yang berada di atas meja belajar, kemudian mencari nama Fey dengan lincah jari jemariku mengetik pesan untuk segera dikirim pada Fey.
📞Dhanisa
"Fey, dimana sekarang?" ketikku pada layar handphone. Tak berapa lama, balasan dari Fey muncul.
📞Fayzulen
"Di rumah, kenapa Nisa? rindu?"
📞Dhanisa
"Hisst, iya aku rindu, sekaligus laper. Fey, kebetulan ayah dan ibu aku nggak di rumah. Dan sekarang aku lapar banget jadi kita pergi makan tempat biasa yuk?"
📞Fayzulen
"Oke. Yuk!"
📞Dhanisa
"Aku tunggu lima menit lagi di tempat biasa!"
📞Fayzulen
"Okey!"
Setelah sekitar tiga puluh menit aku menunggu Fey sampai akhirnya ia tiba juga di warung Mak Ittah dengan menggunakan motor gede miliknya.
“Lambatnya kau nih!” nadaku kesal. "Hampir setengah jam aku menunggu di sini, mujur aku belum jadi lumut, Fey."
Fey hanya membalas dengan tawa cekikikan.
Fey kemudian meminta kepada Mak Ittah untuk membuatkannya secangkir Nescafe hangat.
“Maaflah! Aku tadi ada urusan dikit,” ucapnya memberi alasan sambil tangan sibuk merapikan rambutnya yang acak-acakkan akibat tertiup angin.
Aku memandang Fey dengan sedikitpun tidak berkedip. Seperti biasa aku mencoba membaca raut wajahnya ketika dia memberikan alasan.
“Kamu nggak bohongkan!” tanyaku yang sedikit menyergap Fey.
Fey mengigit bibirnya. Seketika pandangannya dialihkan ke arah lain sebelum dia memandang aku kembali.
“Sumpah! Memang sulit untuk membohongimu, Nisa,” balasnya Fey.
Aku tertawa begitu Fey mengaku, “Itu kau tahu, kau mau berbohong, tetapi masalahnya kau kurang pandai.”
Fey hanya mengeleng-gelengkan kepalanya saja.
“Kamu sudah pesan makanan belum?” tanya Fey.
“Sudah. Barusan tadi.”
“Okelah.” Fey membalas pendek.
Tidak lama kemudian dia tersenyum dan mengangkat tangannya ke arah seseorang yang ada di belakangku. Spontan saja aku menoleh. Tiba-tiba berdesir darahku ketika melihat Azzam sedang melihat kami berdua di sini. Matanya seperti mau menerkam aku. Karena tidak mau bersitatap dengan dia, aku memilih mengalihkan pandangan ke objek lain. Aku mengigit bibirku. Ada sedikit perasaan takut. Kenapa ustadz nih datang juga ke sini malam-malam begini?
“Ustadz, beli makan di sini juga?” tanya Fey.
“Tidak Fayzulen. Saya cuma ingin mengambil pesanan,” jawab Ustadz Azzam.
Fey mengangguk. “Hmm, Ustadz mampir dulu makan bersama kita di sini.”
Mendengar ucapan Fey seketika ekspresi mukaku berubah. ‘Apa sih yang dibuat Fey! tau aku sedang malas melihat muka dia! buat aku nggak selera makan’.
“Fey!” Aku mengertapkan gigi sambil dengan sengaja menginjak kakinya. Sontak seketika saja ia melonjak kesakitan.
“Aww, kenapa Nisa?”
Aku tersenyum meringis ke arah Fey.
“Tidak perlu Fey, kalian berdua cepatlah pulang setelah makan, karena tidak baik apabila laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya berdua-duaan, karena bisa mendatangkan syahwat” kata Azzam, padahal ada maksud tersendiri hendak menyindirku.
“Satu pesan saya, jangan sering-sering bawa anak gadis orang keluyuran malam-malam." Dia berujar seraya mata melirik ke arah Fey, tak lama pandangannya dialihkan ke arahku. Karena malas menatapnya aku sejurus membuang pandanganku ke arah lain.
“He-he iya Ustadz. Tapi tidak ada-lah niat kami sampai ke situ Ustadz." Fey menyangkal.
“Memang awalnya tidak ada niat tapi kalau setan sudah datang menggoda, apa yang bisa diperbuat manusia."
Aku meletakkan kepala di atas meja. Gila! kalau memang jadi aku menikah dengan dia, pastilah sudah setiap hari aku mendapatkan ceramah dari ustadz ini.
“Kalau begitu saya pergi dulu, Assalamu’alaikum,” salam Ustadz Azzam sebelum pulang meninggalkan kami.
“Wa’alaikumsalam”
Fey berbicara lagi ketika melihat mobil Ustadz Azzam mulai menghilang dari kejauhan di telan tingkungan jalan.
“Nisa, kamu dengar ucapan Ustadz Azzam kan tadi? Dia berbicara seperti itu seolah-olah kita sudah sangat dewasa sampai berpikir kalau kita akan melakukan hal yang tidak-tidak."
Fey menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku menanggapi ucapan Fey dengan santai. “Fey! Fey! Kamu kayak nggak tahu aja. Dia-kan umurnya jauh di atas kita. Kita baru 18 tahun, sementara dia sudah 27 tahun tentulah pemikiran dia sudah berbeda dengan kita. Sebab itu dia berbicara seperti itu."
Sebenarnya maksudku membela abang Azzam, hanya saja sedikit banyak sebenarnya usia belum tentu menjadi patokan kedewasaan seseorang, tapi setidaknya dengan seiring bertambahnya umur bisa mematangkan dan mendewasakan seseorang. Begitulah idealnya.
Usai menjelaskan pada Fey, aku melanjutkan kembali makan yang tertunda tadi karena kehadiran Ustadz Azzam. Malam ini seperti malam-malam biasanya, cahaya rembulan dan bintang-bintang banyak bertaburan dilangit malam. Semangkin malam, aku melihat semangkin ramai orang singgah ke warung Mak Ittah ini, bukan hanya sekedar hendak makan, tetapi warung ini kerap mereka jadikan sebagai tempat ngerumpi, musyawarah informal, ataupun bermain catur. Sama-lah seperti kami ini. Hanya saja malam ini kami hanya datang berdua, tidak ada Jihan, Jovan dan Sadam. Sebenarnya memang tidak ada niat kami mau kumpul bersama and the genk hari ini, cuman karena aku sangat lapar maka aku ajak saja Fey untuk kemari.
“Nisa, setelah ini kita pergi ke empang-lah, memancing,” ajak Fey tiba-tiba.
“Hmm, ide yang bagus. Tapi kita pinjam kail siapa?”
“Pinjam aja punya Pak Karyono, yang rumahnya di samping empang itu lho.”
Fey mencoba membantuku mengingat-ngingat, setelah melihatku sedikit perpikir. Rumah Pak Karyono memang bersebelahan dengan empang tempat biasa mereka memancing, mereka juga sudah tidak ada perasaan segan dengan keluarga Pak Karyono karena sudah sering sekali mereka mampir ke sana.
Setelah semua makanan yang terisi di piring habis kami santap, kami segera bergegas menuju ke empang, tempat biasa kami memancing ikan. Jaraknya juga tidak terlalu jauh dari warung Mak Ittah, sehingga kami menitip motor kami di warung Mak Ittah saja.
Memancing selalu menjadi hal yang menarik bagiku dan juga Fey. Kita berdua memiliki kegemaran yang sama. Setiap orang memang punya alternatif untuk membebaskan diri dan masuk pada sebuah dunia tanpa batas. Bagiku dunia tersebut adalah kegemaranku dalam memancing ini. Karena ada kalanya aku membutuhkan ruang untuk melupakan sejenak pada beban berat dalam keseharian. Segala masalah, baik berhubungan itu dengan hal yang berada di dalam maupun di luar rumah. Awal mulanya aku tak tahu bagaimana cara mencari tempat yang nyaman untuk menempatkan itu semua. Sampai pada suatu ketika Fey, menyarankanku untuk ikut dengannya pergi mengikuti aktivitas memancing yang sering dilakukannya, di mana pun itu, sampai akhirnya aku menemukan sebuah dunia yang agaknya berbeda dengan dunia nyata yang aku temui dalam kehidupan sehari-hari.
Jalanan cukup terang malam itu, karena dibantu oleh sinar rembulan. Angin malam semangkin terasa ketika kami mulai sampai di tempat yang kami tuju. Desah suara napas Fey terbuang, ketika Fey mulai mengeluarkan umpan dari botol plastik aqua. Aku duduk di sebelahnya. Mata pancing sudah terpasang dan tinggal memasang umpannya. Fey membantuku untuk mengaitkan umpan itu pada kailku.
“Kita santai dulu di sini, sambil menunggu ikan memakan umpan kita tadi.”
Fey meneguk minuman Pupple Orange dalam botol, lalu menawarkannya juga kepadaku. Namun, aku menolaknya karena merasa perutku sudah kembung usai banyak minum tadi di warung Mak Ittah. Akhirnya aku hanya meraih makanan ringan Chitatos yang tergeletak di samping minuman orange itu.
“Nisa, kalau setelah lulus nanti. Kau rencana mau lanjut kemana?”
“Hah! lanjut? Lanjut kuliah maksudnya?” tanyaku memastikan.
“Iyalah, masa lanjut nikah sih,” kata Fey tertawa.
“Ish, siapa juga lanjut nikah,” kilahku, padahal dalam hati dalam waktu dekat ini aku akan melangsungkan pernikahan dengan Abang Azzam. “Aku rencana mau cari beasiswa ke Inggris Fey,” jawabku tentang keinginan dari lubuk hati paling dalam.
“Hmm, aku juga ikut.”
Aku melirik ke arah Fey. “Kenapa begitu? harusnya kamu pilih sesuai dengan naluri dan tujuan hidup kau hendak ambil apa setelah ini.”
“Kau mau mengambil apa?” Dia Fey lagi.
"Engineering and Physical Sciences"
“Nah, aku juga itu,” kata Fey.
Aku mengerutkan dahiku. “Fey!”
“Iya, aku mau kita kuliah di tempat yang sama, lulus sama-sama. Dan ...” Fey tak melanjutkan kata berikutnya, sengaja hendak membuat aku penasaran.
“Dan, apa?”
Fey menyentil hidungku. “Dan melamarmu ...”
Senyumku mengembang mendengar ucapan yang keluar dari mulut Fey.
"Aku janji setelah lulus kuliah nanti, aku akan datang denganmu, untuk memohon restu dari orang tuamu," tatapan Fey dengan serius dan penuh harap.
"Janji?"
Fey mengangguk. "Iya aku janji."
Mereka berdua malam itu larut dalam canda tawa. Rumput-rumput sekitar tampak bergoyang hebat saat angin kencang berhembus. Aku mengosok-gosokkan tanganku dengan maksud meredakan hawa dingin yang aku rasakan saat itu. Fey yang melihatku demikian, langsung merapatkan zipper jaket bomber agar tubuhku bisa terhalau dari udara dingin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Nay
semakin penasaran dengan Azzam yang ja'im dan Fey yang baik hati
2023-01-09
0
Epron Putra
jngn lpa ni kak main ke crita aq smngt k
2020-05-26
0
Erny Zauzi
datang untuk sowan kak, bawa like like like and rate ya kak
salam dari rombongan mudik____love on Revenge, the no, juga the fifth dragon ya kak
2020-05-25
0