Dua minggu berlalu...
Aku menjalani keseharianku dengan terasa agak sedikit berbeda semenjak Abang Azzam hadir dalam kehidupanku. Ia masuk dalam rumah ini dan kami menjalani hidup berdua, tepatnya sebagai sepasang suami istri. Aku masih ingat beberapa minggu lalu, sebelum ayah dan ibu akan berangkat ke Singapura karena pekerjaannya yang mendadak. Berkali-kali aku coba terus membujuk mereka supaya membatalkan pernikahan ini. Namun, bujukan manis yang aku lemparkan belum juga mampu meluluhkan hati mereka.
Kadang-kadang pikiran itu datang begitu saja jika aku duduk sendirian di rumah tanpa teman yang bisa aku ajak berbagi cerita. Hendak berbagi cerita ke siapa? ke teman-teman and the genk. Aih! mana mungkin, dari awalkan aku sudah niatkan dalam diri supaya tidak dulu memberitahukan perihal ini. Yang perlu aku yakinkan saat ini adalah bahwa orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya, itu juga berlaku untuk aku. Keyakinan itu terus yang aku lafadzkan dalan hati, supaya menyingkirkan pikiran-pikiran negatif yang diilusikan di otak. Seharusnya aku bisa lebih bersyukur bisa hidup bersama mereka.
Tapi apakah hidup yang aku jalani saat ini disebut mengalami kecatatan. Aku tidak menghendaki keadaan ini tapi keadaan yang membuatku menjadi seperti ini. Ibarat sebuah pohon yang tumbuh subur dan indah di tengah tanaman lain, namun batang tubuh tumbuhan itu hadir tidak digunakan sebagaimana peruntukannya hingga serasa sia-sia saja semua hal itu.
Dalam menjalani hari-hari sebenarnya kadang-kadang aku merasa sedikit was-was karena takut sewaktu-waktu tanpa sepengetahuanku Fey, Johan, Sadam dan Jihan datang berkunjung ke rumahku. Tentu kalau mereka melihat ini aku bisa jadi bahan gosipan di sekolah. 'Ustadz Azzam tinggal satu rumah dengan Syafahira Dhanisa!' Aku tentunya tidak mau mengalami perundungan, semacam itu.
Biasanya setiap subuh-subuh sebelum Abang Azzam berangkat ke masjid dekat rumah, Abang Azzam pasti selalu membangunkan aku. Aku yang kurang terbiasa, tentunya begitu sulit untuk bangun. Entah mengapa kelopak mata ini terasa begitu berat untuk terbuka. Tapi, aku takut pula jika aku terlambat bangun Abang Azzam bisa terlambat menjalankan ibadah sholat berjamaah di masjid karena menunggu aku yang belum juga bangun. Jika aku melihat Abang Azzam sudah pergi ke masjid untuk sholat berjamaah, aku kemudian kembali melanjutkan tidurku yang tertunda. ‘Uh! dasar Nisa! Nisa.’ Namun, apabila waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam, aku bergegas bangun kembali sebelum Azzam pulang dari sholat berjamaah di masjid.
Kalau berangkat ke sekolah biasanya kami sibuk masing-masing, aku sibuk mempersiapkan segala keperluan sekolah dan begitu juga dengan Azzam. Kalau aku hendak berangkat sekolah, aku biasanya berangkat lebih dulu daripada dia.
Seperti biasa aku selalu mengendarai motor maticku menuju sekolah, sementara Azzam menggunakan mobilnya. Jarak dari rumah ke sekolahku juga lumayanlah jauh, maka dari itu aku selalu berangkat lebih awal. Hari ini harusnya aku berangkat lebih pagi lagi dari biasanya, karena hari Senin. Seperti biasa hari Senin selalu ada kegiatan rutinitas yaitu sholat dhuha di lapangan secara berjamaah baru kemudian dilanjutkan dengan upacara bendera. Ini karena setelah bangun subuh tadi aku bukannya langsung mandi, malah melanjutkan tidur kembali.
“Nisa, cepat sedikitlah sudah jam berapa ini?” ucap Abang Azzam yang melihatku masih sibuk memasang kaos kaki sementara dia sudah berdiri di depan pintu mobil.
“Sabarrr, ihhh!” gerutuku.
“Nisa sudah sarapan belum?”
Aku menggeleng. “Mana sempat," balasku singkat.
“Itulah kan semalam abang bilang biar tidur cepat. Tapi tidak mau dengarkan ucapan orang."
Aku masih sibuk memasang tali sepatu, sementara perkataannya barusan aku anggap sebagai angin berlalu.
“Hari ini kita berangkat ke sekolah sama-sama ya?” ajaknya sambil pintu mobil sebelah kiri.
“Nggak ah. Nanti teman-teman pada tau lagi. Lain kali ajalah," kataku memberi alasan.
Azzam hanya dapat menghela napas lalu menutup kembali pintu mobil yang semulanya dibukakan untukku supaya ikut bersamanya dalam mobil sedan berwarna putih itu.
Aku melihat mukanya lamat-lamat ketika menutup pintu mobil tadi, raut wajahnya tidak banyak berubah. Aku kira dia akan marah. Sepertinya Azzam memang harus banyak bersabar dalam menghadapi watakku yang keras kepala, dan suka berbicara ceplas-ceplos. Sedikit banyak, sebenarnya aku tau pasti dia sudah paham akan karakterku yang memang demikian, mengingat dulu mereka kerap bermain menghabiskan waktu berdua.
“Hati-hati di jalan, jangan ngebut-ngebut, bahaya!” Azzam menyampaikan kalimat itu sebelum masuk ke dalam mobilnya.
Suara mesin mobil Azzam sudah menyeringai dengan halus, berjalan keluar meninggalkan pekarangan rumah. Aku mengecek jam yang melingkar di tangan. “Pukul 06. 30, wah! gawat!" segera aku menunggani motor yang telah siap di garasi depan rumah. Helm, sarung tangan dan jaket sweater sudah terpasang ditubuhku. Aku segera menarik tuas gas untuk menelusuri jalanan pagi ini.
Jalanan pagi selalu padat, motor-motor dan mobil bak tawon yang saling kerjar mengejar untuk segera sampai ke tempat tujuan. Tak terkecuali aku, karena takut telat, gas motor aku tarik dalam-dalam.
Hawa sejuk pagi itu begitu terasa. Baru setengah perjalanan, aku seperti merasakan ada yang aneh dari motor ini. Lama kelamaan badan motor seperti mau oleng. Dengan terpaksa aku berhenti tepat di depan halte untuk mengecek motor. Mataku mulai menilik satu per satu bagian dari onderdil motor. Sekarang yang tampak oleh mataku adalah ban belakang motor kempis. “Ah! sial.” Aku mulai harap-harap cemas. Akhirnya aku putuskan untuk mendorong motor sampai menemukan bengkel terdekat, untungnya jarak empat meter dari halte tadi aku mendapati bengkel motor, dengan sigap aku percepat langkahku mendorong motor sampai ke bengkel itu.
“Kenapa, Neng?” tanya seorang pemuda dengan rambut di cat pirang.
“Ini, Bang ban belakang kempis. Tolong dicek Bang,” telunjukku menunjuk ke arah ban belakang yang karet bannya sudah mulai menipis. Tangan pemuda itu mulai memutar-mutar roda ban motor.
“Ini cuman bocor halus, Neng. Nggak ada pakunya. Tinggal ditambal aja.”
Aku melirik arlogiku kembali. ‘Nggak ada waktu lagi kalau aku harus menunggu motor ini. Sebaiknya aku cari taksi atau angkot saja supaya cepat sampai ke sekolah’.
“Ahm, Bang saya titip motor saya aja dulu, nanti sore saya ke sini lagi setelah pulang sekolah. Tapi motor saya jangan di apa-apain ya. Motor saya satu-satunya ini, Bang," kataku sedikit mematut-matut karyawan bengkel itu, agar tidak berbuat macam-macam.
“Aman, Neng.”
Aku berjalan meninggalkan bengkel bertuliskan Bengkel Jhon yang melekat pada plang depan ruko. Seketika aku baru mengingat sesuatu kalau buku pinjaman perpustakaan belum aku kembalikan dan itu tertinggal di jok motor.
“Kenapa lagi, Neng?” tanya pemuda tadi.
“Buku tinggal, Bang.”
Pemuda itu hanya menggelengkan kepalanya saat mendengar ucapanku.
Setelah buku aku ambil, langsung aku berbalik badan dan berlari lincah menuju halte yang berada tidak jauh dari bengkel. Hari ini cuaca tampak agak mendung. Awan gelap seperti sedang mengikuti langkahku.
Tak lama angkutan umum yang aku tunggu akhirnya tiba juga. Penumpang di dalamnya sudah sesak tapi tidak ada waktu lagi bagiku untuk mencari angkutan umum lain. Dengan terpaksa aku ikut berdesak-desakan dengan berbagai barang dan orang di dalamnya. Awan memang mendung dan udara di luar mulai sejuk, tapi tidak dengan aku yang merasakan gerah di dalam sini.
Angkutan umum terus melaju membelah kemacetan. Tatapanku menerawang ke arah luar lewat jendela angkutan umum yang kacanya sedikit berdebu. Ada segerombolan orang sedang berkumpul di pinggir jalan, tampak juga ada polisi yang membantu arus lalu lintas.
“Di sana ada apa ya, Mas?” Si pengemudi angkutan umum mencoba mencari tahu, tentang apa yang terjadi di sana karena ada banyak orang berkerumun dan juga ada polisi berjaga.
“Ada kecelakaan, Pak,” jawab pengemudi motor yang berada di samping angkutan umum kami.
Si sopir angkutan umum tak bertanya lagi, dia paham sedang mengangkut banyak penumpang yang ingin segera sampai ke tujuannya masing-masing. Angkutan umum kembali melanjutkan perjalanannya. Aku semangkin gusar, duduk pun menjadi tidak tenang, sekitar lima belas menit mobil angkutan umum yang membawaku baru sampai di Madrasah Muallimin. Dengan cepat aku meloncat turun dari mobil. Batu kerikil berderit-derit saat terinjak. Tergopoh-gopoh aku berjalan mendekat ke arah pintu gerbang yang sudah ditutup oleh Bapak Janus, satpam sekolah.
“Pak, nggak bisa dibuka gerbangnya?”
Aku bertanya dari balik gerbang saat melihat Bapak Janus sedang membuang sampah menuju gerbang sekolah.
“Tidak bisa, Nisa. Gerbang akan dibuka lagi setelah upacara selesai," dari banyaknya murid di sekolah ini, Pak Janus sampai hapal namaku karena kerap terlambat ke sekolah.
“Kan upacaranya belum dimulai, Pak.”
“Iya, tapi sholat dhuha sudah mulai. Gerbang akan dibuka kembali setelah sholat dhuha dan upacara bendera selesai dilaksanakan,” jelas Pak Janus.
Aku menghela napas kasar. “Ya udah deh, Pak.”
Sepertinya penderitaanku bertambah lagi hari ini, sudahlah bangun siang, ban motor kempis, telat pula. Huh! Aku yakin setelah ini Bapak Herwin akan memintaku untuk menghadapnya lalu menyuruhku berdiri di depan lapangan. Baru aku berdiri lima menit di luar gerbang, gesekan besi dan kunci sedang dibuka terdengar olehku.
“Masuk!” kata Pak Janus. “Tadi, Pak Herwin meminta siswa yang terlambat supaya masuk untuk ikut upacara.”
Mendengar kata Pak Janus, aku menyunggingkan gigi sambil mengucapkan terima kasih. Setelahnya aku menitipkan tas dan buku yang aku bawa tadi pada pos satpam tempat Pak Janus biasa nongkrong, kemudian berlari kecil menuju barisan teman-teman sekelas. Begitu ketika aku sudah mendekati barisan, tiba-tiba seperti ada suara yang memanggil namaku dengan cepat aku menoleh mencari sumber suara.
“Iya, Pak.”
Ternyata itu adalah Bapak Herwin, guru yang selalu mendisiplinkan murid-muridnya yang membangkang dan tidak disiplin.
“Kamu terlambatkan?” katanya menunjuk ke arahku dengan mistar panjang teracung ke udara. Aku diam, menundukkan kepala, lalu diikuti dengan gerakan mengangguk mengakui kesalahan.
“Kamu tidak boleh baris dengan teman-temanmu, kami baris di sebelah kiri. Barisan khusus orang-orang yang terlambat,” nadanya tegas. “Kamu boleh bubar setelah saya perintahkan bubar, jika belum jangan sekali-kali kamu bubar duluan!”
“Pak, tap ....”
Belum selesai aku mengeluarkan perkataan dari mulutku sudah lebih dulu dipotong Bapak Herwin. Padahal aku bermaksud untuk menjelaskan bahwa keterlambatanku ini karena motor sedang pecah ban. Tapi, ya sudahlah!
“Jangan membantah! cepat!”
Tangannya menunjuk pada sebuah barisan yang telah disediakan untuk siswa yang terlambat. Dengan langkah malas aku berjalan menuju tempat yang dimaksud.
Siswa telah berbaris tertib dan rapi, begitupun dengan dewan guru yang juga mulai membentuk barisan yang rapi dengan menghadap kepada siswa-siswanya. Tampak juga olehku Abang Azzam yang mendelik ke arahku. Tak ingin menatap wajahnya, aku langsung melihat ke arah lain dan menunduk melihat lantai semen yang tampaknya baru di cat hari minggu kemarin. 'Habislah aku, pasti kena ceramah lagi habis ini! lengkap sudah penderitaan hari ini!' batinku.
Tak lama kemudian, upacara bendera pun di mulai.
Bagi sebagian siswa, upacara adalah kegiatan yang sangat membosankan. Bagaimana tidak? Siswa diperintahkan berbaris di bawah terik matahari dan mengikuti prosesi kegiatan upacara yang begitu-begitu saja. Hari ini setidaknya ada hal yang bisa disyukuri karena cuaca mendung jadi upacara tidak pula akan terasa panas. Tanpa terasa, serangkaian demi serangkaian upacara mulai berjalan mulai dari pembacaan Pancasila, pembacaan Pembukaan Undang-Undang Dasar, mengheningkan cipta sampai pada penyampaian amanat oleh kepala sekolah.
Aku tidak terlalu menyimak apa yang dibicarakan oleh kepala sekolah pada amanatnya kali ini. Tidak tahu kenapa kalau aku mendengar orang-orang berpidato atau sejenisnya, rasa kantuk selalu datang. Yang jelas rasanya seperti sedang didongengkan, membuatku ingin tertidur seketika. Pernah sekali aku kedapatan tertidur waktu mendengarkan penjelasan Ibu Erni waktu mengajar mata pelajaran SKI (Sejarah Kebudayaan Islam). Hingga akhirnya satu kelas menertawakanku ketika ketahuan tertidur pulas. Aku tahu Ibu Erni orangnya senang bercerita jadi cocoklah dengan pelajaran yang diampunya. Sepertinya satu kelas tahu akan kebiasaanku ketika di dalam ataupun di luar kelas. Tapi siapa sangka meskipun demikian aku tidak pernah absen untuk dikirim sebagai perwakilan sekolah untuk mengikuti olimpiade Kimia. Makanya setelah tamat ini aku berencana untuk melanjutkan studi Engineering and Physical Sciences.
Pada bagian akhir kedengaran kepala sekolah memberi intonasi yang tegas pada kalimat terakhir yang diucapkannya.
“Saya minta seluruh siswa agar bisa menantaati dan mematuhi ketentuan sekolah, jika kalian masih suka melanggar maka kami tidak segan-segan untuk mengeluarkan kalian!” tegas kepala sekolah yang disambut para siswa dengan kasak-kusuk.
Usai kepala sekolah menyampaikan amanat, pemimpin upacara meminta kami untuk membubarkan barisan. Semua siswa sudah mulai membubarkan diri dan berjalan menuju kelas masing-masing, tetapi tidak dengan aku yang masih setia berdiri di lapangan. Aku hanya menuruti perintah Bapak Herwin agar tidak bubar sebelum dia perintahkanku untuk balik ke kelas.
“Mau ditemenin nggak?” tiba-tiba suara itu hadir sangat dekat dengan telingaku.
“Eh, Fey.”
“Mau ditemanin nggak berdirinya biar ada temen ngobrol,” tanya Fey sekali lagi.
“Kan, yang dihukum aku. Ngapain coba kamu ikut.”
“Kok bisa telah sih, hah!” Fey menanyaiku sembari tangannya mengelap keningku yang sedikit lembab karena keringat.
Aku sebenarnya agak risih jika Fey berbuat demikian apalagi di lapangan begini. Bagaimana kalau Abang Azzam melihat. Aku langsung menahan tangan Fey yang masih mengarahkan tisunya ke wajahku.
“Udah ah Fey, nggak enak diliat orang. Tadi itu motor aku pecah ban. Terus aku ke sekolah naik angkutan umum dan tahukan kalau angkutan umum suka ke sana-kemari mengantar penumpang. Ya, akhirnya aku telat deh. Malah aku tadi ngap-ngapan lagi di angkot karena penumpangnya penuh."
“Aduh, kasihan. Pantes bau.” Fey mendekat ke sisiku sambil mengendus-gendus.
“Hmm, ledekin aja terus," balasku bermuka kecut.
Fey tertawa. “Lagian ngapa kamu nggak telepon aku coba.”
“Aku nggak ke pikiran, Fey. Yang ada dipikiran aku tadi bagaimana caranya supaya aku bisa sampai sekolah tepat waktu. Eh, alhasil aku telat juga,” kataku kecewa.
“Eheemmm” suara deheman panjang itu muncul ketika aku dan Fey masih asyik berbicara berdua di lapangan.
“Fayzulen, kenapa masih di sini? Sebaik kamu ke kelas sekarang!”
“Baik Ustadz.”
Mukaku seketika memerah saat melihat Abang Azzam juga ada di sini bersama kami. Aku mengigit bibir bawahku sampai merah, tanda kecemasan itu datang. “Matilah aku!” Azzam masih melihat ke arah Fey yang mulai menjauh hingga punggungnya tak terlihat lagi baru Azzam mulai berbicara.
“Kenapa telat?” tanya Azzam dengan raut wajah datar.
Aku tak menjawab.
“Nisa, kan abang sudah bilang tadi ikut dengan abang pakai mobil. Nisa tidak mau! hah, sekarang telatkan!”
Aku mendengar ocehannya sambil mengerucutkan bibir, kadang aku gigit juga bibir bawahku. Mencoba menetralisir kecemasan.
“Kenapa telat?” tanyanya lagi, mengulang pertanyaan sebelumnya setelah pertanyaannya tidak lekas aku jawab.
“Pecah ban,” jawabku acuh tak acuh.
“Nisa, Abang tanya baik-baik, jadi jawablah baik-baik.” Koreksinya ketika melihatku bermuka malas hendak menjawab pertanyaannya.
“Tadi saat di jalan ban motor saya pecah dan saya naik angkutan umum, itu sebab saya telat, Ustadz,” jawabku dengan nada memaniskan diri.
“Kenapa tidak telepon Abang?” pertanyaan yang sama dengan Fey juga keluar dari mulutnya. Namun, kali ini nada melembut. ‘Bagaimana aku mau telepon dia, nomornya saja aku nggak punya’ batinku.
“Sekarang balik ke kelas, mau hujan," pintanya memaksa.
Memang mendung di langit kian menggelayut udara semangkin sejuk rasanya.
“Tapi, kata Pak Herwin, Nisa tidak boleh bubar sebelum Pak Herwin suruh saya bubar, Ustadz.”
“Biar. Nanti abang yang bilang dengan Pak Herwin.”
Kepala aku anggukkan pelan, kemudian berbalik badan menuju kelas. Begitu juga dengan Azzam. Dia kembali ke ruang guru untuk bersiap memulai KBM yang sebentar lagi akan dimulai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Darna Dahlia
dpt suami ustzd hrs dsiplin Nisa ..
2021-07-28
0
anasofiyah
nisa kn msh SMA.. klw udh nikah emang blh sklh Thor?? setahuku enggak kn...😅
2021-04-14
0
Afseen
sinisa brarti gk prnah solat subuh dong ya? rasain telat kan mkanya nurut kata suami dasar bandel😑😑😑
2021-02-13
1