Pintu rumah berdebam karena ditutup dengan cepat, Kaila─adik Sadam─langsung muncul dari dalam kamar begitu mengetahui Sadam pulang. Ia baru saja tiba di rumah pukul sembilan malam.
“Bang, Bapak nyariin Abang tadi,” sambut Kaila di ruang tamu.
“Apa katanya?”
“Kata Bapak sekolah ngabarin kalau Abang terlibat keributan di sekolah.”
Sadam langsung mengetahui kalau ini bukanlah sebuah kabar baik. Ada firasat kalau ayahnya itu akan segera memarahi Sadam seiring dengan ucapan Kaila barusan.
“Kaila” Memegang kedua pundak adiknya dan menatap tanpa berkedip. “Kemarin Abang terlibat perkelahian dengan salah satu teman Abang di sekolah. Masalahnya sepele dan umum terjadi pada remaja laki-laki.” Sedikit saja yang ia sampaikan penjelasan pada adiknya, karena ia tahu seusia Kaila tentu belum paham akan hal itu. Sadam kemudian pergi menuju kamar dan melemparkan gitarnya ke atas tempat tidur. Lalu mengambil baju kaus oblong berwarna hitam. Melihat Sadam yang kembali bersiap-siap dengan pakaiannya, Kaila kembali bertanya. Padahal baru sebentar ia sampai, sudah hendak keluar lagi.
“Abang, Abang mau kemana lagi?” tanya Kaila yang ternyata mengekori Sadam dari belakang.
Sadam menoleh ke arah Kaila sebentar.
“Mau ketemu dengan teman-teman Abang. Kasian mereka udah nunggu Abang dari tadi di warung Mak Ittah.”
“Abang nggak makan dulu? terus nanti kalau Bapak tanya Abang gimana?” tanya Kaila yang juga khawatir dengan abangnya.
“Amanlah itu, kamu nggak usah mikirin Abang. Kalau Bapak tanya Abang kemana? Bilang aja Abang pergi ke warung atau belajar kelompok. Pokoknya terserah Kaila-lah."
Kaila hanya mengangguk paham.
Di rumah, Sadam hanya tinggal bertiga, yaitu Sadam, Kaila, dan Bapak. Sadam selama dua tahun ini hanya tinggal bersama dengan ayah dan seorang adiknya yang bernama Kaila, usianya masih sembilan tahun. Ibu pergi meninggalkan mereka sejak penyakit gula menggerogoti tubuh Ibu. Dahulu ketika Ibu masih ada, semua masih tampak baik-baik saja. Sadam ingat persis bagaimana kondisi rumah waktu itu, keluarga mereka adalah keluarga bahagia dan sempurna. Mereka memiliki sosok ayah yang bertanggung jawab dan sangat cinta keluarga, serta ibu yang pengertian dan selalu menjadi pendengar setia untuk setiap keluh-kesah kami semua. Sementara Kaila sejak kecil telah mendapat peran untuk selalu di beri kasih sayang. Namun Sadam tak pernah iri dan keberatan. Sadam masih tetap menyayangi Kaila dengan kasih sayang yang tulus sebagai seorang Abang, karena merasa sebagai seorang yang lebih tua sudah sepatutnya ia bertanggung jawab untuk melindungi adiknya, dan itu berjalan sampai saat ini.
***
“Sadam kita mengajakmu untuk kumpul di sini, karena kita semua mau mendengarkan penjelasan langsung dari mulutmu kenapa kamu bisa terlibat keributan dengan Ranggaspatih!"
Fey menatap, serius.
“Iya, terus kenapa sudah dua hari ini kamu nggak masuk sekolah,” tambah Jovan.
Aku dan Jihan melihat bagaimana raut muka yang ditunjukkan Sadam, agak sedikit kaku dan seperti enggan membahas masalah itu lagi. Meskipun demikian, dia berusaha menghargai niat teman and the genknya yang mau peduli, karena sejatinya memang merekalah satu-satunya tempat bagi Sadam untuk berbagi keluh-kesah dari masalah yang ada.
Sadam mulai menceritakan kronologi awal mulanya hingga konflik itu bisa terjadi.
"Sore itu, waktu aku pulang dari ngegym di salah satu tempat latihan kebugaran, aku bertemu dengan Khariza yang juga berada di sana. Aku lihat Khariza seperti sedang kebingungan mencari sesuatu, karena penasaran akhirnya aku pergi menghampirinya. Ternyata Khariza kehilangan sepeda yang dipakainya tadi ketika akan pergi ke gym. Kebetulan juga saat itu mendung di langit bergelayut dan tetesan hujan sudah mulai turun aku mengantarkan pacarnya si Ranggaspatih untuk pulang. Aku nggak nyangka niat baikku berujung konflik seperti ini," jelas Sadam
“Yaa berarti waktu kamu ngantar Khariza, si Ranggaspatih melihatmu Sadam," imbuh Fey.
Sadam mengangkat bahunya. “Mungkin, iya.”
“Berarti ini hanya salah paham. Tapi apa kau sudah sampaikan ke Ranggaspatih?” giliran Jovan bertanya.
Sadam menggeleng.
“Baru aku mau membuka mulut, tonjokan keduanya mendarat ke mukaku. Siapa yang nggak emosi. Akhirnya aku balas dengan pukulan yang membabi buta ke arah dia."
Mendengar pengakuan Sadam, membuat teman-temannya menjadi prihatin atas masalah yang menimpa sahabatnya.
“Terus sekolah gimana?” pertanyaan itu muncul seketika, ketika aku ingat kalau Sadam sudah dua hari tidak menampakkan batang hidungnya di sekolah.
“Kami di skors tiga hari. Jadi, besok lusa aku akan masuk lagi.” Melihat ekspresi teman-temannya ia lalu tertawa, “Sudahlah, kalian pasang muka biasa aja dong,” imbuhnya, ketika melihat teman-temannya menatap tak bergeming.
Tiba-tiba disela pembicaraan sebuah handphone berdering ...
Suara handphone dering itu membuat fokus perhatian kami terhenti demi mencari sumber suara. Setelah mencari-cari ternyata itu suara yang keluar dari dalam tas milikku.
Ibu calling.... nama yang tertera di layar handphone Dhanisa.
📞Ibu
Assalamualaikum.
📞Dhanisa
Wa’alaikumsalam Bu.
📞Ibu
Nisa kenapa belum pulang, sudah jam berapa ini? Kau ini anak perempuan, tidak baik pulang larut-larut malam.
Aku mengerling ke arah Fey, dengan mengangkat kedua alisku sambil melirik ke arah tangan Fey untuk sekedar melihat jam yang melingkar di tangan kirinya.
📞Dhanisa
Jam sebelas, Bu.
📞Ibu
Hah! kenapa belum pulang Nisa!
📞Dhanisa
He-he sebentar lagi Bu
📞Ibu
Tidak ada sebentar-sebentar! Sekarang Ibu tunggu Nisa pulang!
📞Dhanisa
Ssh! Iya-iya ...
📞Ibu
Benar ya! Ibu tunggu dalam waktu lima menit. Assalamu’alaikum
📞Dhanisa
Wa’alaikumsalam
Telepon terputus.
Rembulan terlihat begitu temaram, menerangi setiap sudut malam. Teman-temanku juga tampak masih asyik mengobrol dan membahas masalah Sadam tadi. Namun, panggilan telepon ibu barusan setidaknya telah menunda keinginanku untuk mengobrol lebih panjang lagi dengan mereka. Dengan sekali seruput aku meminum minuman yang berwarna merah yang ada di depan meja. Kemudian mengemas barang-barang dan siap-siap untuk segera beranjak pulang ke rumah.
“Fey, aku mau pulang sekarang! Tolong antar aku!” pintaku segera.
“Kok cepet banget? Lagian ini masih jam berapa lho?" ujarnya seraya melirik arlojinya.
“Bukan masalah jam berapanya. Kamu nggak dengar tadi aku sudah di calling suruh pulang? Sekarang mau antar aku atau tidak?!” tanya ketus.
“Iya. Oke-oke. Aku ambil motor sebentar.”
Fey menyegerakan langkahnya untuk mengambil motor yang terparkir di depan warung Mak Ittah, tempat ini sudah dianggap sebagai basecamp bagi mereka. Di sinilah tempat biasa mereka kumpul dan menghabiskan waktu bersama. Tertawa sepuas hati tanpa harus dipungut biaya.
Aku melihat Jihan, Sadam dan Jovan melirik ke arahku. "Sorry aku harus pulang duluan, Ibu sudah telepon,” balasku tidak enak hati pada mereka.
“Hem, kamu mau pulang? Aku jugalah kalau begitu, sebelum ditelepon juga," sindir Jihan pada teman-temannya yang tampak masih betah berlama-lama mengobrol, padahal malam sudah larut dan udara di luar agak sedikit menusuk.
“Hm, hati-hati ya,” nasihat Sadam.
“Okey. Bye. Sampai jumpa besok di sekolah ya!”
“Sadam, semoga kau cepat masuk lagi ya, sepi nggak ada kau,” usikku pada Sadam, sebelum beranjak pulang. “Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”
Itulah percakapan terakhir, sebelum aku mendengar suara deru mesin motor Fey. Fey memberikan helm yang telah dipegangnya kepadaku, “Nah, pakai!” pintanya. Deru mesin motor perlahan mulai menghilang meninggalkan warung Mak Ittah.
***
Tok...tok...
“Assalamu’alaikum!”
Kreekk
Suara itu terdengar seperti orang yang sedang membuka kenop pintu dari dalam.
“Wa’alaikumsalam”. Muka ayah muncul dari balik pintu. “Ayo masuklah,” kata Ayah.
Setelah aku melepas sepatuku di teras rumah, aku melangkah ke dalam. Sementara Ayah nampak mengekoriku di belakang.
“Mana Ibu, Yah!” tanyaku ketika memasuki ruang tamu.
Ayah tidak menjawab namun menunjuk ke sebuah kursi sofa berwarna coklat cream yang terletak di ruang tengah, di sanalah Ibu duduk sambil menatap layar televisi.
Ayah membimbingku dengan lembut untuk bergabung dengan ibu di sana, sekarang aku duduk di sebelahnya. Ayah memang orang yang tidak pernah kasar dengan aku, sedikit berbeda dengan Ibu yang memiliki watak agak keras dan juga tegas, akupun tak berani membantah dibuatnya. Lagi pula mana mungkin aku bisa membantah karena semenjak orang tua kandungku meninggal lima tahun lalu. Aku kemudian diangkat anak olehnya. Mungkin karena selama ini, mereka belum lagi dikaruniai anak.
Dulu sebenarnya mereka pernah memiliki seorang anak, namanya Khalid. Ia anak yang pandai dan memiliki prestasi yang gemilang. Maka tidak heran setelah tamat kuliah berlomba-lomba perusahaan yang ingin menggunakan jasanya. Kenangan lain tentang dia adalah sewaktu aku masih SD pernah dikeluarkan sekolah, karena kerap membolos waktu belajar. Abang Khalid yang tahu tentang perangaiku itu akhirnya mengurus segala perpindahan sekolahku ke sini. Dia begitu baik. Namun siapa sangka, diusianya yang masih sangat muda ia harus menemui ajalnya. Khalid meninggal dalam insiden kecelakaan. Memanglah maut, jodoh tidak ada yang tahu.
Aku yakin keluarga ini begitu sedih kala ia harus meratapi kemalangan ditinggal mati oleh sang anak laki-laki satu-satunya. Mungkin kesedihan seperti itulah yang mereka rasakan saat aku juga harus merelakan orang tuaku pergi untuk selama-lamanya dalam kecelakaan itu pula. Masa itu ayah dan ibu kandungku serta abang Khalid baru saja menghadiri pesta pernikahan Paman Hamzah─saudara kandung dari Ibuku. Paman Hamzah, Ibuku, dan juga Pak Ahsan─mereka adik beradik─saudara.
Kisah itu bermula ketika mobil yang dikendarai Khalid mengalami masalah pecah ban, bertepatan pula ketika mobil itu sedang melaju dengan kecepatan tinggi. Akhirnya mobil oleng dan menabrak beton pembatas. Seketika kecelakaan tak terhindarkan. Abang Khalid meninggal seketika di tempat, sementara ibu dan ayah masih sempat ditolong orang sekitar. Tapi takdir berkata lain. Keduanya meninggal ketika diperjalanan menuju rumah sakit.
Itulah mimpi buruk dalam hidupku, ketika aku mendengar berita kalau Ibu dan Ayah harus kembali ke pangkuan Illahi dalam insiden kecelakaan yang mengenaskan. Aku melihat orang-orang berkerudung sudah ramai di halaman rumah, bendera kuning yang terbuat dari kertas minyak juga sudah terpasang. Tampak juga orang-orang yang lain sedang mendirikan tenda dari terpal, ada yang sibuk mencari bunga, kain kafan, juga papan untuk lubang kuburan serta batu nisan makam. Aku masih ingat semuanya, seperti sedang memutar rekaman video di kepala. Aku duduk lemas di sebelah jenazah Ayah dan Ibu di sebelahnya lagi juga ada jenazah Abang Khalid─anak pasangan Paman Ahsan dan Ibu Hamidah. Aku mencoba menyembunyikan tangisku, tapi sepertinya aku tidak sekuat Paman Ahsan dan Ibu Hamidah yang bisa menatap tubuh orang yang kita sayangi sudah terbujur kaku ditutupi kain putih, dan sedang di do’akan oleh orang banyak.
Keluarga Pak Ahsan, selalu berada di samping aku dan selalu pula menguatkan aku agar tetap sabar dan tabah. Hingga suatu ketika mereka berpikir untuk mengambil aku sebagai anak angkatnya. Perlahan-lahan aku mencoba untuk mengikhlaskan karena memang aku yakin itu adalah takdir Tuhan yang sudah tertulis di lauh al-mahfuz. Ibu Hamidah, itulah nama ibu angkatku. Ia sudah duduk dikursi sofa berwarna coklat cream begitu juga dengan aku. Tidak tahu ada apa. Sepertinya ada sesuatu yang ingin mereka katakan. Aku melihat mereka ragu-ragu dan saling menatap satu sama lain.
“Ayah! Ibu! Kenapa sih?” Aku bertanya dengan raut bingung.
Keduanya masih diam. Binggung harus memulainya.
“Huss, Ayah mulailah.” Ibu mencubit lengan Ayah.
“Ayah nih?” tanya Pak Ahsan sambil menunjuk dirinya.
“Iyalah! Siapa lagi,” seru ibu.
“Ih! Kenapa sih ini?” Aku mulai sebel karena mereka semua belum juga ada yang bicara.
“Ahm, begini Nisa. Ada sesuatu yang ingin kami sampaikan. Ini mungkin sedikit mengejutkan Nisa.”
Aku mengernyitkan dahi. “Apa? Bilanglah?”
Ayah merogoh sesuatu dari kantong bajunya. Terlihat selembaran kertas putih yang terlipat-lipat. Perlahan dan dengan hati-hati ayah membuka lembaran kertas putih itu.
“Ini,” ucap ayah sembari menyodorkan kertas itu kepadaku.
“Apa ini, Yah?”
“Baca saja,” pintanya, singkat.
Bola mataku mulai bergerak dari sudut kiri kertas kemudian sampai ke kanan kertas, begitu terus, hingga bacaan yang di kertas itu selesai aku baca.
“Hah?!” pekikku dengan mata terbelalak.
Seketika suaraku yang cempreng memenuhi ruangan, membuat ayah dan ibu menutup telinganya.
“Apa! Nggak! Nisa nggak mau!”
Aku menolak keras.
“Nisa itu adalah permintaan keluarga Paman Hamzah, beliau meminta agar menyampaikan surat ini ke Nisa,” kata ibu menyahut.
“Tapi Ibu nggak harus secepet ini kan?! Nisa nggak mau! Lagian Nisa belum selesai sekolah dan Nisa masih punya cita-cita selain menjadi ibu rumah tangga. Gimana sih!” Protesku, seraya tangan aku lipat menyilang di depan dada.
“Iya, Ibu tahu. Tapikan bisa kau jalani sambil bersekolah!”
Aku mendengus kesal. "Mana bisa, Ibu! Ish! Nanti kalau Nisa sudah nikah, berarti Nisa akan mengurus semuanya, mulai dari mengurus rumah, sekolahku, suami. Semuanya?! Alahh Nisa nggak bisa bayangin. Ngurus diri sendiri aja payah apalagi ntar Nisa ngurus suami."
Aku menghempaskan punggungku pada sandaran jok kursi sofa.
"Ibu, Ayah, tolonglah minta sama keluarga Paman Hamzah titu buat batalkan semuanya," kataku dengan kedua tangan memohon.
“Tidak bisa Nisa! Lagian Azzam sudah oke, dan sekarang kau juga harus menurut.” Ibu menjeda sebentar ucapannya kemudian melanjutkan lagi ucapan yang belum selesai tadi. “Dulu asal kamu tahu, Ibu dan Ayah juga dijodohkan Nisa, dan setelah bertahun-tahun hidup dengan Ayah, sekarang Ibu paham kalau yang ‘halal’ itu ternyata lebih melindungi daripada yang hanya memborbardir dengan ucapan-ucapan manis ujung-ujungnya malah modus.”
Aku menghela napas berat, memijit pelan keningku yang terasa berat. Aku memutuskan untuk mengambil tindakan bodo amat dan pergi tidur. Berharap besok mood-ku bisa balik lagi tanpa harus aku memikirkan masalah malam ini.
Huft!
Bintang plastik yang menghiasi kamarku tampak bercahaya jika tersorot cahaya lampu. Aku masih duduk meringkuk di kasur dengan muka cemberut sambil memeluk batal guling bermotif bunga selaras dengan tempat tidurku. Di kamar ini, aku hanya ditemani dentingan jarum jam yang terus bekerja. Ia bergerak mula dari detik ke detik, lalu menit ke menit dan jam ke jam begitu seterusnya. Suaranya terdengar nyaring. Aku masih belum tidur, masih menaruh rasa kesal dengan sikap ayah dan ibu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
IDWS
Hi Thor, aku udah mampir jangan lupa feed backnya ya di
Incredible Love
Yang mau mampir hayu boleh juga nanti aku feed back
2020-07-04
0
Epron Putra
msih stay kok kak di sni
2020-05-26
0
Duwisukema
aq mmpr jjk smpai sni ya feedback ya
2020-05-16
0