Di ufuk, senja sudah tampak kekuningan. Matahari hampir menghilang di pelukan cakrawala. Deru kendaraan bermotor sahut menyahut, saat meluncur memasuki gang kompleks menuju rumah Fey. Mereka berempat menculikku untuk belajar bersama. Aku hanya bisa pasrah, tidak bisa menolak keinginan mereka meskipun tubuh terasa letih sekali. Aku sendiri juga sudah minta izin dengan Azzam untuk ikut belajar kelompok.
Sekarang motor sudah terparkir rapi di pelataran rumah Fey. Rumah yang beberapa hari lalu aku sambangi ketika menjemputnya untuk berangkat ke sekolah bareng. Rumah dengan dua lantai, seluruh bagian dindingnya mendominasi cat berwarna putih, hanya kusen dan pintu yang dicat berbeda. Ini sudah kesekian kalinya aku datang ke rumah ini.
Ketika pintu pertama kali dibuka yang terdengar hanya suara deritan engsel pintu. Sunyi. Tidak ada orang, padahal sudah pukul setengah lima. Jam segini biasanya orang-orang sudah pada pulang kerja dan duduk manis sambil menikmati langit sore.
Aku mengedarkan pandanganku ke setiap sudut ruangan yang sepi. “Kemana yang lain, Fey?”
“Kalau Mama biasa pulang jam delapanan, kalau Kak Rinda emang lagi nggak di rumah sudah lima hari ini, dia ikut study tour katanya sih semingguan lagi, gitu. Nah, kalau Papa aku yakin sebentar lagi pulang,” papar Fey.
“Kamu nggak sering kesepian Fey di rumah gedong kayak gini?” tanya Jihan, yang juga baru saja menyusul usai memarkirkan motor.
“Nggaklah. Kan aku sering ngajakin Sadam dan Jo buat main ke sini." Fey menepuk bahu dua sobat and the genk-nya.
Rumah besar dengan dua lantai di mana lantai pertama terdapat empat ruangan, yaitu dapur, ruang makan yang merangkap dengan ruang keluarga, ruang tamu dan dua kamar. Sementara, di lantai dua terdapat beberapa ruangan yaitu dua kamar tidur dengan masing-masing kamar terdapat kamar mandinya. Ditambah dengan halaman yang cukup besar. Funiture rumah ini banyak diisi dengan kayu-kayu desain menimalis. Saat mata memandang ke setiap bagian funiture, aku mendapati sebuah guci kecil berbentuk kucing. Aku jadi teringat dengan Mouzine.
“Mouzine dimana, Fey?”
“Ada. Di kandangnya. Kamu mau? Sebentar ya aku ambil Mouzine dulu.”
Fey menghilang sebentar dari ruang tamu lalu kembali sambil membawa Mouzine yang taruh diperlukannya.
Dalam hitungan sepersekian detik Mouzine sudah berpindah tangan. Aku memeluk dan menciumnya dengan gemas.
Sejak aku menikah dengan Abang Azzam aku sudah jarang untuk menjeguk Mouzine ke sini, karena Abang Azzam kurang suka jika aku sering keluyuran. Dia selalu menyuruhku untuk fokus menghadapi ujian yang semangkin dekat. Hal yang demikian cukup membuatku bosan. Lagian siapa yang tidak bosan kalau harus menghadap tembok 24 jam. Tapi, bukan Dhanisa namanya kalau tidak pandai mencari-cari alasan untuk sekedar izin keluar rumah. Berbagai alasan aku sampaikan ketika aku mulai jenuh dengan aktivitas rumah, mulai dari pura-pura beli obat migrain, menjeguk teman sakit, kerja kelompok, karena hanya alasan itu Abang Azzam mengizinkan aku untuk keluar rumah. Jika aku bilang mau pergi keluar bersama sahabat and the genk, pasti dia melarang. Karena dia tidak mau aku terlalu bergaul dengan teman laki-laki. Apalagi melihatku keluar berdua dengan Fey. Yang ada dia pasti murka.
“Aduh maaf ya Mou, kalau sekarang jarang jengukkin, Mou,” kataku dengan tiada henti mencium Mouzine.
“Ih, ya ampun Nis, kamu kayak udah setahun aja nggak ketemu dengan anakmu,” komentar Jihan saat melihat aku masih belum berhenti untuk mencium dan mengajak Mou berbicara.
“Mou, mau digendong dengan tante Jihan?” Aku mengarahkan tubuh Mouzine ke sisi tubuh Jihan.
Jihan memundurkan beberapa langkah kakinya, saat aku menyodorkan Mouzine.
“Jangan! jangan Nisa, aku geli dengan bulu kucing!” ujarnya, menolak untuk mengendong Mouzine.
“Dah, kita naik ke balkon atas yuk di sana aku sudah sediain banyak makanan, kalian juga bisa main game di atas," ajak Fey dengan antusias.
Jovan menepuk tangannya sekali sambil berujar, “Wow! ide yang bagus Fey.”
Dengan derap langkah yang cepat mereka semuanya langsung menaiki setiap anak tangga dengan sedikit berlari kecil.
Setibanya di balkon mereka langsung disambut dengan sepoi angin yang melesat masuk lewat jendela dua pintu yang sengaja di buka supaya udara yang segar bisa masuk ke dalam ruangan itu. Fey datang membawa karpet yang akan dijadikan sebagai alas untuk duduk selonjoran di bawah lantai.
Kamar Fey masih seperti biasa tidak banyak berubah, nuansa warna dindingnya masih putih bercampur dengan cream dan ada beberapa sisi dekat tempat tidur dan tempat belajar, sengaja dipasang wallpaper bermotif abstrak. Sepertinya orang dalam rumah ini sangat menyukai warna putih. Tapi tidak salah, warna putih tampak tenang dan nyaman bila dipandang, apalagi kalau rumah itu selalu bersih, seperti yang aku lihat di ruangan ini semua funiture di tata rapi dan bersih.
“Halooo.... ini teman-temannya Fey, ya?” sambut ayah Fey dengan ramah.
“Iya Om. Kan kita udah sering banget ke sini Om, masa Om lupa,” sahut Sadam.
“Oh, iya-ya." Ayah mengangguk. "Yang namanya Dhanisa mana?” tanya ayah Fey, menyelidik.
“Aku, Om,” sahutku sambil mengangkat tangan ke udara.
Ayah Fey tersenyum, tapi dengan senyum menggoda lalu memicingkan mata ke arah Fey. “Yang ini, Fey?”
“Maksudnya Om?” Aku menatap mereka dengan penuh tanda tanya. Apa yang sudah diceritakan Fey tentangku dengan ayahnya? awas dia mengatakan sesuatu yang aneh-aneh!
“Fey?” Ayah melirik lagi ke arah Fey.
“Pa!” sahut Fey gemas. “Udah dong. Kita mau start belajar nih. Jangan ganggu lagi!”
“Iya, iyaa. Papa mau bersihin badan dulu. Belajar yang bener dan serius jangan main-main,” pesan ayah.
Setelah ayah berlalu, kami mulai menyalakan notebook dan membuka-buka buku catatan hasil laporan pratikum yang sudah dilakukan tadi di lab sekolah. Aku mengangkat muka sambil membolak-balik lembaran buku cetak yang menyajikan pembahasan Sifat Zat Asam-Basa.
Hampir lima menit Fey membaca ulang buku-bukunya, tapi otaknya tak juga berhasil memecahkan sekelumit laporan pratikum yang mesti revisi. Fey menutup buku laporannya dan meletakkan pena di atasnya. Lalu memakan Chitato yang segelnya sudah terbuka.
“Kamu, sudah selesai?” tanyaku, saat melihat Fey beres-beres.
“Belum”
“Terus ngapa bukunya sudah dirapiin?”
“Aku nggak paham, apa yang mesti aku buat Nisa.”
“Tadikan Bu Endang sudah memberikan arahan sebelum pratikum. Yah, kamu tulis apa yang sudah kamu dapatkan setelah praktikum.”
“Terus sekarang, aku harus apa?”
Aku menghela napas sabar. “Kalau kamu belum bisa. Buat aja dulu peta skemanya di buku coret-coretan, nanti kalau sudah pasti dan jelas baru diketik di notebook.”
Fey mengerap-ngerjap, mengerutkan kening.
"Kamu aja yang buatin," katanya keki sambil menggeser buku laporan catatannya ke depanku.
Aku tergelak. “Enak aja. Kerjain aja sendiri!”
Aku menarik salah satu buku yang tergeletak dalam keadaan tertutup di depan Fey. Aku membaca daftar isinya sebentar. “Nih, contohnya nih! Latar belakangnya, apa? Alat dan bahan, apa? Hasil dan pembahasan, bagaimana? Dan terakhir udah, kesimpulan? Kalau kamu nggak nyambung juga, udah kamu browsing aja deh!”
Fey tampak mengangguk, mendengar solusi dariku. Setidaknya semoga pikirannya sedikit terbuka setelah sebelumnya aku nampak dia seperti sangat kesulitan, frustasi.
“Kalian apaan sih, riweh banget!” Sadam yang agaknya sedikit terusik dengan kegaduhan kami berdua.
“Sadam, mendingan kamu bantuin tuh si Fey,” imbuhku.
“Males ah! yang aku aja belum kelar!” sadam menolak.
Fey mulai membuat coret-coretan kerangka kerja. Semacam peta skema atau outline yang disusun. Aku menatap mukanya lamat-lamat, sepertinya dia mengikuti saranku tadi.
Terkadang aku ingin senyum-senyum sendiri kalau melihat Fey seserius itu mengerjakan laporan. Setidaknya dengan membuat peta skema terlebih dahulu membuat apa yang dikerjakan menjadi terarah.
Aku mulai mengetik-ngetik hasil laporan yang sudah aku susun di lembar catatan, namun untuk memperkuat teori aku berhenti sebentar untuk membuka-buka buku, sesekali juga browsing lalu menyatukan ide yang ada dikepalaku dengan kalimat-kalimat yang aku dapat dalam buku.
“Aku sudah selesai nih! tinggal di print,” sahut Sadam.
“Aku juga,” Jihan juga ikut menyahut.
“Fey kita numpang nge-print sekalian, ya?” pinta teman-teman Fey.
“Iya, iyaa aman. Buat kalian apa yang nggak sih.”
Setelah hampir satu jam lebih aku berkutat dengan laporan, tiba-tiba aku merasa kepalaku mulai berat. Aku mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali karena rasa sakit yang mulai tak tertahankan. Sudah mulai sulit untukku berkonsentrasi dan melanjutkan ketikan yang belum rampung. Akhirnya, aku menunda untuk melanjutkan ketikan dan notebook aku buat mode sleep.
“Fey, ini catrige-nya rusak apa tintanya yang habis, sih! Kok jadinya garis-garis buram gini, ya?” tanya Sadam seraya mengangkat kertas hasil cetakan ke depan wajahnya.
Aku menoleh ke arah Sadam yang sedang mengutak-atik printer milik Fey. Mataku memantulkan bayangan tubuh Sadam begitu banyak. Sekarang pandangan mataku mulai memudar.
Fey mengambil kertas hasil cetakan terakhir yang dihasilkan printernya. “Sepertinya ini tintanya yang mau habis. Biar aku keluar sebentar, beli tinta.”
Ia mengapai jaket yang terhampar di tempat tidur. “Tunggu ya! bentaran doang kok.”
Di luar suara adzan maghrib sudah berkumandang. Jovan dan Sadam keluar turun lebih dulu ke lantai bawah, entah apa yang mau mereka lakukan. Mungkin mau sholat maghrib, anggapku demikian. Pelan-pelan dan perlahan aku mencoba berdiri dan berjalan menuju kamar mandi dengan sedikit sempoyongan. Jihan yang menyadari hal itu lalu mendekat dan menghadang langkahku.
“Kamu kenapa, Nisa? Sakit?”
“Kepalaku sakit lagi, Jihan," tuturku dengan meringis menahan sakit.
“Aduh, gimana, yah. Aku nggak tahu dimana kotak obat milik Fey. Hmm.... atau nggak kamu istirahat aja dulu deh di kamarnya Fey. Ayo, Nisa.” Jihan membimbingku menuju tempat tidur Fey.
Aku mulai meluruskan badan di atas kasur.
“Apa yang kamu rasain sekarang, Nis?” tanya Jihan sambil memijat-mijat lenganku.
“Kepalaku sakit banget Jihan kayak dipukul-pukul gitu,” ucapku pelan karena menahan sakit.
Fey yang sudah berada di ambang pintu, melihat kekasihnya itu sedang meringkuk di tempat tidur, membuatnya ingin segera menghampiri Nisa.
“Nisa kenapa, Jihan?”
“Fey, untung sudah datang. Nisa sakit kepala, katanya!”
Fey memegang keningku.
“Aku nggak demam, Fey!” tukasku.
Aku mencoba bangkit untuk duduk walaupun menahan sakit yang teramat di kepala. Rasanya mungkin kalau aku hantukkan ke dinding pasti tidak akan ada apa-apanya dibandingkan dengan ini.
“Eh, Nisa! Kamu tiduran aja. Sebentar aku ambil kotak obat dulu.” Fey menarik laci nakas untuk mengambil obat, dan tangannya meraih segelas air putih.
“Nis, ayo bangun sebentar. Minum obat dulu.”
Dengan bantuan Jihan, Fey mencoba menegakkan sebagian tubuhku dengan punggung bertumpu pada dinding kasur. Kedua teman karibku ini tampak menatap dengan pandangan iba, dan merasa kasihan. Aku sudah pernah memberitahu mereka kalau aku memang memiliki riwayat penyakit ini sebelum-sebelumnya. Entah mereka ingat atau tidak.
“Kamu istirahat aja dulu, ya!” kata Fey sambil menerima gelas kosong yang aku sodorkan kepadanya.
Usai minum obat, Nisa sekarang sudah tertidur pulas membenamkan kepalanya di atas bantal. Mungkin obatnya sedang bereaksi dalam tubuh hingga membuatnya tidur dalam sekejap.
“Aku turun ke bawah dulu, ya. Mau sholat, udah ketinggalan nih,” kata Jihan kepada Fey, usai melihat sahabatnya itu terlelap.
Fey mengangguk.
Di kamar ini tinggal mereka berdua. Ia menatap lekat kekasihnya itu, ada rasa tidak tega jika Nisa harus melalui penderitaan sendirian seperti ini. Tangannya sekarang mendarat dengan lembut sambil mengusap wajah Nisa.
Sementara di lantai bawah, Sadam, Jovan, dan Jihan sudah diajak ayah Fey untuk makan bersama. Tak lama setelah itu suara derap langkah kaki terdengar seperti sedang menuruni anak tangga dari balkon atas.
“Ayo, makan Fey,” sahut ayah. ”Gimana pacar kamu?” tanya ayah yang sudah sedari tadi ikut bergabung dengan teman-temannya di meja makan.
“Masih di atas, Pah. Tidur,” jawab Fey sambil menyendok nasi ke dalam piring.
“Memangnya dia sakit apa?”
Fey mengunyah makanan dengan pelan. “Sakit kepala, Pah. Tapi Nisa pernah cerita ke kita kalau dia punya penyakit vertigo gitu, Pah”
Satu jam kemudian ...
Samar-samar aku mendengar suara gelak-tawa ketika pertama kali aku membuka mata. Mataku menyapu ke seluruh ruangan, aku kaget bukan kepalang ketika melihat ruangan tempat tidurku yang berubah. Aku coba ingat-ingat kembali apa yang aku lakukan sebelumnya. Di lantai bawah, aku mendapati buku yang berserakan dan notebook yang masih terbuka.
Jam sudah menunjukkan pukul 19.30 WIB. Aku memeriksa handphone, dilayar tertera 8 panggilan tidak terjawab Abang Azzam, 10 menit lalu.
"Ya ampun! habislah aku!"
Bak sedang tersentrum listrik, seketika aku melompat dari kasur dan membuka pintu balkon. Aku melongok ke samping. Lorong menuju kamar Fey kosong, sementara di bawah terdengar riuh gelak-tawa. Pasti itu suara Fey, Sadam dan Jovan.
Tubuhku berbalik arah, masuk kembali ke kamar untuk mengambil tas yang semula bersandar pada nakas dan membereskan buku-buku serta notebook lalu menjejalnya kembali ke dalam ransel.
Aku berjalan keluar kamar Fey dengan langkah cepat. Usai sampai di bawah, aku berhenti sejenak di depan tangga. Aku melihat masih ada Sadam, Jovan, dan Fey yang asyik bermain Nintendon 3DS, tapi aku tidak mendapati Jihan. Mungkin dia sudah pulang. Setelah beberapa lama aku diam temangu tanpa menimbulkan suara apa pun. Jovan yang tanpa sengaja menoleh ke arah tangga, langsung melihatku.
”Eh, Nis, udah bangun?” katanya dengan semangat.
Fey dan Sadam ikut menoleh ke arahku.
“Hei, udah bangun? Gimana, udah enakan?” tanya Fey, yang berjalan menghampiriku. “Aku minta maaf, tadi nggak bangunin kamu. Habis nggak tega tidurnya pulas benget. Kamu belum makan, kan? Makan dulu, geh?”
Aku sedikit berpikir, ‘Memang aku lapar, tapi bukan saat ini waktu yang tepat untuk aku berleha-leha, apalagi untuk makan. Sementara Abang Azzam pasti sudah menunggu aku, di rumah’ batinku.
“Ahm, nggak Fey. Aku harus pulang sekarang, sudah malam juga,” kilahku.
“Ya udah, aku antar ya,” tawarnya.
Aku menggeleng. “Nggak perlu, Fey. Lagian Jihan juga udah pulangkan? kalau gitu aku juga, ya.” Aku berjalan menuju ambang pintu untuk memakai sepatu. Sementara Fey mengikutiku dari belakang untuk memastikan kalau aku baik-baik saja.
“Fey, salam dengan Papa kamu, Yah.”
Helm full face sudah menutupi wajahku dan siap menunggangi motor.
“Broo! Aku pulang duluan!” kataku dengan tangan melambai ke arah and the genk sebelum pulang.
“Hati-hati!” suara Fey sedikit berteriak ketika mesin motorku mulai menyeringai.
***
Dengan ragu aku melangkahkan kaki mendekat ke muka pintu. Perasaan takut perlahan-lahan menjalar ke tubuhku. Degup jantungnya semangkin tak karuan. Aku merasa bersalah karena bisa sampai rumah jam segini. Dengan kemantapan hati dan sedikit keberanian yang tersisa, aku melangkah. Sebelumnya aku tarik napas dalam-dalam.
“Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu ...”
Belum selesai aku mengucapkan salam, Azzam sudah menyambutku di depan pintu dengan muka masam, dan tatapan tajam. Sekarang aku melihat dia mirip harimau yang hendak menerkam mangsanya.
“Dari mana?” tanyanya dengan mata mendelik tajam menatap wajahku. Melihatnya demikian aku merasa tubuhku kian lama kian mengecil.
Aku menunduk. “Belajar kelompok, menyelesaikan laporan praktikum."
“Kenapa baru pulang jam segini? coba lihat sudah jam berapa?” Sorot matanya mengekor ke arah jam dinding dan membuat pandanganku mengikuti arah pandangannya. Pukul 19.45 WIB.
"Abang bilang tadi apa di sekolah? Nisa boleh pergi belajar kelompok tapi pulang sebelum sebelum adzan maghrib!" Suara Azzam yang mulai tegas dan naik, membuat aku harus segera menjawabnya.
"Tapi Abang, mana cukup waktu segitu untuk mengerjakan laporan!" balasku, berusaha membela diri, supaya tidak terlalu tampak salah dihadapannya.
"Oke... kalau memang waktu sebelum maghrib tidak cukup, Abang maklumi. Setidak selepas maghrib, Nisa bisa pamit pulangkan? Tapi ini sudah mau pukul sembilan baru sampai rumah?!" Celotehnya lagi.
"Nisa! cobalah dengar sedikit perkataan abang. Nisa nih perempuan, harus pandai menjaga marwah seorang perempuan. Apalagi kalau sudah menjadi istri orang. Abang tidak mau orang di luar sana berkata yang bukan-bukan tentang istri abang. Yang nantinya bisa mendatangkan fitnah." Nasihat Azzam, dengan nada melemah.
Aku menunduk. "Tapi tadi Nisa tuh, Abang... " belum selesai kalimatku dia berbicara lagi.
"Sudah, janganlah banyak-banyak berkilah, Nisa!" potong Azzam, seketika.
Aku diam. Tidak bisa berucap lagi saat mendapati raut wajahnya berubah. Dalam hati aku berujar sebelum dia benar marah, lebih baik aku mengalah dan minta maaf dengan dia.
Aku melepas napas keras-keras. "Ish! Iya, iyaa. Nisa ngaku salah. Nisa, minta maaf.”
"Nisa, tanpa Nisa minta maaf-pun sudah abang maafkan. Cuma sekarang yang mesti Nisa tahu adalah bagi seseorang yang telah menikah harus dapat menunjukkan tanggung jawabnya terhadap suami, keluarga, begitupun sebaliknya. Status yang didapat dari pernikahan adalah sesuatu yang dapat meninggikan marwah seorang wanita," papar nasihatnya dengan sangat jelas.
Sudah aku duga, sepertinya malam ini aku akan mendapatkan siraman rohani dadakan dari seorang ustadz.
“Dengan siapa Nisa pergi, tadi?” Agaknya Azzam kurang puas, jika hanya melontarkan satu pertanyaan.
“Ya, dengan kawan-kawanlah, namanya kerja kelompok. Kalau ngerjainnya sendiri namanya tugas individu!” jawabanku yang demikian membuat Azzam sedikit membulatkan mata.
“Hah! satu kata orang bertanya, beribu kata di balasnya!”
Aku membuang napas, lalu diam lagi saat dimarahi.
“Benar yang Nisa bilang ini? Tidak bohong?” tanyanya memastikan.
“Iya, kalau tidak percaya tanya dengan Jihan!”
“Apa Nisa tadi pergi dengan, Fey?” Tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar dari mulutnya.
Aku tidak menjawab.
“Nisa!” nadanya menekan, tandanya aku harus cepat menjawab.
“Iya," sahutku dengan berat hati.
Mendengar pengakuanku, seketika raut wajahnya berubah. Tampak tidak senang mendengar nama itu. Tanpa sepatah kata pun, dia berbalik badan meninggalkan aku yang masih berdiri di ambang pintu. Issh! Dia pergi begitu aja, nggak ngajak aku buat masuk ke dalam!
Saat aku melangkahkan kaki melewati dapur, perutku baru terasa lapar. Aku hendak makan, tapi gengsi rasanya, setelah habis dimarahi dia tadi. Ya, sudahlah. Malam ini aku terpaksa rela menahan rasa laparku.
_____
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Lost
keren keren 🥰
2020-05-22
2
Noe larassati
ceritanya seru😇. semangat up
mampir novelku juga ya
2020-04-30
0
SariAdja
ijin promo kak
baca tulisan ku juga ya...
"ASYIKNYA SELINGKUH "
" TUAN MUDA ANSEL"
2020-04-28
0