Malam sudah mulai larut, mata pun begitu terasa pekat hendak terpejam. Aku berjalan menuju kamar sambil sesekali menutup mulut ketika aku menguap. Derap langkah aku pelankan saat aku tahu sekarang sudah dekat dengan ambang pintu kamar.
Ada perasaan cemas dan gugup. Aku mengendap-ngendap kemudian mencoba sedikit membuka pintu. Namun, sebelumnya aku singkirkan mainan bintang plastik yang menjadi gantungan hiasan di depan pintu kamar.
Pelan dan perlahan-lahan tanganku menggapai kenop pintu, mataku mulai menyelinap seperti sedang mengintai sesuatu. Ya, memang aku sedang mengawasi seseorang di dalam kamar itu. Aku ingin tahu apa yang sedang dilakukan Azzam.
Ketika aku mengintip dari sela pintu yang terbuka, aku melihatnya dia sedang serius memandang sesuatu ditangannya. ‘Ish, sudah tengah malam begini dia masih juga membaca buku? Tidurlah abang! Membacakan masih bisa dilanjutkan besok. Lagi pula mataharikan gratis. Jadi tidak akan membuat tagihan listrik menjadi naik’.
“Tidurlah, Nisa. Sudah malam ini! Kenapa masih di luar?”
Aku melompat kaget dan hampir aku terjerembap jatuh kala mendengar suara itu muncul tiba-tiba. Aku lalu membenarkan posisiku. Bagaimana dia bisa tahu aku mengintipnya dari balik pintu.
Ada rasa malu yang menjalar di tubuh karena sudah kepergok. Tapi, aku berusaha menyembunyikan itu. Akhirnya aku membuka pintu perlahan kemudian masuk ke dalam kamar.
Dengan mengumpulkan semua keberanian, aku langkahkan kakiku mendekat ke arah Abang Azzam. Sekarang aku sudah berdiri di ujung tempat tidur. Sementara dia masih duduk di atas ranjang dengan santai sambil menyenderkan punggungnya pada beberapa bantal. Buku itu pun masih ada di tangannya.
Aku masih berdiri di ujung tempat tidur, menatap bingung tempat kosong disamping Azzam. Tidak tahu harus berbuat apa, sampai detik ini aku masih menimbang-nimbang, apa aku harus naik ke ranjang? Atau aku akan terus tetap berdiri di sini sampai Abang Azzam yang turun? Karena tadi siang aku sudah sah menjadi istri dia, tentu malam ini aku harus tidur sekamar dengan abangku.
Aku menoleh ke arah pintu yang sudah tertutup, rasanya aku mau berlari keluar. Tapi tubuh terasa kaku. Aku menghela napas dalam-dalam. Lalu memilih untuk menyeret kakiku duduk di samping ranjang.
Lagi-lagi aku menghela napas berat. Bisa nggak sih aku tidur nyenyak seperti malam-malam biasanya? Entah kenapa tubuh terasa dingin, dan jantungku berdegub kencang. Aduh! kenapa aku berpikir yang bukan-bukan sih!
Aku melirik ke arahnya, sempat sekali aku melihatnya kedapatan sedang melihat ke arahku yang belum membaringkan badan di atas ranjang.
“Nisa” suaranya memanggil.
Aku menoleh. Terlihat pandangan matanya yang teduh. Buku yang ada di tangannya sudah disingkirkan. Kacamata yang biasa ia kenakan juga sudah dilepaskan dan disimpan kembali ke atas nakas. Azzam menegakkan punggungnya, yang semula setengah berbaring pada beberapa tumpukan bantal.
“Nisa nyaman tidak kalau abang pun tidur di sini?”
Dia bertanya seperti itu karena takut kalau-kalau aku tidak mau satu kamar dengannya, mengingat kami menikah bukan dasar suka sama suka dan saling mencintai. Tapi karena menuruti kemauan orang tua.
Aku masih diam tak bergeming, sambil memain-mainkan jari kuku. Sekarang gayaku persis seperti ketika dimarahi Ibu karena aku baru sampai rumah pukul 12 malam.
“Kalau tidak, ya sudah biarlah abang tidur di luar." Azzam mulai meriah bantalnya.
"Nggak, nggak perlu di luar. Ntar Nisa yang dimarahi lagi!"
"Dimarahi siapa?"
"Sama ibu lah. Siapa lagi!" ketusku.
"Jadi terpaksa?" tanya Azzam mengamati wajahku.
Aku cemberut sambil melipat kedua tangan.
"Ya sudah sini!" ajaknya.
Jam sudah menunjukkan pukul 10.30 malam. Aku mulai meluruskan badan di atas kasur tempatku biasa tidur. Namun, sebelumnya aku mengambil beberapa bantal guling untuk dijadikan sebagai sekat pembatas.
"Lho...Kenapa semua bantal ditaruh di tengah?" tanya Azzam, saat melihat beberapa bantal di kamar telah berpindah tempat.
"Nisa, nggak mau tidur dekat-dekat abang. jadi bantalnya jangan digeser, ya!" kataku nada penuh penekanan.
"Ya udah kalau begitu, abang nggak akan geser," ucapnya kemudian menarik selimut.
Aku tidur dengan posisi menyamping, memunggunginya. Pikiranku lagi-lagi menerawang jauh. Entah kenapa tiba-tiba mataku tidak bisa terpejam, padahal sebelum masuk ke kamar ini perasaan kantuk yang luar biasa datang bergelayut dikedua pelupuk mata.
Lampu atas nakas aku matikan. Perlahan aku memejamkan mata. Aku manarik selimutku dalam-dalam. Tidak! ini tidak apa-apa Nisa, dia itu suami kau...suami kau...suami kau, Nisa.
Aku menghela napas pelan, mencoba bermain dengan imajinasiku. Berimajinasi saat akan tidur adalah kebiasaanku ketika insomnia melanda, aku berharap teknik itu ampuh untuk kali ini.
Deritan ranjang terdengar ketika Azzam mengubah posisi tidurnya. Aku menahan napas. Bagimana tidak? Azzam saat ini tengah menghadap ke arahku. Ketika aku sibuk dengan bayangan imajinasiku, Azzam tiba-tiba menginterupsi.
Azzam mendehem. "Jangan lupa baca doa. Jangan pikirkan yang lain supaya tidurnya nyenyak dan nyaman," komentarnya.
Mukaku seketika berubah memerah dan jantung berdesir hebat. Sepertinya suhu AC yang di setel 18 derajat belum juga mampu untuk mendinginkan udara malam yang panas, ditambah lagi rasa kesalku dengan dia.
Aku mengertapkan gigiku karena kesal. “Diamlah! Kalau tidak Nisa suruh abang tidur di luar!"
Setelah itu, tidak ada lagi sahutan dari Abang Azzam.
Malam ini pasti akan menjadi malam terpanjang dalam tidurku dan pasti akan sulit untuk masuk ke alam mimpi kalau aku tahu di sebelah ada Azzam.
Rasanya ingin segera aku mendorong malam ini ke peraduannya dan segera berganti dengan siang. Guling yang ada didekapanku, aku peluk erat-erat. Tak puas, aku menarik selimut yang semulanya hanya menutupi sebagian tubuhku, sekarang aku tarik terus hingga menutupi kepala yang tadinya terbuka.
***
“Ha-ha, kau seperti itu bukannya terlihat cool, malah seperti banci yang ada di pinggir jalan itu lho.” Jovan tertawa sambil mengomentari gaya Sadam saat menirukan gaya Ranggaspatih ketika berjalan.
Kami semua masih tertawa terkekek-kekek ketika melihat Sadam menceritakan tentang Ranggaspatih dengan pemaparan yang begitu ekpresif sambil sesekali menirukan gerakan-gerakan Ranggaspatih ketika berjalan ataupun ketika marah. Hal yang demikian menunjukkan kalau Sadam begitu paham dengan kelakuan Ranggaspatih yang terkesan sebagai penguasa di sekolah ini dan sombongnya yang keterlaluan.
Melihat teman-temannya tertawa lepas, Sadam berlanjut melancarkan aksinya untuk seolah-olah menjadi seorang wanita yang sedang mengoda om-om.
“Sedang kesepian, Mas? Saya bisa menemani kok,” ujarnya sambil mencolek pipi Jovan. Sontak saja Jovan yang tidak terima bagian pipinya disentuh, langsung menyingkirkan tangan Sadam, lalu mendekap keras lehernya. Hingga terdengar suara Sadam yang mirip tercekik.
"Ih, gilak jijik tau nggak!" kata Jovan bergidik geli.
Kami hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan dua sobat kami itu. Tiada hentinya melakukan kekonyolan yang membuat perut menjadi mules. Saat seperti ini yang selalu kami inginkan dan rindukan setika berkumpul dengan and the genk. Di sela-sela lawakan mereka, Jihan tampak seketika menghentikan tawanya lalu mencubit pelan lenganku, kebetulan aku dan Jihan duduk sampingan.
“Ih, kenapa sih?”
Jihan tidak menjawab namun alisnya tampak dinaik-turunkan sambil melirik ke arah orang yang berdiri, jaraknya tidak terlalu jauh dari kami duduk saat ini hanya sekitar tiga meter.
Aku mengikuti ekor mata Jihan yang menatap ke arah koperasi sekolah. Awalnya aku hanya melihat siswa-siswa sedang beramai-ramai antri untuk makan ataupun membeli atribut sekolah.
Aku menyipitkan mata untuk menfokuskan objek yang mau aku lihat. Dan tepat! sekarang aku tahu kalau itu adalah Ranggaspatih yang sedang jalan berdua dengan Khariza, kekasihnya yang pernah dibawa oleh Sadam waktu itu, hingga muncul kesalahpahaman. Mereka terlihat seperti sedang berjalan ke arah kami. Ya. Benar sekali, sekarang langkahnya semangkin mendekat.
“Huss! Husstt! Sadam, Fey, Jovan,” bisikku ketika memberi kode kepada mereka, tapi seperti mereka ini tidak paham dengan maksudku.
“Apa?” sahut Fey.
“Eheem” baru aku mau memberitahu, Ranggaspatih sudah berdiri di belakang mereka bertiga saat ini.
Seperti sebuah gerakan koreografi yang sengaja dilatih, mereka bertiga menoleh dengan berbarengan. Sadar itu Ranggaspatih. Sadam langsung bangkit dari duduknya dan meninggalkan makanan yang belum habis disantap.
“Apa lho, ngomongin gue kan barusan!” kata Ranggaspatih dengan muka mendongak ke arah Sadam, dan pundaknya menyenggol pundak Sadam yang berdiri di depannya. Posisi mereka sekarang persis ketika aku melihat Sadam dan Ranggaspatih hendak memulai perkelahiannya kembali sebelum Bapak Herwin waktu itu datang untuk melerai.
“Apa lo!” Sadam mulai sedikit tak nyaman dengan cara Ranggaspatih.
“Eitts, sudah-sudah!”
Fey dan Jovan memegang pundak Sadam mencoba meredakan emosinya, supaya tidak memuncah. Khariza yang melihat sikap Ranggaspatih demikian langsung menegurnya.
“Kamu apaan sih?”
“Kamu lagian ngapain sih ngajakin aku ke sini, muak liat muka anak satu ini!” kata Ranggaspatih sambil membuang muka.
“Eh, aku bilang apa ke kamu tadi. Aku cuma minta kamu supaya minta maaf ke Sadam. Udah itu aja! kalau kamu nggak mau okey. Fine. Hubungan kita cukup sampai di sini! Aku nggak kuat!” Khariza sepertinya mulai kesal dengan sikap emosional Ranggaspatih. “Udah, cepet minta maaf!” sambung Khariza.
“Heh! Kalau bukan perminta Khariza ogah gue minta maaf,” ketus Ranggaspatih.
“Nggak bisa gitu dong, bro! Yang namanya minta maaf, ya harus tulus dari hati. Ya, nggak Jovan.”
Fey mencoba meluruskan niatan Ranggaspatih ketika meminta maaf pada Sadam. Sementara perkataan Fey hanya disambut dengan gerakan bahu oleh Jovan.
Khariza menyipitkan matanya ke arah Ranggaspatih, seperti sebuah kode supaya ia mau menuruti perkataan teman-teman Sadam itu.
“Okey. Kalau itu mau kalian. Gue, Ranggaspatih Admawiyata ingin meminta maaf yang sedalam-dalamnya atas kelakuan gue waktu itu.”
Mendengar pernyataan Ranggaspatih, sudut di pipi Khariza langsung membentuk lengkung senyum tipis. “Salaman dong,” lanjut Khariza pada kekakasihnya.
Ranggaspatih memutar bola matanya dengan malas ke arah Khariza. “Sayang, apalagi sih!”
“Ayolah,” bujuk Khariza pelan.
Akhirnya mau juga Ranggaspatih mengalah dan menuruti keinginan Khariza. Ranggaspatih menyodorkan tangannya dan sekarang tangan itu sudah menggantung di udara. Baru sekitar satu menit baru disambut oleh tangan Sadam.
“Aku maafin,” kata Sadam tanpa melihat ke arah Ranggaspatih.
“Sadam” Khariza menempuk pundak Sadam. “Atas nama pribadi, aku minta maaf atas kejadian dan kesalahpahaman ini. Ini semua awal mulanya karena aku, sampai membuat kalian berkelahi dan akhirnya harus menanggung akibat di skors dari sekolah.”
“Maaf?” Sadam mengulang satu kata kunci yang diucapkan Khariza. “Nggaklah kamu nggak perlu minta maaf. Ini mungkin udah resiko, harusnya aku nggak perlu menolong kamu kemarin,” ujar Sadam, seolah-olah mengaku menyesal karena telah menolong Khariza.
“Sadam, kamu kok bicara gitu. Aku tahu kamu itu orang baik dan kamu nggak akan biarkan orang-orang di sekitar kamu kesusahan.” Khariza memberi penjelasan.
“Sayang apa-an sih!” Ranggaspatih menarik pergelangan tangan Khariza, namun Khariza menyingkirkan pegangan itu dengan tangan kanannya.
“Udah. Aku cuman mau minta maaf dan ngucapin terima kasih,” ucapnya dengan pandangan menunduk ke bawah. “Kamu dan teman-teman kamu silahkan lanjutin makannya. Sorry kalau kedatangan kita nganggu kalian,” pamit Khariza.
“Ahm, kalian nggak mau gabung makan di sini, bareng kita. Kan udah baikan,” tawarku, bermaksud untuk mencairkan suasana yang sedikit tegang.
Khariza melirik jam berwarna pink yang melingkar di tangan kirinya. “Terima kasih, Nisa. Aku mau balik ke kelas aja, bel masuk kelas juga sebentar lagi. Bye”
Dua pasangan sejoli itu─Ranggaspatih dan Khariza, pergi meninggalkan mereka. And the genk itu duduk kembali ketika melihat keduanya sudah pergi menjauh dan hilang dari balik koridor sekolah.
Sadam menyimpan sedikit perasaan tidak enaknya di dalam hati karena ucapan dia terhadap Khariza yang menurutnya kurang pas. Sebenarnya bukan bermaksud demikian, hanya saja ia masih jengkel dengan sikap Ranggaspatih yang belagu dan sombong itu.
“Itu, si Khariza nggak tersiksa apa punya pasangan kayak Ranggaspatih. Nggak tahu rasanya pengen aku jitak kepalanya tadi.”
Jihan tampak geram dengan laki-laki yang beberapa menit mengampiri mereka.
“Entahlah!” jawabku singkat.
“Mendingan kita habisin makan sebelum bel masuk bunyi, kasian kalau nggak dihabisan”
Sementara teman-temannya masih melanjutkan makan, Sadam masih terbenam dalam lamunannya. Iya. Dulu Sadam juga pernah sempat suka dengan Khariza namun karena ia tahu kalau Kariza sudah ditembak oleh Ranggaspatih akhirnya ia memundurkan langkahnya untuk menyatakan perasaannya dengan Khariza. Dia hanya tidak ingin mencari masalah dengan anak pindahan itu.
“Sadam, kok nggak dimakan?” sapaan Jihan seketika mengejutkannya.
Dengan cepat ia menggapai sendok dan garpu yang ada dalam mangkok. “Hah! iya-iya ini dimakan kok.”
Bel sekolahpun akhirnya berbunyi juga. Mereka dengan cepat menyuapkan makanan itu ke dalam mulut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
anasofiyah
nisa kn msh SMA.. klw udh nikah bknnya nggak boleh sklh lg Thor??
2021-04-13
0
anasofiyah
nisa kn msh SMA.. klw udh nikah bknnya nggak boleh sklh lg Thor??
2021-04-13
0
anasofiyah
nisa kn msh SMA.. klw udh nikah bknnya nggak boleh sklh lg Thor??
2021-04-13
0