BAB 2. Kontingen Hati

Apakah matahari sudah sebegitu dekat dengan bumi? Hingga teriknya begitu terasa ke ubun-ubun. Aku meneka-neka demikian karena tubuh sudah terasa bermandi peluh. Aku menengadah ke atas dengan menyipitkan mata, menahan silauan terik panas yang menyebar di bumi. Di langit, angin mendorong awan berpindah dan bergerak dengan begitu cepat. Hingga membuat awan bercerai berai.

Aku merasa angin lembut sedang mengitariku. Hembusannya mendepak dedaunan hingga berguling-guling tak tentu arah, akhirnya debu pasir pun menjadi imbasnya. Aku menyeka keningku yang berkeringat. Debu yang tadi aura auran dengan beringas melesat masuk ke mata.

Di lapangan Madrasah hanya ada kami, siswa kelas 12-A yang sedang mengikuti pelajaran Penjaskes yang diampu Pak Chandra. Guru olahragaku satu ini berbadan atletis, dengan warna kulit sedikit keling. Mungkin karena kerap mengekspose tubuhnya di bawah terik panas matahari. Seperti saat ini, di tengah lapangan dia memberikan arahan teknik melempar cakram.

“Semuanya coba perhatikan ke depan dan ikuti gerakan Bapak ya,” kata Pak Chandra dengan memegang sebuah benda yang berbentuk bulat pipih.

“Teknik awalan saat hendak melempar cakram pastikan posisi badan berdiri ke arah samping atas lemparan, kemudian kedua kaki dibuka selebar bahu. Usahakan kaki rileks dan tekuk sedikit ya.” Pak Chandra memberikan intruksi.

Seluruh siswa mengikuti setiap gerakan yang dilakukan Pak Chandra meskipun ada sedikit yang terlihat kesulitan melakukan gerakan yang seperti Pak Chandra inginkan.

“Jihan kakinya kurang ditekuk itu!” tegur Pak Chandra yang melihat Jihan masih agak kurang sempurna dalam melakukan gerakan.

Untuk masalah olahraga, yang merupakan bagian dari kecerdasan kinestetik, Jihan sepertinya memang terlihat sedikit below average. Kalau disuruh menendang bola futsal nendang ke mana sampainya ke mana, terus kalau disuruh buat servis bola voli, servisnya nggak stabil. Padahal kami yang senang olahraga sudah sering mengarahkannya supaya benar dalam melakukan servis, ya mungkin basic Jihan bukan di kinestetik. Jihan sih orangnya memang sedikit kalem. Sedikit ya? nggak banyak-banyak, beda sama aku yang pecicilan. Namun, untuk mata pelajaran lainnya Jihan jangan dianggap remeh. Dia begitu cakap terutama mata pelajaran bidang agama, nilai yang dia dapat hampir selalu A+. Sementara aku selaku langganan dapat C.

Sudah sekitar hampir satu jam tiga puluh menit berlalu, Pak Chandra menutup kegiatan pembelajarannya hari dan akan dilanjutkan kembali minggu depan.

“Baiklah sebelum Bapak tutup pelajaran hari ini, marilah kita berdo’a terlebih dahulu. Berdo’a dimulai.”

Anak-anak dengan khusyuk berdo’a sembari menengadahkan tangan berharap kebermanfaatan dan keberkahan atas ilmu yang diterima hari ini.

“Selesai,” kata Pak Chandra, mengakhir doa.

“Jangan lupa minggu depan tugas kalian adalah merangkum materi tentang sejarah permainan bola basket, dan teknik-teknik dalam bermain basket. Satu lagi pesan Bapak, setelah ini kalian pergi ganti baju olahraga kalian dan masuk ke kelas, karena selepas ini masih ada mata pelajaran lagikan?"

“Iya Pak,” jawab anak-anak serentak

“Oke, sekarang silahkan bubar.”

Seluruh siswa mulai membubarkan diri masing-masing dari barisannya. Aku dan Jihan berjalan melewati koridor sekolah menuju ruang ganti baju. Tak disangka saat aku melintas di depan ruang guru, terdengar suara menyeru namaku. Mata langsung memutar ke arah sumber suara. Yang tampak dari pantulan lensa mataku adalah sosok laki-laki berperawakan tinggi sekira 176 cm, dengan badan tidak terlalu kurus, tidak pula berbadan tambun. Cukup proporsional. Wajahnya tegap, dengan rahang kokoh yang ditumbuhi cambang, tatapan mata yang teduh, rambut hitam pendek. Yang membuatnya berbeda dia selalu mengenakan kopiah di kepalanya. Dialah Abang Azzam.

“Abang!” ucapku dengan ekspresi terkejut. “Abang ngapain di sini?” tanyaku heran.

“Saya baru saja menemui kepala sekolah, tadi mengantarkan berkas.”

“Berkas?”

“Iya. Insyaallah saya akan mengajar di madrasah ini.”

“Hei, Nisa, Jihan ikut kami ke kantin yuk!” ajak Fey. Belum sempat aku mau menanyakan lebih dalam lagi alasan Abang Azzam memilih mengajar di sini, Fey sudah datang untuk mengajak kami berdua pergi makan di kantin belakang sekolah.

Melihatku diam tak bergeming, Fey memanggil lagi. “Nisa, ayo!”

“Mari Pak! Eh Ustadz! Eh aku harus panggil apa ya?” tutur Fey seraya menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

“Panggil beliau Ustadz Azzam.”

Tiba-tiba suara Pak Chandra ikut nimbrung bersama kami yang tetap masih berdiri di depan ruang guru. “Betul Ustadz?”

Azzam hanya merespon ucapan Pak Chandra dengan seyuman.

“Maaf Pak, apa Ustadz Azzam akan mengajar kami di kelas kami juga?” tanya Jihan.

“Iya. Ustadz Azzam juga akan mengisi jam pelajaran Qur’an Hadist di kelas 12-A."

Aku melihat ekspresi Jihan begitu senang mendengar hal itu. Aku ikut tersenyum tipis.

“Sudah sana! Kenapa kalian belum juga ganti baju, kan Bapak pesan apa tadi? Apa mau Bapak denda?” nada Pak Chandra sedikit mengancam.

“Eh, tidak! Tidak Pak. Kalau gitu kita permisi dulu,” kata Sadam.

Tanpa basa-basi lagi aku bersama teman lainnya pergi menuju kantin dan bukannya malah mengganti baju. Rasa lapar sepertinya mengalahkan rasa ketakutan terhadap denda dan ancaman Pak Chandra pada kami.

***

Kami and the genk─Jihan, Sadam, Jovan, Fey dan Aku sudah berkumpul di kantin. Kami pastinya mau membeli mie ayam milik Pakde Yono yang terkenal enak ditambah dengan harga yang terjangkau untuk kocek anak sekolahan. Tak heran, warung ini menjadi tempat strategis untuk tebar pesona, sekedar ngerumpi, melakukan curhat atau memang benar-benar untuk makan mie ayam. Tak terkecuali Nisa and the genk.

Kantin mie ayam Pakde Yono terletak di pojok belakang sekolah tampak selalu ramai peminat. Di depan gerobak mie ayam Pakde Yono terdapat meja-meja yang memang telah disiapkan dan ditata dengan sedemikian rupa sehingga tampak teratur dan rapi. Meja-meja dan bangku-bangku yang panjang itu bisa muat banyak orang, sehingga katin kerap dijadikan sebagai semacam tempat untuk musyawarah informal bagi siswa sekolah tersebut.

Fey mengangkat tangannya, memanggil Pakde Yono. “Pakde, mie ayamnya lima seperti biasa ya!” pinta Fey.

Pakde Yono juga seperti sudah sangat paham dengan selera masing-masing lima orang itu sehingga tidak perlu lagi dia bertanya tentang ini dan itu.

“Nisa, aku mau nanya itu tadi Ustadz Azzam siapa kau, kenapa kau panggil dia dengan sebutan Abang?” tanya Jihan, menanyakan tentang Ustadz Azzam.

“Oh dia itu Abang aku, Abang sepupu,” ujarku, lalu menyeruput minuman es jeruk peras yang sudah tiba lebih dulu. “Kenapa? Naksir? Ntar aku salamin,” godaku.

“Eh! Nggaklah. Aku males nanti besanan sama kamu lagi.”

"Yee ngarep banget, itupun kalau kau jodoh dengan Abang aku, kalau nggakkan kita nggak akan besanan," komentarku.

“Males? Yakin? Jangan-jangan selama ini Jihan diam-diam naksir ama si Jovan lagi,” kata Fey mengompori.

Jovan menyugar rambutnya ketika mendengar namanya disandingkan dengan Jihan.

“Iyalah orang ganteng gini, jangan sampai di sia-siain,” kata Jovan mengerling nakal ke arah Jihan.

Jihan bergidik geli.

Semilir angin yang berhembus siang itu cukup menyejukkan santap siang kelima sahabat and the genk itu. Persahabatan kami bukanlah kaleng-kaleng. Persahabatan kami tulus. Siapa sangka kami pernah sama-sama dihukum oleh senior semasa orientasi sekolah. Kemudian sorenya kami tertawa-tawa mengejek-ngejek senior kami. Kami juga pernah pernah ikut lomba memancing hingga larut malam, sampai besoknya kami masuk angin, hingga mengalami hipotermia saat aktivitas memanjat gunung. Sudah banyak susah-senang yang kami lalui.

“Nisa,” panggil Fey.

“Hmm,” sahutku seraya meracik mie ayam yang barusan datang.

“Nanti malam kalau misalkan aku ajakin keluar, nggak apa-apa?” tanya Fey, dengan perasaan sedikit ragu.

Fey agak sedikit ragu ingin mengajak Dhanisa untuk keluar lagi karena sekitar seminggu lalu Nisa harus merasakan sakit kepala yang tak tertahankan sehingga mengharuskan dia untuk dirawat di rumah sakit.

Fey sendiri menduga ini karena kegiatan lomba memancing yang kami ikuti waktu itu, hingga Nisa kelelahan ditambah lagi suasana udara malam yang dingin. Jika dihitung kira-kira baru minggu ini Nisa pulih dan bisa masuk bersekolah lagi.

“Ya, nggak masalah. Tumben pamit dulu, biasanya juga langsung aja jemput di rumah.”

“Nggak. Aku nggak enak aja sama orang tua kamu, takut nggak boleh karena kamu jugakan baru pemulihan," balas Fey tidak enak hati.

Sebenarnya Fey mau-mau aja mengajak Nisa untuk keluar waktu sore, hanya setelah pulang sekolah mereka memiliki jadwal belajar tambahan di luar.

Mendengar obrolan antara kami berdua Sadam mendehem karena merasa ada teman yang terabaikan.

Sadam menyikut bahu Fey. “Kita nggak di ajak?”

“Nggaklah. Ini khusus dinner aku dengan Nisa, jadi nggak boleh ada salah satu dari kalian yang boleh ikut,” kata Fey, menolak.

“Ya sudah, beb Jihan kita buat acara berdua juga yuk?” goda Sadam.

"iiiiihhh... ogah banget," ujar Jihan dengan ekspresi geli.

“Terus aku sama siapa dong?” nada Sadam seolah sedih.

Kelima sahabat itu tertawa lepas tanpa ada beban, di bawah lembayung yang menyelimuti hari itu. Itulah sahabat tak menutut selalu hadir dikala bahagia tetapi juga masa sulit sekalipun, dengan setia merangkul berat ringan kesedihan yang dipikul. Merubah kesedihan menjadi canda tawa. Namun tidak selamanya sahabat akan terus menjadi sahabat, rasanya memang agak sulit untuk menjaga sebuah komitmen dalam sebuah pertemanan yang disebut sahabat. Perlahan semua bisa berubah seiring berjalannya waktu, karena terbiasa menghabiskan waktu bersama hingga membuat rasa nyaman itu hadir melebihi kadarnya. Sekiranya seperti itulah yang aku dan Fey alami saat ini, kita seperti sedang menyembunyikan rasa yang bergejolak.

Fey sendiri memiliki rencana, kalau nanti malam ia akan mengungkapkan semua perasaannya selama ini, yang ia sembunyikan di balik sebuah pertemanan.

***

Malam memang selalu menyita banyak perhatian yang menarik untuk disimpan dalam sebuah kisah. Gugusan bintang yang tercipta disandingkan dengan bulan merah tampak begitu dekat. Seperti menjadi riasan pengiring perjalanan kami.

Motor gede milik Fey melanju kencang menyusuri jalanan kota metropilitan yang sekarang telah mulai sepi. Gemerlap lampu jalanan menambah kesyahduhan jalanan malam itu. Aku memeluk erat pinggang Fey yang kala itu sedang membawaku menyusuri jalanan malam.

Aku merasa malam ini Fey ada yang berbeda, tidak biasanya dia mengajakku untuk makan ataupun sekedar nongkrong di kafe. Biasanya juga kami hanya nongkrong di warung Mak Ittah. Warung Mak Ittah yang kerap dijadikan sebagai basecamp kami berlima.

Tidak tahu rasanya lebih sedikit asyik dan terbuka kalau berkumpul di sana, sebaliknya kalau di kafe rasanya agak kaku, bukan tak biasa atau tak pantas hanya saja merasa tidak nyaman.

Tak perlu waktu lama motor Fey sudah masuk ke pekarangan.

“Ayo ikut aku,” ajak Fey dengan menggandeng manja tanganku.

Dia membimbingku untuk masuk ke sebuah taman yang dipenuhi oleh kerlap kerlip lampu dengan beragam warna. Tampak olehku orang-orang begitu menikmati suasana ini.

Terlebih lagi disokong biasan rembulan yang terlihat begitu temaram, menerangi setiap sudut malam.

‘Ah bisa juga dia menyiapkan moment ini dan membuatku terkesan’, aku membatin.

Kami kemudian mengambil posisi duduk berdampingan. Fey mengangkat tangannya, memanggil salah satu pelayan.

“Mbak, tolong pesanannya di antarkan ya.”

“Iya Pak, ditunggu ya,” kata pelayan itu.

Aku tersenyum sambil kedua tangan menutup mulut supaya Fey tidak tahu kalau aku menertawakannya.

“Kenapa?” Fey bertanya saat melihatku tertawa.

“Kamu kayak udah tua banget dipanggil Bapak. Udah punya anak berapa Pak?” ledekku.

“Ha-ha, nggak tahu tuh. Eh, tapi kalau aku dipanggil Bapak berarti kamu Ibunya dong,” balas Fey yang juga tampak tak mau kalah.

“Fey,” panggilku.

“Iya.”

“Tumben? Pasti ini ada maunya alias ada udang di balik batu." Aku menduga-duga.

Fey tertawa berderai memamerkan gigi yang gingsul. “Nggaklah, ini murni ajakan dari hati aku.”

Tidak lama pesanan Fey sampai juga. Sebuah ice cream cokelat dan roti keju kesukaanku terhidang di depan. Sementara Fey memesan minuman Nescafe favoritnya. Aku mulai melirik roti keju yang terhidang di depan bukan karena lapar tapi ada selembar potongan lembar kecil terselip membentuk lipatan. Perlahan tanganku menggapainya, sesekali padangan aku arahkan ke Fey, aku hanya melihat dia tersenyum tipis.

“Silahkan dibuka dan dibaca." Fey bersuara.

Langit tersenyum dalam birunya selimut putih

Ku lihat anak-anak bersorak sorai di tanah lapang berumput hijau

Mentari tersenyum manis penuh arti

Tiada yang mengalahkan biasannya yang menembus penjuru dunia

Seperti itu pula suara hati mengalahkan egokku

Aku harap perasaan ini tidak salah.

Ini saatnya aku ucapkan kalau aku

sedang menyimpan rasa padamu,

maukah kau terima perasaan ini....?

~Fey

Begitu bunyi isi kertas itu. Aku sejurus memandang Fey tanpa berkedip. Melihat ekspresiku Fey melemparkan senyuman termanisnya yang belum pernah aku lihat selama ini. Melihat dia demikian, aku merasa saat ini semu merah sedang mencuat dipipiku.

Fey mengarahkan jari telunjuknya ke arah kaki langit. Membuatku juga mengikuti arah pandangannya. Dia menggerakkan jari telunjuk menunjuk garis-garis imajiner pada bintang-bintang yang berkedip terang. Sekarang muka kami sama-sama menengadah.

"Sebuah hati," kata Fey.

Keningku mengeryit. Aku tidak melihat apa yang dia lihat.

"Nggak ada kok."

Dia meraih jari telunjukku lalu mengarahkannya membentuk pola hati.

"Bagiku bintang itu membentuk kontigen heart hati," katanya lagi.

Aku tersenyum gemas.

"Kamu mau memberi hati itu untuk aku?" tanya Fey sambil melirik lucu. Bulu matanya yang panjang dan lentik mengerjap-ngerjap.

Ungkapan rasa sementara aku ungkapkan lewat sebuah senyum yang mengembang dari bibir dan turut terbang bersama hati yang berdebar.

Belum ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Lama aku termangu diam menerawang entah apa yang aku pikirkan, melihat mukaku tak beriak, Fey menggerak gerakkan telapak tangan di depan mataku.

"Hoii. Malah bengong,” ujar Fey mengangetkanku yang tengah tercenung.

"Apa yang kamu minta pada langit malam itu?" Aku balik bertanya seraya menatap langit.

"Bintang yang paling kemilau," balasnya.

"Baiklah. Dewi malam akan memberikan itu untukmu. Satu bintang yang paling terang dan cantik," ucapku manis.

"Benar kamu akan rela memberikan bintang itu untukku?"

Aku mengangguk.

Fey begitu sumringah, "Bintang itu akan aku simpan di hati lalu menguncinya rapat-rapat."

Aku mengernyit, "Kenapa?"

"Supaya tidak ada orang yang bisa mencurinya paksa."

“Hmm...” Aku menggelangkan kepalaku.

"Bagaimana apakah aku masih perlu membalas untaian kalimatmu ini?" Aku memegang secarik kertas yang ada di dekat kue tadi.

Fey menggeleng dengan muka bersemu bahagia. "Nggak perlu, aku sudah tau jawabannya. Kamu mau menerima aku kan?" Matanya menatap harap.

Aku melemparkan senyum sepuluh centi. "Iya"

Fey yang mendengar pengakuanku seketika saja meloncat kegirangan, tak memperdulikan bahwa orang-orang sekitar sedang menoleh me arahnya.

Saat sebuah cinta terbalaskan bak kembang api yang meletus-letus. Tampak indah dan mengagungkan. Mungkin ini yang Fey rasakan. Tanpa basa-basi aku memintanya bersikap biasa.

“Fey, malu dikit dong dilihatin orang!” tegurku ketika melihat reaksi Fey yang berlebihan mengundang tatapan orang banyak.

Ia tak menggubris perkataanku. “Nisa setiap orang punya cara sendiri dalam mengekspresikan kebahagiaan cintanya. Caraku adalah dengan mengajakmu senyum bersama.”

Sepertinya malam ini akan menjadi malam di mana kami berdua sulit untuk sekedar memejamkan mata. Kebahagian yang terukir sebagai sebuah kejutan aku harap ada kejutan kebahagiaan berikutnya.

Terpopuler

Comments

destia 56

destia 56

pertama baca aku kira fey itu cewek🥲😂

2021-12-23

0

Defi Andriani

Defi Andriani

👍

2021-11-20

0

Defi Andriani

Defi Andriani

😬

2021-11-05

0

lihat semua
Episodes
1 BAB 1. Kerelaan
2 BAB 2. Kontingen Hati
3 BAB 3. Pertikaian
4 BAB 4. Permintaan Menikah
5 BAB 5. Janji Kita Bersama
6 BAB 6. Keputusan
7 BAB 7. Sah
8 BAB 8. Malam Pertama
9 BAB 9. Sorry I’am Late
10 BAB 10. Si putih, Mou
11 BAB 11. Kasih Bertepuk Sebelah Tangan
12 BAB 12. Mashita!
13 BAB 13. Mirip Tawanan
14 BAB 14. Siraman Rohani Dadakan
15 BAB 15. Munakahat
16 BAB 16. Siratan Kenangan
17 BAB 17. Jiwa yang Sunyi
18 BAB 18. Surga Dunia
19 Bab 19. Sebuah Luka Lama
20 BAB 20. In The Kitchen
21 BAB 21. Nikah-Nikahan
22 BAB 22. Kamu Cantik, Istriku
23 BAB 23. Masih Sabar
24 BAB 24. Bertemu Kembali
25 BAB 25. Pingsan
26 BAB 26. Drama Amnesia
27 BAB 27. Rasa Bersalah
28 BAB 28. Fitting Baju
29 BAB 29. Acara Makan-makan
30 BAB 30. Kejadian Buruk
31 BAB 31. Perkelahian
32 BAB 32. Mimpi Buruk
33 BAB 33. Cewek Agresif
34 BAB 34. Percakapan Itu
35 BAB 35. Inspeksi Bulanan
36 BAB 36. Secarik Kertas
37 BAB 37. Hilang
38 BAB 38. Perkara Pakaian Takwa
39 BAB 39. Ada yang Beda
40 BAB 40. Keributan Kecil
41 BAB 41. Mengakui
42 BAB 42. Kalung Liontin
43 BAB 43. Tempat Indah
44 Bab 44. Berbagi Cerita
45 Ilustrasi
46 BAB 45. Berangkat
47 BAB 46. Ketahuan
48 BAB 47. Apa Iya Rindu?
49 BAB 48. Gelisah
50 BAB 49. Di Bully
51 BAB 50. Virus Merah Jambu
52 BAB 51. Cinta Sebenarnya
53 BAB 52. 'Andai'
54 BAB 53. Mencari Cara
55 BAB 54. Harapan
56 BAB 55. Semua Untukmu
57 BAB 56. Perasaan Sarah
58 BAB 57. Sakit
59 BAB 58. Cemburu
60 BAB 59. Honey
61 BAB 60. Kekalahan
62 BAB 61. Tebaik
63 BAB 62. Study Group
64 BAB 63. Tulus
65 BAB 64. Ikhlasku
66 BAB 65. Saling Mengungkapkan
67 BAB 66. Berjuang
68 BAB 67. Bahagia karena Cinta-Nya
69 BAB 68. Menunaikan Kewajiban
70 BAB 69. Memancing Asmara
71 BAB 70. Muroja'ah
72 BAB 71. Kelulusan
73 BAB 72. Rumah Baru
74 BAB 73. Kenalan Tetangga Baru
75 BAB 74. Modus
76 BAB 75. Panti Asuhan 1
77 BAB 76. Panti Asuhan 2
78 BAB 77. Sick
79 BAB 78. Canda Pagi
80 BAB 79. Resah
81 BAB 80. Lancang
82 BAB 81. Berubah
83 BAB 82. Foto yang Lenyap
84 BAB 83. Bahagia itu
85 BAB 84. Harus Pulang
86 BAB 85. Permintaan
87 BAB 86. Curiga
88 BAB 87. Penjelasan
89 BAB 88. Kiriman Foto
90 BAB 89. Temuan Foto
91 BAB 90. Kunjungan
92 BAB 91. Pujian
93 BAB 92. Hadiah Spesial
94 BAB 93. Pilihan
95 BAB 94. Prahara Rumah Tangga
96 BAB 95. Jebakan (1)
97 BAB 96. Jebakan (2)
98 BAB 97. Jebakan (3)
99 BAB 98. Back to Home
100 BAB 99. Keputusan itu
101 BAB 100. Part Spesial 17-an (1)
102 BAB 101. Part Spesial 17-an (2)
103 BAB 102. Kabar Duka
104 BAB 103. Bukan Kesengajaan
105 BAB 104. Suasana Duka
106 BAB 105. Mengungkap Kasus
107 BAB 106. Puzzle Kerinduan
108 BAB 107. Teman Berbagi
109 BAB 108. Pembongkaran
110 BAB 109. Bazar
111 BAB 110. Pemilik Suara
112 BAB 111. Manisnya Kesabaran
113 BAB 112. Tindakan Operasi
114 BAB 113. Halal Love
115 BAB 114. Saving Private Baby (1)
116 BAB 115. ....... Baby (2)
117 BAB 116. ..... Baby (3)
118 BAB 117. ..... Baby (4)
119 BAB 118. Extra Part [End]
Episodes

Updated 119 Episodes

1
BAB 1. Kerelaan
2
BAB 2. Kontingen Hati
3
BAB 3. Pertikaian
4
BAB 4. Permintaan Menikah
5
BAB 5. Janji Kita Bersama
6
BAB 6. Keputusan
7
BAB 7. Sah
8
BAB 8. Malam Pertama
9
BAB 9. Sorry I’am Late
10
BAB 10. Si putih, Mou
11
BAB 11. Kasih Bertepuk Sebelah Tangan
12
BAB 12. Mashita!
13
BAB 13. Mirip Tawanan
14
BAB 14. Siraman Rohani Dadakan
15
BAB 15. Munakahat
16
BAB 16. Siratan Kenangan
17
BAB 17. Jiwa yang Sunyi
18
BAB 18. Surga Dunia
19
Bab 19. Sebuah Luka Lama
20
BAB 20. In The Kitchen
21
BAB 21. Nikah-Nikahan
22
BAB 22. Kamu Cantik, Istriku
23
BAB 23. Masih Sabar
24
BAB 24. Bertemu Kembali
25
BAB 25. Pingsan
26
BAB 26. Drama Amnesia
27
BAB 27. Rasa Bersalah
28
BAB 28. Fitting Baju
29
BAB 29. Acara Makan-makan
30
BAB 30. Kejadian Buruk
31
BAB 31. Perkelahian
32
BAB 32. Mimpi Buruk
33
BAB 33. Cewek Agresif
34
BAB 34. Percakapan Itu
35
BAB 35. Inspeksi Bulanan
36
BAB 36. Secarik Kertas
37
BAB 37. Hilang
38
BAB 38. Perkara Pakaian Takwa
39
BAB 39. Ada yang Beda
40
BAB 40. Keributan Kecil
41
BAB 41. Mengakui
42
BAB 42. Kalung Liontin
43
BAB 43. Tempat Indah
44
Bab 44. Berbagi Cerita
45
Ilustrasi
46
BAB 45. Berangkat
47
BAB 46. Ketahuan
48
BAB 47. Apa Iya Rindu?
49
BAB 48. Gelisah
50
BAB 49. Di Bully
51
BAB 50. Virus Merah Jambu
52
BAB 51. Cinta Sebenarnya
53
BAB 52. 'Andai'
54
BAB 53. Mencari Cara
55
BAB 54. Harapan
56
BAB 55. Semua Untukmu
57
BAB 56. Perasaan Sarah
58
BAB 57. Sakit
59
BAB 58. Cemburu
60
BAB 59. Honey
61
BAB 60. Kekalahan
62
BAB 61. Tebaik
63
BAB 62. Study Group
64
BAB 63. Tulus
65
BAB 64. Ikhlasku
66
BAB 65. Saling Mengungkapkan
67
BAB 66. Berjuang
68
BAB 67. Bahagia karena Cinta-Nya
69
BAB 68. Menunaikan Kewajiban
70
BAB 69. Memancing Asmara
71
BAB 70. Muroja'ah
72
BAB 71. Kelulusan
73
BAB 72. Rumah Baru
74
BAB 73. Kenalan Tetangga Baru
75
BAB 74. Modus
76
BAB 75. Panti Asuhan 1
77
BAB 76. Panti Asuhan 2
78
BAB 77. Sick
79
BAB 78. Canda Pagi
80
BAB 79. Resah
81
BAB 80. Lancang
82
BAB 81. Berubah
83
BAB 82. Foto yang Lenyap
84
BAB 83. Bahagia itu
85
BAB 84. Harus Pulang
86
BAB 85. Permintaan
87
BAB 86. Curiga
88
BAB 87. Penjelasan
89
BAB 88. Kiriman Foto
90
BAB 89. Temuan Foto
91
BAB 90. Kunjungan
92
BAB 91. Pujian
93
BAB 92. Hadiah Spesial
94
BAB 93. Pilihan
95
BAB 94. Prahara Rumah Tangga
96
BAB 95. Jebakan (1)
97
BAB 96. Jebakan (2)
98
BAB 97. Jebakan (3)
99
BAB 98. Back to Home
100
BAB 99. Keputusan itu
101
BAB 100. Part Spesial 17-an (1)
102
BAB 101. Part Spesial 17-an (2)
103
BAB 102. Kabar Duka
104
BAB 103. Bukan Kesengajaan
105
BAB 104. Suasana Duka
106
BAB 105. Mengungkap Kasus
107
BAB 106. Puzzle Kerinduan
108
BAB 107. Teman Berbagi
109
BAB 108. Pembongkaran
110
BAB 109. Bazar
111
BAB 110. Pemilik Suara
112
BAB 111. Manisnya Kesabaran
113
BAB 112. Tindakan Operasi
114
BAB 113. Halal Love
115
BAB 114. Saving Private Baby (1)
116
BAB 115. ....... Baby (2)
117
BAB 116. ..... Baby (3)
118
BAB 117. ..... Baby (4)
119
BAB 118. Extra Part [End]

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!