Apakah matahari sudah sebegitu dekat dengan bumi? Hingga teriknya begitu terasa ke ubun-ubun. Aku meneka-neka demikian karena tubuh sudah terasa bermandi peluh. Aku menengadah ke atas dengan menyipitkan mata, menahan silauan terik panas yang menyebar di bumi. Di langit, angin mendorong awan berpindah dan bergerak dengan begitu cepat. Hingga membuat awan bercerai berai.
Aku merasa angin lembut sedang mengitariku. Hembusannya mendepak dedaunan hingga berguling-guling tak tentu arah, akhirnya debu pasir pun menjadi imbasnya. Aku menyeka keningku yang berkeringat. Debu yang tadi aura auran dengan beringas melesat masuk ke mata.
Di lapangan Madrasah hanya ada kami, siswa kelas 12-A yang sedang mengikuti pelajaran Penjaskes yang diampu Pak Chandra. Guru olahragaku satu ini berbadan atletis, dengan warna kulit sedikit keling. Mungkin karena kerap mengekspose tubuhnya di bawah terik panas matahari. Seperti saat ini, di tengah lapangan dia memberikan arahan teknik melempar cakram.
“Semuanya coba perhatikan ke depan dan ikuti gerakan Bapak ya,” kata Pak Chandra dengan memegang sebuah benda yang berbentuk bulat pipih.
“Teknik awalan saat hendak melempar cakram pastikan posisi badan berdiri ke arah samping atas lemparan, kemudian kedua kaki dibuka selebar bahu. Usahakan kaki rileks dan tekuk sedikit ya.” Pak Chandra memberikan intruksi.
Seluruh siswa mengikuti setiap gerakan yang dilakukan Pak Chandra meskipun ada sedikit yang terlihat kesulitan melakukan gerakan yang seperti Pak Chandra inginkan.
“Jihan kakinya kurang ditekuk itu!” tegur Pak Chandra yang melihat Jihan masih agak kurang sempurna dalam melakukan gerakan.
Untuk masalah olahraga, yang merupakan bagian dari kecerdasan kinestetik, Jihan sepertinya memang terlihat sedikit below average. Kalau disuruh menendang bola futsal nendang ke mana sampainya ke mana, terus kalau disuruh buat servis bola voli, servisnya nggak stabil. Padahal kami yang senang olahraga sudah sering mengarahkannya supaya benar dalam melakukan servis, ya mungkin basic Jihan bukan di kinestetik. Jihan sih orangnya memang sedikit kalem. Sedikit ya? nggak banyak-banyak, beda sama aku yang pecicilan. Namun, untuk mata pelajaran lainnya Jihan jangan dianggap remeh. Dia begitu cakap terutama mata pelajaran bidang agama, nilai yang dia dapat hampir selalu A+. Sementara aku selaku langganan dapat C.
Sudah sekitar hampir satu jam tiga puluh menit berlalu, Pak Chandra menutup kegiatan pembelajarannya hari dan akan dilanjutkan kembali minggu depan.
“Baiklah sebelum Bapak tutup pelajaran hari ini, marilah kita berdo’a terlebih dahulu. Berdo’a dimulai.”
Anak-anak dengan khusyuk berdo’a sembari menengadahkan tangan berharap kebermanfaatan dan keberkahan atas ilmu yang diterima hari ini.
“Selesai,” kata Pak Chandra, mengakhir doa.
“Jangan lupa minggu depan tugas kalian adalah merangkum materi tentang sejarah permainan bola basket, dan teknik-teknik dalam bermain basket. Satu lagi pesan Bapak, setelah ini kalian pergi ganti baju olahraga kalian dan masuk ke kelas, karena selepas ini masih ada mata pelajaran lagikan?"
“Iya Pak,” jawab anak-anak serentak
“Oke, sekarang silahkan bubar.”
Seluruh siswa mulai membubarkan diri masing-masing dari barisannya. Aku dan Jihan berjalan melewati koridor sekolah menuju ruang ganti baju. Tak disangka saat aku melintas di depan ruang guru, terdengar suara menyeru namaku. Mata langsung memutar ke arah sumber suara. Yang tampak dari pantulan lensa mataku adalah sosok laki-laki berperawakan tinggi sekira 176 cm, dengan badan tidak terlalu kurus, tidak pula berbadan tambun. Cukup proporsional. Wajahnya tegap, dengan rahang kokoh yang ditumbuhi cambang, tatapan mata yang teduh, rambut hitam pendek. Yang membuatnya berbeda dia selalu mengenakan kopiah di kepalanya. Dialah Abang Azzam.
“Abang!” ucapku dengan ekspresi terkejut. “Abang ngapain di sini?” tanyaku heran.
“Saya baru saja menemui kepala sekolah, tadi mengantarkan berkas.”
“Berkas?”
“Iya. Insyaallah saya akan mengajar di madrasah ini.”
“Hei, Nisa, Jihan ikut kami ke kantin yuk!” ajak Fey. Belum sempat aku mau menanyakan lebih dalam lagi alasan Abang Azzam memilih mengajar di sini, Fey sudah datang untuk mengajak kami berdua pergi makan di kantin belakang sekolah.
Melihatku diam tak bergeming, Fey memanggil lagi. “Nisa, ayo!”
“Mari Pak! Eh Ustadz! Eh aku harus panggil apa ya?” tutur Fey seraya menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
“Panggil beliau Ustadz Azzam.”
Tiba-tiba suara Pak Chandra ikut nimbrung bersama kami yang tetap masih berdiri di depan ruang guru. “Betul Ustadz?”
Azzam hanya merespon ucapan Pak Chandra dengan seyuman.
“Maaf Pak, apa Ustadz Azzam akan mengajar kami di kelas kami juga?” tanya Jihan.
“Iya. Ustadz Azzam juga akan mengisi jam pelajaran Qur’an Hadist di kelas 12-A."
Aku melihat ekspresi Jihan begitu senang mendengar hal itu. Aku ikut tersenyum tipis.
“Sudah sana! Kenapa kalian belum juga ganti baju, kan Bapak pesan apa tadi? Apa mau Bapak denda?” nada Pak Chandra sedikit mengancam.
“Eh, tidak! Tidak Pak. Kalau gitu kita permisi dulu,” kata Sadam.
Tanpa basa-basi lagi aku bersama teman lainnya pergi menuju kantin dan bukannya malah mengganti baju. Rasa lapar sepertinya mengalahkan rasa ketakutan terhadap denda dan ancaman Pak Chandra pada kami.
***
Kami and the genk─Jihan, Sadam, Jovan, Fey dan Aku sudah berkumpul di kantin. Kami pastinya mau membeli mie ayam milik Pakde Yono yang terkenal enak ditambah dengan harga yang terjangkau untuk kocek anak sekolahan. Tak heran, warung ini menjadi tempat strategis untuk tebar pesona, sekedar ngerumpi, melakukan curhat atau memang benar-benar untuk makan mie ayam. Tak terkecuali Nisa and the genk.
Kantin mie ayam Pakde Yono terletak di pojok belakang sekolah tampak selalu ramai peminat. Di depan gerobak mie ayam Pakde Yono terdapat meja-meja yang memang telah disiapkan dan ditata dengan sedemikian rupa sehingga tampak teratur dan rapi. Meja-meja dan bangku-bangku yang panjang itu bisa muat banyak orang, sehingga katin kerap dijadikan sebagai semacam tempat untuk musyawarah informal bagi siswa sekolah tersebut.
Fey mengangkat tangannya, memanggil Pakde Yono. “Pakde, mie ayamnya lima seperti biasa ya!” pinta Fey.
Pakde Yono juga seperti sudah sangat paham dengan selera masing-masing lima orang itu sehingga tidak perlu lagi dia bertanya tentang ini dan itu.
“Nisa, aku mau nanya itu tadi Ustadz Azzam siapa kau, kenapa kau panggil dia dengan sebutan Abang?” tanya Jihan, menanyakan tentang Ustadz Azzam.
“Oh dia itu Abang aku, Abang sepupu,” ujarku, lalu menyeruput minuman es jeruk peras yang sudah tiba lebih dulu. “Kenapa? Naksir? Ntar aku salamin,” godaku.
“Eh! Nggaklah. Aku males nanti besanan sama kamu lagi.”
"Yee ngarep banget, itupun kalau kau jodoh dengan Abang aku, kalau nggakkan kita nggak akan besanan," komentarku.
“Males? Yakin? Jangan-jangan selama ini Jihan diam-diam naksir ama si Jovan lagi,” kata Fey mengompori.
Jovan menyugar rambutnya ketika mendengar namanya disandingkan dengan Jihan.
“Iyalah orang ganteng gini, jangan sampai di sia-siain,” kata Jovan mengerling nakal ke arah Jihan.
Jihan bergidik geli.
Semilir angin yang berhembus siang itu cukup menyejukkan santap siang kelima sahabat and the genk itu. Persahabatan kami bukanlah kaleng-kaleng. Persahabatan kami tulus. Siapa sangka kami pernah sama-sama dihukum oleh senior semasa orientasi sekolah. Kemudian sorenya kami tertawa-tawa mengejek-ngejek senior kami. Kami juga pernah pernah ikut lomba memancing hingga larut malam, sampai besoknya kami masuk angin, hingga mengalami hipotermia saat aktivitas memanjat gunung. Sudah banyak susah-senang yang kami lalui.
“Nisa,” panggil Fey.
“Hmm,” sahutku seraya meracik mie ayam yang barusan datang.
“Nanti malam kalau misalkan aku ajakin keluar, nggak apa-apa?” tanya Fey, dengan perasaan sedikit ragu.
Fey agak sedikit ragu ingin mengajak Dhanisa untuk keluar lagi karena sekitar seminggu lalu Nisa harus merasakan sakit kepala yang tak tertahankan sehingga mengharuskan dia untuk dirawat di rumah sakit.
Fey sendiri menduga ini karena kegiatan lomba memancing yang kami ikuti waktu itu, hingga Nisa kelelahan ditambah lagi suasana udara malam yang dingin. Jika dihitung kira-kira baru minggu ini Nisa pulih dan bisa masuk bersekolah lagi.
“Ya, nggak masalah. Tumben pamit dulu, biasanya juga langsung aja jemput di rumah.”
“Nggak. Aku nggak enak aja sama orang tua kamu, takut nggak boleh karena kamu jugakan baru pemulihan," balas Fey tidak enak hati.
Sebenarnya Fey mau-mau aja mengajak Nisa untuk keluar waktu sore, hanya setelah pulang sekolah mereka memiliki jadwal belajar tambahan di luar.
Mendengar obrolan antara kami berdua Sadam mendehem karena merasa ada teman yang terabaikan.
Sadam menyikut bahu Fey. “Kita nggak di ajak?”
“Nggaklah. Ini khusus dinner aku dengan Nisa, jadi nggak boleh ada salah satu dari kalian yang boleh ikut,” kata Fey, menolak.
“Ya sudah, beb Jihan kita buat acara berdua juga yuk?” goda Sadam.
"iiiiihhh... ogah banget," ujar Jihan dengan ekspresi geli.
“Terus aku sama siapa dong?” nada Sadam seolah sedih.
Kelima sahabat itu tertawa lepas tanpa ada beban, di bawah lembayung yang menyelimuti hari itu. Itulah sahabat tak menutut selalu hadir dikala bahagia tetapi juga masa sulit sekalipun, dengan setia merangkul berat ringan kesedihan yang dipikul. Merubah kesedihan menjadi canda tawa. Namun tidak selamanya sahabat akan terus menjadi sahabat, rasanya memang agak sulit untuk menjaga sebuah komitmen dalam sebuah pertemanan yang disebut sahabat. Perlahan semua bisa berubah seiring berjalannya waktu, karena terbiasa menghabiskan waktu bersama hingga membuat rasa nyaman itu hadir melebihi kadarnya. Sekiranya seperti itulah yang aku dan Fey alami saat ini, kita seperti sedang menyembunyikan rasa yang bergejolak.
Fey sendiri memiliki rencana, kalau nanti malam ia akan mengungkapkan semua perasaannya selama ini, yang ia sembunyikan di balik sebuah pertemanan.
***
Malam memang selalu menyita banyak perhatian yang menarik untuk disimpan dalam sebuah kisah. Gugusan bintang yang tercipta disandingkan dengan bulan merah tampak begitu dekat. Seperti menjadi riasan pengiring perjalanan kami.
Motor gede milik Fey melanju kencang menyusuri jalanan kota metropilitan yang sekarang telah mulai sepi. Gemerlap lampu jalanan menambah kesyahduhan jalanan malam itu. Aku memeluk erat pinggang Fey yang kala itu sedang membawaku menyusuri jalanan malam.
Aku merasa malam ini Fey ada yang berbeda, tidak biasanya dia mengajakku untuk makan ataupun sekedar nongkrong di kafe. Biasanya juga kami hanya nongkrong di warung Mak Ittah. Warung Mak Ittah yang kerap dijadikan sebagai basecamp kami berlima.
Tidak tahu rasanya lebih sedikit asyik dan terbuka kalau berkumpul di sana, sebaliknya kalau di kafe rasanya agak kaku, bukan tak biasa atau tak pantas hanya saja merasa tidak nyaman.
Tak perlu waktu lama motor Fey sudah masuk ke pekarangan.
“Ayo ikut aku,” ajak Fey dengan menggandeng manja tanganku.
Dia membimbingku untuk masuk ke sebuah taman yang dipenuhi oleh kerlap kerlip lampu dengan beragam warna. Tampak olehku orang-orang begitu menikmati suasana ini.
Terlebih lagi disokong biasan rembulan yang terlihat begitu temaram, menerangi setiap sudut malam.
‘Ah bisa juga dia menyiapkan moment ini dan membuatku terkesan’, aku membatin.
Kami kemudian mengambil posisi duduk berdampingan. Fey mengangkat tangannya, memanggil salah satu pelayan.
“Mbak, tolong pesanannya di antarkan ya.”
“Iya Pak, ditunggu ya,” kata pelayan itu.
Aku tersenyum sambil kedua tangan menutup mulut supaya Fey tidak tahu kalau aku menertawakannya.
“Kenapa?” Fey bertanya saat melihatku tertawa.
“Kamu kayak udah tua banget dipanggil Bapak. Udah punya anak berapa Pak?” ledekku.
“Ha-ha, nggak tahu tuh. Eh, tapi kalau aku dipanggil Bapak berarti kamu Ibunya dong,” balas Fey yang juga tampak tak mau kalah.
“Fey,” panggilku.
“Iya.”
“Tumben? Pasti ini ada maunya alias ada udang di balik batu." Aku menduga-duga.
Fey tertawa berderai memamerkan gigi yang gingsul. “Nggaklah, ini murni ajakan dari hati aku.”
Tidak lama pesanan Fey sampai juga. Sebuah ice cream cokelat dan roti keju kesukaanku terhidang di depan. Sementara Fey memesan minuman Nescafe favoritnya. Aku mulai melirik roti keju yang terhidang di depan bukan karena lapar tapi ada selembar potongan lembar kecil terselip membentuk lipatan. Perlahan tanganku menggapainya, sesekali padangan aku arahkan ke Fey, aku hanya melihat dia tersenyum tipis.
“Silahkan dibuka dan dibaca." Fey bersuara.
Langit tersenyum dalam birunya selimut putih
Ku lihat anak-anak bersorak sorai di tanah lapang berumput hijau
Mentari tersenyum manis penuh arti
Tiada yang mengalahkan biasannya yang menembus penjuru dunia
Seperti itu pula suara hati mengalahkan egokku
Aku harap perasaan ini tidak salah.
Ini saatnya aku ucapkan kalau aku
sedang menyimpan rasa padamu,
maukah kau terima perasaan ini....?
~Fey
Begitu bunyi isi kertas itu. Aku sejurus memandang Fey tanpa berkedip. Melihat ekspresiku Fey melemparkan senyuman termanisnya yang belum pernah aku lihat selama ini. Melihat dia demikian, aku merasa saat ini semu merah sedang mencuat dipipiku.
Fey mengarahkan jari telunjuknya ke arah kaki langit. Membuatku juga mengikuti arah pandangannya. Dia menggerakkan jari telunjuk menunjuk garis-garis imajiner pada bintang-bintang yang berkedip terang. Sekarang muka kami sama-sama menengadah.
"Sebuah hati," kata Fey.
Keningku mengeryit. Aku tidak melihat apa yang dia lihat.
"Nggak ada kok."
Dia meraih jari telunjukku lalu mengarahkannya membentuk pola hati.
"Bagiku bintang itu membentuk kontigen heart hati," katanya lagi.
Aku tersenyum gemas.
"Kamu mau memberi hati itu untuk aku?" tanya Fey sambil melirik lucu. Bulu matanya yang panjang dan lentik mengerjap-ngerjap.
Ungkapan rasa sementara aku ungkapkan lewat sebuah senyum yang mengembang dari bibir dan turut terbang bersama hati yang berdebar.
Belum ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Lama aku termangu diam menerawang entah apa yang aku pikirkan, melihat mukaku tak beriak, Fey menggerak gerakkan telapak tangan di depan mataku.
"Hoii. Malah bengong,” ujar Fey mengangetkanku yang tengah tercenung.
"Apa yang kamu minta pada langit malam itu?" Aku balik bertanya seraya menatap langit.
"Bintang yang paling kemilau," balasnya.
"Baiklah. Dewi malam akan memberikan itu untukmu. Satu bintang yang paling terang dan cantik," ucapku manis.
"Benar kamu akan rela memberikan bintang itu untukku?"
Aku mengangguk.
Fey begitu sumringah, "Bintang itu akan aku simpan di hati lalu menguncinya rapat-rapat."
Aku mengernyit, "Kenapa?"
"Supaya tidak ada orang yang bisa mencurinya paksa."
“Hmm...” Aku menggelangkan kepalaku.
"Bagaimana apakah aku masih perlu membalas untaian kalimatmu ini?" Aku memegang secarik kertas yang ada di dekat kue tadi.
Fey menggeleng dengan muka bersemu bahagia. "Nggak perlu, aku sudah tau jawabannya. Kamu mau menerima aku kan?" Matanya menatap harap.
Aku melemparkan senyum sepuluh centi. "Iya"
Fey yang mendengar pengakuanku seketika saja meloncat kegirangan, tak memperdulikan bahwa orang-orang sekitar sedang menoleh me arahnya.
Saat sebuah cinta terbalaskan bak kembang api yang meletus-letus. Tampak indah dan mengagungkan. Mungkin ini yang Fey rasakan. Tanpa basa-basi aku memintanya bersikap biasa.
“Fey, malu dikit dong dilihatin orang!” tegurku ketika melihat reaksi Fey yang berlebihan mengundang tatapan orang banyak.
Ia tak menggubris perkataanku. “Nisa setiap orang punya cara sendiri dalam mengekspresikan kebahagiaan cintanya. Caraku adalah dengan mengajakmu senyum bersama.”
Sepertinya malam ini akan menjadi malam di mana kami berdua sulit untuk sekedar memejamkan mata. Kebahagian yang terukir sebagai sebuah kejutan aku harap ada kejutan kebahagiaan berikutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
destia 56
pertama baca aku kira fey itu cewek🥲😂
2021-12-23
0
Defi Andriani
👍
2021-11-20
0
Defi Andriani
😬
2021-11-05
0