Embun di luar masih lagi belum lenyap. Suasana dingin dan kabut yang menyelimut membentang hendak menjemput shadiq keduanya. Sebuah objek lukisan alam yang diperankan dengan sangat baik disetiap harinya. Warna goresan yang telah terukir sebagai kanvas kehidupan memberikan arti sebuah cerita yang nyata terasa. Fajar awal disambut dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an yang menggema dari cerobong pengeras suara di masjid-masjid. Mereka-mereka, umat manusia selalu berusaha untuk memperkokoh keimanannya dengan melakukan ibadah-ibadah ‘spektakuler’ yang selalu menumbuhkan keyakinan bahwa Allah selalu dekat bersama dengan mereka.
Azzam masih melanjutkan lantunan ayat suci Al-Qur’an seraya menunggu berserunya panggilan adzan subuh. Dia membaca dengan qira’ah menggunakan suara indah, lembut tenang dan dihiasi dengan dua-tiga cengkok suara di bagian paruh pertama dan terakhir. Nada suaranya menggulung-gulung seperti gelombang. Yang jelas tajwid terdengar begitu fasih. Sebuah kombinasi yang indah, mengharukan sekaligus menyejukkan. Begitu pula kalau dia sedang mengajar di kelas. Saat mencontohkan cara membaca satu ayat dalam surah Al-Qur'an dalam sekejap lantunan suaranya seperti menjelma menjadi angin sejuk yang mendinginkan ruang kelas, meski kala itu cuaca panas terik karena musim kemarau. Dan pada subuh ini, agaknya dia akan membangunkan aku yang masih meringkuk di atas kasur dengan lantunan-lantunan indahnya itu.
Tubuhku mulai menggeliat, mencoba melawan hawa dingin yang menempel di pori-pori kulit meskipun sudah berbalut selimut. Dengan berat aku menopang tubuh, sendi-sendi terasa nyeri dan ngilu ketika digerakkan, kepala juga sedikit nyeri. Biasanya kalau gelajanya begini pertanda tubuhku sedang tidak fit. Semalam memang aku bersin-bersin tiada henti. Tangan aku arahkan ke keningku. Lumayan panas.
Aku masih duduk di tepian tempat tidur untuk mengumpulkan nyawa yang masih terbagi-bagi dan berkeliaran di alam mimpi. Mata juga masih terasa berat dan terkatup-katup.
Ketika mulai berdiri, tiba-tiba tubuhku sedikit terhuyung hingga menyenggol nakas yang di atasnya bertengger lampu tidur dan segelas air putih. Beruntung tanganku mampu menghalau lampu hias hingga tidak jatuh, namun gelas yang berada di sudut meja berhasil lolos jatuh ke bawah, hingga menimbulkan dentingan nyaring saat bertabrakan dengan lantai keramik. Kegaduhan yang aku ciptakan, sesaat menghentikan Abang Azzam melantunkan ayat suci Al-Qur’an.
“Nisa, kenapa itu?” Dia bertanya dengan sorot mata melihat ke arah lantai.
Aku membalasnya dengan senyum meringis.
“Tidak apa-apa, biar Nisa bereskan. Abang lanjutkanlah mengajinya.”
Aku langsung berlalu ke belakang mengambil sapu dan serokan sampah untuk membuang pecahan beling yang berserakan di lantai.
Tepat setelah aku membersihkan pecahan kaca, adzan subuh berkumandang. Aku bersegera menuju kamar mandi untuk mencuci muka yang masih kusut usai bangun tidur, lalu mengambil air wudhu.
Di sisi lain, Azzam yang telah menyelesaikan bacaan Al-Qur’an segera merapikan sejadah dan menyimpan kembali Al-Qur’an dalam rak bukunya. Setelah semua selesai, aku langsung membentangkan sejadah mengarah ke arah kiblat lalu mengenakan mukenah dan mengambil posisi sebagai makmum di belakang Abang Azzam.
Serangkaian demi rangkaian rukun sholat telah dikerjakan. Dzikir dan do’a setelah sholat menjadi penutup sebelum kami menyudahi sholat. Aku mendekat ke arah Abang Azzam untuk menyambut dan mencium punggung tanggannya. Tanganku tiba-tiba ditahan ketika aku hendak melepaskan tautan tanganku daripada tangannya.
“Nisa, panas nih?” katanya seraya menyentuh jidatku.
Aku pura-pura terkejut sembari tangan aku arahkan ke kening. “Hah, nggak kok, ini biasa nanti juga reda,” ujarku sambil melipat sajadah yang telah usai aku gunakan.
Aku berujar sendiri dalam diri, mungkin ini efek setelah sore kamarin aku duduk termenung di bawah guyuran hujan lebih kurang sejam lamanya.
Tangan Azzam secara tiba-tiba berayun menyentuh daguku, sontak aku langsung mendongak menatap lurus ke arah matanya. Sekarang mata kami saling bertemu. Aku melihat sorot mata Abang Azzam yang tajam namun meneduhkan ditambah dengan alis yang lumayan tebal, dan rahang yang tegas. Aku mulai meyakini bahwa mungkin inilah yang membuat para wanita terpikat dengannya. Fans-fansnya di luar sana bisa jadi akan merasa patah hati bila tahu kalau dia sudah tidak membujang lagi.
“Setelah ini, Nisa harus minum obat Paracetamol, ya?”
Aku berusaha untuk menghindar, dengan menundukkan kepala untuk menyembunyikan mukaku yang mulai memanas dan tegang. “Iya.”
Mukenah yang masih melekat di badan aku melepaskan dan menanggalkannya pada hanger. Tubuh Abang Azzam menghilang sebentar dari dalam kamar lalu kembali membawakan segelas air dan pil paracetamol yang diambilnya dari kotak obat.
“Abang, kita jadikan ke makam Ayah dan Ibu hari ini?”
“Iya.” Seraya menyodorkan gelas dan obat ke arahku, yang duduk di pinggir tempat tidur.
Obat paracetamol yang Abang Azzam berikan langsung aku ambil, lalu menelannya dengan cepat supaya lewat kerongkongan dibantu dengan tegukan segelas air mineral. Masih melekat sedikit rasa pahit obat itu di lidah.
Usai minum obat aku berbaring di tempat tidur, tapi tidak benar-benar memejamkan mata punggungku bersender di senderan kasur seraya memainkan handphone untuk membaca-baca artikel maupun pesan WhatsApp yang belum sempat aku balas.
Ufuk di timur mulai menyembul ke permukaan. Satu per satu lampu yang masih menyala di setiap ruangan sudah dimatikan. Tirei jendela yang masih tertutup rapat juga sudah disingkap kembali. Sinar matahari menembus kaca bening dan menusuk masuk ke dalam ruangan.
Langkah kakiku berayun meninggalkan kamar tidur, menuju pintu depan rumah. Aku mendorong daun pintu yang masih tertutup. Seketika saja udara segar melesat masuk dan meluncur deras masuk ke rongga hidung dan terhirup sebagai rakus-rakus oksigen.
Sembari menikmati suasana pagi sembari pula aku berolahraga kecil, di tengah keindahan dan kesejukan pagi saat itu. Dari kejauhan terdengar suara kokok ayam yang saling bersambut dengan kokok ayam lainnya. Mereka seperti sedang memberikan kode kepada saudaranya supaya sama-sama menyambut sinar matahari yang masih malu-malu untuk menampakkan wujud.
Selain tetesan embun yang belum mencari disela-sela rerumputan dan tanaman. Genangan-genangan air yang ditimbulkan akibat hujan seharian masih tercipta, membentuk kubangan di mana-mana. Tanah sepertinya belum mampu menghisap sekaligus air yang berlebihan.
Sebuah polygon indah terbentuk dari semburat tebaran cahaya mentari pagi. Aku langsung berlari ke dalam rumah kembali untuk mengabadikan momen itu dengan kamera ponsel.
Ting... Ting ...
Suara dentingan piring dengan sendok stainless menggema dari dapur. Aku yang tadinya berada di dalam kamar hanya berniat untuk mengambil handphone langsung berubah haluan berbelok menuju dapur. Tampak Azzam sedang membungkukkan badannya di depan kulkas sembari membongkar bahan makanan yang ada di dalam, sepertinya pagi-pagi sekali dia sudah ingin saja segera mengisi perutnya.
Dalam benakku tiba-tiba muncul ide untuk mengusik sedikit Ustadz satu ini. Hitung-hitung pembalasan sehari lalu ketika dia mengusikku saat belajar Fiqih. Aku bergaya layaknya seorang youtubers menyalakan kamera dan merekam setiap aktivitas dan rutinitas keseharian.
“Hai guys, sekarang aku sudah di dapur pribadi, nih,” sambil mengarahkan kamera ke setiap sisi dan sudut dapur. “Meskipun nggak luas-luas amat tapi enak dan nyaman kok buat dipakai memasak.”
Kamera sekarang mulai aku arahkan untuk menyorot aktivitas Abang Azzam.
“Sekarang aku di dapur sudah ditemanin oleh sosok yang sangat fenomenal,” gayaku. “Dialah seorang Ustadz yang sangat terkenal seantero sekolah, dia memiliki banyak penggemar lho di sekolah.”
Kelakuanku yang demikian membuat Azzam cengar-cengir sendiri.
“Ini dia guys, namanya Ustadz Azzam. Nama lengkapnya Azzam Alhusayn Zahidi. Aku nggak tahu arti namanya. Tapi kalau mau tahu tanya aja ke beliau langsung ya. Beliau ini orangnya sedikit usil, terus galak, tapi buat kaum hawa di luar sana aku yakin beliau pasti kriteria yang kalian carikan!? Ustadz Azzam ini juga sangat lihai dalam berqira'ah, lantunan ayat sucinya wihh... merdu banget. Dan jago masak lagi, ya nggak Ustadz?”
Lensa kamera kembali menyorot ke arahnya.
Ia tidak berkata namun hanya menyembulkan jempol di antara jari-jarinya yang sibuk mengolah masakan.
“Hmm... tuhkan, jadi sekarang buruan daftar buat isi hati Ustadz, siapa tahu di antara kamu ada yang beruntung, ntar aku kasih giveaway lho,” usikku dengan santai pada Abang.
Tak terima dirinya terus diusik saat memasak Abang Azzam lalu merampas handphone itu dari tanganku.
“Haloo...” Tangannya melambai ke lensa kamera yang masih terus menyala.
“Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh, ahlan wasahlan. Saudara saudariku yang senantiasa dirahmati Allah, terima kasih sebelumnya kalau ananda sekalian sudah menaruh kepercayaan dan perhatian lebih kepada saya. Sungguh dari hati yang paling dalam saya ingin mengklarifikasi sekaligus mendeklarasikan bahwa saya sepenuhnya telah menjadi milik hati sesosok wanita cantik dan baik. Dia adalah wanita pemilik kamera ini yang sekarang sudah menjadi istri daripada saya. Dan insyaallah istri dunia akhirat.” Gaya Ustadz Azzam bak seorang aktor terkenal yang sedang mengadakan konferensi pers di depan wartawan maupun penggemarnya.
Mendengar kalimatnya itu, aku sesaat diam tercenung. Apa sih yang dia dikatakan. Maksudku hendak mengerjainya tapi aku marasa malah aku yang dijahili dia. Aku lalu mengambil kembali kameraku yang masih berada digenggamannya.
“Ahm, sekian dulu ya channel aku kali ini. Bye. Bye.” Aku menyampaikan kalimat penutup itu dengan guratan senyuman yang tampak sedikit ditekan meskipun ini bukan channel youtube sungguhan tapi aku harus menutupnya dengan kalimat yang manis.
“Kenapa berhenti?” tanya Abang Azzam ketika aku sudah berhenti menyalakan rekaman kamera ponsel milikku.
“Nggak apa-apa," jawabku ringkas.
“Tadi semangat sekali, sekarang mukanya berubah berkerut.”
Aku membalasnya dengan senyum kecut.
Azzam selalu berusaha untuk membuat istrinya itu terkesan dan merasa nyaman hidup dengannya. Meskipun dia tahu, kalau Dhanisa belum mampu menerima takdir ini dengan ikhlas. Rumah tangga yang dibangun tanpa dipandasi cinta agaknya memang akan terasa sulit dan menyiksa. Tapi Azzam selalu menaruh kepercayaan dan doa bahwa Allah akan menurunkan perasaan cinta di hati manusia, maka tidak mustahil rumah tangga mereka ini suatu saat nanti akan dirahmati cinta.
***
Adakah musim yang tidak bisa terganti? Adakah masa yang tidak menghadirkan perubahan? Adakah rekaman kehidupan yang hilang dari pantauan kehidupan? Suatu saat, kita semua akan kembali lagi pada-Nya. Kematian sejatinya memang mungkin sudah menghentikan segala langkah yang berjalan beriringan dengan kehidupan.
Bukankah kita sudah diberitahu bahwa kehidupan di dunia hanya sebagai tempat persinggahan yang sifatnya fana. Tapi kehidupan yang sesungguhnya dan keberkekalan adalah di akhirat. Orang-orang terkasih mungkin memang sudah lebih dulu pergi menemui takdirnya hingga memutuskan kebersamaan. Tapi apa salahnya jika kita selalu memohon dan berdo’a agar bisa bertemu kembali di surga-Nya kelak. Aamin. Menyatu kembali dengan keluarga-keluarga yang terpisah di dunia.
Kematian hanyalah sebuah waktu untuk menunggu pertemuan berikutnya. Orang-orang yang telah lebih dulu pergi, hanya mengambil langkah lebih awal. Nanti kita akan bertemu juga di satu masa yang berbeda, ditempat yang berbeda pula. Maka kematian yang telah memutus kebersamaan manusia bersama orang-orang yang dicintai, sebenarnya hanyalah sebuah pertemuan kembali orang-orang yang telah pergi dahulu.
Tempat ini adalah sebuah kompleks sepi, beberapa bagian disetiap sisi jalanannya hanya di isi oleh pepohonan yang rimbun. Suara derap langkah kakiku mendekak-dekak lewat sepatu yang aku kenakan. Suara yang sama kemudian menyusul di belakangku. Aku datang kemari hanya berdua dengan Abang Azzam.
Kami sedang menyusuri bagian demi bagian area pemakaman, untuk menuju batu nisan. Tanah-tanah merah yang lembab lagi basah, menempel pada bagian bawah sol sepatu.
Sekarang aku telah merapatkan diri mendekat ke arah pusara dengan batu nisan yang sudah di semen sekitar setengah meter kali satu meter dengan tulisan nama si fulan yang tertera di atasnya, tampak juga batuan kerikil-kerikil kecil di atas permukaan gundukan tanah.
Tanpa berlama-lama bertaburan bunga aku tebar di atas gundukan tanah yang di atasnya telah diisi hiasan kerikil-kerikil putih. Sesaat, rasa rindu itu tiba-tiba muncul kembali, ketika aku menatap nanar tiga batu nisan yang berderet-deret. Dialah pusara ibu, ayah kandungku dan juga Abang Khalid, sepupuku lebih tepatnya anak Paman Ahsan dan Bu Hamidah, yang sekarang menjadi orangtua keduaku.
Sudah lima tahun mereka pergi ...
Tanganku bergetar ketika menyentuh permukaan batu nisan. Terasa dingin. Seperti rumah yang sudah lama tidak disinggahi.
“Ibu, Ayah dan Abang Khalid. Ini aku Dhanisa. Dhanisa putri kecil kalian yang dulu pernah kalian rangkul ketika sedih, peluk ketika rindu, cium ketika sayang. Aku datang untuk melihat kalian di sini.” Mulutku bergumam dengan begitu lirih.
“Aku rindu kalian,” suaraku mulai tercekat.
Suara alunan melodi burung-burung yang bertengger di pohon sekitar, seolah mengisyaratkan supaya jangan ada lagi lubang di dalam dada yang bisa membentangkan kepedihan. Betapa kepergian mereka mendatangkan luka bagiku. Aku seperti sedang menatap diriku sendiri yang hidup sendirian.
Pandangan aku edarkan ke sekeliling makam. Beberapa meter jaraknya, aku melihat pusara yang sekitarnya dihinggapi rerumput yang tampak mulai meninggi di beberapa sisi makam, tulisan nisannya mulai memudar. Aku berpikir kemanakah keluarga si fulan. Adakah dia datang untuk berziarah ke sini. Atau mereka sebenarnya hadir melalui lantunan do’a hanya saja tak mampu untuk bersua langsung ke pusara almarhum.
“Nisa, mari kita panjatkan do’a,” Suara Abang Azzam mengalihkan kembali pandanganku untuk menatap pusara di depan.
Lantunan dzikir dan do’a mengalir dari lidahku dan tercurah untuk mereka yang telah lebih dulu pergi. Abang Azzam membimbingku untuk beristigfar tiga kali, membaca surah Al-Fatihah, dilanjutkan dengan surah Al-Ikhlas tiga kali, surah Al-Falaq, surah An-Nas, lalu melafalkan kalimat tahlil sebanyak tiga puluh tiga kali, dan penutup membacakan do’a. Kami lalu menyiram gundukan tanah dengan air yang telah disiapkan.
Setelah selesai aku merapatkan kembali tubuhku. Sekali lagi, aku mengusap-usap nisan mereka yang basah usai terguyur dengan air. Pandanganku buram dan terasa perih meski tidak meneteskan air mata, tapi aku merasa ada cairan bening yang tertumpuk-tumpuk di pelupuk mata. Rasanya sudah berat dan hendak tertumpah. Tapi dalam hati aku pahami bahwa jika rindu bisa saja aku menangis. Baik itu ditumpahkan dengan air mata, ataupun menangis dalam hati.
Abang Azzam sedari tadi belum ada mengeluarkan sepatah katapun, kecuali ketika mengucapkan dzikir dan do’a tadi. Sepertinya dia berusaha membiarkan ku untuk melepas rindu saat ini, karena dia tahu hari kemarin aku sangat emosional dalam mengekspresikan kesedihan hingga rela berbasah kuyup di bawah derasnya derai hujan.
“Ayo kita pulang,” ujarnya seraya tangga mengusap-ngusap punggungku, perlahan. “Nisa mau kemana setelah ini? Atau kita jalan? Tentukanlah sesuai keinginan hati Nisa.”
Aku belum memberi jawaban pertanyaan Azzam sekarang, karena aku juga belum tahu mau ke mana setelah ini. Yang jelas aku tentu belum hendak pulang ke rumah. Singkat saja. Dalam hati di depan tiga pusara ini, aku mengucapkan kalau aku akan pergi sekarang.
Aku bangkit lalu berjalan keluar area pemakaman. Sebelum masuk ke dalam mobil, aku menoleh kembali ke arah makam. Bukan ucapan selamat tinggal, sebab aku tahu kalau perpisahan ini hanya sementara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Bonteng Cihuy
HAI KAK aku hadiahi kamu bomlike disetiap bab+ rate biar makin semangatt....
jangan lupa fade back ya..ayo kita saling mendukung
ditunggu bomlike +rate 5 nya
salam hangat
2020-05-02
0
Yuyue😄🙏
huuuu asikkk
2020-05-02
0
Listya
semangat update yaa 💞
2020-05-01
0