Dari arah balkon rumah Fey terdengar suara decitan-decitan lirih seperti suara benda tajam yang mengesek-gesek kaca. Merasa terganggung Fey, segera mencari bunyi suara itu.
“Mouzine, kamu kok di luar? untung kamu nggak hilang atau nyelinap ke rumah tetangga. Bisa-bisa aku yang dimarahi Nisa,” kata Fey sambil membukakan pintu balkon yang semulanya tertutup.
Berbicara tentang Mouzine. Mouzine adalah kucing jalanan yang kami temukan terlatar di Pasar Minggu ketika kami sedang mencari berita untuk tugas wawancara, tepatnya tugas Bahasa Indonesia dari Bapak Yardani, sekitar tiga minggu lalu.
Mouzine, Nisa titipkan kepada Fey dengan alasan kalau ibu dan ayahnya tidak suka dan alergi terhadap bulu kucing. Akhirnya, Nisa meminta agar Mouzine tinggal di rumah Fey saja. Mulanya mereka tidak pula menghiraukan meongan kucing terlantar itu, namun karena dia selalu menggosokkan badannya ke kaki dan mengekor kemana pun mereka pergi, akhirnya mereka berdua merasa iba juga. Agaknya 'si empus' tahu kalau dua orang ini adalah orang baik yang akan menyayangi dan merawat dia dengan penuh kasih sayang. Tanpa pikir panjang keduanya memutuskan untuk mengadopsi kucing berbulu putih lusuh itu sekaligus memberikan nama manis untuk si kucing dengan nama, Mouzine.
Fey tak merasa keberatan jika Mouzine tinggal di rumahnya karena di keluarga mereka juga menyukai hewan berbulu yang menggemaskan satu ini, yang disebut sebagai teman sejati sekaligus sahabat bagi manusia, dan salah satu hewan kesayangan baginda Nabi Muhammad SAW. Dari cerita yang mereka ketahui, bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki kucing peliharaan yang diberi nama Mueeza. Ini pulalah yang menginspirasi keduanya untuk memberi nama kucing berbulu putih itu dengan nama Mouzine, supaya mirip dengan Mueeza.
Diceritakan pada masa itu nabi hendak mengambil jubahnya, namun ketika itu pula nabi mendapati Mueeza sedang meniduri jubahnya. Tak ingin menganggung hewan kesayangannya itu, nabi pun memotong belahan lengan yang ditiduri Mueeza dari jubahnya. Ketika Nabi pulang ke rumah, Nabi sudah mendapati Mueeza merunduk sujud kepada majikannya. Masyaallah.
Bahkan ada sebuah hadist yang melarang manusia untuk tidak menyiksa kucing, sebagaimana riwayat Abdullah bin Umar ra: Bahwa Rasulullah saw, bersabda: seorang wanita disiksa karena mengurung seekor kucing sampai mati. Kemudian wanita itu masuk neraka karenanya, yaitu karena ketika mengurungnya ia tidak memberikan makan dan tidak pula memberinya minum sebagaimana ia tidak juga melepasnya mencari makan dari serangga-serangga tanah [Shahih Muslim No. 4160]. Berdasarkan hadist tersebut, seorang muslim diperintahkan untuk tidak atau membunuh kucing. Hadist ini adalah hadist shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari kisah Abdullah bin Umar dan Abu Hurairah.
“Fey, makan malam!” Mama memanggil Fey sambil meletakkan ayam dan juga telur ceplok di atas meja makan. “Sudah jam berapa ini, kita ada janji lho setelah untuk datang acara do’a selamatan keluarga Bapak Harun!” gerundel Mama, lalu duduk di kursi makan.
Derap langkah menuruni tangga terdengar, tak lama kemudian Fey turun ke lantai bawah sambil menggendong Mouzine yang ditaruh di dadanya. Papa dan mama Fey juga sudah ada di bawah untuk makan malam sama-sama.
"Mam, makanan Mouzine tinggal ini lagi?”
Fey bertanya karena mendapati bungkusan makanan khusus kucing yang ada di lemari tinggal sedikit.
“Mana Mama tahu, Fey. Kamu ih, Mouzine aja yang diurusin, sudah sana makan!” seru mama, melihat Fey hanya sibuk mengurus kucing. “Coba tanya aja tuh tanya sama Kak Rinda," kata mama sambil menuangkan sayur soup ke mangkok.
Fey mendapati Kak Rinda masih menguyah makanan yang barusan disuapkan ke mulutnya.
“Kak, mana makanan Mouzine yang lainnya? kok tinggal segitu?”
“Kakak bagi dengan Bhoni.” Bhoni adalah sejenis kucing persia peliharaan Kak Rinda. “Nanti Kakak bakalan mampir lagilah ke Petshop buat beli makanan buat mereka.”
“Ya udah deh Kak.”
Malam ini menjadi moment untuk keluarga itu berkumpul dan bertukar cerita, tidak biasanya. Kalau papa memang selalu ada menemani kami untuk makan malam, tapi kalau mama tidak demikian. Maklum saja, kegiatannya melayani pasien yang tiada henti terkadang harus membuatnya lembur. Kebetulan untuk hari ini mama menyempatkan waktu untuk sekedar menghadiri acara Bapak Harun, rekan kerja papa. Tidak enak juga hendak menolaknya, mengingat keluarga Bapak Harun cukup banyak membantu usaha papa dalam bidang konveksi.
“Kak, kakak ada problem selama kuliah ini?” Papa bertanya disela makannya. Papa memang sudah terbiasa menanyakan tentang apa-apa kesulitan yang kami alami. Ia orang yang bertanggung jawab dan peduli dengan anak-anaknya bahkan sangat dekat dengan anak-anak. Ia tidak ingin kalau ada salah satu dari anaknya yang memiliki masalah namun tidak diberitahu kepadanya.
“Nggak ada, Pah”
“Baguslah. Kamu Fey?” sekarang tiba giliran Fey lagi yang ditanya.
“Ngak ada sih, Pah. Cuma ya itu.” Fey ragu melanjutkannya.
“Ya itu apa, Fey?” Papa bertanya masih dengan gaya santainya sambil menyeruput segelas susu cream coklat.
“Hasil ujian Matematika, Kimia, dan Fisika, Fey belum bagus-bagus amat, Pah.”
Fey mengunyah nasi pelan-pelan, melirik papa karena ingin tahu apa tanggapanya.
Mama yang pada saat itu juga ada duduk makan bersama ikut menyahut. “Itu tuh kalau kerjaannya kumpul-kumpul nggak jelas, dan Mama sering liat akhir-akhir ini kamu lebih sering jalan bareng dengan teman wanitamu. Jangan-jangan dia penyebabnya. Dulu yang Mama tahu waktu SMP nilai kamu bagus-bagus aja.”
Fey tadi ingin membantah perkataan mama yang seperti menyalahkan Dhanisa. Seolah-olah sejak Fey berteman dengan Nisa nilainya menjadi anjlok. Tapi niat itu segera direda, takut-takut kalau Fey melawan, mamanya akan merubah menjadi Hulk malam-malam. Hulk yang siap memakan manusia yang berada di depannya.
Berbicara tentang perubahan akademis, Fey pernah bercerita pada papanya kalau ia sekarang ingin melepaskan dari kungkungan mamanya. Ia ingin mencoba bagaimana rasanya sedikit bermalas-malasan seperti yang pernah dilakukan teman sekelasnya. Itu pertama kalinya Fey memberanikan diri menyampaikan uneg-unegnya kepada sang papa.
Fey bernapas lega, sepertinya Papa menerima dan mendengarkan curhatan anak laki-lakinya. Makanya setiap mama berbicara tentang hasil belajar Fey secara akademis, papa jarang untuk mencampuri, ataupun mengucapkan sesuatu untuk Fey agar melakukan seperti apa yang mama minta karena papa tahu tentang apa yang aku rasakan saat itu. Sejak Fey mencoba melepaskan diri dari preassure, agaknya membuat ia tahu bahwa sesungguhnya belajar yang demikian lebih menyenangkan dan mengasyikkan tanpa harus ambisius, tapi tetap juga mengerti akan kewajiban sebagai seorang siswa yang patuh untuk mengerjakan tugas-tugas dan beberapa makalah dari sekolah, jika diminta.
Otak Fey meretrif kembali ingatan tiga tahun silam, ketika dirinya masih duduk di sekolah menengah pertama (SMP). Dulu papa dan mama berkerja sama untuk terus mengatur Fey agar mengurangi kegiatan bermain dengan teman-teman dan lebih banyak belajar dan latihan, alhasil memang nilai Fey sangat memuaskan beberapa kali ia meraih juara umum bahkan kerap dikirim untuk mengikuti olimpiade, sampai tamat sekolah SMP-pun Fey, mendapat julukan “si siswa teladan”. Namun satu yang Fey rasakan masa itu, di mana batin meronta. Ketika terus dipaksa untuk mengikuti keinginan orang tua.
Seiring dengan pertambahan usia, agaknya Fey mulai berpikir maju. Ia berpikir akan nasib dirinya sendiri, yang mirip dengan boneka selalu diminta untuk melakukan apa-apa yang orang lain senangi sementara diri sendiri tidak senang, tersiksa. Mungkin selama ini dia melakukan semuanya untuk menyenangkan orang lain tapi sekarang ceritanya lain. Fey ingin lakukan apa yang bisa menyenangkan dirinya sendiri. Tak perduli lagi tentang apa yang orang lain katakan dan pikirkan. Ia hanya ingin mencoba untuk mengeksplore dirinya sendiri.
Sekolah! Sekolah! Belajar! Belajar! Nilai! Nilai! kata-kata itu saja yang mendengung di telinga. Katanya sih supaya masa depan menjadi cerah dan kehidupan menjanjikan. Setelah Fey coba interpretasinya lagi, ternyata sekolah bukan hanya tentang nilai, dan belajar bukan hanya bisa dilakukan si sekolah saja, tapi di manapun.
Papa hanya bertopang dagu, dan menatap anak laki-lakinya dengan kening berkerut. “Kamu butuh les tambahan? tapi kalau kamu nggak mau sudah, Papa nggak maksa sih! ini cuman solusi dari Papa aja kok.” Sepertinya Papa belum tertarik untuk mengulas tentang teman wanita yang dimaksud mama.
Perkataan Papa tiba-tiba cukup membuat Fey tersadar dari lamunannya.
“Nggaklah, Pah. Pagi kan Fey mesti sekolah dan sorenya ikut les tambahan di sekolah. Kapan lagi coba lesnya?”
“Bisa kok, Fey. Sekarang kan zaman modern kita bisa belajar kapan pun dan dimana pun, aplikasi belajar juga banyak bertebaran di dunia maya, nanti biar Papa carikan situs aplikasi belajar yang tepat buat kamu, supaya nggak selalu keluyuran malam-malam.”
Solusi yang Papa berikan cukup membuat Fey sedikit tenang. Ia mengira akan diomeli apalagi ditambah dengan perkataan mama tadi yang tadi mencoba mengompori papa.
“Fey" Papa menyipitkan sebelah matanya ke arahku.
“Siapa wanita yang kata Mama itu?” Papa bertanya saat melihat Mama sedang tidak ada di ruangan tempat mereka makan.
Fey agak malu ketika hendak mengatakannya. “Temen, Pah”
“Temen apa teman?” Kak Rinda ikut pula mengompori ayah.
Papa mengangkat dagunya seperti antusias sekali ingin mendengarkan pengakuan Fey.
“Hmm, Fey jujur, dia pacar Fey.”
Seketika pada berjalan mengarahku dan menempuk pundakku. “Nggak masalah, asal nggak lupa buat belajar.”
Fey bernapas lega dan tampak lebih bersemangat. “Bener, Pah? Fey janji akan belajar dengan giat.”
“Ngomong-ngomong anak perempuan Papa satu ini gimana?” Papa sepertinya mau menjahili Kak Rinda juga. Satu lagi yang aku suka dari papa dia orangnya nggak suka ngekang ini dan itu, ia selalu mendukung apa yang anak-anak suka dan selama itu baik.
“Apa sih, Pah?” Kak Rinda mulai malas menanggapi Papa.
“Pacar. Jodoh.... jodoh gitu.” Papa menggoda Kak Rinda.
“Udah! udah! berbualnya, sekarang sudah mau masuk isya, mendingan sekarang aja kita berangkatnya. Mama yakin pasti sudah banyak juga tamu yang datang ke sana.
Ucapan mama menghentikan aksi papa untuk terus menggoda dua anak-anaknya yang sudah pada beranjak dewasa.
***
Suara deru kendaraan yang membawa keluarga Fey telah tiba juga di rumah Bapak Harun. Dari dalam kaca mobil, tampak orang-orang satu per satu masuk ke dalam rumah. Sementara di depan pintu tampak Bapak Harun juga menyalami satu-satu tamunya yang datang silih berganti.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”
“Alhamdulillah akhirnya datang juga memenuhi undangan.” Senyum semringah dari muka Bapak Harun ketika melihat kami datang bertamu ke rumahnya.
“Alhamdulillah, masih diberi kesehatan jadi kami masih bisalah berkunjung ke rumah, Pak Harun,” kata Papa, yang juga senang disambut hangat oleh tuan rumah.
“Ini siapa si bungsu ya?” tanya Bapak Harun.
Fey langsung menyambut tangan Bapak Harun, ketika laki-laki paruh baya itu menanyakan tentang dirinya.
“Saya Fayzulen, Pak,” sambutnya dengan mencium tangan lelaki paruh baya tadi.
Bapak Harun menyodorkan tangannya untuk mempersilahkan kami masuk ke dalam. Fey mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, tampak olehnya beberapa tamu sudah duduk berbaris memenuhi ruangan. Lama Fey memandang hanya sekedar untuk mencari tempat yang pas untuk dirinya, sementara mama dan Kak Rinda sudah masuk ke dalam lewat pintu samping rumah. Fey dan papa bergabung dengan tamu laki-laki lainnya yang berada di ruang tamu.
Tidak lama setelah kami duduk, Bapak Harun juga masuk ke dalam rumah untuk bergabung dengan para tetamu lainnya. ‘Sepertinya acara sudah akan segara dimulai’ pikirku. Tapi sudah lima menit kami duduk belum juga ada tanda-tanda orang akan melakukan mukadimah. Papa yang tampaknya sama penasaranya dengan aku akhirnya bertanya. “Kenapa Harun ini belum dimulai, ya?”
“Kita lagi menunggu ustadz yang akan memimpin jalannya do’a malam ini”
Fey yang turut menguping pembicaraan, mengangguk mengerti.
“Assamu’alaikum.” Suara itu terdengar beberapa saat setelah kami bertanya tadi dengan Bapak Harun.
Melihat orang yang sudah ditunggu datang, Bapak harun seketika bangkit dari duduknya untuk mempersilahkan Bapak Ustadz duduk di tempat yang telah tuan rumah sediakan.
“Wa’alaikumsalam. Silahkan masuk, Ustadz,” sambut Pak Harun, ramah.
“Maaf, kalau saya agak terlambat, Pak Harun," sahut suara tamu yang barusan datang.
Fey, meraup handphone-nya dari saku celana, lalu membuka kunci layar ponsel dan membaca pesan-pesan japri maupun chat grup via WhatsApp yang belum sempat dibalasnua. Ketika acara mukadimah akan dimulai barulah Fey menyingkirkan kembali handphone ke dalam saku celana.
“Baik, apakah sudah bisa dimulai?” tanya Ustadz.
Punggung Fey yang awalnya duduk bersandar dengan dinding, sekarang coba ia bergerak majukan sedikit, sekedar untuk melihat siapa Ustadz yang akan memimpin do’a malam ini. Ia melihat seorang laki-laki dengan memakai kacamata, dengan rahang kokoh yang ditumbuhi cambang, dan tak lupa memakai jubah putih dibarengi dengan sorban yang melekat di kepalanya. Fey, tak asing. Ya, sekarang ia baru tahu kalau itu guru yang mengajar Al-Qur’an Hadist di Madrasah Aliyah Muallimin. Siapa lagi kalau bukan Ustadz Azzam.
Para tetamu sudah mulai berta’awuz, kemudian membaca sholawat nabi, doa, dan dzikir. Acara baru selesai pada pukul 09.00 WIB. Setelah acara ditutup, para tetamu dijamu dengan berbagai macam jenis kue yang sudah ditata rapi dan berjajar dalam sebuah piring, supaya orang mudah untuk menggapainya. Fey pun yang tak mau ketinggalan juga ikut mencicipi kue-kue yang ada di depannya.
Barulah pukul 09.20 WIB orang-orang satu per satu mulai pamit pada tuan rumah, sekaligus mengucapkan terima kasih karena sudah menjamunya dengan baik. Fey sepertinya harus pulang agak terakhir karena menunggu Papanya yang masih sibuk berbual dengan Bapak Harun. Maklum saja, sudah lama memang mereka tidak ngobrol bareng, bagi mereka inilah kesempatan baik untuk mereka berbagi cerita.
Fey yang tidak punya teman untuk diajak bicara lebih memilih untuk keluar dan duduk di teras rumah. Baru hendak ia merapatkan duduknya ke lantai, matanya sudah tertuju pada wanita berjilbab, melintas tepat di depannya.
“Nisa, kamu ke sini juga?”
Ada yang menyapanya, sontak wanita itu berhenti.
“Ahm, Fey. Ka-kamu?” tampak Nisa terbata-bata, ketika melihat Fey juga ada di sana.
“Kamu, ke sini dengan siapa?”
“A-aku ke sini dengan Abang. Iya Abang,” jawab Nisa dengan perasaan cemas dan was-was, takut kalau Fey tidak percaya dengan ucapannya.
“Abang? siapa?” Fay mencoba menanyakan kembali.
“Iya abang sepupulah”
Fey mengangguk.
“Kamu belum pulang?” tanya Nisa, mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Oh, belum. Papa masih di dalam ngobrol dengan Bapak Harun. Kamu?”
“Aku ini sudah mau pulang”
Suara klakson mobil memutus obrolan keduanya. “Ahm, aku pulang dulu. Assalamu'alaikum”
Dengan langkah yang agak terburu-buru Nisa berlalu meninggalkan Fey, yang masih berdiri di teras rumah.
"Wa'alaikumsalam," jawab Fey lirih.
Entah kenapa setelah Nisa berlalu, Fey merasakan ada yang aneh dari Nisa. Fey mengusap pelan mukanya, mencoba menyingkirkan pikiran yang tidak-tidak tentang kekasihnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Naira Aliya
akan ada air mata di kehidupan Fey.. Nisa cpat lah kau jujur kasihan Fey biar dia tdk menaruh lagi harapan pada mu
2021-08-08
0
Afseen
kasian kasian fey
2021-02-13
0
Keyla Rosiana
gemes
2020-10-02
0