Drama yang di lukis alam tiada habis. Ia masih terus berarak bersama gerak langkah hidup manusia. Waktu tidak pernah bisa disalahkan karena dia hanya sekedar ingin memberitahu dan mengingatkan kapan cerita harus berhenti dan kapan cerita harus dilanjutkan.
Waktu telah menjadi spekulasi yang mendebarkan. Apa yang akan terjadi hari ini? Atau esok hari? Semua dibungkus rapi dalam tabir misteri. Begitu pula dengan pertemuan selalu menjadi ajang yang mendebarkan.
Apakah pertemuan itu bagian dari nasib? Karena orang selalu bertanya-tanya, bagi mereka yang percaya lalu mendeklarasikan dirinya sebagai peramal ulung mengatakan bahwa orang tidak bertemu begitu saja. Pasti ada sesuatu dibalik itu. Bukankah begitu banyak hidup yang berubah lantaran disebabkan pertemuan.
Hari ini Sarah Butik tampak ramai dari biasanya. Satu per satu pelanggan datang atau sekedar singgah untuk melihat-lihat produk baru yang ditawarkan. Gadis berkhimar dengan cekatan dan lincah melangkahkan kakinya kesana kemari demi melayani customernya yang membludak, beruntung hari ini Tante Arini datang membantunya.
Dari hasil bertanya ke beberapa customernya, mereka mengatakan sengaja membeli baju jauh-jauh hari sebelum bulan Ramadhan dan Idul Fitri datang, karena kalau sudah mepet-mepet mendekati hari H pasar-pasar akan lebih penuh dan beberapa oknum pedagang terkadang dengan sengaja menaikkan harga barang menjadi dua kali lipat.
Sekitar pukul 11.30 WIB keduanya baru bisa merenggangkan badan atau sekedar istirahat mengisi santap siang, karena pengunjung mulai berkurang satu per satu hingga yang tersisa bisa dihitung dengan jari.
Tak berselang lama setelah itu mobil berwarna putih berhenti tepat di depan Sarah Butik. Sepertinya tujuan mereka memang hendak ke butik itu.
Gadis berkhimar yang tengah menyeruput segelas es campur yang baru dipesannya tanpa sengaja menoleh ke arah pintu butik yang masih terbuka. Yang berhasil ditangkap oleh indra penglihatannya adalah seorang pria bersama dengan perempuan paruh baya yang berusia kira-kira lima puluh tahunan lebih.
“Selamat datang di Sarah Butik, ada yang bisa dibantu?” Tante Arini datang menyambut ramah customer yang baru masuk.
Mata gadis berkhimar itu sedikit tercenung, sepertinya ia tidak asing dengan laki-laki yang barusan datang ke butik. Dia mencoba menggali lagi dalam-dalam ingatan tentang laki-laki itu.
“Az.. Azzam. Bukannya itu Azzam?” ucapnya kemudian.
Azzam membalas pertanyaan Tante Arini dengan ramah pula. “Ouh, kami kemari ingin mencari-cari gamis, kata Umi di sini selalu update produk-produk terbaru dan bagus sekaligus harga bersahabat.”
Tante Arini mengangguk. "Betul sekali, di sini kami selalu mengupdate produk baru mulai dari gamis, gaun pesta, gaun pengantin pun ada. Siapa tau Mas yang ganteng ini nanti sudah menemukan jodohnya. Bisa mampir fitting baju ke sini."
Azzam tertawa masgyul. “Iya lain kali kita akan coba mampir ke sini untuk fitting baju pengantin."
"Coba fitting baju pengantin? Berarti Mas-nya belum menikah ya? Dan baru on the way menikah!" Tante Arini tersenyum merekah.
"Oh, tidak. Kalau saya sudah menikah."
Raut Tante Arini seketika berubah kecewa.
"Kenapa memangnya?" tanya Azzam ketika melihat raut wajah perempuan itu sumringah.
Tante Arini tersenyum rikuh. "Padahal maksud saya, mau menikung Mas-nya loh," gurau Tante Arini, setelahnya terkekeh.
Azzam ikut tertawa pelan.
“Baiklah, ini katalognya boleh dilihat dulu.” Tante Arini mengangsurkan katalog yang diambilnya dari meja Sarah.
Seperti biasa Sarah Butik selalu memberikan katalog terlebih dahulu pada pengujungnya tentang produk-produk yang ada di toko ini, karena tidak semua barang dipajang di butik sebagian disimpan dulu jika ada yang ingin membelinya baru dikeluarkan.
“Mashaallah, gamisnya bagus-bagus warnanya juga begitu cantik dan kalem. Sepertinya ini menyamakan dengan sang pemiliknya, ya?” kata Umi Salamah memuji, ketika melihat koleksi-koleksi gamis di buku katalog yang dipegang.
“Umi tau aja. Kalau Umi mau lihat pemiliknya, itu dia di sana, ” ujar Tante Arini seraya melayangkan arah telunjuknya ke arah Sarah yang masih duduk di bagian bilik tengah butik.
Gadis berkhimar itu lalu tersenyum ke arah konsumen karena sudah terlanjur Tante Arini memperkenalkannya. Akhirnya, ia berjalan menghampiri kedua konsumen mereka yang masih berdiri di ambang pintu kaca butik.
“Assamalu’alaikum. Selamat datang di Sarah Butik, semoga Umi bisa terkesan dan bisa berlanganan dengan butik kami,” kata Sarah dengan nada suara yang halus dan lembut. Bukan dibuat-buat memang begitulah adanya. Sarah, si gadis berkhimar bersuara kecil dan agak serak.
“Terima kasih, Nak. Umi mau lihat-lihat ke dalam dulu, yah?”
“Mari Umi silahkan,” kata gadis itu kepada Umi Salamah.
Dia lalu memberi kode pada Tante Arini supaya menemani Umi Salamah memilah-milah barang yang ada di dalam butik. Sekarang tinggal-lah si gadis berkhimar dengan Azzam di bagian ruang depan butik.
Sama seperti Sarah tadi, Azzam seperti sedang men-scan rekaman wajah si wanita yang seperti pernah dilihatnya. Berkerut-kerut dahinya ketika mencoba mengingat-ngingat.
“Assalamu’alaikum, Mas Azzam,” sapa gadis itu.
“Kamu tahu nama aku?” tanya Azzam. “Sebentar, sebelumnya kita seperti sudah pernah bertemu, ya.”
“Iya memang betul. Mas itu kakak tingkat aku waktu kuliah dulu, sekaligus ketua dari forum studi islamic di kampus, dan aku bagian dari tim kerja Mas Azzam. Ingat?”
Azzam masih berusaha mengingat, dan sepertinya kali ini memorinya telah mampu menata kepingan-kepingan rekaman beberapa tahun silam. Mulai tergambar sedikit siapa wanita ini.
“Ouh iya-iya. Sarah, bukan?” teka Azzam.
Sarah tersenyum. “Iya, Mas. Tepat sekali.”
Azzam tampak sumringah karena berhasil menebak nama gadis itu dengan benar.
“MashaAllah, bagaimana sehat?”
“Alhamdulillah, Mas.”
“Berarti ini butik kamu, Sarah?” Azzam bertanya karena tak sengaja matanya menangkap plakat depan butik yang bertuliskan Sarah Butik.
“Alhamdulillah ada rezeki ya aku coba buka usaha butik begini. Beberapa produk di sini juga hasil produksi dan desain tangan sendiri. Ya, jadi aku merasa senanglah dengan begitu bisa menyesuaikan dengan perkembangan fashion dan trend anak muda. Makannya harga yang kami patokpun tidak terlalu mahal.”
“Ini sungguh bagian usaha yang bagus. Setidaknya kamu mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Pertama, menumbuhkan daya kreatifitas karena pasti si desaigner akan terus berinovasi untuk memperbaharui model-model barangnya sesuai selera pasaran dan fashion masa kini. Kedua, pastinya selalu ada pemasukan tambahan sehari-hari dan bisa untuk diinvestasikan sebagai modal usaha-usaha lainnya. Lagian tidak semua orang punya kesempatan yang sama sepertimu. Apalagi keahlian menjahit. Kalau kita lihat sekarang beramai-ramai orang mencari pekerjaan, hingga perusahaan-perusahaan tak mampu lagi menampung pengangguran yang selalu menambah tiap tahunnya. Maka, salah satu inisiatifnya adalah kita yang bergerak dengan menciptakan lapangan pekerjaan. Yaa, hitung-hitung mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia.”
Sarah seperti begitu terkesan. Bagaimana tidak idealisme yang meluap-lupa kerap ia tunjukkan dulu sewaktu mereka masih berkerjasama dalam lingkungan kampus. Sebelum mereka sama-sama memilih jalur yang berbeda usai menamatkan kuliah strata satu.
“Ya, patut disyukuri si Mas. Ini bagian dari usaha awal yang coba aku rintis. Butik ini belum juga lama berdiri. Baru sekitar enam bulanan. Kalau anak sekolahan bilangnya, satu semester. Ya nggak?”
Keduanya lalu tertawa berderai.
Seperti biasa angin sudah tahu apa yang mesti menjadi tugasnya. Angin berputar dengan lembut menimbulkan bunyi semacam siulan yang menerpa lalu menerbangkan dedaunan kering. Hawa sekitar pohon tua semangkin nyenyak dan seolah-olah semuanya menjadi terasa ringan. Sementara, di tengah hari yang panas ini udara mulai terasa sedikit sejuk dengan perlahan-lahan bergesernya awan kelabu yang dikirim angin dari barat. Ini adalah bagian dari satu masa ajaib yang singkat, meruap.
“Ngomongin tentang sekolah, setelah pulang dari kuliah di Mesir sekarang Mas kerja di mana?”
“Aku mengajar di Yayasan MA Mualimin saat ini.”
“Oh, nggak ada niatan untuk beralih menjadi dosen?”
“Kalau ada rezeki ya kenapa tidak. Tapi untuk saat ini memang aku memilih untuk di Madrasah dulu karena sekolah membutuhkan jasaku yang kekurangan guru.”
Satu per satu orang hilir mudik, keluar masuk butik, membuat mereka terasa sedikit terganggu. Sarah mengajak supaya mereka bisa mengobrol di beranda butik saja. Kebetulan di sana memang kerap digunakan untuk Sarah berdiskusi dengan teman atau juga kliennya yang kerap mengambil barang dari butik.
Gadis itu izin sebentar masuk ke dalam untuk membuatkan minum. Tidak butuh waktu dua menit lamanya, ia kembali dengan mambawa nampan berisikan segelas teh hangat racikannya.
“Mari diminum, Mas.” Sarah menyerahkan secangkir teh yang beralas piring kecil untuk Azzam.
“Iya, terima kasih.”
Sarah mencoba melihat-lihat sekitar lalu pandangan matanya difokuskan ke arah mobil Azzam.
“Cuma berdua dengan Umi? Kamu nempel terus ya sama Umi.”
Azzam menyegih. “Tidak juga, kebutulan juga nggak sibuk hari ini. Makannya nyepetin mengantar Umi. Lagian cuma aku yang masih di sini sedangkan saudara-saudara yang lain sudah balik lagi bekerja di luar daerah,” jelasnya.
Sarah mengangguk, tiba-tiba terbesit dipikirannya untuk menanyakan tentang apakah diusianya saat ini dia sudah berkeluarga.
“Mas, tidak jalan begitu dengan teman wanita?” tanyanya mengusik.
Azzam tersenyum, baru membalas, “Aku tidak punya teman wanita,” kata Azzam kemudian menyeruput kembali teh hangat yang sudah mulai dingin.
Sarah seperti tampak sedang memikirkan sesuatu karena baginya tidak masuk logika laki-laki macam Azzam, laki-laki yang sholeh dan smart belum memiliki teman wanita atau pendamping hidup. Tidak mungkin jika tidak ada wanita yang tidak tertarik dengan pria sepertinya.
“Aku memang tidak punya teman wanita, tapi punya istri.”
Azzam melanjutkan kembali kalimatnya tadi yang belum selesai. Dia sengaja memberikan sedikit jeda karena tiba-tiba tenggorokannya terasa kering sehingga butuh sedikit air untuk sekedar membasahi tenggorokan.
“Sudah punya anak?”
“Belum. Kita baru menikah lebih kurang sebulan lalu.”
“Oh, pengantin baru nih ceritanya. Pantesan aura-auranya lain," goda Sarah. “Wah, sebentar lagi nih pasti Umi bakalan menimang cucu pertamanya.”
Raut wajahnya masgyul. “Aku tidak ingin terlalu membebankan istriku untuk melakukan pekerjaan rumah tangga di tambah lagi perihal momongan karena dia juga masih SMA. Aku Jug tidak ingin terburu-buru. Biarlah dia menikmati masa-masanya, seperti anak-anak sekolah pada umumnya.”
Sarah mengernyit. “SMA? Mas menikahi gadis remaja SMA?”
Sarah sepertinya begitu terkejut kalau Azzam memilih menikahi wanita yang umurnya masih belia yang jelas jauh di bawah dia.
Azzam mengangguk. “Kenapa? Kok seperti kaget begitu?”
“Ahm, tidak. Aku kira Mas Azzam akan mencari pendamping hidup yang sepadan dengan Mas seperti lulusan perguruan tinggi kenamaan, ustadzah, atau penghafal Qur’an.”
Ucapan Sarah itu, membuat Azzam tertawa seketika. “Tidak mesti. Itu tergantung dari perspektif masing-masing saja. Mungkin memang ada beberapa orang yang mengambil pandangan demikian.”
“Tapi Mas, bukankah islam sebagai agama terakhir yang dijadikan pedoman umat manusia menganjurkan bahwa kita untuk mencari pasangan, yakni calon suami atau istri yang baik, karena dalam suatu penikahan yang diharapkan terciptanya keluarga sakinah, mawaddah, dan warahmah.”
Sarah memberi jeda sejenak, lalu kembali berujar, “Sebab menikah itu berarti mengikat seseorang untuk menjadi teman hidup yang tidak hanya satu atau dua tahun, tetapi seumur hidup dan menghasilkan keturunan. Jika salah satu kemuliaan syariat islam adalah diperintahkan untuk berhati-hati dan teliti dalam memilih pasangan hidup, karena rumah tangga wajib dibentuk atas dasar keimanan yang kokoh dan tauhid.”
Azzam menarik napas, dan sedikit memperbaiki posisi duduknya. “Ya, kamu benar Sarah. Mencari pasangan hidup memang harus teliti dan hati-hati. Cari yang seiman, sholeh dan sholehah. Itu juga mengapa perlunya ada pendidikan. Pada dasarnya manusia tidak ada yang sempurna karena kesempurnaan hanya milik Allah. Perlu didikan untuk membentuk akhlak mulia.”
Sarah menundukkan pandangannya.
“Maaf Mas, bukan maksud aku buat menyinggung atau menggurui, Mas. Tapi ini adalah pengalaman buruk yang menggores hidupku ketika akan memulai hidup baru, dengan pasanganku dulu.”
Azzam menatap wanita itu dengan khitmat. "Ada apa dengan pasanganmu, Sarah?"
Sarah menghela napas berat, baru kemudian berbicara. “Kalau ada orang yang bertanya denganku, pernahkah aku mencoba bunuh diri karena cinta dan pernikahan? Aku jawab pernah. Nyawa sudah diujung tenggorokan, sedikit lagi aku mati. Tapi apa respon mereka? Mereka menertawaiku. Mana ada wanita sholehah, rutin mengikuti kajian islam tapi melakukan tindakan sekonyol itu, kemana keimanannya yang eluh-eluhkan selama ini. Lenyap seketika? Memang cinta begitu dahsyat.”
Azzam sepertinya tertarik untuk tahu lebih dalam tentang kehidupan teman lamanya itu. “Astagfirullah bunuh diri? Karena apa?”
“Betapa bahagianya hati aku waktu itu, kalau esok lusa akan dipersunting oleh laki-laki idamanku. Tiba hari bahagia itu, kami sekeluarga dan para tamu undangan sudah bersuka ria menyiapkan dan menyambut pelaksanaan masa-masa sakral yang hanya bisa dilalui satu kali seumur hidup.”
Sarah berhenti sebentar, mengatur napasnya.
Azzam melihat raut wajah yang ditunjukkan Sarah melambungkan senyum, tapi senyum yang berkepayahan. Seperti ada luka dalam yang masih menganga.
“Dia datang dengan wanitanya, mengantarkan undangan pernikahan. Sungguh biadab! Apakah tujuan dia cuman mau melecehkan dan mencoreng keluargaku? Dia mengatakan Maaf aku sudah salah, salah telah memasukkanmu dalam hidupku. Kau orang baik, maka aku tidak bisa menyakiti perempuan kedua kalinya. Awalnya aku tidak mengerti, lalu dia menyampaikan bahwa wanita yang di sampingnya itu telah mengandung anaknya.”
Kali ini dia tidak bisa membendung emosinya, Azzam bisa melihat mata Sarah yang mulai berkac-kaca. Dengan nada bergetar ia berbicara kembali.
“Mas mau tau apa lagi yang dia katakan? Dia akan menikahiku setelah dia mempertanggung jawabkan apa yang sudah diperbuat pada wanita itu. Siapa yang wanita mau dimadu. Sudahlah dia datang dengan membawa wanita lain, mempermalukan aku di depan para tamu, terus mengatakan mau menikahi aku juga? Aku merasa benar-benar seperti wanita yang nggak punya harga diri waktu itu.”
Azzam hanya diam. Dia tak tahu apa yang harus dikatakannya. Melemparkan kelakarpun Azzam tak kuasa.
Sarah bergumam lagi, kali ini dengan pandangan termangu. “Aku rasa istri kamu itu adalah wanita yang beruntung dan luar biasa. Hingga Mas bisa menyakinkan dia untuk menerimamu sebagai suami.”
Sarah tidak paham bahwa sebenarnya Azzam juga menyimpan beban berat yang mesti dipikulnya sebagai kepala keluarga. Imam sekaligus pemimpin dalam keluarga. Ketika sudah hampir sebulan bahtera rumah tangga mereka belum pula di penuhi cinta kasih. Hanya Azzam yang selalu mencurahkan cinta itu pada istrinya.
Azzam tertunduk. “Belum, dia belum bisa menerimaku."
Sarah terkaget. “Kenapa? Kenapa kalian menikah kalau begitu?”
“Kami dinikahkan atas keinginan orang tua masing-masing. Tapi tidak ada niatku menikah hanya untuk menyenangkan hati orang tua sesaat, namun ini aku lakukan benar-benar niat lillahi ta’ala. Aku yakin niat ini akan mendapatkan rahmat dalam kehidupan rumah tanggaku nanti. Meskipun mungkin belum saat ini.”
Panjang sekali kisah kehidupan yang mereka torehkan waktu itu. Hingga tak disadari Umi sudah berdiri di ambang pintu butik, menenteng paper bag besar. Azzam langsung beringsut dari duduknya berjalan ke arah Umi.
“Sudah, Umi? Biar Azzam bawakan.”
Sekarang paper bag sudah berpindah tangan ke Azzam. Sarah juga ikut berdiri.
“Mas Azzam, sebentar ada sesuatu yang ingin aku berikan,” ujarnya kemudian masuk ke dalam butik. Ia seperti sedang membongkar tumpukan baju-baju yang masih dibungkus plastik lalu memasukkannya ke dalam paper bag kecil.
“Ini, berikan ke istrimu.”
Azzam belum menyambutnya, dia masih tampak ragu-ragu. Sementara Umi sudah berlalu menuju mobil.
“Sudah ambillah. Hitung-hitung hadiah pengantin baru, bolehkan?” Sarah mencoba meyakinkan supaya Azzam bisa menerima pemberiannya.
Azzam menghela napas sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah kalau begitu, terima kasih banyak, Sarah.”
“Wah! Wah! Belum lebaran sudah dapat bonus tambahan nih kayaknya. Semoga puas ya dengan pelayanan kami, jangan lupa buat singgah lagi kemari.” Tante Arini ikut menimpali.
Azzam kemudian melangkahkan kaki meninggalkan butik.
Dari kejauhan Sarah berujar dengan mengeraskan suaranya supaya terdengar, “Jangan berhenti menyakinkan dia.”
Azzam menolah lalu tersenyum.
Cahaya dari Allah akan senantiasa tertumpah pada manusia yang selalu yakin bahwa hidup tidak selalu rumit. Dia─Rabbku akan menjadi seniman yang sudah men-sketsa semua alur kehidupan, sementara manusia adalah pelukis yang harus terus berusaha memberi bingkai warna dalam hidup disetiap napas yang bergerak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Cahya
Ditunggu kelanjutannya 😍
2020-05-03
0
Enda Vica
hai kak, aku mampir lagi ya ninggalin like
2020-05-03
0
Dsyy
Lanjuttt kk
2020-05-03
0