Suara adzan maghrib terdengar dari corong pengeras suara. Sebuah panggilan mulia yang menyejukkan hati.
Kopiah berwarna hitam sudah menghias di kepala laki-laki berumur 27 tahun itu. Seperti biasa dia telah rapi dan bersiap untuk melaksanakan sholat maghrib berjamaah.
“Abang pergi dulu. Nisa, jangan lupa sholat di rumah,” pesannya yang selalu demikian ketika hendak berangkat ke masjid.
Aku masih di depan laptop menatap serangkaian tulisan yang berbaris-baris rapi di layar monitor. Akhirnya sedikit lagi, tinggal bab penutup.
Tugas membuat makalah Pendidikan Kewarganegaraan tentunya harus selesai malam ini. Sebenarnya tugas makalah ini sudah lama diberikan, namun aku baru ingat malam ini, itu pun Fey yang mengingatkan aku supaya jangan lupa membuat makalah yang deadline malam ini. Bu Asrina menyuruh anak muridnya agar mengumpulkan tugas itu dengan mengirimnya lewat dropbox.
Jam sudah menunjukkan pukul 18.20 WIB, namun aku belum juga bergeser dari depan laptop yang menyala. Kalau Abang Azzam ada di sini pasti dia sudah memarahiku karena menunda-nunda waktu sholat.
Aku memutuskan menutup laptop sebentar dan berjalan ke arah depan untuk menutup pintu yang masih terbuka. Tirei beberapa gorden rumah yang masih tersingkap juga aku tarik. Lampu dalam ruangan satu per satu aku nyalakan. Kemudian, melanjutkan untuk membersihkan badan sekaligus mengambil air wudhu untuk menunaikan ibadah sholat maghrib.
Langit di malam hari sedikit tersapu oleh mega. Lampu-lampu jalanan malam itu seakan-akan sangat bersusah payah membantu bulan dan bintang menggantikan matahari supaya malam masih tetap berkisah. Meski demikian lorong-lorong gelap kehidupan malam masih terus bergerak. Itu sangat terasa ketika mendengar suara bising klakson dan derum kendaraan-kendaraan berlalu lalang dari jalan-jalan besar di sekeliling kompleks.
Tirai yang semulanya sudah ditutup rapat-rapat tersibak-sibak ke udara karena hembusan angin yang kencang. Apakah hujan yang merupakan bagian rahmat Allah akan turun malam ini? Aku sudah menyelesaikan serangkaian rukun sholat dan dipenghujung do’aku, aku memohon agar orang-orang yang hadir dalam kehidupanku senantiasa dilimpahkan keberkahan dan kesehatan.
Aku kembali melangkahkan kaki ke ruangan tempat aku duduk semula saat mengerjakan tugas makalah. Saat lewat depan meja kerja Abang Azzam, langkahku tiba-tiba terhenti ketika mendapati sebuah buku yang terhampar di atas meja. Samar-samar aku melihat judul buku itu. Kisah para Wanita Mulia, aku mengejanya pelan.
Tanganku menyela-nyela lembar demi lembar, sampai aku menemukan lipatan kecil di pojok kertas. Mungkin Abang Azzam baru membacanya sampai sini. Dengan saksama aku membacanya.
Seorang laki-laki bernama Abu Thalhah sangat sedih tatkala sang wanita idaman menolak lamarannya. Padahal ia sudah menawarkan mahar fantastis, namun Ummu Sulaim binti Mulhan tidak tertarik sedikit pun. Abu Thalhah nyaris tidak percaya kalau wanita itu bisa menolaknya. Tidak sampai di situ, Abu Thalhah datang lagi. Cinta tulus yang dimiliki tak mematahkan semangat. Ia menawarkan mahar lebih fantastis dari sebelumnya.
Dengan sopan Ummu Sulaim menjawab, "Demi Allah, orang seperti engkau tidak pantas ditolak. Hanya saja engkau adalah orang kafir, sedangkan aku seorang Muslimah. Sehingga, tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Jika kamu masuk Islam, maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta yang selain dari itu,” ungkap Ummu Sulaim kepada Abu Thalhah.
Ungkapan tersebut mampu menyentuh perasaan yang paling dalam dan mengisi hati Abu Thalhah. Abu Thalhah berpikir apakah dirinya akan mendapatkan wanita yang lebih baik dari Ummu Sulaim untuk diperistri dan menjadi ibu bagi anak-anaknya.
Dengan begitu Abu Thalhah menuju Rasulullah. Saat itu Nabi Muhammad tengah berkumpul bersama para sahabat. Abu Thalhah menyampaikan maksudnya.
Dengan mantap Abu Thalhah pun mengikrarkan keislamannya. “Aku berada di atas apa yang kami yakini, aku bersaksi tiada Tuhan yang haq kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Maka jadilah Ummu Sulaim menikah dengan Abu Thalhah dengan mahar keislaman. Sebuah mahar yang sangat agung.
“Sepertinya buku ini cukup menarik,” ucapku.
Baru beberapa paragraf yang aku baca, tapi aku sudah merasa kagum dengan sosok Ummu Sulaim karena kemuliaannya. Ia selalu jujur terhadap Allah juga dengan dirinya sendiri, dan dengan sesama manusia. Sangat pantas bila Ummu Sulaim menjadi teladan luhur wanita generasi berikutnya, karena mahar yang diajukan adalah mahar yang paling mahal di dunia.
Sangat pandailah abangku ini kalau memilih buku, besok-besok kalau ke toko buku bisalah aku minta bantu untuk carikan buku yang bagus dan menarik untuk dibaca. Setelah beberapa saat aku tenggelam dalam awang-awang kekaguman terhadap sosok yang diceritakan di dalam buku, aku mulai menyadari keberadaan Abang Azzam yang berdiri diambang pintu. Entah sudah lama dia berdiri di situ atau memang ia baru datang.
Aku lalu meletakkan kembali buku itu di atas mejanya dan melanjutkan ketikanku yang belum selesai.
Aneh sekali rasanya. Meskipun kami berdua, namun tetap saja sunyi. Di dalam ruangan yang luas, aku merasa seperti terjebak berdua karena tidak ada orang lain selain Azzam di rumah ini, yang bisa aku ajak mengobrol.
Di luar angin masih berhembus kencang menimbulkan suara gesekan ranting pohon yang berdecitan-decit begitu juga dengan dedaunan yang ada di ranting tiada hentinya berkibas-kibas oleh terpaan angin. Untuk menghilangkan keheningan malam, aku membuka Winamp memutar koleksi lagu-lagu Korea. Sambil mengetik terkadang sesekali aku mengikuti lantunan lirik lagu yang dibawakan boy band atau girl band asal Korea itu.
Abang Azzam yang melihat aku tampak serius menatap layar laptop kemudian datang dan duduk bersamaku.
“Buat apa?”
“Makalah”
“Makalah apa?”
“Biasa tugasnya Bu Asrina," balasku cuek dan memanyunkan bibir.
Melihat ekpresiku demikian, membuat Azzam tertawa. Aku menoleh cepat ketika aku tahu kalau Azzam mentertawakanku.
“Kenapa ketawa? Perasaan Nisa nggak ngelawak!" Aku mencebik.
Azzam mengacak-ngacak pucuk kepalaku dengan gemas, hingga membuat rambutku yang tadinya rapi menjadi kusut.
“Ish dah! Abang nih,” gerutuku kesal sembari merapikan kembali rambutku yang diacak-acaknya. "Udah! Nggak usah ganggu Nisa deh!"
"Habis Nisa menggemaskan kalau sedang cemberut." Azzam mengusik ketenanganku, yang masih sibuk berpikir dan merangkai kata.
Jika Azzam bersikap demikian aku merasakan kalau dia balik lagi menjadi sepupu aku yang dulu. Yang suka jahil. Dari kecil aku hidup dan tumbuh bersamanya, kami terpisah hanya beberapa tahun, ketika ia merantau untuk melanjutkan kuliah. Dan sekarang kami dipertemukan kembali tapi dengan status yang berbeda. Kami hidup berdua dan tinggal satu rumah. Tidak terbesit dipikiranku sebelumnya. Dalam hati aku bertanya, Apa bisa aku menerima Azzam sebagai suami? Bisakah aku mengubah pandanganku untuknya. Merubah pandangan dari sosok saudara sepupu lelaki menjadi sosok orang yang melengkapi agamaku.
Selama beberapa menit setelah itu, tidak ada percakapan lagi. Aku mencoba berkonsentrasi membaca kembali hasil tulisanku yang terpampang di screen laptop sebelum mengirimnya ke dropbox.
Azzam Pov.
Azzam nampaknya mencoba untuk mencuri-curi pandang ke arah Nisa, agaknya Azzam menyadari kalau dirinya menyukai ekspresi wanita yang menjadi istrinya itu ketika sedang berpikir keras. Wajahnya yang tertunduk membuat bulu matanya terlihat lebih panjang ketika dilihat dari samping. Kening berkerut dan bibir bawahnya digigit pelan, hingga membuat bibirnya sedikit lebih merah. Kulit wajah Nisa terlihat sangat bersih dan mulus.
Nisa Pov.
Tanpa sengaja aku melirik ke arah Abang Azzam, aku melihat matanya terus menatapku tanpa berkedip. Hmm aku tahu sekarang pasti dari tadi dia sibuk memperhatikan aku.
Uhhh... dasar! batinku.
Melihat tatapan Azzam yang demikian membuat jantungku berdegup tak beraturan. Dan sekarang aku menjadi seperti salah tingkah, jika ia terus menatapku demikian.
“Abang!”
Mukanya terkaget seketika, saat aku memanggil. Tak lama setelah itu dia beristigfar dan mengusap mukanya, dengan kopiah masih melekat di kepala.
“Hmm... " Azzam mengerjap kaget.
"Udah nggak usah liatin Nisa kayak gitu, ntar jatuh cinta!" kataku tanpa menatap ke arah wajahnya.
"I...iya, kenapa memangnya? Ya itu tidak masalah lah. Dari dulu abang memang suka."
Aku mengernyit. "Hah? Apa yang abang bilang?"
"Oh tidak, maksud abang suka. Ya suka mengusik adik abang satu ini," kekehnya.
Drrt...drrtt...
📥Fayzulen
Malam Nisa sayang. Jangan lupa makan malam ya dan shalatnya. Habis biasanya kamu lupa makan hehe...
Sebuah pesan WhatsApp dari Fey tampil dinotifikasi handphoneku yang masih terkunci. Aku bisa membaca pesan itu karena jarak ponsel tidak jauh dari aku duduk saat saat ini.
Isi pesan WhatsApp yang dikirim Fey cukup membuatku senyum-senyum sendiri. Melihat ekspresiku demikian, membuat Abang Azzam penasaran dan mencoba mengintip pesan itu. Namun gagal.
“Jangan kepo!” kataku.
Aku lihat dia hanya memasang muka pasrah.
📤Dhanisa
Iya sayang kamu juga.
📥Fayzulen
Lagi apa? Gimana makalahnya? udah?
📤Dhanisa
Sudah, tinggal di kirim lagi ke Bu Asrina.
Azzam yang merasa terbaikan mencoba mengusik istrinya.
“Jangan suka main handphone kalau sedang hujan-hujan begini kadang-kadang petir datang tiba-tiba."
Abang Azzam, sepertinya terganggung bila aku saling berkirim pesan dengan teman chattingku ini.
Tak lama benar saja setelah Azzam berucap demikian, sebuah kilatan seperti jepretan kamera datang bersamaan dengan itu suara petir terdengar lekat disertai guntur yang bergemuruh hebat, dengan refleks aku melempar handphone ke lantai dan menyembunyikan kepalaku dalam dada Abang Azzam.
Hampir beberapa menit aku membenamkan kepalaku dalam dadanya dengan kedua tangan masih menempel di telinga. Melihat ekspresiku demikian, Azzam tampak pasrah, mukanya menegang. Kedua tangan Azzam mula seperti mau memeluk tubuhku, namun diulurnya kembali.
“Hah! Apa yang Abang bilangkan! Itu akibat kalau mengabaikan perkataan suami.”
Apa yang diucapkan barusan seketika menyadarkan aku tentang apa yang aku lakukan saat ini. Dengan cepat aku bangkit lagi dan membenarkan posisi dudukku. Ya ampun, bagaimana bisa aku tiba-tiba melakukan gerakan refleks seperti itu? Seketika mukaku memerah ketika bertemu pandang dengan matanya. Laptop yang aku gunakan untuk mengetik tugas tadi masih memutar beberapa koleksi musik K-Pop. Sekarang, aku merasa sedang memainkan lakon drama Korea di sini.
Tak lama setelah itu, aku baru tersadar kalau handphone yang semula berada di genggamanku sudah lenyap. Aku melihat bawah lantai, sebuah benda berbentuk persegi panjang dengan case belakang bergambarkan Byun Baekhyun, salah satu member EXO sudah mendarat dengan posisi menelungkup di lantai.
“Handphoneku!” kataku sedikit berteriak sambil turun menggapai ponsel yang masih menampilkan chat terakhir dengan Fey.
Setelah bangkit dan balik lagi ke kursi sofa, aku mendapati Abang Azzam sudah bangkit dari duduknya dan berjalan menuju dapur. Di luar sesekali petir masih sesekali menggelegar, aku harus mengakhiri chattingku dengan Fey dan mematikan handphone. Takut apa yang dikatakan Abang Azzam tadi benar.
Aku memcoba mengekori Abang Azzam dari belakang untuk melihat apa yang dilakukannya. Abang Azzam seperti sedang mengolah bahan makanan yang tersedia di dapur. Tangannya tampak begitu cakap dan cekatan dalam memasak. Kalah dengan aku yang seorang perempuan ini. Sepertinya dia memang pandai memasak mungkin karena sudah terlatih memasak sendiri ketika merantau. Tidak seperti aku, mau menginjakkan kaki ke dapur saja malasnya bukan main.
Aku mendehem. “Abang!”
Abang Azzam menyahut.
“Abang lagi buat apa?"
“Buat sarapan untuk mengganjal perut," tutur sambil menyiapkan potongan cabe yang ada di dalam wadah.
"Oh!" balasku singkat, kemudian tanpa berkata lagi aku balik keluar dari dapur untuk mengirim laporan makalah lewat dropbox kepada Bu Nafiza.
Azzam memasak bak koki profesional, dari dalam dia muncul dengan membawa beberapa menu hidangan.
"Ayo makanlah, mumpung masih hangat, pasti lezat," tawar Azzam. Ia mengajakku untuk makan berdua dengannya di meja makan. Aku menurut saja.
Hidangan yang dibuat Azzam begitu tampak menggoda dan wanginya menyeruak. Aku menyendok sambal buatannya, yang berupa cabe merah di campur dengan cabe hijau lalu digiling kasar dan menyatu dengan minyak yang berlinang-linang. Wangi cabe langsung meruap-ruap menusuk saraf-saraf hidungku. Seketika air liur mencair di dalam mulut.
Tanganku seperti tiada henti untuk menyuap nasi ke dalam mulut. Pedas sambal yang aku sendok tadi menyerang sampai ubun-ubun dan nikmatnya membuatku melayang. Rasanya begitu dahsyat sampai jilatan terakhir.
“Hmm, mashita!” gumamku pelan sembari menyentuh kembali nasi yang sudah dicampur dengan lauk dan sedikit sambal kemudian mengarahkannya kembali ke dalam mulut.
Abang Azzam memandang ke arahku. “Hah! Mashitah! Siapa mashitah?”
“Hah!” Aku pun ikut menjadi bingung dibuatnya.
“Yang tadi Nisa sebut itu. Siapa mashitah?”
Aku tertawa terbahak-bahak. Abang Azzam memandangku keheranan. “Mashita. Bukannya mashitah. Mashita itu dalam bahasa Korea artinya sedap, enak!”
“Ya ampun! sudah pandai sekali sepertinya berbahasa Korea ya? Setelah ini mungkin jika Abang beri soal mengartikan bahasa Korea lebih pandai ketimbang diminta untuk mengartikan ayat Al-Qur’an!” sindirnya.
Aku tertawa mendengarnya. Ada-ada saja kata-kata yang bisa dia gunakan untuk menyindir aku.
Hmm... mantap juga masakannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Afseen
udh punya suami msh pake syng2an sama laki lain dasar nisa tk tahu agama
2021-02-17
0
Lost
hai aku disini ngelanjutin like dan bacaanku. please feed back nya ya
2020-05-22
0
Nani Sukardi
semangat tor
2020-05-08
0