Hari ini kelas begitu riuh dan gaduh karena ada jam kosong. Bapak Lazardi kebetulan tidak bisa masuk untuk mengisi mata pelajaran Biologi di kelas karena menghadiri anaknya yang sedang wisuda S1 di Bandung, katanya.
Terlebih karena suasana hatiku lagi bagus hari ini, jam kosong aku gunakan untuk membuat catatan kecil sebagai bahan hafalan ketika ujian sekolah nanti, hitung-hitung nyicil dari sekarang. Pulpen Zebra Sarasa Clip sering aku gunakan bergonta-ganti warna untuk menulis dan menandai hal-hal yang berbeda-beda tiap point pentingnya. Baru dua bab yang berhasil aku kejar hari ini. Lumayan. Masih ada dua bab lagi.
Rasanya leherku sudah begitu pegal, akhirnya aku memilih untuk merapikan bukuku dan menumpuknya dengan catatan Biologi. Aku menoleh ke arah Jihan yang duduk di sebelah. Dia masih menulis, tapi bukan catatan Biologi sepertiku. Melainkan tulisan Arab yang tidak aku tahu apa itu artinya. ‘Oh mungkin dia lagi mengerjakan latihan Bahasa Arab’ pikirku. Tidak puas, aku menoleh ke belakang melihat apa yang sedang dikerjakan Fey. Ia tampak hanya sibuk bermain gawai yang digenggam di tangannya. Jovan dan Sadam? Aku mencoba menaikkan sedikit leherku untuk melihat mereka yang duduk di belakang Fey. Sepertinya kedua bocah itu, asyik bermain ludo.
Saat mulai bosan dengan aktivitas di kelas, aku hanya membenamkan kepalaku di atas kedua tangan yang aku tumpuk di atas meja.
BRAAKK!
Bunyi suara gebrakan meja dari belakang. Tapi aku tidak mengubrisnya, aku masih berada pada posisi nyamanku saat ini, membenamkan kapala di atas meja. ‘Rasanya kalau begini enaknya rebahan di kasur’.
“Hoy! coba deh kalian baca ini di artikel-artikel di media massa, berita hari ini, 31 Januari 2020,” suaranya memenuhi seisi ruangan. Fey mulai membacakan inti isi berita yang didapatnya melalui artikel sebuah berita. “Jumlah kematian akibat virus corona di China terus menanjak menjadi 213 orang. Berdasarkan data resmi WHO terkait laporan situasi covid-19 sebanyak, 1.370 kasus positif terjadi di China, 1.370 orang mengalami gangguan kesehatan serius, 170 orang meninggal, dan 12.167 lainnya diduga terjangkit virus tersebut. Virus corona ini sudah semangkin meluas di luar China dari 68 kasus di 15 negara menjadi 82 kasus di 18 negara. Beberapa negara yang melaporkan penambahan jumlah kasus adalah Jepang dari tujuh kasus menjad sebelas kasus, Singapura dari tujuh kasus menjadi sepuluh kasus, Malaysia dari empat kasus menjadi tujuh kasus dan Prancis dari empat kasus menjadi lima kasus.
Suasana kelas hening sebentar, saat Fey membacakan berita barusan.
“Singapura? Malaysia? Waduh! kita tentanggaan dekat lagi dengan dua negara yang sudah kena corona duluan,” celetuk Sadam.
Mendengar kata Singapura, seketika aku mengangkat kembali kepalaku yang terasa berat. Gimana kabar Ayah dan Ibu yah di sana?
“Wah, Indonesia mulai darurat juga nih jangan-jangan ntar, belum lagi masalah nilai tukar rupiah, ditambah lagi masalah corona,” imbuh Charisa, yang sibuk dengan sapu ijuknya sedang menyapu sebagian lantai kelas.
“Ya udah, yang jelas sekarang kita mesti hati-hati aja kalau berinteraksi dengan yang baru kita kenal. Karena kitakan nggak tahu orang itu membawa virus atau tidak. Sekarang kita harus mulai peka untuk mengetahui tanda-tanda atau gejala awal kalau orang itu sudah terjangkit virus corona,” tambah Aldion, yang turut merespon ucapan Jovan.
“Kalau dari informasi yang aku dapat itu, gejalanya mirip kalau orang sedang terserang flu. Batuk-batuk, bersin, sakit tenggorokan, demam tinggi hingga berminggu-minggu, kemudian lagi dada serasa sesak. Itu sih informasi yang aku dapatin!” seru Jihan, mencoba menyampaikan beberapa informasi yang diketahui dari artikel kesehatan yang juga pernah dibacanya.
Hatchiiii!
Terdengar suara bersin milik Jovan.
“Hah! Jihan bagaimana gini nggak tanda-tandanya kena corona?" tanya Sadam, bermaksud mengibuli Jovan.
Jihan menyungingkan giginya, hingga memperlihatkan giginya yang rapat dan putih. “Yah, kali setiap orang bersin dikatain corona.”
“Tau tuh,” protes Jovan. “Nggak liat tuh di samping, Charisa lagi nyampu debunya banyak gitu,” ujarnya, sembari melirik ke arah Charisa yang sedang menyapu beberapa ubin lantai yang terlihat kotor.
Tak ingin disalahkan Charisa akhirnya ikut nimbrung. “Yah, habis kalian kalau habis dari luar bawa debu pasir banyak banget, padahal keset sudah disediain di depan kelas. Aku nggak mau ya disalahin, ntar dibilang nggak piket lagi!” gerutu Charisa.
Jovan mengangkat bahu. “Tau tuh!”
Melihat Dhanisa yang sedari tadi diam, dan tidak ikut nimbrung dengan obrolan mereka. Membuat Fey sedikit bersemangat untuk mengusiknya.
“Apa Nisa kali, ya?" Mata Fey mengekor ke arahku.
Mendengar namaku disebut, aku langsung melotot ke arahnya. “Heh! kok bawa-bawa Aku! Aku dari tadi diam di sini.” Aku mendengus kesal.
Fey hanya tertawa.
“Teman-teman, minta perhatiannya sebentar, ya!” Rivan, ketua kelas 12-A, mengetuk-ngetuk penghapus ke papan tulis. Masih ada jam kosong tersisa lima belas menit menjelang waktu istirahat. Di muka kelas, Rivan menyampaikan sebuah pesan.
“Tadi Pak Lazardi tiba-tiba nge-WhatsApp, katanya kita diminta untuk bentuk beberapa kelompok, di mana setiap kelompoknya itu terdiri dari lima orang. Kelompok ini dibentuk untuk pembuatan tanaman hidroponik sebagai bahan untuk ujian praktik nanti. Jadi sekarang kita bentuk kelompok dulu,” Rivan diam sebentar, seperti sedang berpikir sesuatu. “Jadi gimana nih menurut teman-teman untuk anggotanya kita pilih sendiri apa, apa sesuai dengan presensi aja?” Rivan bertanya pada semua siswa yang berada di dalam kelas.
Suara riuh begitu terasa kembali, saat beberapa siswa mengeluarkan usulnya supaya kelompoknya dibagi secara heterogen saja, sementara yang lainnya mengusulkan agar diurutkan sesuai dengan presensi.
Kondisi kelas mulai kurang kondusif. Rivan yang melihat teman-temannya nampak gaduh, dan sulit di atur, kembali menepuk penghapus yang dipegangnya ke papan tulis.
“Oke, kayaknya bosan ya kalau kerja kelompok anggotanya nurut presensi terus. Sekarang gimana kalau kita undi aja, biar adil,” usul Rivan, meunjukkan jiwa kepemimpinanya.
“Boleh juga,” sahutku.
“Yang penting adil,” sahut Nabila yang duduk di barisan paling belakang dari pintu.
“Nis, kamu yang nulis nama-namanya di papan tulis dan Aku yang mendiktikan nama-nama siapa saja yang masuk dalam setiap kelompoknya,” pinta Rivan pada sekertaris kelas, siapa lagi kalau bukan Syafahira Dhanisa. Sepertinya teman-temannya cukup mempercapai Nisa hingga ia ditunjuk untuk menjadi sekertaris kelas.
Aku maju ke papan tulis dan membuat tabel pendataan nama-nama kelompok yang akan mengisi kelompok satu sampai dengan lima. Rivan mulai menyebutkan satu per satu nama siswa hingga semua orang di dalam kelas ini terdaftar sesuai dengan jumlah siswa yang tertera di dalam persensi.
Kringg ...
Bel istirahat berbunyi. Lapangan Madrasah Aliyah Mualimin mulai berdengung diisi oleh suara murid-murid yang akhirnya bisa menikmati keceriaan usai belajar hampir tiga jam lamanya. Fey menggulung-gulung buku tulis catatannya kemudian dijadikan sebagai corong, mirip TOA lalu meneriak-neriakkan kata, “Makan! Makan!” ke dekat telinga Dhanisa yang masih sibuk menjejal buku-buku tulis yang tergeletak di atas meja ke dalam tas sandangnya.
“Ih! berisik! kalau aku budeg, kamu tanggung jawab!”
“Nisa, ayo kita makan!” ucapnya masih demikian ke telinggaku. Semangkin aku kesal semangkin dia menjadi-jadi untuk mengusikku.
“Nisa, bakso spesial Mang Danu sudah buka lho,” bisiknya ke telingaku.
"Bener?" tanyaku tak yakin.
Fey mengangguk. “Bener, dan sekarang aku yakin pasti sudah diserbu siswa-siswa lainnya. Aku duluan, ya!"
Fey berlari keluar kelas sambil menjerit-jerit. “Bakso! bakso!”
Bakso spesial buatan Mang Danu memang sudah dua minggu ini tutup. Sepertinya Mang Danu punya resep sendiri untuk membuat bakso supaya terasa enak dan nikmati. Bakso yang dibuatnya masih sama dengan bentuk bakso pada umumnya. Hanya saja yang membedakannya warna bakso yang berwarna ungu dan diikuti kuahnya juga yang berwarna ungu. Maka tidak heran jika jam istirahat pertama kantin tempat Mang Danu berjualan sudah padat dengan siswa yang ingin membeli jualannya.
Aku ingin ikut balapan ke kantin dengan Fey, tapi aku harus memasang sepatuku terlebih dahulu yang sengaja aku lepaskan tadi demi bisa duduk bersila di atas kursi. “Fey, tunggu dong!” teriakku dari kejauhan.
“Jihan, kamu masih lama ke kantin?”
Jihan mengangguk. “Iya. Kalian duluanlah. Nanti aku menyusul.”
“Oke. Susul ke taman sekolah ya, Jihan.”
“Ayoo buruan! siapa cepat dia bakalan dapet duluan!” teriak Fey, suaranya mulai memudar di luar kelas.
“Hei Fey! suruh Mang Danu sisain buat aku!” suara teriakanku juga mulai memudar ketika aku berlari mengejar Fey yang punggungnya sudah mulai menghilang di balik dinding ruang kelas.
Di bangku taman sekolah, aku juga Fey sudah duduk santai di bawah rindangnya pohon taman sekolah dengan ditemani semilir angin yang menyejukkan. Santapan istirahat siang ini begitu aku nikmati dengan semangkuk bakso racikan Mang Danu. Dengan bersusah payah aku tadi antri dan berdesakan, akhirnya aku bisa juga mendapatkannya.
“Nikmat banget makan dengan angin sepoi-sepoi gini, ya!” ujar Fey, yang sudah lebih dulu meracik baksonya.
Aku masih mengaduk-ngaduk isi mangkok sambil mangut-mangut, tanda menyetujui ucapan Fey. Dengan menggunakan garpu bulatan bakso yang mengisi mangkok tadi, mulai mendarat di mulut. “Hm makyus,” gumamku.
Fey yang duduk bersebrangan denganku tampak begitu bersemangat menyuap satu demi satu pentolan bakso masuk ke dalam mulutnya. Melihatnya makan demikian membuat tenggorokanku seketika menjadi haus. Aku lalu menggapai air mineral yang dekat dengan tangan Fey, tapi tanpa sengaja tanganku menyenggol pula Nescafe milik Fey hingga tumpahannya mengenai punggung tangganku. Seketika tangan terasa panas dan perih. Ternyata air yang digunakan untuk menyeduh adalah air panas.
“Ya ampun, Nisa. Gimana panas nggak?” tanya Fey, khawatir.
Fey tampak merogoh sesuatu dari dalam kantongnya. Sebuah sapu tangan berwarna putih polos. Dengan pelan dan perlahan-lahan Fey mencoba menghilangkan sisa-sisa tumpahan minuman yang masih melekat di kulit tangan.
Fey nampak menilik sesuatu dari tanganku yang sedang dipegangnya.
“Nisa! kamu sudah nikah?”
Seketika kedua mataku terbuka sempurna, terkejut dengan pertanyaan Fey barusan.
"Kamu kok bilang gitu, Fay?"
“Tumben kamu pakai innai di kuku sampai ke tangan-tangan segala lagi,” ujarnya, lalu matanya diedarkan ekor matanya ke jari tanganku yang sebelahnya lagi. “Tangan kiri kamu juga sama. Yang aku tau sih, biasanya innai dipakai untuk mempercantik diri, saat menikah."
Mendengar ucapan Fey, ekspresi mukaku seketika berubah menegang, cemas dan panik semuanya menjadi satu. Tapi aku masih mencoba untuk mengontrol gesture tubuhku supaya Fey tidak curiga.
“Oh ini, nggak kok! Ini aku cuma coba-coba aja masang innai dijari-jari aku, kira-kira bagus apa nggak. Yah belajar gitu deh. Eksperimen,” jawabku sedikit terkagok-kagok. Aduh! Semoga dia nggak curiga, kalau sebenarnya aku sudah menikah.
Fey mulai menautkan dahinya yang semula berkerut.
“Ouh, bagus kok. Bagus banget malah hasilnya, Nisa.” Fey memuji.
Aku hanya cengar-cengir menanggapi pujian Fey.
“Hmm udah Fey. Nggak apa-apa, nggak perih-perih amat kok.” Aku menyingkirkan tangan Fey.
“Bener?” tatapan Fey, serius. “Nih, pakai aja sapu tangan ini, untuk meredakan sedikit perihnya.”
Usai pembicaraan itu, kami melanjutkan makan kembali, sebelum jam istirahat habis dan masuk ke kegiatan pembelajaran berikutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
ʀ𝖍𝒚𝖓𝖆
Yah Nisa Malah Bohong Sama Fey🙂
2022-05-05
0
ZENINDA WULANDARI
Semangat nge-up. 👍
2020-05-26
0
Lost
di sini juga ada corona 🤭
2020-05-22
0