Satu minggu kemudian....
Matahari sudah mulai meninggi, melucuti gelap dari kulit bumi. Embun di luar sudah mencair di antara sela-sela bunga dan rerumputan liar. Bunga-bunga pun seakan-akan sedang beradu kecantikan dengan cahaya matahari yang menyinarinya.
Sosok gadis muda belia, bermata cokelat dengan kulit berwarna kuning langsat, sedang mematut-matut bayangan dirinya di depan cermin dengan balutan gaun pengantin berwarna putih serta dipadu padankan dengan jilbab yang berwarna senada menutupi bagian kepalanya.
Make-up tidak terlalu tebal meriasi wajahnya yang manis, membuat dia terlihat tambah cantik dan menarik. Tidak bisa dipungkiri lagi, siapapun yang melihatnya pasti akan pangling.
Waktu dalam seminggu berlalu dengan begitu cepat. Setelah permintaan ayah dan ibu minggu lalu yang rada memaksa dan mendadak, akhirnya dengan berat hati aku menyetujui juga permintaan keduanya.
Terdengar dari dalam kamar, hiruk pikuk orang-orang sedang mengatur dan mempersiapkan acara akad nikah yang akan segera berlangsung hari ini.
Di saat-saat ini, aku masih mencoba untuk berdamai dengan hati yang lagi kalut. Aku benci situasi ini, aku benci suasana ini. Rasanya buliran bening dimataku sudah mau keluar, namun aku coba sedikit menyekanya. “Seorang Nisa pantang untuk menangis.” Mencoba menguatkan diri.
Aku melirik ke arah jam yang menempel di ruangan ini. Sepuluh menit lagi! itu artinya sepuluh menit lagi aku akan resmi melepas statusku.
“Pengantin prianya sudah datang!” terdengar suara itu samar-samar.
Seorang laki-laki tua duduk menghadap meja, tak lain itu penghulu. Saat ini Azzam sedang berhadapan dengan Ahsan—ayah angkat Dhanisa yang menjadi wali. Sementara orang tua Azzam berada disampingnya sebagai saksi. Digenggamnya tangan Azzam karena lafadz ijab dan qabul akan segera dimulai.
“Bismillahirrahmanirrahim
Saudara Azzam Alhusayn Zahidi Bin Hamzah Najib Alfaridzi saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Syafahira Dhanisa Binti Hazwan Fauzillah Alfaridzi dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang sejumlah sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu, tunai”
“Saya terima nikah dan kawinnya Syafahira Dhanisa Binti Hazwan Fauzillah Alfaridzi dengan maskawinnya yang tersebut, tunai” suara Azzam terdengar lantang.
“Sah?”
“Sah!”
“Alhamdulillah” terdengar orang-orang mengucap rasa syukur begitupun dengan ibu yang sedari tadi duduk dengan setia mendampingiku.
Ikrar suci pernikahan baru saja selesai diucapkan. Napasku tiba-tiba terasa sesak seperti sedang ada sesuatu yang menghimpit dadaku. Aku terus berusaha mengambil rakus-rakus oksigen di sekitarnya. Berharap hati ini menjadi membaik, tapi rasanya sia-sia saja tetap rasa sesak itu selalu muncul ketika semilir do’a terlantun dari tamu-tamu yang datang pada akad hari ini.
“Ayo Nisa,” Ibu mengajakku berdiri untuk menghampiri Azzam yang berada di luar.
Agaknya saat ini penghuni langit dan semua yang ada di sini menjadi saksinya. Ribuan malaikat mendo’akan pernikahan kami yang sah ini, baik secara agama maupun hukum. Dan kami telah menyempurnakan separuh agama Allah sekaligus mengikuti sunah Rasulullah. Meskipun aku tahu tidak ada pasangan yang sempurna di dunia ini, yang ada hanyalah pasangan yang begitu luas hatinya untuk menerima ketidaksempurnaan pasangannya dan saling melengkapi untuk mencapai kesempurnaan itu.
Di ruangan utama, Azzam terus bersyukur karena ia bisa mengucapkan kalimat itu dengan lantang dan hanya satu tarikan napas.
Ketika pertama kali pintu kamar dibuka. Orang-orang sejurus langsung melirik ke arahku. Mereka menatap dengan rasa kagum, dengan begitu aku merasa gugup dan malu.
Ibu terus meyakinkan aku untuk melangkah dengan percaya diri, sampai akhirnya mempersilahkan aku duduk di samping Azzam. Aku semangkin gugup. Harusnya perasaan ini aku tepis jauh-jauh toh aku menikah dengan Azzam bukan karena cinta, jadi kenapa harus gugup dan malu.
"Karena sekarang mempelai wanitanya sudah hadir, mari kita memulai acara tukar cincin," kata bapak penghulu.
Azzam meraih tanganku dan menyematkan cincin itu ke jari manisku. Pas, tidak kebesaran dan tidak kekecilan. Sekarang giliran aku yang memasangkan cincin ke tangan Azzam. Pelan aku meraih tangannya lalu memasangkan cincin itu di jari manisnya.
Prosesi tukar cincin telah selesai, tapi aku masih tertunduk diam. Ibu yang melihat reaksi putri angkatnya itu, lalu memberi kode supaya segera mencium tangan Azzam. Aku menurut juga.
Setelah itu, aku merasa dia sedang memegang pucuk kepalaku sembari membacakan do’a.
“Allahumma innii as-aluka khayraha wa khayra maa jabaltahaa’alaihi wa a’uudzu bika min syarrihaa wa min syarri maa jabaltahaa’alaihi”
(Artinya: Ya Allah sesungguhnya aku memohon kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan pada dirinya. Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan apa yang Engkau ciptakan pada dirinya).
Barulah Azzam mengecup keningku dengan lembut. Perlahan kecupannya dilepaskan, lalu memandang dengan tatapan yang tentram dan sejuk.
"Alhamdulillah, selamat kalian sudah sah menjadi suami istri," tutur ibu dengan raut bahagianya.
Tidak lama setelahnya, tangan ayah menepuk pelan pundak Azzam dan berkata dengan suara berwibawa.
“Semoga kalian menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah ... sekarang saya titip Nisa kepadamu, tolong jaga dan bimbing dia”
“Iya Abah, saya akan jaga putri Abah dengan sangat baik, dan berusaha membimbing dan mengarahkannya pada tuntunan atas keridhoan Allah.”
Ayah Ahsan mengangguk. “Abah percayakan semuanya dengan Azzam.”
Satu per satu tamu undangan menghampiri untuk memberikan ucapan selamat atas penikahan kami, lalu pergi untuk menikmati beberapa hidangan yang disediakan tuan rumah. Suasana pernikahan tidak terlalu ramai, hanya dihadiri oleh keluarga terdekat saja, serta tetangga kiri-kanan.
“Selamat ya Bro, Abang nggak nyangka udah kesalib aja dengan adik sendiri,” kata Abang Fikri─kakak tertua dari Azzam─ datang mengucapkan salam seraya menggoda adiknya.
“Ha-ha, itulah akibat kalau banyak kriteria, mau cewek yang beginilah, begitulah,” ledek Kak Soraya yang juga berdiri di belakang Abang Fikri.
Mendengar celupan Kak Soraya, Abang Fikri langsung berusaha untuk menutup mulut adiknya yang bawel itu namun tak berhasil.
“Yee, emang benarkan!”
Melihat aksi konyol mereka yang saling mengusik samu sama lain, membuat kami berdua sedikit terhibur. Aku ingat kembali dulu aku dan Azzam juga pernah melakukan hal-hal sekonyol itu, dan saling mengusik satu sama lain.
Sama seperti abang Fikri. Kak Soraya juga mengucapkan kata selamat berbahagia kepada kami berdua.
“Eheemm, selamat ya Dhanisa, Kakak senang liat kalian berdua, serasi.”
Aku hanya tersenyum singkat.
"Oh iya ada yang kelupaan." Teriak Abang Fikri dengan sedikit berlari kembali ke arah kami.
"Apa yang lupa?" tanya Kak Soraya, kaget sekaligus bingung.
Abang Fikri mengeluarkan ponsel dari saku celana. "Lupa foto bareng," cengir Abang Fikri.
Kak Soraya yang geram memukul pundak saudara laki-lakinya itu.
"Kak Soraya, ayo kita foto bareng dengan si bontot," ajak Abang Fikri bersemangat, sementara kamera ponselnya telah stand by menyalakan mode kamera.
"Eh, tunggu! Kita foto mereka dulu, untuk update status," usul Kak Soraya yang tak mau kalah aksis. Kak Soraya memang wanita berhijab yang modis dan anggun.
"Ya sudah" Abang Fikri menyetujui. "Kak, tolong Kakak yang mengarahkan angle yang pas buat mareka, sementara aku yang menjepretnya." Tampaknya adik beradik ini sangat akur, untuk menyemarakkan pernikahan adiknya.
Kak Soraya membalas dengan melingkarkan huruf O pada jari-jemarinya.
"Azzam, coba lebih dekat sedikit lagi." intruksi Kak Soraya. "Terus tangan kiri memeluk pinggang Nisa, dan tangan kanan memegang bunga. Nisa! kamu juga melakukan seperti apa yang Azzam lakukan ya!" suruh Kak Soraya.
Aku terkesiap dan hanya pasrah mengikuti keinginan Kak Soraya.
"Aduh kalian jangan kaku gitu dong!" protes Abang Fikri, si juru kamera.
Aku menghela napas berat. Hufft! Banyak sekali keinginan mereka ini! Aku membatin.
"Ulang! Ulang!" seru Abang Fikri.
Kak Soraya mengambil bunga dari genggaman kami dan menumpuk tanganku dengan tangan Azzam. Lalu meminta kami untuk saling melempar pandangan.
"Tolong, senyumnya yang alami ya! Jangan dipaksa begitu," koreksi Abang Fikri lagi.
"Aduh! Kak udah dong cape nih!" protesku. Yang sedari tadi sudah menahan kesal. Karena merasa dikerjai kakak beradik ini.
"Oke, cukup! hasilnya sangat bagus!" puji Abang Fikri, sumringah.
***
Sekitar tiga puluh menit berlalu. Sekarang di rumah tinggal hanya ada aku, ayah dan ibu serta mertuaku, juga Kak Soraya. Sementara tamu dan beberapa sanak family lainnya sudah pamit lebih dulu setelah acara akad dan resepsi selesai digelar.
Aku melihat ayah dan ibu masih asyik berbincang dengan Kak Soraya serta Paman Hamzah, aku tak tahu apa yang sedang mereka perbincangkan. Yang jelas sekarang aku mau ke kamar dulu untuk melepas pakaian pengantinku rasanya sudah tidak betah, dan tubuh begitu letih.
Kamar dengan nuansa putih bercampur warna peach dengan beberapa hiasan kembang masih tampak mengisi ruangan ini. Kelopak bunga mawar juga masih menghias di atas tempat tidur. Begitu pula beberapa tumpukan kado terhampar di sudut ruangan. Wangi mint, memasuki indra penciumanku. Wangi itu begitu menenangkan. Tapi meski demikian tetap saja tidak membuat perasaanku berubah. Malah pikiranku terasa makin kalut.
Aku duduk dan melirik ke arah cermin kaca yang memantulkan bayanganku. Gaun pengantin berwarna putih dan hijab yang aku kenakan masih melekat di tubuh.
Krieett...
Bunyi seperti pintu yang sedang didorong itu kemudian mengalihkan pandanganku. Dari pantulan bayangan cermin, di balik pintu berdiri sosok laki-laki yang telah resmi mempersuntingku beberapa jam tadi. Dialah Azzam.
Meskipun kami berdua di dalam kamar ini, tapi belum ada percakapan yang berlangsung. Hening. Sunyi. Aku lihat dia berjalan menuju tempat tidur dengan pakaian kaos putih ternyata dia sudah berganti pakaian. Aku merubah posisiku, menghadap Azzam yang duduk di tempat tidur.
“Nisa, tau pasti abang terima pernikahan ini karena takut mengecewakan abah dan umi kan?"
"Tidak," elak Azzam.
"Bohong. Bilang aja. Masalahnya Nisa nggak suka."
"Nisa, tidak suka dengan pernikahan ini?"
Iya pastilah batinku. Namun tak ku ucapkan secara lisan.
"Itu kehendak Nisa. Lalu bagaimana kalau itu memang takdir yang tertulis di lauf al-mahfuz? Apa masih bisa kita menghindarinya?"
Aku diam. Malah tambah tidak mengerti semuanya. Rasanya seperti terpenjara pada kehidupan sendiri.
"Cobalah untuk terima ini karena Allah subhanallah wa'taala. Seperti saat ini abang menerimanya karena Allah. Dan mencintai istri abang karena Allah ta'ala. Ana uhibbukafillah, Nisa!" jawabnya.
Allahu akbar... Allahu akbar ...
Panggilan mulia yang menyejukkan hati telah berkumandang, terdengar bersahut-sahutan dari cerobong pengeras suara yang ada di setiap masjid.
Agaknya panggilan mulia itu memutus sejenak jiwa yang masih berantakan seperti puzzle yang tak bertuan.
“Sekarang bebereslah, kemudian mandi setelah itu bersiap-siap untuk sholat."
Azzam pamit menuju masjid terdekat. Dengan langkah cepat ia menuju masjid yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Sendirian. Karena keluarga yang lain sepertinya sudah berangkat lebih dulu ke masjid. Yang tampak hanya ada Umi Hamidah─Ibu Dhanisa─ yang terlihat di dapur bersama Kak Soraya.
Aku meraih beberapa helai tisu basah dan cairan pembersih muka, untuk memastikan bahwa tidak ada lagi make-up yang menempel di mukaku, lalu menggantikan pakaian dan bergegas menuju kamar mandi.
Buliran air mulai membasahi tubuhku. Saat air mulai mengguyur kepala dan turun ke bagian tubuh lain, seakan jiwa terlompat dari raga. Sangat dingin, pori-pori nyaris tak mampu menyerap air alami itu. Keringat yang menutup seharian mulai terkelupas dihanyutkan air yang bercampur dengan busa sabun. Aroma wangi sabun lemon masih tersisa di lubang pori-pori.
Kedengaran bunyi deringan handphone. Aku langsung meraih jubah mandi dengan keadaan tubuh yang masih sedikit basah.
Suara Fey menyahut di seberang sana.
“Lagi apa sekarang?”
“Aku masih mandi, Fey.”
“Hmm, pantes wangi semerbaknya sampai ke sini,” goda Fey.
“Udahlah jangan goda aku terus. Ada apa?”
“Hem, nanti aja deh. Kamu mandi dulu, selesai mandi nanti aku hubungi lagi yah.”
“Oke”
Fey menutup teleponnya.
Selesai mandi, aku berselonjor di kursi sofa sambil duduk memainkan handphone dan berselanjar di dunia maya. Entah, tiba-tiba mataku terasa berat dan merasakan sedikit nyeri di kepala. Aku meletakkan kembali handphone di atas nakas, dan pergi ke tempat tidur untuk mengistirahatkan badan.
***
Iqamah saja selesai dikumandangkan. Orang-orang yang beribadah di masjid sudah berjajar rapi dalam shaf sebelum melaksanakan sholat berjamaah.
Azzam merasakan kesejukan menjalar ke bagian tubuhnya ketika takbir diserukan imam. Jiwa terasa damai dan tenang. Begitu juga ketika wajah menyentuh sajadah, ada kedamaian.
Dalam sujud di rakaat terakhirnya Azzam berdo'a agar Allah mengampuni segala dosa dan khilafnya, serta memohon senantiasa dilimpahkan keberkahan dan kebahagian dalam membina hubungan rumah tangga.
Berdasarkan ilmu yang dipelajarinya dari sebuah hadist yang berbunyi “Yang paling dekat antara seseorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah do’a ketika itu.” [HR. Muslim no. 482, dari Abu Hurairah].
Maka dari hadist tersebut memberikan penjelasan kepada manusia bahwa berdo’a di waktu sujud merupakan salah satu waktu terbaik dan mustajab terkabulnya doa, karena pada waktu sujud disitulah manusia berada pada posisi yang paling dekat dengan Allah swt yang merupakan pencipta alam semesta dengan segala isinya.
Usai sholat, Azzam melanjutkannya dengan zikir. Tampak matanya terpejam dan terus melafadzkan zikir Allah. Begitu khusyuk. Jari-jemarinya bergerak beraturan seperti sedang menghitung tasbih.
Setelah selesai bermunajat kepada sang khalik, Azzam bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan permadani. Keluar dari pintu samping di mana tadi ia memasukinya.
“Ustadz!” Azzam menoleh ke sumber suara. H. Usman. Laki-laki paruh baya yang tak lain adalah imam masjid An-Nur tempat Azzam melaksanakan sholat tadi.
“Iya, ada apa Haji?”
“Ehemm, sebelumnya saya mau mengucapkan selamat menempuh hidup baru, Ustadz.” Senyum tersungging dari pria paruh baya itu.
Sudut bibir Azzam terangkat, membentuk senyum. “Terima kasih, Haji.”
Setelah basa-basi H. Ustman mengutarakan maksudnya.
“Begini ustadz, nanti malam rencananya perangkat masjid akan mengadakan musyawarah kecil, ada beberapa hal yang ingin kita perbincangkan."
Azzam mengangguk pelan, lalu sedikit merubah posisi berdirinya. “Maaf nih Haji, saya-kan masih warga baru di sini, dan bukan pula menjadi anggota dari perangkat masjid, jadi saya-pun boleh bergabung-kah haji?”
“Iya apa salahnya, beberapa warga di sini juga kita ikutkan dalam rapat nanti malam. Begitupun dengan Ustadz. Saya yakin ustadz bisa memberikan sumbangsih pemikiran baru untuk nanti malam.”
“Insyaallah Ustadz, jika tidak ada kesibukan dan halangan nanti malam saya akan datang.”
“Baik, kalau begitu terima kasih Ustadz atas kesediannya. Kalau begitu saya permisi dulu. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”
Usai obrolan singkat itu, Azzam kembali melangkahkan kakinya ke luar dari pekarangan masjid dan pulang menuju rumah. Jarak dari rumah Dhanisa ke masjid An-Nur tidak pula terlalu jauh, hanya lebih kurang lima kilometer saja. Jika jarak sedekat itu lebih enak jika ditempuh dengan berjalan kaki, hitung-hitung olahraga supaya lebih sehat.
Azzam berjalan menuju kamar Nisa. Mengetuk pintu berkali-kali, tapi tidak ada jawaban. Ia lalu menempelkan telinga ke pintu, mencoba mendengarkan suara di dalam. Sepi. Tangannya terayun meraih kenop pintu lalu memutarnya hingga pintu itu terbuka.
Wuuushhh....
Tubuhnya langsung dibelai oleh sejuknya angin yang keluar dari AC yang ada di kamar Nisa. Seketika pandangan Azzam menyapu seisi ruangan. Ada LED TV berukuran 14 inch terpajang di atas meja, lemari pakaian, meja rias, dan tempat tidur berukuran besar yang di atasnya berbaring seorang wanita yang tak lain istri Azzam. Istrinya itu tampak tertidur pulas, separuh tubuhnya tertutup bed cover dengan posisi membelakangi.
Drrtt...drttt...
Dilihatnya sebuah panggilan telepon masuk ke handphone Nisa yang tergeletak di atas nakas. Sudah dua kali panggilan itu berdering. Azzam berjalan mendekat ke arah Nisa dan menepuk pelan lengan istrinya yang masih tidur.
“Nisa!”
Merasa ada yang mengusik tidurku, aku langsung menyingkap selimut dan sosok yang pertama aku lihat ketika bangun adalah Abang Azzam sedang duduk di sampingku.
“Apa yang Abang lakukan di kamar Nisa!” Aku tersentak kaget saat melihat ada laki-laki yang berani masuk ke kamar.
“Nisa, Abangkan suami Nisa, ya apa masalahnya kalau masuk ke kamar Nisa, bukannya kita sudah sah,” balas Azzam. “Itu tadi handphone Nisa bunyi, ada panggilan masuk.”
Aku meraih handphoneku, namun tidak berbunyi. Ketika aku mengecek di layar screen tertera dua panggilan tak terjawab Fey. Mataku seketika membulat. Aduh! untung dia nggak angkat telepon ini.
“Kenapa?”
“He-eh, tidak ada. Nisa mau ke WC sebentar,” alasanku, padahal aku keluar hendak menelepon Fey kembali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
ʀ𝖍𝒚𝖓𝖆
Ampun thor kalau 5 kilo jauh amat jalan kakinya😰, 1 km aja ngos2an😬
2022-05-05
0
Afseen
oh iya thor lima kilo meter itu apa gk salah? bisa gempor klo jlan kaki kburu habis kali waktu solatnya😂😂😂
2021-02-13
1
Afseen
cweknya tk patut kurang memahami agama, udah boncengn peluk pinggang laki2 bukn muhrim mgang wajah skrng udah nikah msh hubungn sama laki2 lain, hadeeh😑😑😑
2021-02-13
0