Aku melihat anak-anak begitu semangat belajar mengaji dan berdiskusi bersama dengan guru pengajinya. Mereka memegang buku tafsir, buku hadist, Al-Quran, dan catatan kecil, mungkin digunakan untuk mencatat penjelasan gurunya. Guru mereka sedang menulis potongan–potongan ayat. Aku mencuri dengar, bacaan-bacaan Arabnya. Ada yang fasih dan ada yang tidak fasih. Tapi semangatnya perlu diacungi jempol diusia kanak-kanak, jam segini harusnya mereka sudah berada di lapangan untuk bergabung dan bermain dengan teman-temannya tapi mereka merelakan waktu itu untuk mendalami Al-Qur’an. Selain itu, tulisan Arab yang ditulisnya juga rapi. Begitulah yang dinamakan semangat yang menggebu-gebu. Begitu luar biasa.
Sebuah kalimat yang tertanam dalam memoriku ketika Pak Abbyan, guru SD ku mengatakan kepada murid-muridnya di kelas. Belajar di waktu muda bagai mengukir di atas batu. Belajar di waktu tua bagai melukis di atas air. Ungkapan ini sering dijadikan Pak Abbyan untuk memotivasi kami yang malas dan tidak bersemangat dalam menuntut ilmu. Orang-orang shalih menghabiskan hidupnya dengan ilmu, baik itu dengan mencari atau mengamalkannya, dari kanak-kanak hingga ajal menjemput. Jadi tidak ada alasan untuk tidak belajar karena belajar tidak mengenal usia.
Dia menerawang. Senyumnya samar.
Agaknya anak itu menyadari dan berhasil menangkap pandangan mataku yang sejurus menatapnya sedari tadi. “Hai.” Aku menyapanya dengan lambaian tangan. Dan dia merespon dengan lambaian mendayu ke arahku. Temannya yang lain juga menoleh ketika tersadar teman di sebelahanya sedang mengalihkan konsentrasinya dari bacaan yang ditulis guru mereka di depan.
Pandanganku teralihkan setelah dua menit lamanya aku duduk di teras masjid menunggu Azzam melaksanakan sholat fardhu.
“Ayo.”
Aku bangkit ikut berjalan bersamanya. Rencananya kami akan ke toko buku Gramedia dulu, setelah itu, kalau masih sempat aku ingin menonton bioskop kebetulan ada banyak film yang akan tayang di bulan Februari ini. Itupun kalau Ustadz itu bersedia.
Hiruk pikuk kendaraan sore ini terlihat begitu padat. Beberapa tempat umum juga terlihat ramai pengunjung, seperti halnya tempat wisata, pasar, tempat bermain. Tapi ini sepertinya sudah menjadi pemandangan yang biasa kalau sore-sore begini, orang-orang akan memanfaatkan waktu luang yang ada untuk bermain-main dengan alam dan mengintip poligon semburat senja.
Lampu APILL berubah warna merah memaksa mobil kami berhenti. Baru sekitar satu menit mobil berhenti sudah ada beberapa pedagang asongan yang menawarkan jualannya. Tak lama datang lagi pengemis dengan muka memelas sambil menggendong anaknya yang mungkin masih berusia lima bulan. Abang Azzam membuka kaca mobil lalu memberikan selebaran uang kepada pengemis itu.
Lampu APILL yang semula berwarna merah, sekarang sudah berubah menjadi hijau, mengisyaratkan pengendara untuk segera berjalan melanjutkan kembali perjalananya. Mobil Azzam terus melaju memecah kepadatan kota.
“Nisa, kenapa kita harus pergi ke toko buku Gramedia yang jauh sekali padahalkan masih ada toko dekat-dekat rumah.” Tanya Abang Azzam membuka pembicaraan sewaktu di dalam mobil.
“Nggak maulah Abang! Dekat sekali. Nanti bertemu dengan orang yang Nisa kenal, mau bilang apa?” Mataku masih menatap ke depan memperhatikan mobil-mobil yang melintas.
“Apa susahnya, bilang saja yang sebenarnya, kan tidak berdosa.”
Aku tersenyum masygul mendengar perkataannya. “Uuuuh, nggaklah.”
“Kenapa? Lagi pula suatu hari nanti orang-orangkan juga akan tau tentang kita, kalau kita sudah tinggal serumah.”
“Kalau memang begitu sebaiknya tunggu aja waktu yang tepat, yang jelas bukan sekarang” ucapku. “Kalau sekarang Nisa mau fokus dulu menyelesaikan pendidikan dan ikuti tes seleksi masuk perguruan tinggi setelah tamat Aliyah nanti.”
“Iya-iyalah. Terserah Nisa. Abang mengalah!”
Tak berselang lama setelah obrolan berakhir, mobil kami sudah berbelok memasuki area parkir Mall. Kami langsung berjalan menuju lantai dua. Aku berjalan di depan seperti pemandunya, sementara Azzam di belakang. Aku yakin pengunjung yang datang ke sini masing-masing mempunyai kepentingan dan selera yang berbeda.
Sebelum mencapai eskalator mataku mencuri-curi pandang produk-produk mewah yang ditata rapi. Ini menjadi pemandangan elok mesti tidak harus membelinya. Bagaimana mau membeli? Waktu aku berhenti sebentar saja di depan toko itu, tanganku sudah lebih dulu di tarik Azzam. Dia mengingatkan bahwa tujuan ke sini adalah mencari buku, bukan yang lain. Terkadang geram sendiri. Aku berpikir kalau aku jalan berdua dengan Fey, pasti lain lagi ceritanya. Waktu tiga jam pun mungkin hanya terasa satu jam. Tidak cukup.
Sekarang kami sudah masuk ke dalam toko. Wow! buku-buku terbitan terbaru langsung berhias menyambut para pembaca setianya. Aku berjalan menyisir bagian demi bagian buku-buku yang tata rapi di rak. Mataku masih menilik-nilik tulisan yang tertera pada rak buku.
“Mana ya bagian sastra?” gumamku. Dengan masih terus berjalan lurus, seraya melirik setiap bagian rak.
“Maaf ada yang bisa aku bantu?” Telingaku menangkap suara itu dari samping.
Aku tersenyum dengan lebar, dan itu tentunya bukan senyum yang dibuat-buat. Melihat dia, mataku langsung berbinar-binar. Mulutku tergagap-gagap. Pria di depanku ini gantengnya bukan buatan. Wajahnya seperti bercahaya, matanya teduh dan sipit, hidungnya mancung, kulitnya putih bersih, badannya atletis. Perawakannya mirip opa-opa Korea, batinku.
Dia melambai-lambaikan tangan ke mukaku yang melongo. “Hai, halo.”
“Ha..ha..halo” Mulutku tergagap.
Sekarang aku merasa kesulitan bernapas karena diterpa sebuah pesona indah kiriman Tuhan untukku hari ini. Lengkung senyumnya membuat kaum hawa luruh dan terperanjat.
“Sedang cari apa?”
Aku menjawab dengan mata tak lepas dari wajahnya. “Buku sastra. Kamu?”
Orang paling ganteng yang aku jumpai itu langsung mengangguk-angguk. “Aku juga,” jawabnya.
“Sebelumnya, perkenalkan aku Hanan Khaisar Nadhif. Panggil saja Hanan.”
Belum sempat aku menyambut tangannya, dua orang wanita datang untuk meminta gantian berswafoto dengan Hanan. Aku lihat dia tenang-tenang saja, seperti tidak merasa terusik dengan wanita yang datang silih berganti untuk berswafoto dengannya. Dia tampak begitu ramah dan respek kepada siapapun. Memang ini yang dinamakan paket komplit surga dunia. Siapapun pasti akan terpesona memandangnya. Setelah dua wanita tadi meminta berfoto, mereka pamit pergi meninggalkan Hanan.
Melihatku masih berdiri tak bergeming, dia langsung bernada seolah tak enak hati karena menunggunya meladeni swafoto gadis-gadis tadi.
“Ouh maaf, siapa namanya tadi?” Dia menggantungkan kembali tangannya ke udara.
Aku menyambutnya dengan sigap, “Syafahira Dhanisa. Panggilan akrabnya Nisa,” jawabku seraya melempar senyum. Aku merasa tangannya begitu mengenggam erat jari-jemariku.
Hanan nama pria itu. Tiada hentinya melempar senyum ramahnya. Aku sangat menyukai senyumnya yang lebar. Aku rasa orang-orang akan sangat senang bergaul dengan cowok yang berkeperibadian macam Hanan ini. Sudahlah elok rupanya, baik pula akhlaknya. Biasanya kalau cowok tampan pasti kebanyakan sok jual mahal dan cenderung bersikap dingin. Tapi Hanan menurutku akan menjadi sahabat bagi siapa saja.
“Kalau begitu ayolah kita ke rak buku bagian sastra.”
Kami berjalan beriringan untuk menuju rak buku-buku sastra. Tidak butuh waktu yang lama berkat bantuan Hanan aku bisa menemukan buku sastra dengan cepat. Tanpa harus pelanga-plongo ke sana-kemari mencari – cari lagi.
“Kamu cari buku apa?” Aku bertanya setelah kami berdiri di depan bagian sastra yang menyajikan buku-buku sastra lumayan banyak.
“Para Priyayi karya Umar Kayam.” Dia menjawab seraya tangan memilah-milah setiap bagian buku yang berjajar di rak. “Ini sih untuk tugas kuliah.”
“Kuliah jurusan apa memangnya?”
“Sastra.”
Aku mengangguk.
“Kamu sendiri kuliah juga atau gimana nih sekarang?”
“Kalau aku sih baru calon. Sekarang masih sibuk untuk menyiapkan serangkaian ujian nasional tingkat menengah atas.”
Tidak lama tangan Hanan meraih sebuah buku dan menggantungnya tepat dihadapanku.
“Pernah baca buku ini?”
Mataku menangkap setiap huruf yang tertera pada sampul buku berwarna kecoklatan.
“Iya. Pernah baca waktu di perpustakaan sekolah,” jawabku. “Itu buku cerita rakyatkan?”
“Iya buku ini menyajikan latar cerita dari Babad Tanah Jawa. Ini sebenarnya sebuah buku trilogi, Roro Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri,” sambungnya.
“Novel Roro Mendut mengisahkan kisah cinta tragis antara Roro Mendut dengan Pronocitro. Dia adalah anak yatim piatu yang hanya tinggal berdua dengan kakeknya yang bernama Siwa," ujarnya.
Aku ikut menanggapi. “Iya. Memang sangat tragis. Dia menolak diperistri oleh Tumenggung Wiraguna demi menjaga kesuciannya dengan Pranacitra. Roro Mendut ini dibesarkan di kampung nelayan atau bisa dibilang gadis pantai. Dia ceritakan sosok gadis yang lincah dan pemberani, tidak pernah ragu untuk menyuarakan ide pikirannya. Sementara Genduk Duku adalah sahabat Roro Mendut yang mau membantunya menerobos benteng istana Kerajaan Mataram dan melarikan diri dari kerajaan Tumenggung Wiraguna.”
“Kalau Lusi Lindri adalah anak Genduk Duku yang dipilih menjadi anggota pasukan Sunan Amangkurat I oleh Ibu Suri karena prinsip Lusi Lindri, lebih baik mati sebagai pemberontak penentang kezaliman daripada hidup nyaman bergelimang kemewahan."
Kami berdua sekarang saling bergantian sambung menyambung tentang cerita yang dikisahkan penulis Y.B. Mangunwijaya dalam novelnya berjudul Roro Mendut. Setelah usai kami berdua hanya bisa tertawa bersama.
Ketika aku melihat garis senyum, mungkin ini yang membuat dia lebih memiliki daya tarik bagi perempuan-perempuan lainnya bila dibandingkan dengan laki-laki lain.
Tanganku mengambil satu buah buku yang bertengger di atas rak sastra, karya Pramoedya Ananta Toer. Bumi Manusia. Dia menatap ke arah tanganku. “Kalau yang itu, tau?”
Aku menggeleng. “Nggak”
“Kalau yang itu, tokoh sentralnya adalah sosok Annelies yang kecantikannya memukau sosok laki-laki yang bernama Minke. Minke adalah laki-laki yang diceritakan sangat idealis. Tapi kisah cinta mereka lagi-lagi harus berakhir tragis.”
Aku mengernyit, lalu bertanya, “Kenapa?”
“Nyai Ontosoroh yang tak lain Ibu Annelies, sosok ibu yang tegar harus kalah dalam pengadilan yang memperebutkan hak asuh Annelies. Akhirnya mereka berdua harus merelakan Annelies pergi untuk ikut bersama keluarga kolonialnya.”
Kemudian, aku memandangnya dan tersenyum. Ini adalah satu jam pertama kami bercerita dengan menggebu-gebu.
“Kenapa?” Dia bertanya saat aku tersenyum ke arahnya.
“Tidak. Aku hanya salut dengan laki-laki sepertimu yang begitu ekpresif dan suka dengan dunia sastra.”
Dia tersenyum balik.
Mendengar kisah singkat dari novel karya Pram. Mataku langsung menangkap satu objek buku yang berdiri tegak dihimpit buku-buku lain. Masih sama, ini masih karya Pram judulnya Manusia Harimau. Tak aku sangka tanganku dan tangan Hanan melayang ke arah buku yang sama. Tangan kami lalu bertumpul di atas buku. Seketika aku merasa tubuhku kaku seperti habis masuk freezer, aliran darah berdesir dengan hebat. Oh! Tuhan cobaan apa ini?
“Nisa, apa yang kamu lakukan di situ?” Sebuah bunyi yang dikirim gelombang udara sampai pada gendang telingaku.
Azzam muncul. Matanya tajam tidak lepas dari menatap laki-laki yang barusan mengobrol denganku. Sekejap aku menarik lagi tanganku turun ke bawah.
Aku menunduk. Aduh! situasi ini membuat aku menjadi tidak enak.
Aku meringis, “Cari ini.” Buku Pram aku sikat dengan cepat.
“Halo, Om.” Aku lihat Hanan mencoba akrab.
Dia hanya tersenyum getir, kemudian berkata, “Ayo, pulang! Mau sampai pagi menyising-kah baru mau pulang?” Dia bertanya dengan nada menyindir.
Tanpa menoleh lagi ke arah Hanan, kami pergi berjalan duluan menuju kasir untuk membayar buku yang aku ambil. Dari waktu membayar di kasir sampai turun ke lantai paling dasar, dialah yang memimpin berjalan di depan. Langkah kakinya yang panjang-panjang membuatku sulit menyusul. Demi menyusul langkah dia, aku berjalan dengan sesekali berlari kecil.
Tubuh Azzam yang berada di depan seketika hampir aku tabrak saat dia mendadak menghentikan langkah kakinya. Dia memutar badan 180 derajat ke arahku.
“Cobalah berusaha untuk menghargai perasaan orang lain,” ucapnya datar, tanpa ekspresi.
Aku mengkerutkan kening. “Kenapa lagi?”
“Nisa itu sudah jadi istri Abang. Harusnya Nisa mesti mampu menjaga pandangan mata, karena mata itu bisa memudhratkan hati manusia.”
Dalam hati aku meyakini kalau arah pembicaraannya pasti mengarah ke laki-laki yang di toko buku tadi.
“Abang, dia itu cuma menawarkan untuk membantu Nisa mencari buku. Lagian apa salahnya? Nanti kalau ditolak disangka sombong lagi!"
“Abang tidak berbicara tentang laki-laki tadi.” Dia memotong cepat. “Tapi sudahlah, Nisa tidak akan paham perasaan Abang.”
Tahu aku tidak paham masih saja dia bertanya, aku membatin. Lumayan lama kami mematung bak manekin di sini, sampai seorang perempuan menyapaku.
“Nisa? Beli apa di sini?”
Mataku membulat kala aku mendapati Bu Lydia berdiri di dekatku.
Aku nampak Bu Lydia mengekorkan matanya ke arah Azzam, seperti rada-rada enggan untuk menatapnya. “Kalian berdua kenapa di sini?"
"Biasalah, Bu. Aku meminta abangku untuk menemani membeli sedikit barang."
Hati Azzam tiba-tiba tersentak. Entah mengapa rasanya begitu sakit, ketika Nisa hanya memperkenalkan dirinya sebagai saudara sepupu, padahal dalam hati yang paling dalam Azzam sangat ingin Nisa menganggap dirinya sebagai suami bagi wanita di sampingnya ini.
“Ouh.” Dia berujar seraya mengangguk. “Kalau begitu saya duluan, masih ada yang mau dibeli.”
Dalam hati aku bertanya-tanya tumben sekali Bu Lydia tidak menyapa Ustadz Azzam, biasanya dia yang selalu memulai duluan kalau sudah melihat Azzam ada di depan matanya. Pandangan dia pun juga sudah lain, seperti kesal atau marah begitu. Hendak aku tanyakan itu dengan Abang tapi niat itu urung karena melihatnya sedang bermuka kecut. Ahh... kenapa semua orang yang aku temui demikian, tidak adakah wajah manis yang mau menampakkan diri di depanku? Seketika ingatanku terlempar kembali ke Hanan. Laki-laki yang aku sebut surga dunia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Afseen
dasar emng nisa ganjen, liat cowok gnteng udh clamitan gk sadar udah nikah
2021-02-23
0
Febryanti Liza
mauny nisa sadr perasaan azzam gk peka banget sih 😏
2020-05-07
2
hafidz rachmadana
aku mampir lagi 😉
2020-05-03
0