Suara sendok dan piring saling beradu di meja makan. Pak Ahsan dan Ibu Hamidah sedang menikmati santap siang di rumah. Kebetulan hari ini hari weekend dimana mereka berdua menghabiskan waktu di rumah.
"Nisa, ayo keluar makan!" teriak ibu.
Ibu masih menyiapkan beberapa makanan termaduk juga oleh-oleh yang diberikan oleh Pak Hamzah waktu itu. Kebetulan ia baru saja mendapatkan kiriman makanan khas dari Makassar. Ia katanya banyak mendapatkan oleh-oleh dari sana. Kemarin ia baru saja balik kembali ke Jakarta. Usai mengisi acara bincang campus bersama para-para dosen dan juga guru besar.
Berbicara tentang Pak Hamzah. Ia adalah pamanku, sekaligus ayah Azzam. Beliau bekerja sebagai dosen disalah satu universitas swasta di Jakarta, dan baru-baru ini, ia diberi kepercayaan untuk menjabat sebagai Dekan Fakultas Usuludin.
"Bu, mana anak itu? Kenapa dia tidak keluar dari tadi?" tanya Ahsan, menguyah pelan nasi yang mendarat di mulutnya.
"Ntah ya, masih ngambek kali." Ibu mengeleng-geleng. "Dia itu memang keras kepala, coba lah ayah bujuk dia," pinta ibu.
"Ya sudah, nanti ayah akan bujuk dia. Tapi ayah habiskan makanan ini dulu."
"Oh iya, setelah ini jangan lupa ayah juga minum obatnya ya. Ingat pesan dokter jangan terlalu cape dan banyak pikiran," pesan Bu Halimah, kemudian turut duduk di sebelah Ahsan.
Ahsan menyeruput habis air yang tinggal setengah.
"Iya. Tapi jadwal ayah untuk check-up belum minggu ini kan?"
"Belum sih Yah, tapi Dokter Ahmad bilang tadikan check up seminggu sekali lebih bagus, supaya tau perkembangan kesehatan tentang penyakit hepatitis ayah."
Melihat suaminya, usai menuntaskan makan ia kemudian memberikan tablet obat dan beberapa pil yang diberikan dokter.
Minggu lalu Ayah Ahsan ditemani istrinya melakukan pengecekan kesehatan untuk mengetahui kondisi tubuh Ahsan, yang beberapa minggu ini sering drop. Tiba-tiba saja ia pusing, tungkai kakinya tiba-tiba saja membekak. Dari beberapa gejala dokter mendiagnosis bahwa Ahsan terkena infeksi atau peradangan pada jaringan hati (hepatitis).
Tapi, butuh pemeriksaan lebih lanjut lagi. Besok bahkan Dokter Ahmad meminta Ahsan untuk datang kembali menemuinya untuk melihat hasil tes darah berdasarkan pemindaian yang dilakukan dengan CT Scan, atau MRI, untuk mendapatkan gambaran organ hati dan organ yang ada disekitarnya secara jelas.
Halimah sebenarnya harap-harap cemas dengan keadaan suaminya. Ia hanya berharap supaya penyakit hepatitis itu masih dapat di sembuhkan dan tidak terlalu berbahaya apa lagi kronis. Jika mengingat masa itu, cukup baginya, harus kehilangan anak laki-laki semata wayangnya bernama Khalid. Ia tak ingin dipisahkan lebih dulu pada suaminya.
"Ini Yah, obatnya." Ibu menyodorkan beberapa pil.
"Ya ampun, Bu. Banyak sekali. Ini nggak over dosis jadinya. Sudah besar-besar lagi obatnya."
Ibu menepuk pundak Ahsan. "Ya memang begitu, Yah. Lagian, ya nggak mungkin over dosis-lah selama dikonsumsi sesuai dengan takarannya. Ayah ini ada-ada saja," cengir ibu.
Akhirnya dengan muka pasrah, Ahsan harus menelan pil lima macam itu.
"Jika begini, kita jadi tahu ya, Bu. Bahwa sehat ini mahal. Sangat mahal. Lihat bagaimana kalau manusia hanya hidup bergantung pada obat ini. Berapa uang yang harus dikeluarkan untuk hanya membeli obat yang rupa macamnya," tutur Ahsan usai menelan pil yang nyata pahit itu.
"Begitulah, Yah. Sekarang kita yang sudah tua-tua ini harus pandailah menjaga kesehatan," komentar ibu. Kemudian menatap ke arah perut gempal Ahsan.
"Lihat tuh badan usah tambah gempal aja. Coba ayah itu usaha dikit untuk olahraga. Jangan hanya mikri kerjaan tok. Ya, setidaknya seminggu sekali atau dua kalilah minimal olahraga, itung-itung membuang sedikit lemak di tubuh," nasehat ibu.
"Bukannya apa, ibu taukan ayah sibuk ilir mudik kantor rumah, rumah kantor. Ayah rasa pekerjaan nggak selesai-selesai," dumel Ayah.
"Alah, alasan itu. Nah, hari minggu inikan, bisa dijadikan waktu untuk olahraga. Sore nanti bisa kita sama-sama joging di taman. Olahraga kecil-kecilan gitu," saran ibu pada Ahsan, yang menurutnya ia hanya membuat banyak alasan untuk menghindar dari olahraga.
"Iya-iya. Akan ayah coba setiap minggu." Senyum ayah.
Krieek...
Ayah dan ibu sama-sama menoleh ketika mendapati aku keluar dari kamar. Karena daritadi pagi ia tahu aku sedang ngambek dan enggan berbicara dengan mereka.
"Nisa, makan sini!" pinta Ibu.
"Nggak ah, masih kenyang," kilahku.
Aku menghilang sebentar karena aku tahu ada yang aku lupakan. Aku lupa mengambil sepatuku olahragaku.
"Mau kemana kamu siang-siang begini?"
"Lapangan basket," jawabku seadanya.
"Siang-siang begini?" tanya ibu memastikan, karena ini memang masih jam satu dan panas di luar sangat terik. Tapi, tidak ada pilihan lain selain itu. Aku bosan di rumah dengan terus mengurung diri di dalam kamar. Menutup tubuh dengan selimut.
"Iya," jawabku seraya memasang kaos kaki, kemudian beranjak menggapai kunci motor.
"Nisa! Sini sebentar!" perintah ibu dengan dingin.
"Apa sih? Nisa buru-buru," jawabku malas.
"Buru-buru apasih. Kamu ini, seperti anak yang nggak pernah di didik saja," bentak ibu geram.
Aku menghela. Berjalan mendekat ke meja makan.
"Apa?" kataku sambil menyampirkan tas ransel ke belakang. Isinya bukan buku tapi ya bola basket.
"Besok, keluarga Hamzah akan datang kemari," beritahu ibu.
"Oh."
"Kok oh sih!" heran ibu.
"Yah, terus Nisa harus bilang apa? Lagian apa hubungannya coba dengan Nisa.
"Ya tentu ada lah!" suara ibu mencebik.
"Besok mereka datang akan menentukan jadwal penikahan kalian."
Seketika mataku membulat. Aku menyengir, sambil menepis tangan ke sembarang arah. "Terserah lah. Nisa capek. Percuma Nisa bilang nggak. Pasti ayah sama ibu juga nggak akan menggubriskan. Ya sudah lakukan semau kalian."
Hanya kalimat itu yang aku ucapkan. Tanpa berkata apapun aku berlaku meninggalkan mereka yang masih duduk di meja makan. Ahsan hanya menatap miris kepergianku.
"Nisa! Nisa!" teriak ibu berkali-kali. "Kamu jangan keras kepala ya!" pekik ibu.
Aku tetap tak memperdulikan ucapannya. Di garasi rumah motorku sudah bertengger menanti tuannya untuk dinaiki. Setelah starter motor menyala dengan sigap aku menarik tuas gas motor dalam-dalam dan menjauh dari pekarangan rumah.
***
Di lapangan, aku seorang diri. Melempar bola menuju ring berkali-kali dengan perasaan yang kacau.
Peluh telah membanjiri tubuhku. Berkali-kali aku melakukan lay up, dan shooting three point. Tapi tak kunjung berhasil. Sungguh menguras tenanga.
Ah, ini pasti karena pikiranku sedang tak sejalan. Terlalu banyak yang aku pikirkan saat ini. Tentang perjodohan itu. Tentang nasib hubunganku dengan Fey.
Aku meraih botol mineral dan meminumnya hingga setengah.
"Terserah dia mau melanjutkan masalah pernikahan itu atau tidak. Yang jelas aku akan tetap memilih Fey, dari pada Azzam. Dia sama sekali bukan kriteriaku. Umur dan pemikiran kita pun jauh berbeda."
Aku melempar botol aqua itu jauh-jauh.
Di taman sebelah lapangan basket, mataku menyorot dua irang sedang beradu argumen. Entah apa yang diributkan wanita itu pada laki-laki di hadapannya. Aku hanya mendengar samar-samar suaranya yang samar-samar memaki laki-laki itu.
"Ah, lagi-lagi drama yang aku tonton saat ini." Aku menggeleng kepala pelan.
Aku memilih untuk menepi dari panasnya lapangan siang ini. Duduk di tepi lapangan.
"Kalau begitu kita kabur bagaimana?" suara wanita itu. Aku menoleh ke arahnya. Sambil mencuri dengar sebenarnya apa sih yang mereka peributkan.
"Kabur bagaimana?"
"Iya kabur. Aku akan kabur dari rumah demi ikut dsnganmu. Kalau perlu kita kawin lari."
Deg...
Pendengaran apa yang baru saja di tangkap gendang telingaku.
Kabur? Dan kawin lari?
Dua pilihan tang mencoba aku cerna.
Agaknya menarik tentang apa yang orang dewasa itu bicarakan.
Aku tersenyum miring. "Kabur? Bagaiman kalau aku kabur saja ya. Eh, tapi aku harus kemana?"
Aku menepis tanganku ke sebarang arah. "Ah, itu nanti saja aku pikirkan. Yang jelas mungkin ini akan mencegah niatan ayah dan ibu." Aku tersenyum puas.
***
Malam ini, di dalam kamar aku sudah hilir mudik. Seperti seterikaan di atas tempat tidur. Aku meraih tas ransel yang berada di dalam lemari, mengambil beberapa helai baju, kemudian menjejalnya ke dalam tas ransel. Tak lupa buku-buku pelajaran juga aku jejalkan di dalam.
Sekarang semuanya sudah siap. Semua sudah tertata rapi dan ransel.
"Maafkan aku ayah, ibu." Tanganku meraba bingkai foto yang mencetak wajah keduanya.
Akhirnya dengan cepat aku menuju jendela dan membuka kacanya.
Aku menghela napas, benar-benar uji nyali. Malam-malam begini semua tampak gelap. Dengan hati-hati aku melompat turun. Agar tak menimbulkan kegaduhan, malam-malam.
Hap!
Lompatanku mendarat dengan sempurna, meski pergelangan kaki terasa sedikit ngilu.
Tiba di depan gerbang aku memainkan ponsel, memesan gojek yang bisa membawaku menjauh dari rumah ini. Beruntung saja tak butuh waktu lama di driver ojol datang menjemput. Beruntung tidak banyak orang berlalu lalang di kompleks ini.
Aku duduk membonceng di belakangnya. "Ayo, bang!" pintaku segera.
Mungkin sudah 20 menit lamanya si driver membawaku mutar-mutar tak tentu arah.
"Mbak, mau kemana sih? Dari tadi mutar-mutar terus. Tujuan mbak sebenarnya mau kemana. Sini biar saya liat alamatnya," tutur si ojol yang mulai geram.
"Aduh, bang jangan bawel, sebentar lagi!"
Aku menggaruk keningku. Tak paham sebenarnya apa sudah benar keputusan ini. Kabur untuk menghindari perjodohan. Ya seluruh keluarga dan kedua belah pihak akan datang besok. Bagaimana aku menghadapinya. Aku tidak bisa.
Ibu dan ayah juga pernah bilang kalau mereka pun di jodohkan, yah itu lain dong. Itu zaman dulu beda dengan zaman modern saat ini. Rasanya tidak pantas lagi membahas penikahan paksa begini.
"Bang, stop!" Aku memukul pundak bang Ojol. "Udah di sinu aja!" Aku mengangsurkan uang untuknya.
"Terima kasih, Mbak."
"Iya, bang"
Tukang ojek telah menjauh meninggalkanku dan aku sendirian sekarang. Aku menatap sekitar gelap dan sepi, aku jadi takut.
Aku menepuk jidatku. "Bodoh! Kenaoa aku minta diberhentiin di sini coba?"
Aku harus menginap dimana sekarang? Di hotel? Memang punya uang?
Tiba-tiba sebuah tangan menarikku. Jantungku langsung berdetak hebat. Aku belum berani menoleh takut orang itu, orang jahat yang akan melukaiku saat ini.
"Bang, ampun bang jangan apa-apain aku," kataku memohon dengan mata terpejam rapat. "Abang kalau mau ambil uang dan tas aku silahkan. Tapi jangan ambil nyawa aku, karena aku cuman punya satu nyawa, bang!"
Sebuah tangan kembali menepuk pipiku. "Heh, kamu ngomong apa sih? Memang aku penjahat?"
Aku membuka mataku perlahan. Kemudian menoleh dengan dramatis. "Bang Fandi!" panggilku kaget.
"Kenapa?" Fandi mengedarkan pandangannya ke sekitar. "Kamu kok di sini sih, Nisa malam-malam. Bahaya lho."
Am.. Am... Aku tergagap.
"Apa? Lagian kenapa pula kau membawa tas besar." Fandi menatap bingung.
Aku menyengir, dan mendekatkan kepalaku ke telinganya.
"Aku sedang kabur dari rumah."
"What?" kaget Fandi.
"Ada apa? Kok kabur segala?"
"Panjanglah pokoknya. Yang jelas abang Fandi sekarang mau bantuin aku cari rumah kosong nggak?" tanyaku.
Dia tampak berpikir sejenak. "Ya udah, aku bawa kamu ke sebuah rumah. Itu kosan aku dulu"
"Tapi, bang. Aku boleh minta satu?"
"Apa?"
"Abang jangan kasih tau ayah sama ibu, yah. Kalau aku di kosan bang Fandi," pintaku.
"Hmm... "
Fandi membawaku ke seberang jalan raya. Di sana ada motornya yang terparkir di dekat halte bus. Tapi sepindi halte tidak ada siapa-siapa.
***
"Oh, begitu ceritanya" Fandi manggut-manggut. Sepanjang perjalanan aku menceritakan semuanya dari awal sampai aku memutuskan untuk kabur saja dari rumah.
"Eh, tapi bagaimana kalau orang tuamu khawatir, Nisa. Kamu nggak mikirkan itu?"
"Nggak. Memangnya mereka memikirkan tentang aku!"
"Ya, pasti ada niat yang baiklah kamu di nikahkan cepat. Nggak mungkin tanpa alasan kan?"
Aku memutar bola mata malas. "Ah, udahlah. Tanggung aku keburu kabur dari rumah."
"Pikiranmu pendek sekali Nisa, giman nasib sekolahmu?"
"Ya tetap lanjutlah," jawabku enteng. "Kalau untuk biaya, aku bisa bekerja usai pulang sekolah"
"Hm, kamu pandai mengatakannya. Tapi coba ketika kamu menjalaninya, pasti kamu akan berpikir dan menyesal kabur dari rumah," komentar Fandi pada keputusanku.
"Udahlah, kan aku yang jalani. Bukan Bang Fandi. Jadi santai"
"Aih, susah bicara dengan anak bebal macam kau Nisa. Terserah kau lah." Pasrah Fandi dengan jawabku.
***
Tok... tok...tok...
"Nisa! Dhanisa!" teriak seseorang dari luar sambil mengedor gedor pintu.
Aku mengacak rambutku. "Siapa sih?" geramku. Dengan mata terkatup aku berjalan membuka pintu.
"Kenapa sih?"
"Lho kamu nggak sekolah?"
"Nggak bang. Nisa buat alasan sakit. Biar nggak mesti ke sekolah. Lagian ada apa sih bang Fandi udah ke sini aja?"
Aku menutup mulutku jika sesekali aku menguap.
"I-itu. Ahsan. Ayah Ahsan maksud abang"
Aku menggaruk kepalaku. "Iya kenapa?"
"Ayah kamu dilarikan ke rumah sakit. Barusan."
Deg...
Seperti sebuah bom aku mendengar ucapan Fandi. "Ah, yang benar abang nggak lagi bohongkan?"
"Beneran, Nisa. Tadi nggak sengaja aku lewat depan rumah kamu. Trus disana aku lihat ada beberapa orang kumpul. Dan aku coba tanya, katanya Ahsan sakitnya kambuh."
Sakit? Aku tidak pernah tau kalau ayah sakit atau riwayat penyakit gitu.
"Oh ya udah makasih ya infonya."
"Kamu bakalan ke rumah sakitkan?"
"Nggak tau, Fandi. Aku takut"
"Takut apa?" Fandi mengernyit.
"Takut mereka memarahiku atau menolakku sebagai anak lagi!"
Fandi memegang dua bahuku. Melihat manik mataku dengan serius.
"Nisa, kamu harusnya lebih takut kalau kamu bakal kehilangan orang yang kamu cintai. Orang yang akan memberimu surga, jika kau berbakti padanya. Ini saatnya kau harus berbakti Nisa."
Aku menatap Fandi dalam diam.
Yah, aku sudah kehilangan tempat aku bernaung. Tempat aku mencurah rindu dan kasih pada orang tuaku. Dan Ayah Ahsan serta Bu Hamidah adalah orang tua keduaku yang patut aku hormati dan mohon keridhoannya, supaya jalanku senantiasa mulus, dan mendapat keberkahan.
"Iya, sudah. Aku mau mandi dan siap-siap dulu. Tapi Bang Fandi tau rumah sakitnya?"
"Tau, nanti aku antar. Sekarang kamu siap-siap sana," perintah Fandi.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Naira Aliya
nisa keras kepala
2021-08-08
0
Asraulrica
aku mampir kak hehe
2020-05-10
0
Evira
Semangat trus nulisnya thor.💪 aku udh boom like + rating 5.
jngan lupa mampir jg yaa ke nove aku. Judulnya Obata Sakit Hati dan Dokter Cantik Pemikat hati😊
2020-04-24
0