Jam terus bergulir mengikuti peredarannya. Begitu pula dengan hidup yang seperti membentuk suatu pola. Detik berulang setiap menit, menit berulang setiap jam dan jam berulang setiap hari, hari berulang setiap minggu dan tanggal yang sama akan terus berulang setiap tahunnya. Agaknya begitulah dengan kehidupan manusia di muka bumi.
Kita tidak akan pernah tahu kapan akan berakhir. Mungkinkah manusia lahir ke muka bumi sebagai bagian awal kehidupan dan bisakah dikatakan seseorang berada di titik terakhir ketika orang itu sudah mati? Sangat pelik memang untuk memikirkan itu semua.
Namun bukankah Allah selalu bersumpah atas waktu? Allah bersumpah atas nama waktu dalam redaksi yang berbeda-beda, yang pertama, Allah bersumpah dengan waktu fajar (QS. Al-Fajr:1-2); kedua, Allah bersumpah dengan waktu malam dan waktu subuh (QS. At-Takwir: 17-18); ketiga, Allah bersumpah dengan waktu dhuha dan malam (QS. Ad-Dhuha:1-2); keempat, Allah bersumpah dengan waktu malam dan siang (QS. Al-Lail: 1-2); kelima, Allah bersumpah dengan waktu senja dan waktu malam (QS. Al-Insyiqaq: 16-17); dan Allah telah bersumpah dengan al-ashr (demi masa) (QS. Al-Ashr:1).
Jika Allah sudah bersumpah dengan waktu, maka perlulah manusia untuk berpikir bagaimana waktu itu bisa terjadi dan kenapa Allah menciptakan waktu-waktu tersebut. Waktu tercipta karena pergerakan benda-benda di langit, yaitu karena adanya pergeseran matahari di alam raya, sementara bumi mengelilinginya.
Matahari, bumi, dan planet-planet adalah ciptaan Allah. Allah yang sudah mengatur dan menjalankan semuanya sebagaimana mestinya agar tidak ada tabrakan antara satu benda dengan benda lainnya. Jika sudah demikian tentulah ada maksud dan tujuannya, agar manusia bisa menggunakan waktu dengan benar dan tepat untuk kepentingan dan urusan mereka, baik urusan di dunia maupun di akhirat. Waktu yang kita lewati akan kita lewati kembali seperti sedia kala. Setiap hari kita akan bertemu dengan pagi yang sama, sore yang sama, malam yang sama. Semua waktu yang telah diberikan Allah kepada manusia tentulah ada pertanggung jawabannya.
Suara deritan engsel pintu yang digeser cukup menimbulkan kebisingan sesaat. Azzam menutup kembali pintu mushola usai melaksanakan sholat dhuha pagi itu. Ia memang sedapat mungkin berusaha untuk memanfaatkan waktu yang luang untuk menjalankan ibadah-ibadah sunah. Salah satunya shalat dhuha, yang kerap ia laksanakan ketika jam istirahat berbunyi, setelah itu baru ia melanjutkan kembali tugas dan kewajibannya dalam kegiatan belajar mengajar di kelas.
Tugas-tugas anak murid nampak bertumpuk di atas meja yang tidak begitu luas. Azzam kembali melanjutkan memeriksa PR ataupun tugas latihan soal yang diberikan pada muridnya, sebelum bel masuk berdering. Masih tersisa waktu 35 menit lagi.
Bu Lydia tiba-tiba muncul disela-sela Ustadz Azzam sedang mengoreksi soal. Ia meletakkan sebuah kue kotak di atas meja Ustadz Azzam.
"Apa ini, Bu?”
“Oh, itu kue yang sempat saya beli tadi sebelum berangkat ke sekolah,” jawab Bu Lydia sambil melemparkan senyum ke Ustadz Azzam. “Karena saya terburu-buru tadi jadi tidak sempat untuk sarapan, maka saya beli kue saja untuk sarapan pagi,” lanjut Bu Lydia.
Ustadz Azzam menggeser posisi kotak berisi kue yang baru saja diberikannya tadi, ke arah Bu Lydia. “Kalau begitu ini untuk Ibu Lydia saja.”
“Tidak perlu, Ustadz. Yang ini memang khusus saya belikan untuk Ustadz, yang saya itu ada di meja,” kata Bu Lydia, sembari menunjuk ke arah mejanya yang hanya berjarak tiga meja dari meja tempat Ustadz Azzam duduk.
Lengkungan senyum terbentuk di pipinya. “Oh begitu. Saya rasa Ibu tidak perlu repot-repotlah. Ini sudah kesekian kalinya Bu Lydia membawakan saya makanan."
Inilah yang selalu ditunggu-tunggu Bu Lydia senyuman manis yang terpancar dari wajah Ustadz Azzam yang tampak selalu bercahaya mungkin karena kerap menjalankan sholat-sholat sunah selain sholat fardhu.
“Ah, biasa saja, Ustadz,” jawabnya malu-malu.
Usai menerima kue pemberian Bu Lydia, Ustadz Azzam kembali melanjutkan tugasnya untuk mengoreksi latihan siswa. Tapi, Ibu Lydia masih belum beranjak dari sisi Ustadz Azzam.
“Maaf, Bu. Apa ada yang bisa saya bantu?”
Ustadz Azzam bertanya demikian karena melihat Bu Lydia masih ada di sampingnya, takut-takut kalau Bu Lydia sedang membutuhkan sesuatu hanya saja dia segan untuk memulai.
“Hmm, Ustadz kalau nanti siang kita makan bersama bagaimana?” tawar Bu Lydia.
Azzam menggeser posisi duduknya sekitar empat puluh lima derajat dari posisi duduknya semula. “Maaf Bu, bukannya saya mau menolak rezeki dari Bu Lydia, hanya saja saya sudah membawa bekal. Takutnya kalau saya ikut makan dengan Ibu, makanan saya ini menjadi mubazir saja.”
“Wah, saya rasa beruntung sekali yang akan menjadi istri Ustadz, nampaknya Ustadz tidak suka untuk makan-makanan di luar dan hanya setia pada makanan yang memang khas hasil buatan orang rumah.”
Ustadz Azzam hanya menanggapinya dengan senyum simpul.
“Tapi, Ustadz bolehkah sekali ini saja. Ustadz temani saya untuk makan siang." Bu Lydia, masih berusaha membujuk Ustadz Azzam agar mau menuruti permintaanya untuk makan siang.
Kali ini Ustadz Azzam hanya diam tak bergeming, tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya dengan Bu Lydia tentang kehidupannya saat ini, kalau dia sudah menikah. Bagaimana ia bisa jalan berdua dengan wanita lain sementara dirinya sudah memiliki istri. Ia teringat perkataan Nisa supaya jangan memberitahu dulu dengan orang-orang perihal pernikahan mereka.
“Kenapa Ustadz selalu menolak kalau saya ajak jalan bareng atau sekedar bergabung untuk makan, seperti ini misalnya,” nada Bu Lydia kecewa.
Ustadz Azzam melepas kacamata ber-frame hitam yang dikenakannya, agaknya obrolan kali ini sudah mulai lebih serius.
“Karena saya memang tidak bisa, Bu."
“Ustadz seperti tidak bisa menghargai perasaan wanita.”
Perkataan Bu Lydia demikian cukup membuat Ustadz Azzam terkejut. ‘Ya Allah, apakah saya sudah melukai hati wanita ini. Ampuni saya ya Allah’ batin Ustadz Azzam.
“Maaf, Ibu berbicara demikian. Maksudnya apa?” tanya Azzam, tak mengerti.
“Selama ini saya sering mengajak Ustadz untuk gabung makan siang, pulang bareng, tapi Ustadz Azzam selalu menolak saya. Berarti, Ustadz tidak ada niatan untuk menghargai perasaan saya-kan? Sama saja Ustadz Azzam menyakiti hati saya sebagai perempuan.”
Ustadz Azzam memasang muka bingung dan mengerutkan kening. Tapi, ia masih terus berusaha memahami perasaan wanita yang sedang berdiri di depannya itu.
“Bu Lydia, jika memang perlakuan dan perkataan saya selama ini telah banyak menyinggung perasaan Ibu, saya pribadi meminta maaf. Tapi sungguh, dari hati saya yang paling dalam tidak ada niatan saya untuk menyakiti dan menyinggung perasaan Ibu."
“Ustadz Azzam tahukan tentang perasaan saya ke Ustadz? Atau, selama ini Ustadz memang sengaja untuk pura-pura tidak tahu?”
Ustadz Azzam terdiam.
“Maksud, Ibu?”
“Jujur selama ini saya menaruh perasaan dan perhatian lebih ke Ustadz Azzam. Tapi nampaknya Ustadz terlampau diam dan dingin.”
Perempuan zaman sekarang memang lebih agresif dan berani. Apakah ini tanda-tanda dari emansipasi perempuan. Sebenarnya Ustadz Azzam tahu kalau Bu Lydia itu menaruh perasaan dengan dirinya, hanya saja ia memilih diam dan tidak terlalu menggubris perhatian lebih yang diberikan Bu Lydia padanya. Sehingga sedapat mungkin ia menjaga sikap dengan Bu Lydia.
“Bu, Bu Lydia belum mengenal saya. Di luar sana masih banyak yang lebih baik dari saya.”
“Bagaimana saya bisa mengenal Ustadz, kalau Ustadz sendiri tidak pernah memberikan saya kesempatan untuk mengenal Ustadz lebih dekat? Atau, Ustadz sudah ada hati dengan wanita lain?”
Ustadz Azzam hanya tersenyum menanggapi kalimat Bu Lydia.
“Kalau Ustadz tidak berkenan untuk saya ajak makan, tolong untuk pertanyaan saya yang ini dijawab!”
Ustadz Azzam menghela napas berat, agaknya ia mulai terlihat tidak nyaman dengan cara Bu Lydia yang terkesan menekan dirinya.
“Yang jelas memang ada wanita cantik dan baik yang sudah menempati ruang hati saya.”
“Siapa dia, Ustadz? apakah dia juga seorang ahli agama seperti Ustadz? kalaupun demikian kriteria wanita yang Ustadz mau. Saya siap merubah perilaku saya menjadi lebih baik seperti wanita kriteria Ustadz.”
Ustadz Azzam tersenyum sembari dibarengi dengan gelengan kepala. “Kalaupun demikian, sebenarnya cara Bu Lydia sudahlah salah, harusnya kita mau merubah diri kita menjadi baik dari sebelumnya memang sungguh diniatkan dari dalam hati karena Allah ta’ala. Agar apa yang kita lakukan ikhlas dan mendapatkan pahala dari Allah. Tapi, jika itu dilakukan supaya baik terlihat di depan orang lain, itu menjadi tidak bagus.”
Bu Lydia terdiam, lalu tersenyum. Senyum yang dipaksakan. Wajahnya berubah menjadi merah seperti menahan sesuatu yang berat.
“Baiklah kalau begitu, terima kasih atas jawaban dan ceramah singkatnya, Ustadz. Berarti selama ini saya keliru menilai perasaan Ustadz pada saya.”
“Saya minta maaf, Bu Lydia.”
Tanpa menjawab apa-apa lagi, Bu Lydia keluar meninggalkan ruang guru.
Selepas Bu Lydia meninggalkan meninggalkan dirinya. Azzam lantas mengeluarkan dompet dari saku celana, dengan perlahan dibukanya dompet berwarna hitam itu. Ia kemudian manarik secarik foto berukuran 3R yang sengaja dilipat dan diselipkan di antara kartu pengenalnya. Terlihat foto pernikahan mereka berdua, Azzam dengan Dhanisa. Azzam tersenyum tipis memandang gambar foto pernikahan mereka berdua. Setelah cukup, foto itu dilipatnya kembali dan di selipkan di antara sela-sela kartu yang lain dalam dompet coklatnya. Kembali Ustadz Azzam berkutat dengan tugas yang masih bertumpuk di depan meja.
Bu Lydia yang keluar dari ruang guru tampak terburu-buru dan hampir saja menabrak Dhanisa, yang baru sampai di ambang pintu ruang guru hendak menyerahkan sekumpulan tugas Fiqih titipan Bu Afifah, wali kelasnya.
“Ma-maaf, Bu.”
Bu Lydia berlalu begitu saja tanpa membalas ucapanku. Melihat raut wajah Bu Lydia yang tampak sedih dan muram, cukup membuat aku kebingungan. ‘Apa yang terjadi dengan Bu Lydia sampai dia terlihat sedih?’. Namun, aku tidak pula hendak terlalu memikirkannya karena masih banyak juga yang harus aku pikirkan selain memikirkan urusan orang lain.
Aku berjalan menyusuri meja demi meja guru untuk mencari Bu Nafiza. Tidak banyak guru yang ada di dalam ruangan ini. Mungkin sebagian sedang rapat untuk membahas tentang persiapan pelaksanaan ujian nasional siswa kelas tiga. Tanpa sengaja mataku membidik ke arah Abang Azzam yang ternyata ada di mejanya seperti sedang mengoreksi lembaran kertas jawaban murid-muridnya. Namun, aku tidak menghiraukannya karena aku ke sini hanya ingin mencari Bu Nafiza dan mengantarkan tugas yang dimintanya padaku.
Aku masih mencari-cari kemana Bu Nafiza, kenapa aku tidak melihatnya di ruangan ini. Akhirnya aku menaruh dulu beberapa buku tugas yang berada di pangkuan tanganku, dan berjalan ke dapur umum sekolah dan benar saja ternyata Ibu Nafiza ada di sana, aku melihat dirinya sedang mengaduk-ngaduk sejumlah minuman yang berada di dalam nampan jumlahnya lumayan banyak.
“Assalamu’alaikum, Bu,” sapaku.
“Wa’alaikumsalam. Ada apa Nisa? Gimana buku-buku sudah dikumpulkan?” tanya Bu Nafiza sambil mengaduk-ngaduk beberapa gelas berisi kopi dan sebagian lainnya berisi minuman teh.
“Sudah, Bu.”
“Iya terima kasih ya, Nisa. Kalau sempat nanti Ibu akan mengajar dulu sebentar. Baru setelah itu izin, Ibu ada urusan sebentar.”
Aku mengangguk. “Kalau tidak ada lagi, Nisa permisi ke kelas dulu, Bu.”
Aku membalikkan badan untuk kembali ke kelas lagi, baru sekitar lima keramik yang aku injak, suara Bu Nafiza menggema lagi memanggilku. Dengan segera aku menghentikan langkah dan memutar balik badanku. “Ada apa, Bu?”
“Ibu minta tolong lagi boleh ya?” tanya Bu Nafiza. “Tolong antarkan minuman ini ke dewan guru yang sedang rapat di kantor ya,” pinta Bu Nafiza.
Aku mengiyakan permintaan Bu Nafiza, lagi pula mana mungkin aku menolaknya. Tidak tega hatiku melihat ibu Nafiza yang sedang hamil besar harus untuk mengantarkan minuman sebanyak itu. Dengan hati-hati aku mengangkat tampan berisi gelas kaca berderet-deret.
“Kalau begitu saya pamit untuk mengantar minuman ini dulu, Bu.”
“Iya. Hati-hati ya, Nisa.”
Setelah lima menit kemudian, aku kembali lagi untuk menemui Bu Nafiza di dapur umum sekolah. Untuk mengantarkan beberapa minuman yang tersisa di atas nampan berwarna putih.
“Ini, Bu.” Aku menyodorkan kembali nampan tadi. "Tapi masih tersisa tiga gelas lagi," kataku sambil meletakkan nampan di atas meja.
“Masih ada sisanya, ya? Berarti kelebihan minuman yang Ibu buat tadi. Kalau begitu daripada terbuang percuma, tolong kamu antar ke ruang guru saja, Nisa. Berikan pada guru yang masih ada duduk di sana.”
“Baik, Bu.”
Dalam hati sebenarnya kakiku sangat pegal, bolak-balik dari dapur umum ke kantor, kantor ke dapur umum, dapur umum ke ruang guru. ‘Haduh! Nisa ikhlas! harus ikhlas’, batinku mencoba menerima.
Di ruang guru aku hanya mendapati, Pak Chandra, Pak Lazardi, dan satu lagi Ustadz Azzam. ‘Pas-lah! memang minuman yang tersisa tinggal tiga lagi di nampan ini’ gumamku. Dengan santai aku berjalan menghampiri mereka, dan yang terakhir aku sambangi adalah Ustadz Azzam. Tanpa berbicara sepatah kata pun aku meletakkan minuman itu di atas mejanya. Lalu segera pergi.
“Nisa?” suara Abang Azzam memanggil.
Dengan rasa malas akhirnya aku harus memutar balik langkahku menuju meja Abang Azzam, padahal sedikit lagi aku sampai depan pintu keluar ruang guru.
“Terima kasih,” ucapnya singkat.
Aku menggerutu dalam hati. Jauh-jauh aku balik ke sini hanya untuk mendengarkan kata terima kasih! menyebalkan!
Akhirnya aku hanya membalas ucapannya itu dengan senyum yang dipaksakan. “Iya sama-sama. Kalau sudah tidak ada yang penting lagi, Nisa mau ke kelas.”
Abang Azzam mengangguk.
“Nisa,” panggilnya dibarengi dengan lambaian tangan.
Belum ada sepuluh detik aku melangkah, suaranya memanggil namaku lagi. Kali ini rasanya kesabaranku sudah habis, aku benar-benar geram dibuatnya.
“Apa lagi, Ustadz?” tanyaku kesal, namun dengan suara sedikit dikecilkan takut guru-guru yang lain akan mendengar nadaku yang sedikit tidak sopan.
“Abang lupa. Ini ada kue dari Bu Lydia tadi untuk abang cuma karena abang sudah makan. Jadi ini ambillah untuk Nisa.”
Tanpa pikir panjang dan berlama-lama, aku mengambil kue kotak pemberian Abang Azzam.
“Sudah, baliklah ke kelas,” ucapnya.
Setelah keluar dari ruang guru, sambil berjalan sambil pula aku ngedumel sendirian. Kalau aku tidak tahan tadi, mungkin nampan yang aku pegang ini sudah mendarat di kepala abang sepupuku itu. Begitulah dia, kalau menjelma sebagai abang sepupu maka sifat keusilannya akan datang, tapi sifat keras dan tegas akan datang kembali kalau di sudah menjelma menjadi ustadz.
“Bu, sudah semuanya,” ucapku sambil meletakkan nampak pada rak piring yang ada di dapur umum.”
“Terima kasih, Nisa. Dan sepertinya untuk hari ini Ibu tidak bisa masuk dulu ke kelas, karena Ibu mau ke rumah sakit."
“Iya, Bu."
“Ibu titip tugas sama kamu dan tolong sampaikan juga ke teman-teman di kelas, buat resuman mata pelajaran Fiqih tentang Bab Munakahat. Tulis di kertas double folio dan kumpulkan minggu depan.”
“Siap Bu. Ada tambahan, Bu?” tanyaku memastikan.
“Sudah, Ibu rasa cukup. Nisa boleh balik ke kelas,” perintah Bu Nafiza.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Yudhi Nita
Like....
2020-05-21
0
jauza_din
aku mampir ya ka....
semangat terus untuk nulisnya...
mampir juga yuk ke novel aku
"KESALAHANKU"
perjuangan seorang wanita yang diusir dari rumah karena mempertahankan bayi yang dikandungnya
apa itu salah?
2020-05-10
1
Lost
keren
2020-05-10
0