“Huh! Bosan di rumah!”
Aku menggerutu kesal.
Sudah seharian full aku di rumah dan itu sangat membosankan. Abang Azzam melarang untuk pergi ke mana-mana hari ini. Dia menghukum aku supaya diam dan belajar di rumah sekaligus merenungi apa yang menjadi kesalahanku. Ini menyangkut kejadian pasca di Gramedia kemarin. Aku juga sih mata jelalatan, nggak bisa liat yang ganteng-ganteng dikit main asal nyerocos aja. Tapi ya sudahlah aku terima hukumannya, supaya dia mau memaafkan aku.
Di dalam kamar aku membungkus seluruh tubuhku dengan selimut sampai yang telihat hanya kepala, mirip kepompong dan sekarang aku mengguling-gulingkan badan kesana kemari sambil berpikir, apa yang mesti aku lakukan untuk menghilangkan kejenuhan.
Aku meraih handphone yang tergeletak di samping nakas. Jari jemariku menyentuh screen layar handphone untuk mencari nama seseorang. Supaya ada yang bisa aku ajak mengobrol hari ini, demi mengurangi sedikit kejenuhan.
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan segera hubungi beberapa saat lagi. Yang terdengar di ujung panggilan telepon hanyalah operator seluler.
“Tumben Fey nggak aktif.”
Aku menggulirkan lagi layar handphone untuk mencari nama Jihan. Terdengar suara Jihan diujung panggilan telepon.
📞Dhanisa
Sedang apa?
📞Jihan
Nisa kau tidak salah menekan nomorkan?
📞Dhanisa
Kenapa memangnya?
📞Jihan
Nggak sih. Takut-takutnya kau salah tekan nama panggilan di handphone. Mau memanggil Fey tapi yang terpanggil nomor aku.
📞Dhanisa
Hmm ada-ada saja kau nih. Aku sadar kalau aku memang ingin berbicara dengan yang nama Jihan. J.I.H.A.N. Puas?
📞Jihan
Ada perlu apa?
📞Dhanisa
Aku bosan di rumah.
📞Jihan
Terus kau mau ngajak aku ke luar berdua, begitu? Ogah! lagi sibuk bantu Mak masak di rumah. Mendingan isi kebosanan kau tuh dengan belajar memasak biar nanti pas dapat suami betah dia tinggal di rumah, tidak suka keluyuran seperti kau.
📞Dhanisa
Hisstt! apa'an sih. Iya nanti aku belajar. Eh Jihan aku ada pengalaman menarik yang mau aku ceritain waktu ke toko buku kamarin?
📞Jihan
Menarik? Apanya yang menarik kalau cuman ke toko buku.
📞Dhanisa
Yee, makannya dengar dulu. Waktu itu aku lagi mencari buku, terus Jihan mau tau? Tiba-tiba ada pangeran datang berdiri tepat dihadapanku. Perawakannya sungguh luar biasa Jihan, dia seperti idola aku selama ini. Tampan sekali. Kalau kau ketemu dengan dia, pasti bakalan terpesona.
📞Jihan
Ah, masa iya? Kau sempat minta nomor dia? Kalau ada bagilah dengan aku.
📞Dhanisa
Nggak. Tapi kami sempat berkenalan, namanya Hanan. Nanti kalau aku berjodoh untuk bertemu dengan dia lagi, aku bakalan minta nomornya.
Tok...Tok...Tok
“Permisi, Assalamualaikum” suara orang dari luar, mencoba menjeda obrolan telepon kami.
📞Dhanisa
Udah dulu ya. Ada orang di luar. Bye.
Telepon terputus.
Aku segera menyingkap selimut yang melilit tubuh lalu berjalan menuju ruang tamu. Saat membuka kenop pintu yang tampak hanya seorang laki-laki berdiri dengan memakai helm dan berjaket hijau sembari menyodorkan plastik transparan. Dari luar sudah dapat diketahui kalau isi plastik itu box makanan.
“Mbak, ini orderannya sesuai pesanan.”
“Oh iya, makasih yang Bang.”
Sudah dari tadi siang Abang dan Umi keluar namun belum juga dia pulang hingga menjelang seruan adzan ashar. Sementara makanan di rumah tidak ada, akhirnya aku memillih untuk mengorder makanan saja hari ini. Kalau ada Abang Azzam di rumah pasti dia yang menyiapkan semuanya.
Sebenarnya semua bahan yang bisa digunakan untuk memasak tersedia di dapur hanya saja aku kurang pandai dan lihai untuk mengolah bahan-bahan itu supaya sedap untuk di nikmati. Kalau dipikir-pikir sebenarnya bukan tidak pandai, kalaupun tidak pandai memasak-kan bisa lihat-lihat di channel youtube yang bertebaran tutorial cara memasak yang lezat dan nikmat. Cuman belum tergerak hatiku untuk belajar. Dasar! Bilang saja kau pemalas Dhanisa! Aku mengutuk diriku sendiri.
Lama-lama aku terpikir juga dengan apa yang dikatakan Jihan waktu ditelepon tadi. Harusnya waktu senggang seperti ini bisa aku pakai untuk belajar masak di dapur. Lagi pula akukan perempuan, ya pastinya harus pandai mengurus apa yang menjadi pekerjaan ibu rumah tangga. Terlebih saat ini aku sudah menikah. Entah kenapa tiba-tiba pikiranku terbuka.
Sepeninggal aku mengambil orderan box makanan tadi. Aku langsung menuju dapur. Yang pertama aku tuju adalah kulkas. Belaian sejuk angin yang menyerbu dari kulkas menyapu wajahku. Beberapa minuman dalam kemasan botol plastik bertengger di pintu kulkas ketika di pertama kali dibuka. Aku melihat isi setiap bagian dalam kulkas. Ada sayur bayam, tomat, ikan, ayam.
“Hmm, kira-kira buat apa ya enaknya.” Aku berpikir sembari jari tangan aku ketuk-ketuk ke kening.
Semangkin aku berpikir semangkin pula cacing di dalam perut menggeliat. Aku mengelus perut ketika sudah riuh. Aku mengibaskan tanganku ke sembarang arah.
“Ah, sudahlah! Nanti saja, aku mau makan dulu. Sudah super duper laper.”
Akhirnya aku tutup kembali kulkas yang terbuka kemudian mengambil makanan yang aku pesan tadi.
Tidak cukup waktu lama bagiku untuk meludeskan makanan di dalam box tadi. Bagaimana tidak, perut sudah terlalu lapar bagaikan sudah tiga hari tidak makan. Sembari makan sembari juga aku berpikir mau belajar memasak apa kira-kira. Aku meraih handphone untuk mencari resep-resep yang mudah dan praktis. Sekira-kira telah menemukan resep yang pas dan mudah, aku menuju dapur untuk membersihkan sisa-sisa makanan, lalu menyiapkan bahan-bahan masakan.
Pertama, aku mulai mencoba membersihkan ikan lalu memotong-motongnya menjadi beberapa bagian. Tidak lupa diberi sedikit perasan jeruk nipis untuk menghilangkan bau amis lalu melumurinya dengan sedikit garam. Sekarang aku beralih untuk mencuci bersih sayur bayam yang sudah direndam di dalam baskom yang berisikan air bersih. Mengiris-ngiris bawang dan cabe secukupnya, dilanjutkan dengan menumis irisan bawang dan cabe bersamaan dengan potongan sayur yang hijau dan segar. Yang terakhir tinggal menggoreng ikan di dalam minyak yang panas.
Mobil yang dikendarai Abang Azzam sudah terparkir di garasi rumah. Azzam turun bersamaan dengan Umi yang membawa barang belanjaan yang tadi dibelinya dari butik Sarah. Umi rencananya akan menginap beberapa hari di rumah anak menantunya. Ini semua Azzam yang meminta karena abah yang notabenenya dosen sibuk mengikuti majlis di luar kegiatan kampus. Ia tidak hendak jika uminya sendiri di rumah, ada perasaan khawatir dan was-was, mengingat juga umi harus bolak-balik untuk check up masalah kesehatan asam lambung yang didiagnosis berkategori akut.
Aaaaaakkhh ...
Suara teriakan dari dalam rumah menggema begitu keras hingga terdengar sampai ke luar.
Azzam meloncat kaget mendengar suara teriakan itu. Kelopak matanya terbuka lebar. Ia dengan cepat menutup pintu mobil dan berlari masuk ke dalam rumah. Matanya langsung berpendar mencari sumber suara. Dadanya semangkin bergemuruh ketika mendapati Nisa tidak ada di ruang tamu dan kamar.
Gemericik seperti suara minyak mendidih dipenggorengan terdengar dari dalam dapur. Azzam mempercepat langkahnya menuju dapur.
Sekarang yang dilihatnya adalah aku yang sedang melompat-lompat dengan kaki menjinjit sembari menjerit-jerit tak karuan. Di tangan kanan menggenggam spatula sementara di tangan kiri memegang tutup panci demi melindungi wajah supaya tidak terkena jipratan minyak. Tidak berselang setelah itu suara letupan kembali terdengar dari atas wajan penggorengan. Hal itu membuat aku spontan meloncat kaget hingga membuat tubuhku hampir terjerembab jatuh ke belakang. Beruntung ada Azzam yang dengan sigap menyambut tubuhku yang terjatuh. Saat ini aku sudah aman di dalam pelukan Abang Azzam.
“Hah! Apa yang Nisa lakukan?” tanya Abang Azzam dengan raut wajah panik.
Mendengar kalimat Abang Azzam seketika aku terbangun dari pelukannya dan membenarkan posisi berdiriku.
“Nisa menggoreng ikan,” jawabku polos.
“Hanya menggoreng ikan saja hebohnya satu komplek,” pikir Azzam geli.
Aku tertawa cengengesan. “Habis ikannya meletup-letup kayak petasan. Nih udah kecipratan di tangan.” Aku mengangkat tangan kananku untuk menunjukkan luka bekas cipratan minyak panas.
“Kenapa Azzam?” Umi datang menyusul kami di dapur.
Belum sempat keduanya menjawab mata Umi terbelalak kala mendapati asap tebal telah mengepul panas dari dalam wajan dengan kompor masih menyala.
“Astagfirullah itu cepat matikan kompornya,” Umi menunjuk ke arah wajan yang telah dipenuhi asap panas.
Mata kami menoleh mengikuti arah telunjuk Umi. Aku hanya diam terperangah, sementara Abang Azzam dengan cepat mematikan nyala kompor. Mata Azzam menatap tak berkedip nasib ikan di dalam wajan. Sungguh malang nasib ikan ini! sudahlah ia harus menjadi santapan, direndam dalam minyak yang panas sekarang gosong lagi!
“Abang, kenapa?” Aku bertanya karena cukup lama Azzam diam mematung meratapi wajan di depannya.
Abang Azzam menoleh ke arahku. “Hah, sekarang siapa yang mau makan ikan gosong itu?”
Aku mengangkat sedikit leherku untuk melihat kondisi si ikan.
Aku tersenyum lebar untuk menyembunyikan kesalahan dan rasa tak enak hati. “Hm bagaimana kalau dikasih Mouzine,” usulku.
“Mouzine... Mouzine! Teman laki-laki Nisa yang mana lagi itu?" Ia menyergapku dengan cepat.
Aku tertawa tercekikikan kala mendengar Azzam berkata demikian. "Abang dia tuh bukan teman lelaki Nisa. Dia itu kucing."
"Ouh, Abang kira manusia." Abang Azzam tersengih. "Tidak usahlah kasih kucing, Abang suruh Nisa yang makan,” ujarnya bermaksud bercanda.
Aku menggeleng cepat. “Enak aja! Nggak, Nisa nggak mau!"
Melihat kebisingan mereka, umi berjalan mendekat ke arah kompor. “Husst... Sudah, kalian berdua ini, begitu saja ribut. Sini biarlah Umi yang melanjutkan masaknya.”
“Maaf Umi kalau kami ribut di depan, Umi. Tapi Umi lebih baik istirahatlah di kamar biar Azzam yang melanjutkan.”
Azzam mengambil kembali spatula yang ada ditangan Umi.
Srengg... srenggg...
Azzam mengambil serok dan meniriskan ikan gosong tadi. Kompor kembali dinyalakan, tangannya meraih jejeran ikan yang mengantri untuk di goreng. Satu per satu ikan yang sudah diberi bumbu dimasukkan ke dalam minyak mendidih. Seketika minyak panas diwajan langsung membuncah-buncah menimbulkan jipratan kecil. Tidak jauh dari posisi Azzam, aku masih tekun melihatnya membolak-balik ikan supaya matangnya merata.
“Nisa tumben mau memasak?” Suaranya muncul di tengah gemuruh minyak yang melompat-lompat dari wajan.
“Yaa, mau belajar sedikit-sedikit, meskipun tak selihai dan selincah Abang.”
“Kalau begitu besok kita masak sama-samalah?”
Aku mangut-mangut lalu mendehem. “Tapi Nisa tidak janji.”
Azzam menarik napas panjang. “Hm, iyalah. Bagaimana mau pandai. Belajar pun setengah-setengah.”
Aku mengerutkan bibir. “Iya. Oke-oke.”
Beberapa menit kemudian, akhirnya semua sudah selesai. Azzam memalingkan badannya demi melihat ke arahku.
“Sudah makan?” Azzam menatap penuh perhatian.
Aku mengangguk.
Meau ... Meau ...
Mouzine datang mendekat ke arahku dan mengelus-ngeluskan tubuhnya ke kaki.
Karena gemas aku menjongkok lalu menggendongnya.
“Mou, lapar?”
Mouzine mengelus-ngeluskan bulunya yang halus ke wajahku membuat aku terkekeh geli.
“Sejak kapan di sini ada kucing?” Azzam bertanya karena tiba-tiba ada kucing yang merengsek masuk ke dapur.
“Tadi, tadi Nisa yang mengambilnya. Sebenarnya Mou tinggal di rumahnya Fey. Eitss, jangan salah paham dulu. Nisa nggak kemana-mana kok tadi. Fey yang mengantarnya kemari, tadi pagi."
Abang Azzam mengangguk.
“Bolehkan? Masak memelihara kucing pun tidak boleh. Supaya di rumah ada teman bermain. Yayaya.”
“Iya, tidak apa-apalah. Lagi pula kalau Abang larang pasti Nisa tidak maukan!?.”
“Thank you, Abang.”
Tidak tahu rasanya kalau mendengar suara kucing kesayangan seketika rasa gemes datang untuk segera memeluk dan menciumnya dengan gemas. Seperti yang aku lakukan saat ini. Kucing memang hewan yang menenangkan dan bersahabat. Sejak kecil aku memang begitu suka sekali dengan kucing.
Aku lihat Abang Azzam hanya menggeleng-gelengkan kepala kala mendapati aku selalu mencium-cium Mouzine.
“Nisa seperti itu mirip seperti sedang bermain dengan anak bayi,” komentar Azzam.
Aku memeluknya dengan gemas. “Habis aku rindu sekali dengan dia.”
“Kalau begitu Abang maulah jadi kucingnya, supaya bisa dipeluk.”
Mendengarkan ucapan Azzam, aku bergidik geli. “Iiiiiii, apalah Abang nih.”
Melihat sikap Nisa yang demikian Azzam membayangkan bagimana kalau dia memiliki anak kelak. Azzam membayangkan itu dengan begitu manis. Hingga tidak menyadari kalau Nisa menatapnya aneh.
“Abang, kenapa?”
Abang Azzam terkesigap. “Tidak. Abang cuman bayangkan bagaimana gemasnya kalau Nisa punya bayi nanti.”
‘Bayi? Aih, menikah dengan dia saja aku kemarin ogah-ogahan sekarang dia bilang bayi pulak.
Dulu aku sudah menyusun target-target yang hendak aku capai selama sepuluh tahun yang akan datang. Setelah aku lulus nanti, aku ingin ikut tes untuk beasiswa kuliah di luar negeri, kemudian bekerja. Kalau masalah menikah aku membuat target ketika umurku dua puluh lima tahun karena aku merasa umur segitu sudah mantap untuk aku membina rumah tangga. Tapi sepertinya target menikah agak melenceng dari jalur. Ini aku berumur delapan belas tahun sudah menikah. Untuk masalah bayi biarlah agak lambat sedikit ya Ustadz!’ batinku.
“Nisa?”
Aku menyahut, dengan masih fokus memainkan bulu-bulu Mouzine.
“Abang tahu kalau Nisa belum bisa terima Abang, setiap hari kita gaduh entah itu masalah kecil atau masalah besar. Tapi boleh Abang minta satu dengan Nisa?”
Ucapan Azzam cukup mengalihkan fokusku untuk berhenti mengelus bulu-bulu Mouzine. “Apa?”
“Abang mau kita hidup sebagaimana pasangan suami istri yang menjalani biduk rumah tangga yang damai dan penuh cinta,” kalimatnya terhenti. “Itu hanya selama Umi tinggal di sini.” Suaranya sengaja dikecilkan supaya tidak ada orang lain yang mendengar.
Aku mengernyit.
“Nisa, mau kabulkan permintaan Abang?” tanyanya penuh harap. “Abang ingin kita bekerja sama untuk tampil seolah-olah kita hidup saling menumpahkan cinta dan kasih satu sama lain.”
Agaknya begitu panjang cerita kami di dapur hari ini. Sampai akhirnya suara umi terdengar dari luar sedang memanggil kami. Dengan cepat aku membalik badan dengan maksud mau menemui umi.
“Nisa, sebentar?” Dia mengenggam pergelangan tanganku dengan erat, hingga membuat langkahku tertahan.
Aku diam sesaat, melihat raut wajah Abang Azzam yang demikian sedikit membuatku kasihan.
Lama aku terdiam baru kemudian mengangguk. “Iya"
“Iya Umi, sebentar!” teriakku dari dalam dapur.
“Kalau begitu ayolah ke luar, tapi sebelumnya lepaskanlah Mouzine supaya dia bisa berjalan bebas ke luar.”
Mouzine aku lepaskan dari pelukan, dan membiarkannya menikmati kebebasan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
R.I.Y
Dah mampir y thor, di boomlike dan rate aja lngsung, bacany pelan2, trima kasih sdh mampir sblmny, ttap smngat, dan sehat selalu
2020-05-05
1
Oldbee
saya mampir nih 😁
jangan lupa mampir lagi ya ke cerita saya
2020-05-05
0
Ig & fb : Karlina_Sulaiman
aku udah mampir ya kak
2020-05-05
0