Rivan
Nis, jangan lupa hari ini bawain flashdisk aku, karena ada data kepengurusan OSIS tahun lalu dan standing benner kegiatan pensi yang dibutuhkan di dalamnya.
Sebuah pesan dari Rivan masuk dalam notifikasi WhatsApps.
Dhanisa
Okey. Ntar aku bawa ke sekolah
Send.
Usai membaca pesan Rivan, dalam hati aku berpikir-pikir di mana terakhir aku melihat flashdisk milik Rivan. Jangan sampai hilang, bisa-bisa aku diamuk pak ketua kelas!
Aku beranjak dari meja makan dan mengecek tas ranselku. Benar, aku tidak menemukan barang Rivan di sini.
Aku berdiri sambil menyandarkan tubuhku pada dinding, sambil kedua tangan terlipat menyilang di depan dada. Masih berusaha mengingat-ngingat, tapi rasanya tidak cukup jika aku hanya berdiam begini. Saat ini juga aku harus menemukan barang itu dengan cepat. Jangan sampai aku tidak jadi berangkat ke sekolah hanya demi mencari benda itu.
Pagi-pagi sekali aku sudah berisik sendiri. Buku-buku yang berada di rak aku obrak-abrik semua, buku-buku itu sekarang tergeletak tak beraturan di lantai. Tidak puas, untuk kali kedua isi tas aku cek kembali. Siapa tahu ada bagian yang terlewat untuk aku cek. Buku dan alat tulis yang sudah dimasukkan dengan rapi sebelumya, kubongkar kembali sampai tiada tersisa. Tas pun, aku angkat-angkat ke udara lalu membaliknya. Tapi tidak ada benda yang jatuh ke lantai.
Aku mendengus kesal. Kemana sih! biasanya benda-benda kecil seperti itu aku taruh di dalam zipper bag. Tapi ini nggak ada.
Meja kerja Azzam satu-satunya bagian yang belum aku cek. Aku coba mengaduk-aduk setiap bagian dari meja kerjanya, mulai dari laci sampai rak-rak yang ada di dekat meja Azzam. Tetap nihil.
Dari dalam rumah aku mendengar suara deru halus mesin mobil Azzam, yang sedang dipanaskan di garasi mobil. Sementara aku masih belum menemukan flashdisk milik Rivan yang diberikannya tiga hari lalu. Aku mengirim pesan lagi pada Rivan.
Dhanisa
Van, aku nggak ketemu flashdisk kamu, gimana dong?
Rivan
Aduh! gimana sih Nis, kita butuh banget filenya.
Dhanisa
Harus hari ini banget, Van? Nggak bisa besok aja gitu?
Rivan
Nggak bisa Nis, karena udah janjian dengan tim percetakan kalau desain standing banner memang harus dikirim ke percetakan hari ini juga.
Pesan Rivan hanya aku baca, tanpa membalasnya.
Aku berhenti sebentar. “Dua hari lalu seingatku, aku menaruhnya di meja belajar waktu sudah nge-print terus aku masukkan ke dalam tas. Iya, seingat aku begitu,” kataku mencoba mengingat kronologi waktu itu ketika terakhir kali aku memegang flashdisk.
Aku berlari menuju garasi, menghampiri Azzam yang tampak sedang mengelap-ngelap bagian dashboard mobilnya.
“Abang, nampak flashdisk warna biru nggak? ada gantungan starp tali warna hitam,” tanyaku.
Azzam menggeleng.
Melihat rekasinya demikian, aku kembali masuk lagi ke dalam rumah. Aku berjalan masuk sambil menggerutu.
“Uh! Rivan ngapa mesti ngasih tahunya sekarang sih kalau lagi butuh, ngapa nggak dari kemarin coba. Biar aku lebih leluasa nyarinya, kalau pagi ginikan jadi gelabakan.”
Saat aku ngedumel Azzam datang untuk dengan meletakkan benda kecil di atas meja di ruang tamu. Mataku mengikuti arah tangannya saat meletakkan benda itu. Dengan sedikit menyipitkan mata mencoba memastikan benda itu dari kejauhan. Aku mempercepat langkah kaki mendekat ke arahnya.
Tanganku mengangkat benda itu sekedar untuk memastikan takutnya ada flashdisk lain di rumah ini yang sama dengan yang ini.
“Nah, iya. Ini nggak salah lagi punya Rivan,” ujarku, sumringah.
“Bang, di mana abang dapatnya?”
“Di dashboard mobil.” Dia menjawab tanpa menoleh ke arahku. Aku sedikit merasa ada yang aneh dengan Azzam tidak biasanya dia bersikap cuek dan dingin itu. Apa dia masih marah karena semalam? Aku mengangkat bahu sambil mengerucutkan bibir.
Aku mendekat ke sisinya. “Bang! Abang masih marah dengan, Nisa?” tanyaku dengan manis.
Tidak ada sahutan balasan dari Azzam. ‘Ish! aku seperti sedang berbicara dengan tembok.’
Tapi aku tidak kehabisan akal. Aku melakukan apa yang biasa aku lakukan ke ibu, kalau ibu lagi ngambek denganku. Aku mencoba bertanya lagi tapi dengan topik lain, mataku mengekor ke arah jam dinding.
“Bang, kenapa abang pagi-pagi sekali berangkatnya? Biasanya pukul enam lewat empat puluh Abang baru berangkat.” Aku coba menilik-nilik wajahnya. Namun, tidak berhasil. Saat aku berbuat demikian dia selalu membuang muka dan menghindar dariku.
Sekarang aku beralih duduk di sofa sambil memainkan kuku-kuku jari. “Abang kok ngacangin Nisa? Apa karena semalam? Kalau memang iya, kan Nisa sudah ngaku salah dan minta maaf, terus abang bilang udah maafin. Trus kenapa masih marah?” nadaku sedih.
Aku melihat dia tampak mulai sedikit bereaksi. Dia menghentikan aktivitasnya sebentar. Hal yang dilakukannya demikian membuat perasaanku sedikit merasa lega. Sepertinya apa yang lakukan berhasil.
Azzam bangkit dari kursi sofa, lalu mendehem. “Abang berangkat lebih awal, karena ada piket kantor.”
“Ouhh,” ujarku diikuti anggukan kepala.
Tas yang tergeletak di atas meja ruang tamu, diraihnya sebelum melangkah ke luar.
“Abang berangkat dulu, Assalamu’alaikum.” Tanpa menoleh sedikit pun ke arahku dia beranjak pergi.
"Wa'alaikumsalam," balasku.
Mobil perlahan menjauh meninggalkan pekarangan rumah. Aku masuk kamar menggambil tas dan bersiap-siap ke sekolah. Namun, sebelumnya aku mengetik pesan sebentar.
Rivan
Van, udah ketemu.
Send.
***
Suara dering bel menggema begitu nyaring sampai ke setiap sisi sudut ruang kelas. Aku berjalan dengan energik dan lincah, sambil sesekali berdendang kecil menuju ruang kelas.
Taraaa!!!
Aku melonjak kaget saat tiba-tiba ada seseorang yang melompat di hadapanku, sambil menyodorkan kue cheese cake, dengan lilin menyala di atasnya. Lalu menyusul tembakan confetti, sehingga warna-warni kertas tersebar di ruangan. Jihan meniup terompet layaknya tahun baru. Suasana terasa menjadi ramai dan seru.
“Selamat ulang tahun, Dhanisa,” sahut mereka berempat sahabat and the genk.
Sesaat senyum lima senti mengembang diikuti semu merah di pipi. Aku mencoba menutup sebagian wajahku untuk menyembunyikan semu merah yang mencuat. Tapi rasa kebahagian yang membuncah-buncah sulit aku tutup rapat-rapat.
Mereka memang sangat perhatian dengan aku. Tidak disangka, aku kira hanya musuh dan orang jahat yang banyak bersliweran di muka bumi ini, tapi ternyata dari sekian banyak manusia, aku masih bisa menemukan manusia baik dan peduli dengan sesama.
Fey datang dan melangkahkan kaki lebih dulu ke arah ku. “Gimana semalam, udah enakan?”
“Apanya?” Aku bertanya dibarengi dengan wajah yang masih berseri-seri.
Fey mengangkat jari telunjuknya dan mengarahkan ke kepala.
“Ouh, udah kok. Udah enakan sekarang.”
Dia menoleh ke belakang sekejap. “Jovan, sini kue cheese cake-nya, kita siapin buat kamu. Aku minta kamu tiup lilinnya.”
Aku menarik napas dalam-dalam dan siap meniup lilin kecil yang melambai-lambai di atas cake yang dibawa Fey, lilin-lilin kecil itu seolah-olah meminta supaya aku segera meniupnya sekarang.
“Eitss” gerakanku terhenti seketika.
“Kenapa?” tanyaku keheranan.
“Aku mau kamu lafadzkan dalam hati satu pemintaan sebelum kamu tiup lilin ini,” pinta Fey.
“Satu doang nih? permintaan aku banyak, nggak cuman ada satu.”
Fey menggelengkan kepalanya sekali.
“Ya elahhh Nis. Banyak katamu? itu permintaan apa list-san belanja? banyak,” usik Jovan.
Aku hanya tertawa sambil menggeleng-geleng, mendengar kalimat Jovan. Ada-ada saja kata yang bisa dia gunakan untuk membuat kita tertawa.
Aku terdiam lalu meminta satu harapan dan do'a seperti permintaan Fey. “Sudah.”
“Kalau aku boleh tahu apa do’anya?”
“Rahasia dong, hanya aku dan Allah yang boleh tahu,” balasku.
Aku lihat dia menghela napas pasrah.
“Mana flashdisk, aku?” Tiba-tiba Rivan mencul dari belakang mereka sambil menyodorkan tangan.
“Yee, Pak Ketua Kelas, nggak bisa liat orang happy dulu apa?" protesku.
“Yah, masih mending aku tagih flashdisk, kalau aku nagih hutang gimana? Hayo, beratkan?” usik Rivan.
“Hmm... iya-iya, Pak ketua kelas emang selalu bener,” kataku mengaku kalah.
Tak setelah teman-temanku bergantian mengucapkan selamat. Seorang guru dengan langkah gontai masuk ke dalam kelas.
“Ayo! bubar-bubar! Balik ke kursinya masing-masing, sekarang!” perintah Rivan, si ketua kelas kepada seluruh penghuni kelas.
Anak-anak mulai berlarian kecil menuju bangku masing-masing begitu juga dengan aku. Aku duduk dibarisan kedua dari depan, dekat dengan pintu. Di sebelahku Jihan.
Kelas yang awalnya mirip dengan suasana pasar seketika mulai hening dan senyap saat guru itu sudah masuk dan berdiri di depan kami.
“Assalamu’alaikum warahhmatullahi wabarakatuh”
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh” jawab murid-murid serentak.
“Sebelum kita mengawali pembelajaran hari ini, mari kita berdoa terlebih dahulu.”
Semua murid tertunduk dan tenggelam dalam khusyuknya do’a sebelum belajar yang dipanjatkan dalam hati.
“Kholas. Selesai.”
“Ustadz, kenapa Ustadz Azzam yang masuk mengisi pelajaran Fiqih? Bukannya Bu Afifah?” suara Charisa pertama kali terdengar.
“Iya Ustadz, Ibu Afifah kemana?” Dila juga berkomentar.
“Beliau sudah mengajukan cuti selama sebulan untuk persiapan kelahiran anak keduanya bulan ini. Jadi, Bu Afifah sudah meminta izin dan berkoordinasi dengan waka kesiswaan dan kurikulum supaya meminta saya untuk menggantikannya sementara, mengisi mata pelajaran Fiqih.” Azzam menimpali pertanyaan siswa-siswanya.
“Ouhh” suara mereka serentak, lebih mirip paduan suara.
Ustadz Azzam berjalan mendekat papan tulis dan menuliskan kata munakahat.
“Baiklah pada pertemuan kali ini kita akan membahas Bab Munakahat. Silahkan keluarkan buku masing-masing.”
“Bab munakahat ini, bab tentang pernikahankan, Ustadz?” Jovan bersuara.
“Iya, betul Jovan. Kata munakahat merupakan istilah dalam bahasa Arab, sementara dalam bahasa Indonesia kita sebut pernikahan atau sama artinya dengan perkawinan.”
Usai mendengar kalimat Ustadz Azzam, tampak Jovan senyum-senyum sendiri sambil menyibak lembar demi lembar buku di depannya.
“Jo, kok kamu senyum-senyum sendiri sih?” tanya Charisa yang duduk bersebrangan dengan Jovan
“Biasa, Jo sudah nggak sabar buat menempuh bab ini dalam hidupnya,” ujar Sadam turut menimpali balik temannya.
Semua orang di dalam kelas tertawa mendengar perkataan Sadam.
“Jo, mau menikah muda, Ustadz!” suara Aldion ikut nimbrung.
Aku ikut menyungingkan senyum saat mendengar guyonan yang dilemparkan teman-teman satu kelas. Sepertinya mereka sangat antusias ketika membahas bab munakahat.
Sebelum Azzam menanggapi pernyataan muridnya, dia tampak melihat ke arahku sebentar. Dengan sedikit santai ia berjalan mendekat ke arah siswanya.
“Tidak masalah. Islam tidak pernah mematok batasan umur untuk menikah, selama orang itu sudah baligh, mampu bekerja, dan berkecukupan bisa untuk menjalankan pernikahan atau membina rumah tangga. Untuk itu menikah muda dalam islam hukumnya halal dan boleh selagi dalam rukun pernikahan yang sah dan memenuhi syarat-syaratnya.”
“Dengar tuh Jo! jadi kalau kau tidak tahan lagi mau menikah, maka menikahlah sekarang,” ledek Sadam. “Kalau aku sih belum siap.”
Seketika kelas menjadi riuh kembali.
Ustadz Azzam bergeser dari posisinya, lalu melanjutkan kembali penjelasan yang belum selesai.
“Tapi yang perlu diketahui, jika sudah membangun kehidupan rumah tangga dalam sebuah ikatan pernikahan. Kalian harus paham tanggung jawab masing-masing. Bagi seorang laki-laki yang sudah berani mempersunting wanita, maka si pria harus berani bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya sebagai kepala keluarga. Begitu pun dengan istri yang harus taat pada suami karena itu kunci surga seorang istri. Taat dalam artian mengikuti perintah dan nasihat suami yang berhubungan dan tidak menimbulkan kontradiksi dengan apa yang Allah perintahkan,” jelasnya panjang lebar.
Seisi kelas hening lagi. Semua siswa tampak menyimak dengan saksama penjelasan Ustadz Azzam. Aku pun begitu, tapi itu hanya bertahan 15 menit. Setelahnya tubuhku mulai gelisah, merasa lelah dan ingin tidur. Sekeras apapun aku melawan, mataku yang mengantuk tetap tidak bisa berbohong.
UAHHHH!
Aku menguap lebar. Aku rasa puluhan setan sedang masuk dan mempengaruhi jiwaku. Sekali lagi aku menguap, tak tahan. Aku rasa mataku sudah memerah.
Penjelasan Ustadz Azzam di depan bagaikan nyanyian Nina Bobo di malam hari. Tulisan di papan tulis terlihat seperti bintang dan gugusan planet membentuk garis lengkung yang terlihat tersenyum sambil mengucapkan, selamat tidur...
Jihan menyikut lenganku melihat kepalaku mulai jatuh dipelukan buku pelajaran dengan begitu mesra dan syahdu.
"Nis, bangun ntar kamu kena tegur dengan Ustadz Azzam lho"
Aku kembali mengangkat kepalaku dengan berat.
"Ustadz Azzam di depan sedang mengajarkan materi atau ceramah sih?” tanyaku, berbisik.
Jihan menoleh ke arahku sekilas. “Mungkin inilah yang dinamakan mengajar metode ceramah," bisik Jihan, lalu kembali fokus menyimak penjelasan Ustadz Azzam.
Kepala aku dekatkan dengan Jihan seraya berbisik. “Dari mana kau tahu?”
Jihan mengangkat bahu. “Nggak tahu sih, cuman asal nebak.” Jihan menyengir.
“Aku ngantuk benget, sumpah!”
Jihan menyudahi aktivitas menyimak penjelasan Ustadz Azzam, dan balik menceramahiku tapi dengan masih berbisik.
"Aku yakin setan sedang berbisik ke telinga kamu. Dia bilang gini Nisa tidurlah... tidurlah... kamu butuh istirahat.... gitu."
"Kok kamu tau setan bisikin aku begitu? Kamu temennya ya?" kataku bermaksud mengusili Jihan.
"Ish! Kamu tuh yang temannya setan. Mending kamu keluar dan ambil wudhu," seru Jihan, supaya memintaku segera menyudahi aktivitas mengantuk dan keluar mencuci muka.
Agaknya suara kami mungkin sudah sampai ke telinga Ustadz Azzam. Itu terlihat dari sorot matanya yang mengawasi kami berdua.
"Dhanisa!? Saya tidak suka ada anak murid yang mengobrol ketika saya sedang menjelaskan," tegur Azzam.
Aku tertunduk saat Azzam usai menegurku.
Netra Azzam kemudian melihat ke arah jam yang melekat di dinding. Masih ada waktu beberapa menit lagi. “Baik sebelum saya lanjutkan ada yang ingin bertanya?”
Fey mengacungkan tangan ke udara.
“Ya, silahkan Fayzulen.”
“Ahm, Ustadz bagaimana bila ada seseorang laki-laki atau wanita yang dipaksa untuk menikah namun sebenarnya dia tidak saling kenal dan cinta dengan orang itu?”
Mendengar pertanyaan yang diajukan Fey, mataku langsung mengerjap kaget bak habis kesentrum listrik bertegangan tinggi. Mengapa pertanyaan Fey itu mirip dengan yang aku alami saat ini? Apa dia sedang menyindirku? Apa Fey sudah tau? Aishh.. Tapi kalaupun iya, pasti beberapa hari ini dia marah dan menjauh dari ku.
Aku menoleh ke arah Azzam untuk melihat bagaimana reaksi Azzam ketika menanggapi pertanyaan Fey.
Dia tampak tenang-tenang saja, bahkan tersenyum berbeda dengan aku yang tegang dan gelisah sana-sini.
Dia menarik napas dalam-dalam tapi masih dengan posisi rileks.
“Apabila seorang pria atau wanita sudah memenuhi kriteria atau syarat untuk menikah dan ditakutkan akan terjebak pada perzinahan dan pergaulan bebas ataupun yang bisa menimbulkan fitnah padanya maka kedua orang tua boleh memaksanya, bahkan menikahkan anaknya tanpa sepengetahuannya." Ustadz Azzam menjelaskan dengan santai.
“Nggak bisa gitu dong, mana bisa perempuan kawin tapi nggak dikasih tahu dulu.” Charisa si cewek bawel mulai menyanggah.
“Kenapa memangnya, Ca? Kenyataannya banyak kok orang yang menikah dijodohkan, bahkan mereka tidak saling mengenal satu sama lain, tapi mereka akhirnya bisa menerima satu sama lain.” Sadam protes.
Aku menyeka dahi. Ya ampun, apalagi sih yang mereka perdebatkan? Kenapa jadinya ke cerita perjodohan coba!
Kala mendapati anak muridnya mulai saling beradu argumentasi, dia berbicara kembali. “Tidak semua pernikahan di atas perjodohan itu tidak indah, bisa jadi mereka lebih romantis daripada pasangan yang sudah mengenal pasangannya satu sama lain. Ingat! mau kemanapun kita berlari kalau pasangan kita dia yang sudah tertulis dalam kitabnya (lauh al-mahfuz) maka harus di terima karena itu takdir Allah. Hanya saja mungkin skenario awal yang Allah beri sedikit berjalan tidak sesuai dengan kehendak kita. Tapi Allah selalu memberikan yang terbaik. Apa yang dibutuhkan bukan apa yang kita inginkan.”
Di dalam QS. Ar-Ruum ayat 21 telah disebutkan. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dan jenismu sendiri, supaya kamu cenderung merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Dari surah tersebut bahwa penikahan adalah keterpaduan antara ketentraman (sakinah), rasa cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah).
Azzam memandang Dhanisa dari ujung pupilnya dengan pandangan penuh cinta dan kasih sayang. Azzam tahu dirinya dan Dhanisa menikah bukan didasari dengan perasaan cinta, tapi ia yakin pernikahan yang diniatkan dengan tujuan mulia insyallah akan senantiasa mendapat keridhaan Allah. Azzam begitu yakin niat ikhlasnya akan dapat mempertebal keimanannya.
"Apa masih ada pertanyaan?" Ustad Azzam melirik ke arah jam dinding di kelas. Masih ada waktu tiga menit sebelum bel pergantian jam berbunyi.
Azzam seperti sedang terpikir sesuatu.
"Jangan-jangan di sini sudah ada ada yang akad, tapi diam-diam," ujar Ustad Azzam menggoda muridnya. Setelah melihat ke arah murid-murid, pandangan terakhirnya dijatuhkan pada Nisa. Dalam hati Azzam tertawa gemas, melihat ekpresi wajah Nisa, dengan muka berkerut dan sedikit pucat karena gelisah.
"Syafahira Dhanisa, Pak," celetuk Aldion tiba-tiba tanpa ada penyaringnya.
Seisi kelas tetawa.
"Lihat tuh, muka dia dari tadi tegang, pucat lagi," kata Aldion masih lanjut meledekku.
"Heh, Aldion! Dia tuh pucat karena semalam sakit vertigonya kambuh, waktu kita lagi ngerjain laporan praktikum. Kamu jangan asal judge orang!" protes Jihan.
Aku menarik napas dalam-dalam menahan kekesalan. Tanganku memegang pulpen dengan kuat sampai ujung pulpen menusuk kertas. Rasanya ingin cepat-cepat aku mengakhiri pembelajaran hari ini karena perasaan geram kian membuncah di dalam dada. Padahal sudah bagus mood-ku pagi-pagi diberi kejutan ulang tahun. Tapi, seketika dihancurkan kembali.
"Yey, jangan marah dong, kan aku cuma bercanda. Maaf ya Dhanisa."
Aldion mengangkat kedua tangannya ke depan dada.
Aku menoleh ke arahnya, lalu memberikan senyum lima senti yang dipaksakan.
"Baiklah. Sudah, sudah. Saya tutup dulu pembelajaran hari ini. Assalamulaikum wr wb."
Azzam meraih bukunya kembali lalu berjalan ke luar ruangan. Saat diambang pintu, ia memperlambat derap langkahnya. Kata-kata Jihan terngiang-ngiang di kepalanya. Nisa, sakit? berarti dia semalam terlambat sampai ke rumah karena sakit vertigo yang diidapnya kambuh lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Bonteng Cihuy
HAI KAK aku hadiahi kamu bomlike disetiap bab+ rate biar makin semangatt....
jangan lupa fade back ya..ayo kita saling mendukung
ditunggu bomlike +rate 5 nya
salam hangatt
2020-05-02
1
Noejan
Haii thor, aku udah mampir n boomlike
Smangatt thor
2020-04-30
2
Shankara
aku sudah boom like dan aku kasih rate 5, sudah ku favorit kan juga lho..
di tunggu feedback-nya ke
Catatan Hati Rina dan Suami Untuk Cinta
mksih ya 😊😊
2020-04-29
0