Hawa sejuk masih tercium segar, tampak pula jalanan yang mulanya kering sekarang masih lembab dan basah akibat guyuran hujan semalam. Pagi-pagi sekali orang menggeliat memulai aktivitasnya di awal pekan ini. Begitu juga satu keluarga yang menempati rumah permanen yang lumayan besar dengan rerumputan hijau, pohon yang rindang serta tanaman bunga yang warna-warni terlihat semarak dan asri.
Aku masih mematut-matut diri di depan cermin, memastikan apakah penampilanku sudah oke. Tidak ketinggalan, aku menyemprotkan parfum supaya wangi. Sekarang giliran buku-buku yang aku jejalkan rapi masuk ke dalam tas. Helm berwarna biru yang terletak di sudut kamar tidak luput dari pantauanku
“Oke, sekarang semua sudah siap, waktunya cuss!” ucapku semangat.
Dengan gaya santai dan cuek aku berjalan keluar menuju garasi.
“Bu, Nisa berangkat!” teriakku berpamitan dengan ibu sambil bersiap-siap menunggangi motor matic.
“Eh, Nisa sarapan dulu!” teriak ibu pula, saat melihatku sudah ada di atas motor.
“Nanti aja Bu, di sekolah!” jawabku segera.
Sekarang helm full face berwarna biru sudah menutupi wajahku yang manis.
“Iya hati-hati dijalan, kau jangan ngebut-ngebut ya!” pesan Ibu yang sedang membeli sayur di depan.
“Iya Bu. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”
Dengan perasaan senang dan bahagia yang menyelimuti hari ini, aku langsung menggember motor matic menembus jalanan. Dengan tujuan utama menjemput Fey karena pagi-pagi sekali ia meneleponku untuk dijemput karena motornya tiba-tiba mogok.
Setelah lebih kurang lima belas menit aku sudah tiba di depan rumah Fey yang berada di Gang Mangga No.5, rumahnya tampak besar dan mewah. Fey merupakan anak kedua dari seorang pengusaha konveksi dan ibu Fey adalah seorang dokter. Tidak heran dengan pekerjaan yang mapan, tentu akan membuat pundi-pundi rupiah mengalir dengan deras dan mudah.
“Nisa!” suara Fey memanggil sambil melambaikan tangan ke arahku.
“Buruan Fey!” pekikku.
Fey segera mempercepat langkahnya. “Kamu turun, sini biar aku yang bawa,” ujar Fey dengan tangan sudah memegang stang motor.
“Oke,” jawabku singkat.
Aku duduk membonceng di belakang Fey. Dengan sigap ia menarik tuas gas motor dan berpacu melawan pengendara lain. Aku memegang erat pinggang Fey dari belakang.
Akselerasi Fey dijalanan baru berhenti ketika motor kami dihadang lampu merah. Saat motor berhenti, Fey dikejutkan oleh tepukan yang mendarat dipundaknya, secara bersamaan aku dan Fey menoleh ke pengendara yang ada di sebelah. Sebuah motor Vixion hitam yang dikendarai Azzam. Guru kami.
“Eh, Ustadz." Fey menyapa sopan kala tahu di sebelah ada gurunya.
“Hati-hati bawa anak perempuan orang,” nasihat Azzam dengan mata mentap ke arahku sembari sengulas tersenyum. Aku membalas demikian.
Mata yang melihat ke arahku itu seperti bukan pandangan biasa. Matanya seperti sedang berbicara. Tapi aku kurang tahu pasti maksudnya. Aku yang merasa sedikit agak risih, langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. Obrolan singkat dijalan raya akhirnya terpotong juga oleh lampu merah yang menyala hijau. Kami pun bersiap kembali menembus jalanan.
Dari kejauhan beberapa siswa berjalan dengan terburu-buru karena sedikit lagi pintu gerbang sekolah akan tutup. Ya, sekitar satu menit lagi. Aku mencubit pinggang Fey, supaya membawa motor lebih cepat lagi, jangan sampai aku terlambat hanya karena menjemputnya tadi.
“Iya-iya tenang, lagian kita sudah deket kok, ya nggak mungkin terlambat lah,” ucap Fey penuh yakin.
Motor matic ku sudah masuk ke pekarangan sekolah. Fey memarkirkan motor dengan hati-hati dan rapi di antara motor-motor siswa lainnya.
“Ini kuncinya.” Tangannya menyodorkan kunci motor dengan gantungan aklirik digital cutting bergambar pemandangan berbentuk huruf D bersamaan dengan sebuah coklat. ”Aku sebenarnya udah simpenin ini buat kamu semalam, tapi aku lupa bawanya. Jadi, ya aku bawa sekarang aja.” Senyum Fey begitu merekah ketika mengangsurkan bungkusan coklat itu.
Aku menyambut pemberian Fey. Tangan kirinya sekarang juga turut menggenggam tanganku. Sekarang tangan kami tertaut. “Terima kasih untuk kebahagiaan semalam."
Aku tersenyum simpul. “Aku juga terima kasih karena sudah mempercayakan hati itu untuk aku," kataku dengan rikuh.
Kalau di bandingkan dengan taman yang di ramaikan dengan bunga, agaknya hati kami lebih semarak dan berwarna hari ini. Kita tidak bisa menyembunyikan itu satu sama lain. Senyum bahagia memancar dan tampak jelas raut wajah yang terus bersemu merah seperti tomat.
Dooorrr ...
Tepukan Jovan mengejutkan kami dari belakang.
“Hey, selamat ya!" Jo menyapa dengan semangat 45. Lalu berjalan dua langkah, hingga ia sekarang berdiri tepat dihadapan kami. "Jangan lupa PJ-nya!" tangannya menengadah, dengan alis sebelahnya dinaikkan.
Alisku tertaut. "PJ?" ucapku seolah-olah tak tahu maksud kata itu.
“Pajak Jadian, ya elah Nisa!” umpat Jovan kesal.
“Kenapa minta ke aku, minta aja ke dia," protesku, lalu melempar tatapan ke arah Fey. Yang dibalasnya dengan senyum getir.
Kringgg ...
Bel sekolah begitu nyaring, memutus obrolan kami di parkiran. Suara riuh tiba-tiba terdengar dari arah ujung koridor sekolah. Siapa sih pagi-pagi sudah buat heboh.
Karena penasaran, aku berjalan menuju koridor. Di sana, beberapa siswa sedang berkerumun. Tubuh mungilku menyalib masuk di antara siswa-siswa lain. Tepat, sekarang aku sudah berdiri dibarisan paling depan. Mata seketika membulat saat melihat kejadian di depan mataku. Sadam dan Ranggaspatih sedang adu jotos.
Tidak tahu apa yang melatar belakangi mereka berdua melakukan keributan itu. Yang jelas aku tahu kalau Ranggaspatih adalah laki-laki yang kerap buat onar di sekolah. Keluar masuk BP sudah menjadi pemandangan lumrah bagi laki-laki itu.
Tak berselang setelah itu, suara Pak Herwin yang menggelegar. Wajahnya yang serius, matanya yang berkilat-kilat, alisnya hampir bertemu dengan otot geraham bertonjolan, diikuti jari telunjuknya yang mengacung ke arah dua anak laki-laki yang sedang beradu jotos, menunjukkan kalau Pak Herwin sangat marah besar dan tidak menyenangi adanya keributan yang tercipta pagi-pagi.
“Hei! hei! Apa yang kalian buat hah! Pagi-pagi sudah buat gaduh satu sekolah!" tegur Pak Herwin dengan wajah garang.
Seketika pertikaian itu berhenti. Belum ada dari mereka yang menjawab. Aku melihat Sadam masih mengatur napasnya yang naik turun sedang menahan amarah dan emosi.
“Sekarang juga kalian bedua ikut Bapak! Yang lain cepat masuk kelas, tidak ada lagi yang berada di luar!” suaranya yang keras dan lantang, membuat siswa begidik ngeri dan membubarkan diri.
Pak Herwin menggiring Ranggaspatih dan juga Sadam ke ruangan untuk meminta penjelasan mereka.
Aku sebenarnya hendak ikut menyusul ke ruangan untuk mengetahui perihal apa yang membuat emosi keduanya tersulut. Tapi niatku itu aku cegah karena teringat kalau hari ini ada ulangan Matematika dengan Bu Lydia. Jika telat sedikit saja. Tamatlah sudah. Bisa-bisa kami disuruh belajar di luar.
Aku menepuk-nepuk pundak Fey berkali-kali. “Itu Ibu Lydia sudah keluar dari ruang guru, mendingan kita balik ke kelas nanti lagi kita cari tahu tentang Sadam.”
Fey menyetujui keputusanku. Kami melangkah cepat menuju ruang kelas yang berada di lantai dua.
Ujian kelulusan memang tinggal beberapa bulan lagi, tidak heran jika siswa-siswi kelas tiga Madrasah Aliyah tampak sibuk dengan kegiatan belajar yang lebih intensif. Begitu pun Bu Lydia yang sekarang kerap memberikan kami soal-soal simulasi ujian nasional khususnya mata pelajaran yang diampunya, yaitu Matematika. Sama seperti halnya hari ini.
Satu jam sudah berlalu...
“Ayo waktunya tinggal tiga menit lagi, yang sudah silahkan kumpulkan lembar jawabannya,” kata Ibu Lydia seraya merapikan tumpukan kertas setinggi dua senti yang ada di meja depan.
Hari ini ada empat mata pelajaran. Salah satunya mata pelajaran yang diajarkan Azzam. Tepatnya jam pelajaran kedua setelah pelajaran Matematika. Aku manarik napas dalam-dalam. Lega rasa ujian Matematika dalam hitungan detik akan segera berakhir dan cukup membuat siswa-siswi pusing tujuh keliling.
Fey mencolek punggungku dari belakang. “Nisa, ujian tadi berapa soal yang bisa kamu jawab?”
“Hmm, sekitar dua puluh lima nomor, kamu Fey?” jawabku pelan, supaya tidak kena tegur dengan Bu Lydia yang masih duduk di depan.
Fey mengetuk-ngetuk pulpen ke jidatnya, yah katanya untuk meminimalisir rasa sakit yang yang tiba-tiba mendera kepalanya setelah menjawab soal Matematika tadi.
“Aduh! Aku kayaknya cuman lima belas nomor deh,” bisiknya.
“Apa cuma lima belas?” kataku tak yakin.
“Yee, kayak nggak tau aja, kalau aku kan lemah Matematika, nggak kayak kamu bisa bidang eksak,” keluh Fey dengan wajah kusutnya.
Aku menghela napas panjang. “Makanya belajar dong sama Sadam, jangan ngandelin orang doang,” ejekku. “Eh, ngomong-ngomong Sadam apa kabar ya? kenapa sudah satu jam pelajaran dia juga belum kembali ke kelas.”
Fey mengangkat kedua bahunya cepat. "Nggak tau, mungkin masih diintrogasi," balasnya dengan sibuk menjejal buku ke dalam tas. "Eh, iya. Jihan tumben hari ini nggak ada kabar jugakan?” Fey menghentikan sejenak aktivitasnya, ketika tahu Jihan belum menampakkan batang hidungnya.
Aku menggeleng. “Entahlah, yang jelas pilihannya sekarang hanya ada dua, antara dia sakit atau terlambat,” kataku menduga-duga.
Tok...tok...
Panjang umur. Baru kami usai membicarakannya dia muncul dari balik pintu 12-A dan melangkah pasti menemui Bu Lydia di depan.
“Permisi Bu,” kata Jihan dengan menampakkan raut wajah cemas ingin menghadap Bu Lydia yang terkenal tegas dan disiplin.
“Kenapa kamu terlambat, sudah pukul berapa?” tanya Ibu Lydia sambil menjeling ke Jihan. Jihan hanya memasang muka pasrah dan memelas, sembari kepala masih terus tertunduk.
“Maaf Bu, tadi di tengah jalan ban motor saya pecah.”
“Kenapa sampai sejam telatnya?” tanya Bu Lydia lagi seperti kurang puas dengan jawaban Jihan.
“Saya harus menunggu Kakak saya untuk menjemput dan mengantarkan ke sekolah. Jadi, saya terlambat Bu."
“Tolong setelah ini kamu menghadap saya di ruang guru untuk ujian ya!” Kita tercengang, Jihan beruntung. Tidak biasa Bu Lydia bersikap demikian. Aku kira dia akan memberi hukuman ke Jihan dengan membuat 20 kalimat pernyataan tidak telat. Tapi mungkin alasan Jihan cukup logis, dan mampu diterima Bu Lydia, makanya dia maklum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
S.ALJ
ko ceritanya kaya telefilem malaysia yang judulnya suamiki ustazz
2020-07-05
2
Nununa07
pertikaian memang kadang jadi bumbu dalam kehidupan💪💪💪
2020-05-26
2
Epron Putra
aq bwain like dan komen
2020-05-26
1