Aku meletakkan tas lalu duduk menyandarkan tubuh pada jok kursi. Sesaat mencoba memejamkan mata untuk menenangkan pikiran. Ketenanganku sedikit terusik dengan deringan handphone yang berbunyi. Tidak tahu siapa yang memanggil yang jelas saat ini yang aku butuhkan adalah ketenangan. Tidak ingin diganggu. Handphone yang masih berada dalam genggaman aku matikan dan aku lempar ke atas tempat tidur.
Di luar sebenarnya mega sedang bergelayut gelap. Buliran halus dari langit perlahan mulai turun ke bumi. Tapi itu tidak menghalangi pikiranku untuk mengiring langkah kaki ke taman kecil yang berada di lahan samping rumah. Pandangan mata terhampar pada rumput yang tumbuh hijau dan beberapa batang bunga yang kokoh disusun rapi di dalam pot. Tanpa alas kaki aku berjalan menyusuri taman, batu kerikil sengaja ditata apik di sekitaran rumah yang membawaku menuju taman mini rancangan ayah Ahsan dan ibu Hamidah. Suara derit-derit batu kerikil aku anggap sebagai musik pengiring setiap langkahku.
Perlahan aku merapatkan duduk pada kursi jati yang terteduh di bawah rindahnya pohon cemara. Aku hanya diam membisu, memandang ke depan tanpa tahu apa yang dilihat. Pandangan yang kosong. Angan membawaku berjalan menuju suatu tempat melewati sebuah lorong waktu ke masa lalu. Yang mirip dengan rekaman film pendek.
Siang itu, Amel teman sekolahku mendapat banyak sekali hadiah dan kado ucapan dari teman-teman. Sampai-sampai orang tuanya turut andil datang ke sekolah demi memberikan surprise yang luar biasa untuk anak perempuan kecilnya itu.
“Selamat ulang tahun putri Ayah dan Bunda yang ke-10 tahun.”
“Iya, Ayah Bunda. Amel senang sekali, Ayah dan Bunda ngasih surprise yang luar biasa ini buat Amel.”
Aku lihat mereka memeluk dengan manja dan manis anak mereka itu.
Ini adalah kali ketiga dalam sebulan teman-teman sekolahku merayakan ulang tahun di sekolah di hadiahi kado teristimewa dengan kehadiran orang tuanya. Yang pertama Juno, kedua Shera dan ketiga Amel. Mereka semua lahir di bulan yang sama, hanya berbeda tanggal.
Begitu tiba bulan Februari minggu ke tiga, tepatnya 22 Februari. Seperti biasa aku berangkat ke sekolah dengan hati yang riang dan kakiku melangkah dengan lincah. Dari telepon semalam ayah dan ibu berjanji akan segera tiba di rumah dan membawakanku juga hadiah seperti teman-teman lainnya. Aku belajar dengan semangat, sangking semangatnya tiada henti aku memandangi jam dinding yang terpampang nyata di depan ruang kelas, menunggu kedatangan ayah dan ibu datang ke sekolah membawa kejutan.
Sudah jam sebelas tapi belum ada juga tanda-tanda kemunculan ayah dan ibu. Aku masih berpikir positif mungkin ibu masih mempersiapkan semuanya.
Jam terus berdenting, teman-temanku yang lain terus menanyaiku kenapa ayah dan ibuku belum juga tiba di sekolah padahal mereka semua sudah tidak sabar, ingin ikut berbagi kebahagiaan denganku.
Pukul setengah dua belas...
“Dhanisa?” suara Ibu Meysa memanggilku. Aku menengok ke arahnya.
“Sini sayang,” kata Ibu Meysa lembut.
Aku berlari sekuat tenaga menuju ambang pintu memenuhi panggilan ibu wali kelasku.
“Ibu, Ibu dan Ayah Nisa sudah datang, ya?” tanyaku sangat bersemangat.
Ibu Meysa diam tertegun, lalu tersenyum. Aku tampak sorot matanya layu dan berkaca-kaca.
“Ayo sayang, ikut Ibu. Tapi sebelumnya ambil tas dulu ya,” nadanya begitu lembut dan penuh kasih sayang.
“Kenapa, Bu? Nanti kalau Ayah dan Ibu Nisa datang ke sini terus tidak melihat Nisa, bagaimana?”
Bu Meysa tidak tahu bagaimana cara memberitahukan itu pada gadis manis dan lugu yang berdiri tepat dihadapannya saat ini. Akhirnya, Ibu Meysa yang pergi mengambil tas Nisa lalu membimbingnya ke ruang kantor, di jalan ia menghentikan langkahnya sebentar, lalu duduk berjongkok menatapku.
“Nisa, Nisa kenal Paman Ahsan?”
Aku mengangguk berkali-kali.
Ibu Meysa mengusap kepala, sembari merapikan kuncir kepangan rambutku yang mungkin sedikit berantakan. “Paman Ahsan ada di kantor sedang menunggu, Nisa.”
Ibu Meysa bangkit, melanjutkan langkahnya yang tinggal beberapa meter lagi jaraknya hingga sampai ke kantor sekolah.
“Assalamualaikum Bapak, ini Dhanisa.”
Seketika Paman Ahsan, bangkit dari duduknya ketika melihat tubuhku sudah ada di ambang pintu. Ia memeluk erat tubuhku hingga membuatku hampir tidak bisa bernapas.
“Paman, kenapa Paman yang datang ke sini. Mana Ayah dan Ibu, Paman?” tanyaku keheranan karena tidak mendapati kedua orang tuaku, melainkan Paman Ahsan yang malah menjemputku untuk segera pulang ke rumah.
“Dhanisa, kita pulang ya sayang. Di rumah Ayah, Ibu dan Abang Khalid sudah menunggu, Nisa." Suara Paman Ahsan parau dan bergetar.
Aku kemudian menoleh ke arah Bu Meysa. Dia hanya mengangguk diikuti senyum, tapi seperti bukan senyum suka yang aku lihat tersungging di wajahnya.
“Ibu, terima kasih, ya. Saya permisi dulu. Assalamu'alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Kami mulai meninggalkan halaman Sekolah Dasar Mutiara, untuk segera pulang ke rumah. Di dalam mobil aku masih bertanya-tanya sendiri dalam hati. Karena tidak puas, aku bertanya lagi dengan Paman Ahsan.
“Paman, Ibu dan Ayah kenapa nggak jadi ke sekolah? apa masih ada acara, ya? jadi Ibu dan Ayah minta aku buat pulang ke rumah?” tanyaku polos.
Paman Ahsan tidak menjawab. Aku melipat kedua tangan di dada sambil menampakkan muka cemberut karena tidak ada yang mau memberikan penjelasan pasti kepadaku.
Setelah menempuh perjalanan sekitar dua belas kilometer, mobil sudah masuk ke dalam pekarangan rumah. Dari dalam kaca mobil aku lihat orang-orang sangat ramai berkerumun menyesaki halaman rumah. Ibu-ibu yang memakai kerundung, dan laki-laki memakai baju koko lengkap dengan pecinya tampak bergantian hilir mudik di halaman rumah. Tenda juga sudah tegak, kursi-kursi alumunium juga mengisi sebagian halaman rumah. Paman Ahsan membukakan pintu mobil untukku. Aku berjalan di antara kerumunan. Mereka melihatku dengan tatapan penuh iba dan kasihan. Mataku menatap sekeliling, aku lihat di depan gerbang rumah, seorang laki-laki sedang menancapkan bendera kuning yang terbuat dari kertas minyak. Siapa yang meninggal?
Derap langkah kaki aku pelankan ketika sudah masuk ke dalam rumah. Ternyata di dalam lebih ramai daripada orang-orang yang aku liat di luar tadi. Ibu Hamidah datang memelukku dengan berurai air mata. Sayup-sayup aku mendengar orang-orang sedang melantunkan do'a. Aku memendarkan pandanganku, menilik-nilik orang banyak di dalam rumah ini, demi mencari ayah dan ibu.
“Bik, mana Ayah dan Ibu?” tanyaku.
Bukannya menjawab, tangis Bu Hamidah kian membuncah. Dia tiada henti mencium pipiku. Ia membawaku ke ruang tengah untuk melihat sosok tubuh yang sudah terbujur kaku di atas kasur. Kain putih menutup seluruh tubuhnya. Orang-orang dengan khusyuk melantunkan ayat-ayat Allah. Aku mulai mengerti semuanya. Tubuhku seketika membeku, lemas tak berdaya. Aku coba menahan, tapi mataku terasa begitu perih sampai tidak terasa buliran bening itu tumpah ke pipi. Aku tidak dapat menahan tangisku lagi. Aku duduk bersimpuh di hadapannya. Ibu dan ayah dibaringkan berdampingan, sementara di sebelahnya lagi ada jasad Abang Khalid, anak dari Paman Ahsan dan Ibu Hamidah. Bagiku ini rasanya seperti mimpi kenapa semuanya pergi begitu cepat meninggalkan aku.
“Huuu...huuuu... hiks....” Aku menangis segugukan.
Sebelum mereka di antar ke tempat peristirahatan tiada henti aku mencium dan memeluk jasad ayah dan ibu yang sudah terbujur kaku. Paman Ahsan dan Ibu Hamidah terus mendekapku, mencoba menabahkan.
Tanpa mengulur waktu, para tetangga yang sudah ditunjuk segera memandikan jenazah. Warga sekitar sudah banyak berkumpul memenuhi seisi ruangan, mareka semua datang untuk mengirimkan do'a, menyolatkan dan menghantarkan jasad mereka ke pembaringan terakhir.
Iring-iringan pengantar jenazah mempercepat langkah meninggalkan pelataran rumah usai melaksanakan shalat jenazah. Masing-masing orang berusaha meraih usungan keranda jenazah dalam perjalanan menuju pemakaman. Sebagaimana yang dianjurkan Rasulullah agar umat muslim dapat menyegerakan kepengurusan jenazah. Dalam sebuah hadist juga disebutkan demikian, “Segeralah mengurus jenazah. Karena jika jenazah itu adalah orang shalih, berarti kalian telah mempercepat kebaikan untuknya. Dan jika jenazah tersebut selain orang shalih, berarti kalian telah meletakkan kejelekan di pundak kalian.” [HR. Bukhari no. 1315 dan Muslim no. 944].
Sebelum dzuhur proses pemakaman sudah selesai. Para pelayat satu per satu pamit mengundurkan diri. Sekarang tinggal aku, Paman Ahsan, Ibu Hamidah dan beberapa keluarga terdekat yang bertahan di depan gundukan tanah yang masih basah. Rasanya aku tidak ingin beranjak dari sisi pusara ini, tapi Paman dan Bibi yang dibantu Abang Azzam terus membujukku untuk pulang.
*
Takziyah wa takziyah sudah dilakukan tiga malam berturut-turut di rumah. Sekarang, semuanya sudah mulai dirapikan. Kursi-kursi yang semula disusun rapi memenuhi halaman rumah sekarang sudah dilipat dan dikumpulkan. Kursi sofa dan meja yang semula di singkirkan sudah ditata kembali ke tempat semula. Di rumah ini yang tersisa hanya sanak saudara dan segelintir tetangga.
Di ruang tengah tempat peristirahatan terakhir ayah, ibu juga Abang Khalid sudah digelar karpet, dan saat ini ruangan itupun dijadikan tempat berkumpulnya para kerabat. Aku sendiri masih membenamkan diri di kamar. Masih menatap perih luka kepergian ayah dan ibu.
Tok...tok...tok
“Nisa, ini Abang Azzam, Abang boleh masuk, nggak?”
Nisa kecil masih tidak membalas.
Azzam menutuskan untuk memutar kenop pintu, dan beruntung Nisa tidak menguncinya. Pandangan Azzam langsung tertuju pada Nisa kecil yang sedang duduk di pinggir tempat tidur sambil memandang foto keluarga. Air matanya kembali meluncur ke dagu dan menetes jatuh tepat di atas foto yang sudah di bingkai ber-frame putih, seukuran 10 R.
“Abang, kenapa Ibu dan Ayah juga Abang Khalid pergi ninggalin, Nisa? kenapa mereka mengingkari janjinya buat kasih kejutan hadiah ke Nisa waktu itu,” kata Nisa suaranya serak.
Nisa kecil sesaat terisak kembali dalam pelukan Abangnya. Azzam yang duduk di samping, lalu mengusap rambut Nisa kecil yang lepek karena seharian di kamar. Yang Azzam tahu selama ini Nisa kecil adalah anak yang lincah, periang dan energik. Tapi beberapa hari ini semua itu hilang dalam diri Dhanisa.
“Nisa, janganlah sedih-sedih terus. Nanti Ayah dan Ibu juga sedih di sana kalau melihat Nisa nangis seperti ini. Mendingan kita keluar, di luar abang punya kue keju kesukaan Nisa, juga hadiah spesial ulang tahun untuk Nisa dari abang. Maaf ya, abang baru bisa ngasihnya sekarang. Gadis kecil abang,” ujarnya sambil mengacak-acak rambut adiknya itu.
“Ish, abang nih bisa nggak, nggak usah ngacak-ngacak rambut terus,” protes Nisa.
Saat itu Azzam lega ketika mendapati guratan senyum melintang dari bibir mungil adik sepupunya yang baru saja usai menangis.
Sesaat kemudian aku tersadar dari lamunan yang menbawa ingatanku ke rekaman lima tahun silam. Angin berhembus kencang, mengoyangkan ranting pohon yang ada di atasku, ketika Angin itu berhembus membawa awan mendung untuk mengantarkan hujan ke tempat tujuan.
Setidaknya mungkin ia tahu bahwa ada hati yang sedang tandus terputus masa lalu yang menyedihkan. Hujan datang sekedar untuk mengingatkan bahwa ada rahmat Allah yang selalu mengiring dalam kehidupan setiap insan.
Hujan perlahan mulai menumpahkan diri ke bumi. Tidak menggeser posisi tubuhku yang masih tetap bertahan duduk di kursi kayu jati yang berada di taman samping rumah. Hujan terus mengguyur hingga sekarang aku merasa tubuhku sudah merata tersiram air hujan.
“Nisa! apa yang Nisa perbuat di sini?” suara itu tiba-tiba hadir di tengah deru hujan lebat. “Ayo masuk ke dalam?” Azzam menarik pergelangan tanganku dengan erat.
“Aku menepis jauh-jauh tangan Abang Azzam.”
Azzam terdiam, mencoba mengatur napasnya.
“Nisa, kalau Nisa marah karena kejadian di kelas tadi Abang minta maaf. Maksud Abang tadi hanya ingin menjahili Nisa yang sedang ulang tahun. Sekarang Abang minta ayolah menurut sedikit untuk masuk ke dalam, hujannya semangkin lebat. Nanti sakit, bagaimana?”
“Biarlah. Nisa sudah bosan dengan melodi kehidupan Nisa sendiri.”
Berkerut-kerut dahi Azzam.
“Abang, apa salah Nisa sehingga Tuhan memberikan kehidupan seperti ini?” ucapnya dengan nada bergetar menahan dingin. “Nisa, rindu Ayah dan Ibu.” Dipenghujung kalimatnya kata itu begitu lirik, dan tercekat di ujung tenggorokan terlalu menyakitkan untuk dikeluarkan.
Aku menunduk dalam-dalam dengan tulang terkulai. Ada buliran air yang harus aku tahan untuk tidak luruh dari kelopak mata. Mata bening itu berkaca-kaca. Tapi akhirnya buliran itu berhasil juga lolos lewat mataku yang sekarang mulai sayu dan pekat. Melihat aku yang mulai emosional Azzam duduk di samping dengan tangan kirinya masih memegang payung. Sekarang tubuhku sedikit terhalau dari buliran hujan.
Halus tangan Azzam mengelus kepala istrinya, lalu dikecupnya juga dengan lembut. Kerinduan seorang anak yang ditinggal sejak kecil oleh orang tuanya lima tahun lalu tampaknya hari ini ia tumpahkan semua. Tak bisa lagi disembunyikan. Azzam merasakan tubuh Nisa yang dingin. Dia membimbing tubuh mungil itu untuk masuk dalam pelukannya. Belum ada sepatah kata pun yang keluar.
Aku masih terisak, ketika kepala masih bersandar di dadanya. “Aku merasa sunyi. Tidak punya siapa-siap.”
“Hey, siapa bilang?” Azzam menyangkal kalimatku barusan. “Nisa, masih punya orang tua angkat, punya abang. Tidak sendirian.”
Azzam mencoba memahami perasaan istrinya dan keadaan yang pernah terjadi. Dia menengadahkan muka ke langit dengan hati terenyuh. Ada harapan yang coba ia sampaikan.
“Nisa, pernah Abang bilang bahwa ada takdir yang sudah menjadi ketentuan Allah, baik maupun buruknya. Manusia berada di bawah hukum-hukum Allah sehingga segala yang kita lakukan pun tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah mempunyai kadarnya. Bahkan sebelum manusia lahir takdir seseorang sudah ditetapkan. Jadi sebagai umat manusia yang beriman kita harus senantiasa berikhtiyar.” Dia berhenti sebentar lalu berujar kembali, “Apa Nisa mau kita nyekar ke makam Abah dan Umi, juga Abang Khalid?”
Aku bergumam.
“Kalau bergitu besok kita ke makam, kebetulan juga besok libur karena hari Minggu. Jadi, sekarang ayolah masuk ke dalam rumah, lihat tuh sudah basah kuyup masih pakai baju sekolah pula. Pasti belum mandi tadi selepas pulang sekolahkan?” goda Abang Azzam. Dia lalu merangkul tubuh perempuan yang kian gemetar itu, karena mengigil kedinginan.
Di luar hujan masih belum enggan untuk mereda keinginannya menyiram hati yang dirundung pilu, tapi masih ada serangkaian perjalanan hidup yang mesti dilewati. Keduanya mulai berlalu meninggalkan taman rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Afifa Afifauzma
sabar y nisa....✌aq ampe nangis bacanya....😭😭😭
2020-09-15
1
ربواتي سو دري
semangatt
2020-06-24
0
Lost
thor aku sudah like sampai sini, ntar mampir lagi ya
2020-05-22
0