BAB 16. Siratan Kenangan

Aku meletakkan tas lalu duduk menyandarkan tubuh pada jok kursi. Sesaat mencoba memejamkan mata untuk menenangkan pikiran. Ketenanganku sedikit terusik dengan deringan handphone yang berbunyi. Tidak tahu siapa yang memanggil yang jelas saat ini yang aku butuhkan adalah ketenangan. Tidak ingin diganggu. Handphone yang masih berada dalam genggaman aku matikan dan aku lempar ke atas tempat tidur.

Di luar sebenarnya mega sedang bergelayut gelap. Buliran halus dari langit perlahan mulai turun ke bumi. Tapi itu tidak menghalangi pikiranku untuk mengiring langkah kaki ke taman kecil yang berada di lahan samping rumah. Pandangan mata terhampar pada rumput yang tumbuh hijau dan beberapa batang bunga yang kokoh disusun rapi di dalam pot. Tanpa alas kaki aku berjalan menyusuri taman, batu kerikil sengaja ditata apik di sekitaran rumah yang membawaku menuju taman mini rancangan ayah Ahsan dan ibu Hamidah. Suara derit-derit batu kerikil aku anggap sebagai musik pengiring setiap langkahku.

Perlahan aku merapatkan duduk pada kursi jati yang terteduh di bawah rindahnya pohon cemara. Aku hanya diam membisu, memandang ke depan tanpa tahu apa yang dilihat. Pandangan yang kosong. Angan membawaku berjalan menuju suatu tempat melewati sebuah lorong waktu ke masa lalu. Yang mirip dengan rekaman film pendek.

Siang itu, Amel teman sekolahku mendapat banyak sekali hadiah dan kado ucapan dari teman-teman. Sampai-sampai orang tuanya turut andil datang ke sekolah demi memberikan surprise yang luar biasa untuk anak perempuan kecilnya itu.

“Selamat ulang tahun putri Ayah dan Bunda yang ke-10 tahun.”

“Iya, Ayah Bunda. Amel senang sekali, Ayah dan Bunda ngasih surprise yang luar biasa ini buat Amel.”

Aku lihat mereka memeluk dengan manja dan manis anak mereka itu.

Ini adalah kali ketiga dalam sebulan teman-teman sekolahku merayakan ulang tahun di sekolah di hadiahi kado teristimewa dengan kehadiran orang tuanya. Yang pertama Juno, kedua Shera dan ketiga Amel. Mereka semua lahir di bulan yang sama, hanya berbeda tanggal.

Begitu tiba bulan Februari minggu ke tiga, tepatnya 22 Februari. Seperti biasa aku berangkat ke sekolah dengan hati yang riang dan kakiku melangkah dengan lincah. Dari telepon semalam ayah dan ibu berjanji akan segera tiba di rumah dan membawakanku juga hadiah seperti teman-teman lainnya. Aku belajar dengan semangat, sangking semangatnya tiada henti aku memandangi jam dinding yang terpampang nyata di depan ruang kelas, menunggu kedatangan ayah dan ibu datang ke sekolah membawa kejutan.

Sudah jam sebelas tapi belum ada juga tanda-tanda kemunculan ayah dan ibu. Aku masih berpikir positif mungkin ibu masih mempersiapkan semuanya.

Jam terus berdenting, teman-temanku yang lain terus menanyaiku kenapa ayah dan ibuku belum juga tiba di sekolah padahal mereka semua sudah tidak sabar, ingin ikut berbagi kebahagiaan denganku.

Pukul setengah dua belas...

“Dhanisa?” suara Ibu Meysa memanggilku. Aku menengok ke arahnya.

“Sini sayang,” kata Ibu Meysa lembut.

Aku berlari sekuat tenaga menuju ambang pintu memenuhi panggilan ibu wali kelasku.

“Ibu, Ibu dan Ayah Nisa sudah datang, ya?” tanyaku sangat bersemangat.

Ibu Meysa diam tertegun, lalu tersenyum. Aku tampak sorot matanya layu dan berkaca-kaca.

“Ayo sayang, ikut Ibu. Tapi sebelumnya ambil tas dulu ya,” nadanya begitu lembut dan penuh kasih sayang.

“Kenapa, Bu? Nanti kalau Ayah dan Ibu Nisa datang ke sini terus tidak melihat Nisa, bagaimana?”

Bu Meysa tidak tahu bagaimana cara memberitahukan itu pada gadis manis dan lugu yang berdiri tepat dihadapannya saat ini. Akhirnya, Ibu Meysa yang pergi mengambil tas Nisa lalu membimbingnya ke ruang kantor, di jalan ia menghentikan langkahnya sebentar, lalu duduk berjongkok menatapku.

“Nisa, Nisa kenal Paman Ahsan?”

Aku mengangguk berkali-kali.

Ibu Meysa mengusap kepala, sembari merapikan kuncir kepangan rambutku yang mungkin sedikit berantakan. “Paman Ahsan ada di kantor sedang menunggu, Nisa.”

Ibu Meysa bangkit, melanjutkan langkahnya yang tinggal beberapa meter lagi jaraknya hingga sampai ke kantor sekolah.

“Assalamualaikum Bapak, ini Dhanisa.”

Seketika Paman Ahsan, bangkit dari duduknya ketika melihat tubuhku sudah ada di ambang pintu. Ia memeluk erat tubuhku hingga membuatku hampir tidak bisa bernapas.

“Paman, kenapa Paman yang datang ke sini. Mana Ayah dan Ibu, Paman?” tanyaku keheranan karena tidak mendapati kedua orang tuaku, melainkan Paman Ahsan yang malah menjemputku untuk segera pulang ke rumah.

“Dhanisa, kita pulang ya sayang. Di rumah Ayah, Ibu dan Abang Khalid sudah menunggu, Nisa." Suara Paman Ahsan parau dan bergetar.

Aku kemudian menoleh ke arah Bu Meysa. Dia hanya mengangguk diikuti senyum, tapi seperti bukan senyum suka yang aku lihat tersungging di wajahnya.

“Ibu, terima kasih, ya. Saya permisi dulu. Assalamu'alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Kami mulai meninggalkan halaman Sekolah Dasar Mutiara, untuk segera pulang ke rumah. Di dalam mobil aku masih bertanya-tanya sendiri dalam hati. Karena tidak puas, aku bertanya lagi dengan Paman Ahsan.

“Paman, Ibu dan Ayah kenapa nggak jadi ke sekolah? apa masih ada acara, ya? jadi Ibu dan Ayah minta aku buat pulang ke rumah?” tanyaku polos.

Paman Ahsan tidak menjawab. Aku melipat kedua tangan di dada sambil menampakkan muka cemberut karena tidak ada yang mau memberikan penjelasan pasti kepadaku.

Setelah menempuh perjalanan sekitar dua belas kilometer, mobil sudah masuk ke dalam pekarangan rumah. Dari dalam kaca mobil aku lihat orang-orang sangat ramai berkerumun menyesaki halaman rumah. Ibu-ibu yang memakai kerundung, dan laki-laki memakai baju koko lengkap dengan pecinya tampak bergantian hilir mudik di halaman rumah. Tenda juga sudah tegak, kursi-kursi alumunium juga mengisi sebagian halaman rumah. Paman Ahsan membukakan pintu mobil untukku. Aku berjalan di antara kerumunan. Mereka melihatku dengan tatapan penuh iba dan kasihan. Mataku menatap sekeliling, aku lihat di depan gerbang rumah, seorang laki-laki sedang menancapkan bendera kuning yang terbuat dari kertas minyak. Siapa yang meninggal?

Derap langkah kaki aku pelankan ketika sudah masuk ke dalam rumah. Ternyata di dalam lebih ramai daripada orang-orang yang aku liat di luar tadi. Ibu Hamidah datang memelukku dengan berurai air mata. Sayup-sayup aku mendengar orang-orang sedang melantunkan do'a. Aku memendarkan pandanganku, menilik-nilik orang banyak di dalam rumah ini, demi mencari ayah dan ibu.

“Bik, mana Ayah dan Ibu?” tanyaku.

Bukannya menjawab, tangis Bu Hamidah kian membuncah. Dia tiada henti mencium pipiku. Ia membawaku ke ruang tengah untuk melihat sosok tubuh yang sudah terbujur kaku di atas kasur. Kain putih menutup seluruh tubuhnya. Orang-orang dengan khusyuk melantunkan ayat-ayat Allah. Aku mulai mengerti semuanya. Tubuhku seketika membeku, lemas tak berdaya. Aku coba menahan, tapi mataku terasa begitu perih sampai tidak terasa buliran bening itu tumpah ke pipi. Aku tidak dapat menahan tangisku lagi. Aku duduk bersimpuh di hadapannya. Ibu dan ayah dibaringkan berdampingan, sementara di sebelahnya lagi ada jasad Abang Khalid, anak dari Paman Ahsan dan Ibu Hamidah. Bagiku ini rasanya seperti mimpi kenapa semuanya pergi begitu cepat meninggalkan aku.

“Huuu...huuuu... hiks....” Aku menangis segugukan.

Sebelum mereka di antar ke tempat peristirahatan tiada henti aku mencium dan memeluk jasad ayah dan ibu yang sudah terbujur kaku. Paman Ahsan dan Ibu Hamidah terus mendekapku, mencoba menabahkan.

Tanpa mengulur waktu, para tetangga yang sudah ditunjuk segera memandikan jenazah. Warga sekitar sudah banyak berkumpul memenuhi seisi ruangan, mareka semua datang untuk mengirimkan do'a, menyolatkan dan menghantarkan jasad mereka ke pembaringan terakhir.

Iring-iringan pengantar jenazah mempercepat langkah meninggalkan pelataran rumah usai melaksanakan shalat jenazah. Masing-masing orang berusaha meraih usungan keranda jenazah dalam perjalanan menuju pemakaman. Sebagaimana yang dianjurkan Rasulullah agar umat muslim dapat menyegerakan kepengurusan jenazah. Dalam sebuah hadist juga disebutkan demikian, “Segeralah mengurus jenazah. Karena jika jenazah itu adalah orang shalih, berarti kalian telah mempercepat kebaikan untuknya. Dan jika jenazah tersebut selain orang shalih, berarti kalian telah meletakkan kejelekan di pundak kalian.” [HR. Bukhari no. 1315 dan Muslim no. 944].

Sebelum dzuhur proses pemakaman sudah selesai. Para pelayat satu per satu pamit mengundurkan diri. Sekarang tinggal aku, Paman Ahsan, Ibu Hamidah dan beberapa keluarga terdekat yang bertahan di depan gundukan tanah yang masih basah. Rasanya aku tidak ingin beranjak dari sisi pusara ini, tapi Paman dan Bibi yang dibantu Abang Azzam terus membujukku untuk pulang.

*

Takziyah wa takziyah sudah dilakukan tiga malam berturut-turut di rumah. Sekarang, semuanya sudah mulai dirapikan. Kursi-kursi yang semula disusun rapi memenuhi halaman rumah sekarang sudah dilipat dan dikumpulkan. Kursi sofa dan meja yang semula di singkirkan sudah ditata kembali ke tempat semula. Di rumah ini yang tersisa hanya sanak saudara dan segelintir tetangga.

Di ruang tengah tempat peristirahatan terakhir ayah, ibu juga Abang Khalid sudah digelar karpet, dan saat ini ruangan itupun dijadikan tempat berkumpulnya para kerabat. Aku sendiri masih membenamkan diri di kamar. Masih menatap perih luka kepergian ayah dan ibu.

Tok...tok...tok

“Nisa, ini Abang Azzam, Abang boleh masuk, nggak?”

Nisa kecil masih tidak membalas.

Azzam menutuskan untuk memutar kenop pintu, dan beruntung Nisa tidak menguncinya. Pandangan Azzam langsung tertuju pada Nisa kecil yang sedang duduk di pinggir tempat tidur sambil memandang foto keluarga. Air matanya kembali meluncur ke dagu dan menetes jatuh tepat di atas foto yang sudah di bingkai ber-frame putih, seukuran 10 R.

“Abang, kenapa Ibu dan Ayah juga Abang Khalid pergi ninggalin, Nisa? kenapa mereka mengingkari janjinya buat kasih kejutan hadiah ke Nisa waktu itu,” kata Nisa suaranya serak.

Nisa kecil sesaat terisak kembali dalam pelukan Abangnya. Azzam yang duduk di samping, lalu mengusap rambut Nisa kecil yang lepek karena seharian di kamar. Yang Azzam tahu selama ini Nisa kecil adalah anak yang lincah, periang dan energik. Tapi beberapa hari ini semua itu hilang dalam diri Dhanisa.

“Nisa, janganlah sedih-sedih terus. Nanti Ayah dan Ibu juga sedih di sana kalau melihat Nisa nangis seperti ini. Mendingan kita keluar, di luar abang punya kue keju kesukaan Nisa, juga hadiah spesial ulang tahun untuk Nisa dari abang. Maaf ya, abang baru bisa ngasihnya sekarang. Gadis kecil abang,” ujarnya sambil mengacak-acak rambut adiknya itu.

“Ish, abang nih bisa nggak, nggak usah ngacak-ngacak rambut terus,” protes Nisa.

Saat itu Azzam lega ketika mendapati guratan senyum melintang dari bibir mungil adik sepupunya yang baru saja usai menangis.

Sesaat kemudian aku tersadar dari lamunan yang menbawa ingatanku ke rekaman lima tahun silam. Angin berhembus kencang, mengoyangkan ranting pohon yang ada di atasku, ketika Angin itu berhembus membawa awan mendung untuk mengantarkan hujan ke tempat tujuan.

Setidaknya mungkin ia tahu bahwa ada hati yang sedang tandus terputus masa lalu yang menyedihkan. Hujan datang sekedar untuk mengingatkan bahwa ada rahmat Allah yang selalu mengiring dalam kehidupan setiap insan.

Hujan perlahan mulai menumpahkan diri ke bumi. Tidak menggeser posisi tubuhku yang masih tetap bertahan duduk di kursi kayu jati yang berada di taman samping rumah. Hujan terus mengguyur hingga sekarang aku merasa tubuhku sudah merata tersiram air hujan.

“Nisa! apa yang Nisa perbuat di sini?” suara itu tiba-tiba hadir di tengah deru hujan lebat. “Ayo masuk ke dalam?” Azzam menarik pergelangan tanganku dengan erat.

“Aku menepis jauh-jauh tangan Abang Azzam.”

Azzam terdiam, mencoba mengatur napasnya.

“Nisa, kalau Nisa marah karena kejadian di kelas tadi Abang minta maaf. Maksud Abang tadi hanya ingin menjahili Nisa yang sedang ulang tahun. Sekarang Abang minta ayolah menurut sedikit untuk masuk ke dalam, hujannya semangkin lebat. Nanti sakit, bagaimana?”

“Biarlah. Nisa sudah bosan dengan melodi kehidupan Nisa sendiri.”

Berkerut-kerut dahi Azzam.

“Abang, apa salah Nisa sehingga Tuhan memberikan kehidupan seperti ini?” ucapnya dengan nada bergetar menahan dingin. “Nisa, rindu Ayah dan Ibu.” Dipenghujung kalimatnya kata itu begitu lirik, dan tercekat di ujung tenggorokan terlalu menyakitkan untuk dikeluarkan.

Aku menunduk dalam-dalam dengan tulang terkulai. Ada buliran air yang harus aku tahan untuk tidak luruh dari kelopak mata. Mata bening itu berkaca-kaca. Tapi akhirnya buliran itu berhasil juga lolos lewat mataku yang sekarang mulai sayu dan pekat. Melihat aku yang mulai emosional Azzam duduk di samping dengan tangan kirinya masih memegang payung. Sekarang tubuhku sedikit terhalau dari buliran hujan.

Halus tangan Azzam mengelus kepala istrinya, lalu dikecupnya juga dengan lembut. Kerinduan seorang anak yang ditinggal sejak kecil oleh orang tuanya lima tahun lalu tampaknya hari ini ia tumpahkan semua. Tak bisa lagi disembunyikan. Azzam merasakan tubuh Nisa yang dingin. Dia membimbing tubuh mungil itu untuk masuk dalam pelukannya. Belum ada sepatah kata pun yang keluar.

Aku masih terisak, ketika kepala masih bersandar di dadanya. “Aku merasa sunyi. Tidak punya siapa-siap.”

“Hey, siapa bilang?” Azzam menyangkal kalimatku barusan. “Nisa, masih punya orang tua angkat, punya abang. Tidak sendirian.”

Azzam mencoba memahami perasaan istrinya dan keadaan yang pernah terjadi. Dia menengadahkan muka ke langit dengan hati terenyuh. Ada harapan yang coba ia sampaikan.

“Nisa, pernah Abang bilang bahwa ada takdir yang sudah menjadi ketentuan Allah, baik maupun buruknya. Manusia berada di bawah hukum-hukum Allah sehingga segala yang kita lakukan pun tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah mempunyai kadarnya. Bahkan sebelum manusia lahir takdir seseorang sudah ditetapkan. Jadi sebagai umat manusia yang beriman kita harus senantiasa berikhtiyar.” Dia berhenti sebentar lalu berujar kembali, “Apa Nisa mau kita nyekar ke makam Abah dan Umi, juga Abang Khalid?”

Aku bergumam.

“Kalau bergitu besok kita ke makam, kebetulan juga besok libur karena hari Minggu. Jadi, sekarang ayolah masuk ke dalam rumah, lihat tuh sudah basah kuyup masih pakai baju sekolah pula. Pasti belum mandi tadi selepas pulang sekolahkan?” goda Abang Azzam. Dia lalu merangkul tubuh perempuan yang kian gemetar itu, karena mengigil kedinginan.

Di luar hujan masih belum enggan untuk mereda keinginannya menyiram hati yang dirundung pilu, tapi masih ada serangkaian perjalanan hidup yang mesti dilewati. Keduanya mulai berlalu meninggalkan taman rumah.

Terpopuler

Comments

Afifa Afifauzma

Afifa Afifauzma

sabar y nisa....✌aq ampe nangis bacanya....😭😭😭

2020-09-15

1

ربواتي سو دري

ربواتي سو دري

semangatt

2020-06-24

0

Lost

Lost

thor aku sudah like sampai sini, ntar mampir lagi ya

2020-05-22

0

lihat semua
Episodes
1 BAB 1. Kerelaan
2 BAB 2. Kontingen Hati
3 BAB 3. Pertikaian
4 BAB 4. Permintaan Menikah
5 BAB 5. Janji Kita Bersama
6 BAB 6. Keputusan
7 BAB 7. Sah
8 BAB 8. Malam Pertama
9 BAB 9. Sorry I’am Late
10 BAB 10. Si putih, Mou
11 BAB 11. Kasih Bertepuk Sebelah Tangan
12 BAB 12. Mashita!
13 BAB 13. Mirip Tawanan
14 BAB 14. Siraman Rohani Dadakan
15 BAB 15. Munakahat
16 BAB 16. Siratan Kenangan
17 BAB 17. Jiwa yang Sunyi
18 BAB 18. Surga Dunia
19 Bab 19. Sebuah Luka Lama
20 BAB 20. In The Kitchen
21 BAB 21. Nikah-Nikahan
22 BAB 22. Kamu Cantik, Istriku
23 BAB 23. Masih Sabar
24 BAB 24. Bertemu Kembali
25 BAB 25. Pingsan
26 BAB 26. Drama Amnesia
27 BAB 27. Rasa Bersalah
28 BAB 28. Fitting Baju
29 BAB 29. Acara Makan-makan
30 BAB 30. Kejadian Buruk
31 BAB 31. Perkelahian
32 BAB 32. Mimpi Buruk
33 BAB 33. Cewek Agresif
34 BAB 34. Percakapan Itu
35 BAB 35. Inspeksi Bulanan
36 BAB 36. Secarik Kertas
37 BAB 37. Hilang
38 BAB 38. Perkara Pakaian Takwa
39 BAB 39. Ada yang Beda
40 BAB 40. Keributan Kecil
41 BAB 41. Mengakui
42 BAB 42. Kalung Liontin
43 BAB 43. Tempat Indah
44 Bab 44. Berbagi Cerita
45 Ilustrasi
46 BAB 45. Berangkat
47 BAB 46. Ketahuan
48 BAB 47. Apa Iya Rindu?
49 BAB 48. Gelisah
50 BAB 49. Di Bully
51 BAB 50. Virus Merah Jambu
52 BAB 51. Cinta Sebenarnya
53 BAB 52. 'Andai'
54 BAB 53. Mencari Cara
55 BAB 54. Harapan
56 BAB 55. Semua Untukmu
57 BAB 56. Perasaan Sarah
58 BAB 57. Sakit
59 BAB 58. Cemburu
60 BAB 59. Honey
61 BAB 60. Kekalahan
62 BAB 61. Tebaik
63 BAB 62. Study Group
64 BAB 63. Tulus
65 BAB 64. Ikhlasku
66 BAB 65. Saling Mengungkapkan
67 BAB 66. Berjuang
68 BAB 67. Bahagia karena Cinta-Nya
69 BAB 68. Menunaikan Kewajiban
70 BAB 69. Memancing Asmara
71 BAB 70. Muroja'ah
72 BAB 71. Kelulusan
73 BAB 72. Rumah Baru
74 BAB 73. Kenalan Tetangga Baru
75 BAB 74. Modus
76 BAB 75. Panti Asuhan 1
77 BAB 76. Panti Asuhan 2
78 BAB 77. Sick
79 BAB 78. Canda Pagi
80 BAB 79. Resah
81 BAB 80. Lancang
82 BAB 81. Berubah
83 BAB 82. Foto yang Lenyap
84 BAB 83. Bahagia itu
85 BAB 84. Harus Pulang
86 BAB 85. Permintaan
87 BAB 86. Curiga
88 BAB 87. Penjelasan
89 BAB 88. Kiriman Foto
90 BAB 89. Temuan Foto
91 BAB 90. Kunjungan
92 BAB 91. Pujian
93 BAB 92. Hadiah Spesial
94 BAB 93. Pilihan
95 BAB 94. Prahara Rumah Tangga
96 BAB 95. Jebakan (1)
97 BAB 96. Jebakan (2)
98 BAB 97. Jebakan (3)
99 BAB 98. Back to Home
100 BAB 99. Keputusan itu
101 BAB 100. Part Spesial 17-an (1)
102 BAB 101. Part Spesial 17-an (2)
103 BAB 102. Kabar Duka
104 BAB 103. Bukan Kesengajaan
105 BAB 104. Suasana Duka
106 BAB 105. Mengungkap Kasus
107 BAB 106. Puzzle Kerinduan
108 BAB 107. Teman Berbagi
109 BAB 108. Pembongkaran
110 BAB 109. Bazar
111 BAB 110. Pemilik Suara
112 BAB 111. Manisnya Kesabaran
113 BAB 112. Tindakan Operasi
114 BAB 113. Halal Love
115 BAB 114. Saving Private Baby (1)
116 BAB 115. ....... Baby (2)
117 BAB 116. ..... Baby (3)
118 BAB 117. ..... Baby (4)
119 BAB 118. Extra Part [End]
Episodes

Updated 119 Episodes

1
BAB 1. Kerelaan
2
BAB 2. Kontingen Hati
3
BAB 3. Pertikaian
4
BAB 4. Permintaan Menikah
5
BAB 5. Janji Kita Bersama
6
BAB 6. Keputusan
7
BAB 7. Sah
8
BAB 8. Malam Pertama
9
BAB 9. Sorry I’am Late
10
BAB 10. Si putih, Mou
11
BAB 11. Kasih Bertepuk Sebelah Tangan
12
BAB 12. Mashita!
13
BAB 13. Mirip Tawanan
14
BAB 14. Siraman Rohani Dadakan
15
BAB 15. Munakahat
16
BAB 16. Siratan Kenangan
17
BAB 17. Jiwa yang Sunyi
18
BAB 18. Surga Dunia
19
Bab 19. Sebuah Luka Lama
20
BAB 20. In The Kitchen
21
BAB 21. Nikah-Nikahan
22
BAB 22. Kamu Cantik, Istriku
23
BAB 23. Masih Sabar
24
BAB 24. Bertemu Kembali
25
BAB 25. Pingsan
26
BAB 26. Drama Amnesia
27
BAB 27. Rasa Bersalah
28
BAB 28. Fitting Baju
29
BAB 29. Acara Makan-makan
30
BAB 30. Kejadian Buruk
31
BAB 31. Perkelahian
32
BAB 32. Mimpi Buruk
33
BAB 33. Cewek Agresif
34
BAB 34. Percakapan Itu
35
BAB 35. Inspeksi Bulanan
36
BAB 36. Secarik Kertas
37
BAB 37. Hilang
38
BAB 38. Perkara Pakaian Takwa
39
BAB 39. Ada yang Beda
40
BAB 40. Keributan Kecil
41
BAB 41. Mengakui
42
BAB 42. Kalung Liontin
43
BAB 43. Tempat Indah
44
Bab 44. Berbagi Cerita
45
Ilustrasi
46
BAB 45. Berangkat
47
BAB 46. Ketahuan
48
BAB 47. Apa Iya Rindu?
49
BAB 48. Gelisah
50
BAB 49. Di Bully
51
BAB 50. Virus Merah Jambu
52
BAB 51. Cinta Sebenarnya
53
BAB 52. 'Andai'
54
BAB 53. Mencari Cara
55
BAB 54. Harapan
56
BAB 55. Semua Untukmu
57
BAB 56. Perasaan Sarah
58
BAB 57. Sakit
59
BAB 58. Cemburu
60
BAB 59. Honey
61
BAB 60. Kekalahan
62
BAB 61. Tebaik
63
BAB 62. Study Group
64
BAB 63. Tulus
65
BAB 64. Ikhlasku
66
BAB 65. Saling Mengungkapkan
67
BAB 66. Berjuang
68
BAB 67. Bahagia karena Cinta-Nya
69
BAB 68. Menunaikan Kewajiban
70
BAB 69. Memancing Asmara
71
BAB 70. Muroja'ah
72
BAB 71. Kelulusan
73
BAB 72. Rumah Baru
74
BAB 73. Kenalan Tetangga Baru
75
BAB 74. Modus
76
BAB 75. Panti Asuhan 1
77
BAB 76. Panti Asuhan 2
78
BAB 77. Sick
79
BAB 78. Canda Pagi
80
BAB 79. Resah
81
BAB 80. Lancang
82
BAB 81. Berubah
83
BAB 82. Foto yang Lenyap
84
BAB 83. Bahagia itu
85
BAB 84. Harus Pulang
86
BAB 85. Permintaan
87
BAB 86. Curiga
88
BAB 87. Penjelasan
89
BAB 88. Kiriman Foto
90
BAB 89. Temuan Foto
91
BAB 90. Kunjungan
92
BAB 91. Pujian
93
BAB 92. Hadiah Spesial
94
BAB 93. Pilihan
95
BAB 94. Prahara Rumah Tangga
96
BAB 95. Jebakan (1)
97
BAB 96. Jebakan (2)
98
BAB 97. Jebakan (3)
99
BAB 98. Back to Home
100
BAB 99. Keputusan itu
101
BAB 100. Part Spesial 17-an (1)
102
BAB 101. Part Spesial 17-an (2)
103
BAB 102. Kabar Duka
104
BAB 103. Bukan Kesengajaan
105
BAB 104. Suasana Duka
106
BAB 105. Mengungkap Kasus
107
BAB 106. Puzzle Kerinduan
108
BAB 107. Teman Berbagi
109
BAB 108. Pembongkaran
110
BAB 109. Bazar
111
BAB 110. Pemilik Suara
112
BAB 111. Manisnya Kesabaran
113
BAB 112. Tindakan Operasi
114
BAB 113. Halal Love
115
BAB 114. Saving Private Baby (1)
116
BAB 115. ....... Baby (2)
117
BAB 116. ..... Baby (3)
118
BAB 117. ..... Baby (4)
119
BAB 118. Extra Part [End]

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!