"Eh Nis, kira-kira siapa ya yang bakalan gelar tenda duluan di kelas kita?
Gelar tenda? Otakku bekerja keras untuk mencari makna kata itu. Biasanya orang gelar tenda kalau ada acara hajatan, sunatan, hari raya qurban untuk mencit hewan, nikahan juga gelar tenda sih.
"Kalau aku sih belum ada calonnya, gimana mau gelar tenda... "kata Fey sambil senyum-senyum tidak jelas.
"Kalau kamu Nis?" Aku mengerjap-ngerjap kaget, saat Fey menanyakan itu ke aku yang masih sibuk menyalin resuman materi Fiqih.
"Nikah maksud kamu?" tanyaku skeptis.
Fey mengangguk, tersenyum.
"Hehehe... " Aku tertawa hambar.
"Kamu sendiri punya target menikah?" tanya Fey dengan menatap kedua bola mataku beberapa detik.
"Kamu ngapa tanya-tanya tentang nikah sih? Nggak ada topik lain apa?"
"Daripada aku nanyanya kapan mati? Kan horor. Bisa dikeroyok warga satu sekolah kalo setiap ketemu nanyanya kapan mati."
Aku terkekeh. "Ya, kali nanya begituan"
"Kamu siap nggak kalau misalkan harus menikah muda?" Fey bertanya seperti sedang membayangkan sesuatu.
Pernah sih kepikiran buat nikah muda. Tapi pikiran itu seketika sirna jika ditanya tentang kesiapan. Menikah bukan hanya tentang ijab dan kabul lalu romantis-romantisan. Perlu juga dipertanyakan siap nggak lahir dan batin. Apalagi kalau dijodohin. Ekspektasi dan kenyataan itu kadang berbanding terbalik.
"Nis, kok kamu melamun sih? Kamu lagi bayangin gimana serunya nikah muda ya?"
Aku menepis jari telunjuk yang mengarah ke wajahku.
"Apaan sih! Nggak ada nikah muda. Lagian target aku menikah itu umur 25 tahun. Kalau tahun ini target aku bukan menikah tapi menyelesaikan studi dan lanjut kuliah," ujarku memperjelas.
Fey menghela. "Yahh, aku juga sama sih. Tapi kalau udah dapat jodohnya mau gimana? Nggak mungkinkan menghindar terus." Fey berkomentar.
"Yang jelas aku ogah nikah muda. Titik. No koma," balasku menekan. "Lagian kenapa jadi bahas nikah sih, kita kan mau belajar ini!"
"Iya, kan aku cuman nanya doang. Nggak usah jutek gitu dong." Fey menarik pipiku gemas.
"Kamu sendiri memangnya udah siap? Siap ngasih nafkah lahir dan nafkah batin? Karena nikah bukan cuman tentang cinta. Tapi ada kewajiaban yang harus dipenuhi suami sebagai kepala keluarga."
"Kok kamu tau tentang itu? Jangan-jangan selama ini kamu... "
"Apa lagi? Nggak usah aneh deh! Kan aku baca dari buku ini" Tanganku mengangkat tinggi-tinggi buku Fiqih.
Fey mengangguk.
"Kalau aku sih siap aja nikah muda."
Mendengar perkataan Fey membuatku bergidik geli. "Ihh, pantes dari tadi bahasnya itu mulu, ternyata kamu yang udah kebelet mau nikah."
Rasanya tidak penting melanjutkan obrolan itu lagi. Tanganku kembali meraih pena untuk lanjut menulis. Tapi baru aku ingin menulis satu kalimat, bel pulang sudah berbunyi.
Suara siswa kembali menggema memenuhi setiap sudut ruangan. Mereka berhamburan keluar dari ruang kelas, setelah seharian berkutat dengan buku.
***
Matahari sudah menyembul kembali ke permukaan bumi. Ia menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Menerangi setiap bagian bumi, supaya manusia tahu bahwa kehidupan masih berjalan sebagaimana mestinya.
Krringgg...
Tanganku meraba-raba demi meraih jam beker di nakas. Aku terpaksa membuka mata yang masih terkatup katup sekedar hendak melihat angka yang tertera pada jam yang berdering tadi.
Aku melenguh. "Masih pukul 06.30 pagi. Nanti dulu deh! 10 menit lagi.”
Tak hampir satu menit jeda alarm itu berhenti, sebuah teriakan panggilan kembali menggema dari luar. “Nisa! Dhanisa! Dah siang. Anak gadis nggak boleh bangun siang-siang. Nanti jodohnya mandeg.” Suara itu jelas seperti sedang mengutukku.
Tidak ada kata lain selain tentang jodoh yang selalu ibu gunakan untuk membangunkanku yang masih betah memeluk erat bantal guling.
“Iya Bu! Sebentar lagi ya 10 menit,” balasku setengah sadar karena nyawa masih diawang-awang.
“Nisa dalam hitungan ketiga Ibu mau kamu bangun sekarang juga!” suara itu terdengar dekat sekali.
"Satu... Dua... Tiga... "
Ibu sudah selesai menghitung. Tapi aku masih juga belum bergerak dari posisi menelungkupkan badan. Sekoyong-koyong aku merasa ada butiran dingin dan basah menerpa mukaku berulang-ulang. Aku gelagapan dan memaksa mengangkat kelopak mata yang berat seperti batu. Samar-samar sebuah telapak tangan mendekat ke arahku. Jari-jarinya menjentik. Aku tergeragap, dan mukaku sekali lagi basah dengan air.
"Bangun!" yang punya tangan mengeram. Geraman yang kukenal. Geraman Ibu. Ya Tuhan! Kantukku tiba-tiba punah. Dengan cepat aku menyibak selimut dan meloncat turun dari tempat tidur.
"Cepat siap-siap!" Perintah itu datang tiba-tiba.
Aku menguap.
"Siap-siap apanya, Bu?"
Tangan ibu bergerak cepat memilin kupingku. Ibu memang kadang sejahat itu dengan aku.
"Aw.. aw," pekikku, meringis kesakitan.
“Makannya kamu sadar dulu. Itu muka, masih muka bantal gitu."
Aku menggaruk tengkukku.
"Nisa, udah sadar Ibu, ini Nisa bangun!" kataku terduduk dipinggir ranjang sambil mengucek mata.
"Hari ini kita akan ke rumah Paman Hamzah. Sekarang Nisa buruan mandi, Ibu mau nyiapin makanan dulu."
Aku bangkit, lalu menghempaskan tubuh pada jok kursi.
"Nisa harus ikut memangnya?” tanyaku dengan suara masih serak khas orang baru bangun tidur.
Pertanyaanku yang demikian membuat ibu berhenti dan membalikkan kembali badannya ke arahku.
“Ya iyalah Nisa," nadanya panjang diakhir.
"Harus banget memangnya?" tanyaku lagi.
"Nisa! Sekali lagi kamu nanya Ibu masukin kamu ke pesantren," nada Ibu mengancam.
Aku menanggapinya santai. “Tapi Ibu Nisa malas. Biar Ibu sama Ayah ajalah yang ke sana. Nisa ada janji nih nanti ketemu kawan-kawan.”
“Nisa! ketemuan dengan teman itu nanti bisa ditunda. Tapi kalau acara keluarga seperti ini tidak bisa ditunda. Lagi pula Paman Hamzah dengan Ayah Nisa kan adik-beradik, saudara. Ada baiknya kita menjalin tali silaturahmi dengan keluarga dekat. Sanak family,” tukas ibu seketika.
Sudahlah dalam hati aku hanya bisa pasrah, kalau tidak aku turuti kehendaknya bisa-bisa panjang kali lebar lagi celotehan yang keluar dari mulut ibu, pagi ini.
“Iya-iya, Nisa mandi."
Aku berjalan dengan malas ke kamar mandi.
***
Lebih kurang sejam perjalanan akhirnya mobil yang membawa kami sekeluarga tiba di rumah Paman Hamzah. Aku masih di dalam mobil, belum hendak turun rasanya. Entah kenapa tiba-tiba kepalaku terasa sakit. Aku sedikit mengurut-urut kening dengan tangan, siapa tahu sakitnya bisa sedikit reda. Dari dalam kaca mobil aku melihat ayah dan ibu sudah berjalan keluar, sementara aku masih ngurut kepala di dalam mobil. Tanganku meraba-raba tas kecil yang aku kenakan dengan maksud menemukan obat pereda sakit kepala yang dokter berikan beberapa hari lalu. Tapi aku tidak menemukannya.
“Mana Nisa, Bu?” Terdengar suara ayah yang menanyakan perihalku.
Ibu kemudian melihat ke arah mobil sedan berwarna putih. “Nisa ayo turun, kenapa masih di dalam!” nadanya sedikit berteriak.
“Iya Bu." Segera aku keluar dari mobil sebelum mood ibu berubah lagi.
Dari kejauhan aku melihat Kak Soraya dan Abang Fikri sudah berdiri di depan, menunggu kami.
“Assalamu’alaikum,” sapa ayah dengan salam untuk memohon keselamatan.
“Wa’alaikumsalam.” Kedengaran kakak beradik itu menjawab bersamaan.
“Mana Abah dan Umi kalian?” Kali ini giliran ibu yang bersuara.
“Di dalam Umi.” Itulah sapaan panggilan yang mereka gunakan untuk memanggil nama ibuku. Keluarga Paman Hamzah ini memanglah keluarga yang dekat dengan agama. Paman Hamzah adalah seorang dosen yang mengampu mata kuliah Usuludin adab dan dakwah, sementara istrinya, Salamah adalah guru mengaji. Itulah tidak salah lagi bagaimana sikap dan karakter anak-anak mereka yang penyantun, rama serta sopan. Paman Hamzah hanya memiliki tiga orang anak, yaitu Abang Fikri, Kak Soraya dan Abang Azzam. Semuanya belum ada yang berumah tangga.
“Eh! Ini Nisa kan?” tanya Kak Soraya, meneliti wajahku dengan saksama.
Aku pun langsung menyambut tangan Kak Soraya untuk bersalaman. “Iya kak."
“Wah sudah lama kita nggak ketemu ya, Nisa, hmm... kira-kira mungkin hampir lima tahunan,” ujar Kak Soraya, tangannya menepuk pundakku, pelan. “Sudah kuliah?”
Aku menyunggingkan gigi, baru membalas, “Belum Kak. Nisa masih SMA.”
Kak Soraya mengangguk. “Kelas?”
“Tiga Kak.”
Tiba-tiba abang Fikri bersuara, “Heh, sudahlah! Tunda dulu mengobrolnya lebih enak kalau kalian ngobrol di dalam. Nggak bagus kalau di luar seperti ini,” kata Abang Fikri.
“Ha-ha iya, iya. Abah dan Umi juga sudah ada di dalam, ayo sayang,” ujar Kak Soraya lagi.
Abang Fikri dan Kak Soraya sudah berjalan duluan di depan. Sementara aku agak sedikit melambatkan derap langkah karena masih menahan rasa nyeri di kepala, Jangan sampai aku ambruk.
Benar-benar tak tertahankan, aku merasa sudah tak mampu menumpu beban tubuhku. Akhirnya aku berjalan sedikit demi sedikit sambil memegangi dinding bercat putih dengan tangan terus memijit-mijit pelipis.
Tak lama, seseorang datang merangkulku. Aku memandang wajahnya berusaha untuk mengenali orang itu. Namun, agak blur pandanganku melihatnya.
“Nisa, kenapa?”
Aku menggeleng, rasa tak sanggup lagi mau bersuara. Ia terus memapahku sampai ke ruangan tempat dimana keluarga berkumpul.
Ibu yang melihatku datang dengan dipapah Azzam, sontak membuatnya kaget. “Azzam, kenapa Nisa?”
“Tidak tahu Umi, tadi aku melihat dia agak kepayahan makanya aku bantu dia berjalan,” jawabnya ringkas.
“Nisa, sakit lagi?” tanya ibu sambil menuntunku duduk di kursi. “Nisa bawa obat yang diberikan dokter Hendra?"
Aku menggeleng.
“Coba bawa Nisa istirahat dulu di kamar, supaya sakitnya agak sedikit reda,” kata Umi Salamah, istri Paman Hamzah yang juga terlihat khawatir dengan aku.
“Ahm, Azzam coba telepon Dokter Maldi suruh ke sini,” perintah Paman Hamzah pada anak bungsunya.
“Iya, Abah."
Sekitar lima belas menit menunggu Dokter Maldi tiba di rumah Paman Hamzah. Aku masih berbaring di tempat tidur, aku kurang tahu persis kamar siapa yang aku tempati ini. Mungkin kamar Kak Soraya.
Dokter Maldi sudah memeriksaku dan baru saja memberikan obat untuk aku minum.
“Dia hanya sedikit kelelahan makannya sakitnya kambuh lagi. Setelah ini biarkan dia istirahat dulu,” kata Dokter Maldi. “Jangan lupa obatnya supaya rutin diminum,” lanjutnya.
“Terima kasih Dokter Maldi, sudah bersedia kemari lagi,” ujar Paman Hamzah.
Dokter Maldi tersenyum. “Iya Ustadz, sudah kewajiban seorang dokterlah jika dimintai bantuan segera datang. Kalau begitu saya pamit dulu Ustadz, kebetulan masih ada pasien yang menunggu saya di klinik. Assalamu’alaikum,” ucapnya kemudian berlalu meninggalkan kami.
“Wa’alaikumsalam,” jawab mereka.
“Sebenarnya Nisa sakit apa, Hamidah?” tanya Umi Salamah pada Ibu.
“Vertigo. Sebenarnya baru seminggu ini juga dia baru keluar dari rumah sakit,” terang ibu.
“Kalau begitu biarlah Nisa bermalam dulu di sini,” tawar Umi Salamah.
Lembut ibu mengelus kepalaku. “Bagaimana Nisa menginap dulu semalam di sini, ya?” bujuk ibu lembut.
“Nggak! Nggak mau, Nisa mau pulang karena Nisa ada janjilah dengan kawan,” kataku merenggut. Lagian awalnya aku memang nggak mau ikut ke sini, malah di paksa lagi.
***
“Azzam, kemari Nak yang sedikit hal yang mau Umi bicarakan,” suara umi memecah kesunyian malam.
Mendengar perintah umi, Azzam menghentikan langkahnya sejenak dan menghampiri wanita paruh baya yang dipanggilnya Umi. Padahal usai pulang sholat isya berjamaah tadi setelah ini ia bermaksud untuk menyusun berkas-berkas yang diperlukan untuk lamaran pekerjaan.
“Azzam sibuk?”
“Tidak umi, cuman rencananya tadi mau menyiapkan berkas untuk lamaran pekerjaan.”
“Di mana rencananya Azzam mau bekerja, Nak?” tanya Umi sambil lekat memandang putranya.
“Kalau masalah kerja di mana saja Azzam mau Umi. Cuman tadi siang datang panggilan untuk mengajar sebagai dosen di salah satu universitas di Malang.”
“Azzam ambil?”
“Insyaallah, Umi.”
“Kalau Umi boleh beri saran Azzam mengajar saja dulu di Yayasan Madrasah Aliyah Muallimin, tempat sekolahnya Nisa. Paman Ahsan pernah bilang sekolah mereka sangat membutuhkan tenaga pengajar bidang Al-Qur’an Hadist. Umi rasa cocoklah tuh.”
Azzam diam, menatap objek lain di ruangan itu. Melihat ekspresi anaknya Umi Salamah kembali berujar, “Umi tidak maksa, janganlah terlalu Azzam pikirkan,” ucap Umi sambil tertawa sedikit.
Azzam mengangguk pelan, ikut melempar senyum. “Oh begitu ya, Umi. Insyaallah kalau pun itu baik Azzam bersedia.”
“Zam.”
Azzam menganggkat wajahnya. “Iya”
“Ada yang Umi mau beritahu dengan Azzam?”
“Apa Umi? Kenapa Umi seperti gelisah.”
“Iya, Umi takut-takut kalau Azzam tidak setuju dengan keputusan kita,” ujar umi Salamah dengan perasaan tak enak hati, hendak mengutarakan kalimat itu.
Azzam mulai mengerutkan dahi, tanda hendak betul mengetahui maksud ibunya. “Setuju apa, Umi? tadi Azzam sudah bilang insyaallah, atas izin allah saya bersedia ditempatkan mengajar di madrasah, Umi.”
Umi tertawa. “Ini topiknya lain lagi Azzam.”
Azzam mengangkat kedua alisnya. “Topik apalagi?”
“Umi dengan abah juga kakak-kakakmu sudah berunding untuk ini, dan sekarang Umi mau dengar pendapat Azzam.”
“Pendapat mengenai apa?" Azzam menatap binggung wanita paruh baya di depannya.
Wanita yang telah berusia kepala lima itu memandang lekat wajah anaknya dan mengusap pelan lengan Azzam.
“Abah dan Umi punya keinginan untuk menikahkan Azzam dengan Dhanisa, putri angkat Paman Ahsan. Gimana? Lagiankan kamu juga sudah kenal dan tau bagaimana Nisa." Umi menarik napas dan menelan ludah. "Dulu kalau Umi lihat kalian sangat akrab, selalu bercanda dan main berdua.”
Azzam menatap kedua bola mata ibunya dan mengela napas pelan. Ada jeda di antara keduanya. Umi Azzam membiarkan anak bungsungnya itu berpikir atas keputusan yang telah mereka ambil, dan untuk keputusan akhirnya mereka serahkan sepenuhnya kepada Azzam. Mereka percaya bahwa Azzam akan mengambil keputusan yang menurut diabbaik untuk kedepannya. Lagian mereka tidak mau terlalu memaksakan Azzam untuk cepat menikah.
Sebenarnya alasan di balik keputusan ini adalah orang tua Azzam mau merekatkan kembali tali persaudaraan dan juga menembus rasa bersalahnya, lima tahun silam. Meskipun kalau ditarik kesimpulan tidak ada hubungannya, karena kematian seseorang itu telah ditulis dalam kitabnya (Lauh Al-Mahfuz).
Kebetulan juga keluarga Paman Ahsan kemarin datang untuk membicarakan itu, keinginan dia untuk merubah perilaku Dhanisa, yang suka keluyuran sampai larut malam membuat orang tua angkat Nisa itu tampak khawatir. Sebenarnya paham betul bagaimana kerisauan hati orang tua. Lagian orang tua mana yang tidak risau, kalau anaknya suatu saat nanti bisa saja terjerumus dalam pergaulan yang bebas dan melakukan hal-hal yang tidak senonoh.
Setelah berdiam cukup lama, akhirnya Azzam membuka suara. “Biar Azzam pertimbangkan dulu, Umi. Azzam tidak bisa jawab sekarang.”
“Tidak apa-apa Azzam Umi tahu ini keputusan yang tidak mudah,” kata Umi lembut.
Ya allah beri aku petunjukmu
Tiga hari kemudian ...
Sudah tiga malam Azzam melakukan sholat istikharah memohon petunjuk agar dibukakan penerangan untuk permintaan Umi beberapa hari yang lalu. Akhirnya dengan tekad bulat Azzam datang untuk membicarakan ini kembali keinginannya dengan abah dan umi.
Azzam sudah duduk berhadap-hadapan dengan abah dan umi, di tempat biasa keluarga itu berkumpul. Dengan tenang Azzam duduk dari sikap duduknya ia juga tampak rileks. Lekat-lekat ia memandang wajah dan kedua mata orang tua yang telah melahirkan, merawat, membesarkannya itu. Jika Azzam teringat semua itu, tidak kuasa hatinya hendak menolak. Merekalah kunci surga seorang anak.
“Aku terima perjodohan ini, Umi, Abah.” Tiba-tiba ucapan itu keluar dari mulut Azzam. Mata Azzam menatap umi dan abahnya bergantian.
Abah terlihat tersenyum lega. Sementara Umi mengelus pelan bahu anaknya. “Apa Azzam sudah pikirkan ini matang-matang, Nak?”
Azzam mengangguk pelan.
“Umi tidak memaksa Azzam. Kalau memang Azzam tidak setuju tidak apa-apa, nanti Umi sampaikan saja sama Paman Ahsan. Umi juga tidak mau kalau nanti malah membawa mudharat untuk kehidupan rumah tangga Azzam. Kalau Azzam melakukan itu dengan terpaksa."
“Tidak Umi. Ini sepenuhnya keputusan Azzam,” kata Azzam sembali memegang halus tangan ibunya. Dengan kebulatan niat dan keteguhan hati Azzam, ia berharap ini adalah keputusan terbaiknya.
Mendengar pengakuan dari Azzam, umi dan abah terlihat melemparkan senyum sumringah. Tidak ada alasan lain kenapa abah dan umi lebih memilih Azzam untuk menikahi Nisa karena karakter, tabiatnya serta tutur kata yang lembut, pembawaan yang tenang, dan sedikit humoris membuat orang senang bila bergaul dengannya. Maka tidak heran banyak sebenarnya wanita yang mencoba mencuri pandang dengan Azzam, tapi seperti belum ada yang menggetarkan hatinya untuk memilih wanita-wanita itu, padahal wanita yang mendekat itu anak orang-orang kenamaan, ada juga penghafal qur'an. Entah apa yang dicarinya, sehingga tidak ada satupun wanita yang mampu mengisi hati Azzam.
Berbicara tentang saudara Azzam lainnya, bukan berarti mereka tidak berkarakter baik seperti Azzam. Namun, agaknya anak bungsu satu ini memang sedikit berbeda.
Apakah matahari sudah sebegitu dekat dengan bumi? Hingga teriknya begitu terasa ke ubun-ubun. Aku meneka-neka demikian karena tubuh sudah terasa bermandi peluh. Aku menengadah ke atas dengan menyipitkan mata, menahan silauan terik panas yang menyebar di bumi. Di langit, angin mendorong awan berpindah dan bergerak dengan begitu cepat. Hingga membuat awan bercerai berai.
Aku merasa angin lembut sedang mengitariku. Hembusannya mendepak dedaunan hingga berguling-guling tak tentu arah, akhirnya debu pasir pun menjadi imbasnya. Aku menyeka keningku yang berkeringat. Debu yang tadi aura auran dengan beringas melesat masuk ke mata.
Di lapangan Madrasah hanya ada kami, siswa kelas 12-A yang sedang mengikuti pelajaran Penjaskes yang diampu Pak Chandra. Guru olahragaku satu ini berbadan atletis, dengan warna kulit sedikit keling. Mungkin karena kerap mengekspose tubuhnya di bawah terik panas matahari. Seperti saat ini, di tengah lapangan dia memberikan arahan teknik melempar cakram.
“Semuanya coba perhatikan ke depan dan ikuti gerakan Bapak ya,” kata Pak Chandra dengan memegang sebuah benda yang berbentuk bulat pipih.
“Teknik awalan saat hendak melempar cakram pastikan posisi badan berdiri ke arah samping atas lemparan, kemudian kedua kaki dibuka selebar bahu. Usahakan kaki rileks dan tekuk sedikit ya.” Pak Chandra memberikan intruksi.
Seluruh siswa mengikuti setiap gerakan yang dilakukan Pak Chandra meskipun ada sedikit yang terlihat kesulitan melakukan gerakan yang seperti Pak Chandra inginkan.
“Jihan kakinya kurang ditekuk itu!” tegur Pak Chandra yang melihat Jihan masih agak kurang sempurna dalam melakukan gerakan.
Untuk masalah olahraga, yang merupakan bagian dari kecerdasan kinestetik, Jihan sepertinya memang terlihat sedikit below average. Kalau disuruh menendang bola futsal nendang ke mana sampainya ke mana, terus kalau disuruh buat servis bola voli, servisnya nggak stabil. Padahal kami yang senang olahraga sudah sering mengarahkannya supaya benar dalam melakukan servis, ya mungkin basic Jihan bukan di kinestetik. Jihan sih orangnya memang sedikit kalem. Sedikit ya? nggak banyak-banyak, beda sama aku yang pecicilan. Namun, untuk mata pelajaran lainnya Jihan jangan dianggap remeh. Dia begitu cakap terutama mata pelajaran bidang agama, nilai yang dia dapat hampir selalu A+. Sementara aku selaku langganan dapat C.
Sudah sekitar hampir satu jam tiga puluh menit berlalu, Pak Chandra menutup kegiatan pembelajarannya hari dan akan dilanjutkan kembali minggu depan.
“Baiklah sebelum Bapak tutup pelajaran hari ini, marilah kita berdo’a terlebih dahulu. Berdo’a dimulai.”
Anak-anak dengan khusyuk berdo’a sembari menengadahkan tangan berharap kebermanfaatan dan keberkahan atas ilmu yang diterima hari ini.
“Selesai,” kata Pak Chandra, mengakhir doa.
“Jangan lupa minggu depan tugas kalian adalah merangkum materi tentang sejarah permainan bola basket, dan teknik-teknik dalam bermain basket. Satu lagi pesan Bapak, setelah ini kalian pergi ganti baju olahraga kalian dan masuk ke kelas, karena selepas ini masih ada mata pelajaran lagikan?"
“Iya Pak,” jawab anak-anak serentak
“Oke, sekarang silahkan bubar.”
Seluruh siswa mulai membubarkan diri masing-masing dari barisannya. Aku dan Jihan berjalan melewati koridor sekolah menuju ruang ganti baju. Tak disangka saat aku melintas di depan ruang guru, terdengar suara menyeru namaku. Mata langsung memutar ke arah sumber suara. Yang tampak dari pantulan lensa mataku adalah sosok laki-laki berperawakan tinggi sekira 176 cm, dengan badan tidak terlalu kurus, tidak pula berbadan tambun. Cukup proporsional. Wajahnya tegap, dengan rahang kokoh yang ditumbuhi cambang, tatapan mata yang teduh, rambut hitam pendek. Yang membuatnya berbeda dia selalu mengenakan kopiah di kepalanya. Dialah Abang Azzam.
“Abang!” ucapku dengan ekspresi terkejut. “Abang ngapain di sini?” tanyaku heran.
“Saya baru saja menemui kepala sekolah, tadi mengantarkan berkas.”
“Berkas?”
“Iya. Insyaallah saya akan mengajar di madrasah ini.”
“Hei, Nisa, Jihan ikut kami ke kantin yuk!” ajak Fey. Belum sempat aku mau menanyakan lebih dalam lagi alasan Abang Azzam memilih mengajar di sini, Fey sudah datang untuk mengajak kami berdua pergi makan di kantin belakang sekolah.
Melihatku diam tak bergeming, Fey memanggil lagi. “Nisa, ayo!”
“Mari Pak! Eh Ustadz! Eh aku harus panggil apa ya?” tutur Fey seraya menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
“Panggil beliau Ustadz Azzam.”
Tiba-tiba suara Pak Chandra ikut nimbrung bersama kami yang tetap masih berdiri di depan ruang guru. “Betul Ustadz?”
Azzam hanya merespon ucapan Pak Chandra dengan seyuman.
“Maaf Pak, apa Ustadz Azzam akan mengajar kami di kelas kami juga?” tanya Jihan.
“Iya. Ustadz Azzam juga akan mengisi jam pelajaran Qur’an Hadist di kelas 12-A."
Aku melihat ekspresi Jihan begitu senang mendengar hal itu. Aku ikut tersenyum tipis.
“Sudah sana! Kenapa kalian belum juga ganti baju, kan Bapak pesan apa tadi? Apa mau Bapak denda?” nada Pak Chandra sedikit mengancam.
“Eh, tidak! Tidak Pak. Kalau gitu kita permisi dulu,” kata Sadam.
Tanpa basa-basi lagi aku bersama teman lainnya pergi menuju kantin dan bukannya malah mengganti baju. Rasa lapar sepertinya mengalahkan rasa ketakutan terhadap denda dan ancaman Pak Chandra pada kami.
***
Kami and the genk─Jihan, Sadam, Jovan, Fey dan Aku sudah berkumpul di kantin. Kami pastinya mau membeli mie ayam milik Pakde Yono yang terkenal enak ditambah dengan harga yang terjangkau untuk kocek anak sekolahan. Tak heran, warung ini menjadi tempat strategis untuk tebar pesona, sekedar ngerumpi, melakukan curhat atau memang benar-benar untuk makan mie ayam. Tak terkecuali Nisa and the genk.
Kantin mie ayam Pakde Yono terletak di pojok belakang sekolah tampak selalu ramai peminat. Di depan gerobak mie ayam Pakde Yono terdapat meja-meja yang memang telah disiapkan dan ditata dengan sedemikian rupa sehingga tampak teratur dan rapi. Meja-meja dan bangku-bangku yang panjang itu bisa muat banyak orang, sehingga katin kerap dijadikan sebagai semacam tempat untuk musyawarah informal bagi siswa sekolah tersebut.
Fey mengangkat tangannya, memanggil Pakde Yono. “Pakde, mie ayamnya lima seperti biasa ya!” pinta Fey.
Pakde Yono juga seperti sudah sangat paham dengan selera masing-masing lima orang itu sehingga tidak perlu lagi dia bertanya tentang ini dan itu.
“Nisa, aku mau nanya itu tadi Ustadz Azzam siapa kau, kenapa kau panggil dia dengan sebutan Abang?” tanya Jihan, menanyakan tentang Ustadz Azzam.
“Oh dia itu Abang aku, Abang sepupu,” ujarku, lalu menyeruput minuman es jeruk peras yang sudah tiba lebih dulu. “Kenapa? Naksir? Ntar aku salamin,” godaku.
“Eh! Nggaklah. Aku males nanti besanan sama kamu lagi.”
"Yee ngarep banget, itupun kalau kau jodoh dengan Abang aku, kalau nggakkan kita nggak akan besanan," komentarku.
“Males? Yakin? Jangan-jangan selama ini Jihan diam-diam naksir ama si Jovan lagi,” kata Fey mengompori.
Jovan menyugar rambutnya ketika mendengar namanya disandingkan dengan Jihan.
“Iyalah orang ganteng gini, jangan sampai di sia-siain,” kata Jovan mengerling nakal ke arah Jihan.
Jihan bergidik geli.
Semilir angin yang berhembus siang itu cukup menyejukkan santap siang kelima sahabat and the genk itu. Persahabatan kami bukanlah kaleng-kaleng. Persahabatan kami tulus. Siapa sangka kami pernah sama-sama dihukum oleh senior semasa orientasi sekolah. Kemudian sorenya kami tertawa-tawa mengejek-ngejek senior kami. Kami juga pernah pernah ikut lomba memancing hingga larut malam, sampai besoknya kami masuk angin, hingga mengalami hipotermia saat aktivitas memanjat gunung. Sudah banyak susah-senang yang kami lalui.
“Nisa,” panggil Fey.
“Hmm,” sahutku seraya meracik mie ayam yang barusan datang.
“Nanti malam kalau misalkan aku ajakin keluar, nggak apa-apa?” tanya Fey, dengan perasaan sedikit ragu.
Fey agak sedikit ragu ingin mengajak Dhanisa untuk keluar lagi karena sekitar seminggu lalu Nisa harus merasakan sakit kepala yang tak tertahankan sehingga mengharuskan dia untuk dirawat di rumah sakit.
Fey sendiri menduga ini karena kegiatan lomba memancing yang kami ikuti waktu itu, hingga Nisa kelelahan ditambah lagi suasana udara malam yang dingin. Jika dihitung kira-kira baru minggu ini Nisa pulih dan bisa masuk bersekolah lagi.
“Ya, nggak masalah. Tumben pamit dulu, biasanya juga langsung aja jemput di rumah.”
“Nggak. Aku nggak enak aja sama orang tua kamu, takut nggak boleh karena kamu jugakan baru pemulihan," balas Fey tidak enak hati.
Sebenarnya Fey mau-mau aja mengajak Nisa untuk keluar waktu sore, hanya setelah pulang sekolah mereka memiliki jadwal belajar tambahan di luar.
Mendengar obrolan antara kami berdua Sadam mendehem karena merasa ada teman yang terabaikan.
Sadam menyikut bahu Fey. “Kita nggak di ajak?”
“Nggaklah. Ini khusus dinner aku dengan Nisa, jadi nggak boleh ada salah satu dari kalian yang boleh ikut,” kata Fey, menolak.
“Ya sudah, beb Jihan kita buat acara berdua juga yuk?” goda Sadam.
"iiiiihhh... ogah banget," ujar Jihan dengan ekspresi geli.
“Terus aku sama siapa dong?” nada Sadam seolah sedih.
Kelima sahabat itu tertawa lepas tanpa ada beban, di bawah lembayung yang menyelimuti hari itu. Itulah sahabat tak menutut selalu hadir dikala bahagia tetapi juga masa sulit sekalipun, dengan setia merangkul berat ringan kesedihan yang dipikul. Merubah kesedihan menjadi canda tawa. Namun tidak selamanya sahabat akan terus menjadi sahabat, rasanya memang agak sulit untuk menjaga sebuah komitmen dalam sebuah pertemanan yang disebut sahabat. Perlahan semua bisa berubah seiring berjalannya waktu, karena terbiasa menghabiskan waktu bersama hingga membuat rasa nyaman itu hadir melebihi kadarnya. Sekiranya seperti itulah yang aku dan Fey alami saat ini, kita seperti sedang menyembunyikan rasa yang bergejolak.
Fey sendiri memiliki rencana, kalau nanti malam ia akan mengungkapkan semua perasaannya selama ini, yang ia sembunyikan di balik sebuah pertemanan.
***
Malam memang selalu menyita banyak perhatian yang menarik untuk disimpan dalam sebuah kisah. Gugusan bintang yang tercipta disandingkan dengan bulan merah tampak begitu dekat. Seperti menjadi riasan pengiring perjalanan kami.
Motor gede milik Fey melanju kencang menyusuri jalanan kota metropilitan yang sekarang telah mulai sepi. Gemerlap lampu jalanan menambah kesyahduhan jalanan malam itu. Aku memeluk erat pinggang Fey yang kala itu sedang membawaku menyusuri jalanan malam.
Aku merasa malam ini Fey ada yang berbeda, tidak biasanya dia mengajakku untuk makan ataupun sekedar nongkrong di kafe. Biasanya juga kami hanya nongkrong di warung Mak Ittah. Warung Mak Ittah yang kerap dijadikan sebagai basecamp kami berlima.
Tidak tahu rasanya lebih sedikit asyik dan terbuka kalau berkumpul di sana, sebaliknya kalau di kafe rasanya agak kaku, bukan tak biasa atau tak pantas hanya saja merasa tidak nyaman.
Tak perlu waktu lama motor Fey sudah masuk ke pekarangan.
“Ayo ikut aku,” ajak Fey dengan menggandeng manja tanganku.
Dia membimbingku untuk masuk ke sebuah taman yang dipenuhi oleh kerlap kerlip lampu dengan beragam warna. Tampak olehku orang-orang begitu menikmati suasana ini.
Terlebih lagi disokong biasan rembulan yang terlihat begitu temaram, menerangi setiap sudut malam.
‘Ah bisa juga dia menyiapkan moment ini dan membuatku terkesan’, aku membatin.
Kami kemudian mengambil posisi duduk berdampingan. Fey mengangkat tangannya, memanggil salah satu pelayan.
“Mbak, tolong pesanannya di antarkan ya.”
“Iya Pak, ditunggu ya,” kata pelayan itu.
Aku tersenyum sambil kedua tangan menutup mulut supaya Fey tidak tahu kalau aku menertawakannya.
“Kenapa?” Fey bertanya saat melihatku tertawa.
“Kamu kayak udah tua banget dipanggil Bapak. Udah punya anak berapa Pak?” ledekku.
“Ha-ha, nggak tahu tuh. Eh, tapi kalau aku dipanggil Bapak berarti kamu Ibunya dong,” balas Fey yang juga tampak tak mau kalah.
“Fey,” panggilku.
“Iya.”
“Tumben? Pasti ini ada maunya alias ada udang di balik batu." Aku menduga-duga.
Fey tertawa berderai memamerkan gigi yang gingsul. “Nggaklah, ini murni ajakan dari hati aku.”
Tidak lama pesanan Fey sampai juga. Sebuah ice cream cokelat dan roti keju kesukaanku terhidang di depan. Sementara Fey memesan minuman Nescafe favoritnya. Aku mulai melirik roti keju yang terhidang di depan bukan karena lapar tapi ada selembar potongan lembar kecil terselip membentuk lipatan. Perlahan tanganku menggapainya, sesekali padangan aku arahkan ke Fey, aku hanya melihat dia tersenyum tipis.
“Silahkan dibuka dan dibaca." Fey bersuara.
Langit tersenyum dalam birunya selimut putih
Ku lihat anak-anak bersorak sorai di tanah lapang berumput hijau
Mentari tersenyum manis penuh arti
Tiada yang mengalahkan biasannya yang menembus penjuru dunia
Seperti itu pula suara hati mengalahkan egokku
Aku harap perasaan ini tidak salah.
Ini saatnya aku ucapkan kalau aku
sedang menyimpan rasa padamu,
maukah kau terima perasaan ini....?
~Fey
Begitu bunyi isi kertas itu. Aku sejurus memandang Fey tanpa berkedip. Melihat ekspresiku Fey melemparkan senyuman termanisnya yang belum pernah aku lihat selama ini. Melihat dia demikian, aku merasa saat ini semu merah sedang mencuat dipipiku.
Fey mengarahkan jari telunjuknya ke arah kaki langit. Membuatku juga mengikuti arah pandangannya. Dia menggerakkan jari telunjuk menunjuk garis-garis imajiner pada bintang-bintang yang berkedip terang. Sekarang muka kami sama-sama menengadah.
"Sebuah hati," kata Fey.
Keningku mengeryit. Aku tidak melihat apa yang dia lihat.
"Nggak ada kok."
Dia meraih jari telunjukku lalu mengarahkannya membentuk pola hati.
"Bagiku bintang itu membentuk kontigen heart hati," katanya lagi.
Aku tersenyum gemas.
"Kamu mau memberi hati itu untuk aku?" tanya Fey sambil melirik lucu. Bulu matanya yang panjang dan lentik mengerjap-ngerjap.
Ungkapan rasa sementara aku ungkapkan lewat sebuah senyum yang mengembang dari bibir dan turut terbang bersama hati yang berdebar.
Belum ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Lama aku termangu diam menerawang entah apa yang aku pikirkan, melihat mukaku tak beriak, Fey menggerak gerakkan telapak tangan di depan mataku.
"Hoii. Malah bengong,” ujar Fey mengangetkanku yang tengah tercenung.
"Apa yang kamu minta pada langit malam itu?" Aku balik bertanya seraya menatap langit.
"Bintang yang paling kemilau," balasnya.
"Baiklah. Dewi malam akan memberikan itu untukmu. Satu bintang yang paling terang dan cantik," ucapku manis.
"Benar kamu akan rela memberikan bintang itu untukku?"
Aku mengangguk.
Fey begitu sumringah, "Bintang itu akan aku simpan di hati lalu menguncinya rapat-rapat."
Aku mengernyit, "Kenapa?"
"Supaya tidak ada orang yang bisa mencurinya paksa."
“Hmm...” Aku menggelangkan kepalaku.
"Bagaimana apakah aku masih perlu membalas untaian kalimatmu ini?" Aku memegang secarik kertas yang ada di dekat kue tadi.
Fey menggeleng dengan muka bersemu bahagia. "Nggak perlu, aku sudah tau jawabannya. Kamu mau menerima aku kan?" Matanya menatap harap.
Aku melemparkan senyum sepuluh centi. "Iya"
Fey yang mendengar pengakuanku seketika saja meloncat kegirangan, tak memperdulikan bahwa orang-orang sekitar sedang menoleh me arahnya.
Saat sebuah cinta terbalaskan bak kembang api yang meletus-letus. Tampak indah dan mengagungkan. Mungkin ini yang Fey rasakan. Tanpa basa-basi aku memintanya bersikap biasa.
“Fey, malu dikit dong dilihatin orang!” tegurku ketika melihat reaksi Fey yang berlebihan mengundang tatapan orang banyak.
Ia tak menggubris perkataanku. “Nisa setiap orang punya cara sendiri dalam mengekspresikan kebahagiaan cintanya. Caraku adalah dengan mengajakmu senyum bersama.”
Sepertinya malam ini akan menjadi malam di mana kami berdua sulit untuk sekedar memejamkan mata. Kebahagian yang terukir sebagai sebuah kejutan aku harap ada kejutan kebahagiaan berikutnya.
Hawa sejuk masih tercium segar, tampak pula jalanan yang mulanya kering sekarang masih lembab dan basah akibat guyuran hujan semalam. Pagi-pagi sekali orang menggeliat memulai aktivitasnya di awal pekan ini. Begitu juga satu keluarga yang menempati rumah permanen yang lumayan besar dengan rerumputan hijau, pohon yang rindang serta tanaman bunga yang warna-warni terlihat semarak dan asri.
Aku masih mematut-matut diri di depan cermin, memastikan apakah penampilanku sudah oke. Tidak ketinggalan, aku menyemprotkan parfum supaya wangi. Sekarang giliran buku-buku yang aku jejalkan rapi masuk ke dalam tas. Helm berwarna biru yang terletak di sudut kamar tidak luput dari pantauanku
“Oke, sekarang semua sudah siap, waktunya cuss!” ucapku semangat.
Dengan gaya santai dan cuek aku berjalan keluar menuju garasi.
“Bu, Nisa berangkat!” teriakku berpamitan dengan ibu sambil bersiap-siap menunggangi motor matic.
“Eh, Nisa sarapan dulu!” teriak ibu pula, saat melihatku sudah ada di atas motor.
“Nanti aja Bu, di sekolah!” jawabku segera.
Sekarang helm full face berwarna biru sudah menutupi wajahku yang manis.
“Iya hati-hati dijalan, kau jangan ngebut-ngebut ya!” pesan Ibu yang sedang membeli sayur di depan.
“Iya Bu. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”
Dengan perasaan senang dan bahagia yang menyelimuti hari ini, aku langsung menggember motor matic menembus jalanan. Dengan tujuan utama menjemput Fey karena pagi-pagi sekali ia meneleponku untuk dijemput karena motornya tiba-tiba mogok.
Setelah lebih kurang lima belas menit aku sudah tiba di depan rumah Fey yang berada di Gang Mangga No.5, rumahnya tampak besar dan mewah. Fey merupakan anak kedua dari seorang pengusaha konveksi dan ibu Fey adalah seorang dokter. Tidak heran dengan pekerjaan yang mapan, tentu akan membuat pundi-pundi rupiah mengalir dengan deras dan mudah.
“Nisa!” suara Fey memanggil sambil melambaikan tangan ke arahku.
“Buruan Fey!” pekikku.
Fey segera mempercepat langkahnya. “Kamu turun, sini biar aku yang bawa,” ujar Fey dengan tangan sudah memegang stang motor.
“Oke,” jawabku singkat.
Aku duduk membonceng di belakang Fey. Dengan sigap ia menarik tuas gas motor dan berpacu melawan pengendara lain. Aku memegang erat pinggang Fey dari belakang.
Akselerasi Fey dijalanan baru berhenti ketika motor kami dihadang lampu merah. Saat motor berhenti, Fey dikejutkan oleh tepukan yang mendarat dipundaknya, secara bersamaan aku dan Fey menoleh ke pengendara yang ada di sebelah. Sebuah motor Vixion hitam yang dikendarai Azzam. Guru kami.
“Eh, Ustadz." Fey menyapa sopan kala tahu di sebelah ada gurunya.
“Hati-hati bawa anak perempuan orang,” nasihat Azzam dengan mata mentap ke arahku sembari sengulas tersenyum. Aku membalas demikian.
Mata yang melihat ke arahku itu seperti bukan pandangan biasa. Matanya seperti sedang berbicara. Tapi aku kurang tahu pasti maksudnya. Aku yang merasa sedikit agak risih, langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. Obrolan singkat dijalan raya akhirnya terpotong juga oleh lampu merah yang menyala hijau. Kami pun bersiap kembali menembus jalanan.
Dari kejauhan beberapa siswa berjalan dengan terburu-buru karena sedikit lagi pintu gerbang sekolah akan tutup. Ya, sekitar satu menit lagi. Aku mencubit pinggang Fey, supaya membawa motor lebih cepat lagi, jangan sampai aku terlambat hanya karena menjemputnya tadi.
“Iya-iya tenang, lagian kita sudah deket kok, ya nggak mungkin terlambat lah,” ucap Fey penuh yakin.
Motor matic ku sudah masuk ke pekarangan sekolah. Fey memarkirkan motor dengan hati-hati dan rapi di antara motor-motor siswa lainnya.
“Ini kuncinya.” Tangannya menyodorkan kunci motor dengan gantungan aklirik digital cutting bergambar pemandangan berbentuk huruf D bersamaan dengan sebuah coklat. ”Aku sebenarnya udah simpenin ini buat kamu semalam, tapi aku lupa bawanya. Jadi, ya aku bawa sekarang aja.” Senyum Fey begitu merekah ketika mengangsurkan bungkusan coklat itu.
Aku menyambut pemberian Fey. Tangan kirinya sekarang juga turut menggenggam tanganku. Sekarang tangan kami tertaut. “Terima kasih untuk kebahagiaan semalam."
Aku tersenyum simpul. “Aku juga terima kasih karena sudah mempercayakan hati itu untuk aku," kataku dengan rikuh.
Kalau di bandingkan dengan taman yang di ramaikan dengan bunga, agaknya hati kami lebih semarak dan berwarna hari ini. Kita tidak bisa menyembunyikan itu satu sama lain. Senyum bahagia memancar dan tampak jelas raut wajah yang terus bersemu merah seperti tomat.
Dooorrr ...
Tepukan Jovan mengejutkan kami dari belakang.
“Hey, selamat ya!" Jo menyapa dengan semangat 45. Lalu berjalan dua langkah, hingga ia sekarang berdiri tepat dihadapan kami. "Jangan lupa PJ-nya!" tangannya menengadah, dengan alis sebelahnya dinaikkan.
Alisku tertaut. "PJ?" ucapku seolah-olah tak tahu maksud kata itu.
“Pajak Jadian, ya elah Nisa!” umpat Jovan kesal.
“Kenapa minta ke aku, minta aja ke dia," protesku, lalu melempar tatapan ke arah Fey. Yang dibalasnya dengan senyum getir.
Kringgg ...
Bel sekolah begitu nyaring, memutus obrolan kami di parkiran. Suara riuh tiba-tiba terdengar dari arah ujung koridor sekolah. Siapa sih pagi-pagi sudah buat heboh.
Karena penasaran, aku berjalan menuju koridor. Di sana, beberapa siswa sedang berkerumun. Tubuh mungilku menyalib masuk di antara siswa-siswa lain. Tepat, sekarang aku sudah berdiri dibarisan paling depan. Mata seketika membulat saat melihat kejadian di depan mataku. Sadam dan Ranggaspatih sedang adu jotos.
Tidak tahu apa yang melatar belakangi mereka berdua melakukan keributan itu. Yang jelas aku tahu kalau Ranggaspatih adalah laki-laki yang kerap buat onar di sekolah. Keluar masuk BP sudah menjadi pemandangan lumrah bagi laki-laki itu.
Tak berselang setelah itu, suara Pak Herwin yang menggelegar. Wajahnya yang serius, matanya yang berkilat-kilat, alisnya hampir bertemu dengan otot geraham bertonjolan, diikuti jari telunjuknya yang mengacung ke arah dua anak laki-laki yang sedang beradu jotos, menunjukkan kalau Pak Herwin sangat marah besar dan tidak menyenangi adanya keributan yang tercipta pagi-pagi.
“Hei! hei! Apa yang kalian buat hah! Pagi-pagi sudah buat gaduh satu sekolah!" tegur Pak Herwin dengan wajah garang.
Seketika pertikaian itu berhenti. Belum ada dari mereka yang menjawab. Aku melihat Sadam masih mengatur napasnya yang naik turun sedang menahan amarah dan emosi.
“Sekarang juga kalian bedua ikut Bapak! Yang lain cepat masuk kelas, tidak ada lagi yang berada di luar!” suaranya yang keras dan lantang, membuat siswa begidik ngeri dan membubarkan diri.
Pak Herwin menggiring Ranggaspatih dan juga Sadam ke ruangan untuk meminta penjelasan mereka.
Aku sebenarnya hendak ikut menyusul ke ruangan untuk mengetahui perihal apa yang membuat emosi keduanya tersulut. Tapi niatku itu aku cegah karena teringat kalau hari ini ada ulangan Matematika dengan Bu Lydia. Jika telat sedikit saja. Tamatlah sudah. Bisa-bisa kami disuruh belajar di luar.
Aku menepuk-nepuk pundak Fey berkali-kali. “Itu Ibu Lydia sudah keluar dari ruang guru, mendingan kita balik ke kelas nanti lagi kita cari tahu tentang Sadam.”
Fey menyetujui keputusanku. Kami melangkah cepat menuju ruang kelas yang berada di lantai dua.
Ujian kelulusan memang tinggal beberapa bulan lagi, tidak heran jika siswa-siswi kelas tiga Madrasah Aliyah tampak sibuk dengan kegiatan belajar yang lebih intensif. Begitu pun Bu Lydia yang sekarang kerap memberikan kami soal-soal simulasi ujian nasional khususnya mata pelajaran yang diampunya, yaitu Matematika. Sama seperti halnya hari ini.
Satu jam sudah berlalu...
“Ayo waktunya tinggal tiga menit lagi, yang sudah silahkan kumpulkan lembar jawabannya,” kata Ibu Lydia seraya merapikan tumpukan kertas setinggi dua senti yang ada di meja depan.
Hari ini ada empat mata pelajaran. Salah satunya mata pelajaran yang diajarkan Azzam. Tepatnya jam pelajaran kedua setelah pelajaran Matematika. Aku manarik napas dalam-dalam. Lega rasa ujian Matematika dalam hitungan detik akan segera berakhir dan cukup membuat siswa-siswi pusing tujuh keliling.
Fey mencolek punggungku dari belakang. “Nisa, ujian tadi berapa soal yang bisa kamu jawab?”
“Hmm, sekitar dua puluh lima nomor, kamu Fey?” jawabku pelan, supaya tidak kena tegur dengan Bu Lydia yang masih duduk di depan.
Fey mengetuk-ngetuk pulpen ke jidatnya, yah katanya untuk meminimalisir rasa sakit yang yang tiba-tiba mendera kepalanya setelah menjawab soal Matematika tadi.
“Aduh! Aku kayaknya cuman lima belas nomor deh,” bisiknya.
“Apa cuma lima belas?” kataku tak yakin.
“Yee, kayak nggak tau aja, kalau aku kan lemah Matematika, nggak kayak kamu bisa bidang eksak,” keluh Fey dengan wajah kusutnya.
Aku menghela napas panjang. “Makanya belajar dong sama Sadam, jangan ngandelin orang doang,” ejekku. “Eh, ngomong-ngomong Sadam apa kabar ya? kenapa sudah satu jam pelajaran dia juga belum kembali ke kelas.”
Fey mengangkat kedua bahunya cepat. "Nggak tau, mungkin masih diintrogasi," balasnya dengan sibuk menjejal buku ke dalam tas. "Eh, iya. Jihan tumben hari ini nggak ada kabar jugakan?” Fey menghentikan sejenak aktivitasnya, ketika tahu Jihan belum menampakkan batang hidungnya.
Aku menggeleng. “Entahlah, yang jelas pilihannya sekarang hanya ada dua, antara dia sakit atau terlambat,” kataku menduga-duga.
Tok...tok...
Panjang umur. Baru kami usai membicarakannya dia muncul dari balik pintu 12-A dan melangkah pasti menemui Bu Lydia di depan.
“Permisi Bu,” kata Jihan dengan menampakkan raut wajah cemas ingin menghadap Bu Lydia yang terkenal tegas dan disiplin.
“Kenapa kamu terlambat, sudah pukul berapa?” tanya Ibu Lydia sambil menjeling ke Jihan. Jihan hanya memasang muka pasrah dan memelas, sembari kepala masih terus tertunduk.
“Maaf Bu, tadi di tengah jalan ban motor saya pecah.”
“Kenapa sampai sejam telatnya?” tanya Bu Lydia lagi seperti kurang puas dengan jawaban Jihan.
“Saya harus menunggu Kakak saya untuk menjemput dan mengantarkan ke sekolah. Jadi, saya terlambat Bu."
“Tolong setelah ini kamu menghadap saya di ruang guru untuk ujian ya!” Kita tercengang, Jihan beruntung. Tidak biasa Bu Lydia bersikap demikian. Aku kira dia akan memberi hukuman ke Jihan dengan membuat 20 kalimat pernyataan tidak telat. Tapi mungkin alasan Jihan cukup logis, dan mampu diterima Bu Lydia, makanya dia maklum.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!