KECUALI Saragih, benar-benar tak ada yang tahu kalau Cik Usin sengaja menyendiri di sebuah pulau tak jauh dari Telukgedung. Dia melakukannya dengan sengaja dan Saragih yang sempat menolak seketika menjadi diam sebab Cik Usin menyampaikan hal yang sungguh tak pernah ia duga.
“Jika orang-orang bertanya, jangan katakan aku berada di sini, begitu juga pada Lila. Kuharap kau akan membawa anak itu kemari setelah percobaan Drone selesai dan kalian akan melihat aku benar-benar masih menjadi pemburu.”
Setelah Saragih berlalu dari semua keyakinan Cik Usin untuk kembali menemuinya, kesunyian menjadi bagian waktu yang menyelimuti pulau senyap di ambang pagi. Cik Usin memandang ke sebuah makam dari tempatnya berdiri, lalu berdoa semoga Kemala, isterinya yang terbaring di sana, melihat kehadiran itu. Beberapa jam kemudian matahari mulai memanggang kepala tapi ia masih saja duduk bersimpuh di sebelah batu nisan berupa sepenggal kayu yang sudah membatu. Kepalanya menuduk, matanya sedikit basah.
“Kita tidak akan pergi ke sekolah itu untuk menyaksikan Drone buatan anak kita, Istriku. Sebab Drone itu sebentar lagi akan melesat tak jauh dari sini dan kau akan mendengar suara gaduh bagai kumbang. Mungkin kau bertanya-tanya ke mana dia akan mengirimkan benda itu setelah uji coba ini dan aku tidak tahu pasti jawaban atas pertanyaan seperti itu. Di Telukgedung sama sekali tak ada kapal canggih untuk mencari Ombak yang hilang dan anak kita mengatakan akan melakukan pencarian dengan kemungkinan dan kegagalan yang sama-sama besar. Tapi Lila benar-benar tumbuh sebagai anak Telukgedung yang kuat, wahai Istriku. Semua orang hampir menyukainya dan itulah yang kulihat atasnya kini sebagai ungkapan rinduku untukmu. Seperti katamu, kita memang harus menyayangi cara dia tumbuh yang lebih cepat dari pohon nipah di ujung muara.”
Perlahan kisah kematian Kemala datang melarung di atas awan. Wajah Cik Usin menjadi sendu dan mulai kesulitan menguasai diri meski kisah ini sama sekali tak berhubungan dengan kepawangannya menaklukan buaya.
Pada malam kelam itu, Bidan Desa Sidang Maura Jaya mengatakan kalau bayi yang di kandung Kemala tidak bisa lahir normal dan bidan itu kemudian menunjukkan beberapa kasus serupa yang semuanya berakhir di ruang operasi. Cik Usin lalu diminta untuk mengikuti rujukan dan sesudah itu, ia segera mendudukan Kemala di jok depan mobil Carry sewaan yang sudah ditidurkan sedangkan Cik Usin duduk di sampingnya. Perjalanan itu memakan waktu tak kurang 4 jam dan hanya berhenti sekali untuk membeli beberapa botol air mineral di satu-satunya warung yang masih terbuka.
Setiba di klinik setelah perjalanan panjang yang mengkhawatirkan, mereka diterima oleh seorang perempuan lalu beberapa petugas medis mengantarnya ke sebuah kamar dan di sepanjang langkah itu Kemala terus memegangi ujung jemari suaminya erat-erat. Dia kemudian dibaringkan di atas tempat tidur dengan wajah yang terus tersenyum meski di dalam hatinya, sedikit banyak, mulai diliputi kekhawatiran.
“Dokter akan segera datang,” kata perawat pada Cik Usin dan memintanya untuk menunggu di luar dan itu membuat lelaki dari Telukgedung mulai gelisah.
Di atas kursi stainles ruang tunggu, seorang dokter mendatangi dan Cik Usin diajak ke sebuah ruangan bagian muka sebab istrinya harus dioperasi dan mereka harus melakukan pembedahan. Dokter itu lalu mengatakan kalau dia dan satu orang dokter lagi akan menanganinya tapi mereka memerlukan beberapa langkah yang harus disepakati.
“Saya bingung,” ujar Cik Usin.
“Kenapa?” tanya dokter.
“Entahlah. Mungkin karena ini adalah anak pertama. Menurut dokter saya harus bagaimana?”
“Tak ada jalan lain,” dokter itu berucap agak pelan.
“Maksud dokter?”
“Ya. Tak ada jalan lain kecuali operasi, Tuan. Posisi bayi dalam kandungan istri Tuan berada dalam keadaan tidak normal sehingga menyulitkan proses kelahiran. Andailah ini terjadi pada bagian dari keluarga saya, maka saran saya tetap sama: operasi. Sebab hanya itu langkah yang benar dan satu-satunya.”
“Saya takut dia meninggal.”
Dokter itu menarik napas dan memutar-mutar sebatang pena dengan jarinya. “Maaf, Tuan. Yang sedang Tuan pikirkan dan kondisi isteri Tuan adalah dua hal yang sangat berbeda. Jika ajal sudah tiba, dibedah atau tidak, seseorang pasti akan meninggal dan ini tentu berada di luar kehendak siapa pun. Saya hanya mengajak Tuan berikhtiar lebih jernih sebab kita harus melakukan sesuatu dan kami sudah biasa menghadapi masalah seperti ini.”
Cik Usin kemudian membayangkan sebuah ketakutan yang tak pernah ditemukan sebelum ini. Ketakutan yang benar-benar menghantui. Di satu sisi dia takut kehilangan Kemala, tapi dia menyadari dokter itu berkata benar. Seseorang harus melakukan pertolongan terhadap siapa saja yang membutuhkannya dan para dokter sudah disumpah untuk tugas semacam itu.
“Baiklah,” ucap Cik Usin akhirnya. “Semoga semua akan baik-baik saja.”
“Ya. Tentu saja. Saya pun berharap demikian.”
“Saya ikhlaskan.”
“Tuan yakin?”
“Ya.”
“Kalau begitu, tolong tanda tangan di sini,” dokter muda itu menyodorkan beberapa berkas dan memberi tahu Cik Usin di bagian mana dia harus bertanda tangan. Sesudah itu mereka kembali ke kamar rawat dan Cik Usin dipersilakan menunggu di luar. Tak lama berselang pintu kembali terkuak dan beberapa perawat muncul dengan mendorong zal beroda di mana Kemala sudah terbaring di sana. “Kita menuju ruang operasi,” kata dokter tadi dan lelaki Telukgedung itu beranjak untuk mengikuti di sebelah Kemala.
“Abang pucat sekali,” bisik Kemala.
“Aku baik-baik saja.”
“Abang harus selalu sehat.”
“Aku akan selalu sehat.”
“Maafkan aku sudah merepotkan.”
Cik Usin tak menjawab. Hatinya mulai luka dan perasaannya makin tak menentu.
Seorang dokter lain tiba-tiba muncul dengan langkah sangat cepat, bersama dua orang perawat, menuju sebuah pintu yang pada bagian atasnya bertuliskan: RUANG OPERASI. Dokter itu sudah menggunakan masker dan segera menyambut ujung zal beroda kemudian salah seorang perawat berkata pada Cik Usin kalau dia hanya diperkenankan mengantar sampai di sana. Setelah operasi selesai, ia baru akan mempersilakan masuk.
Cik Usin menghentikan langkah dengan berat dan berusaha melepaskan pergelangan tangan Kemala lalu menoleh ke sebuah kursi tunggu di sebelah pintu. Setelah memutuskan apa yang harus dilakukan, dia menanyakan tempat makan pada seorang lelaki yang sudah duduk lebih dulu tanpa sempat saling berkenalan.
“Di ujung jalan masuk, belok ke kanan dekat lapangan bola,” jawab lelaki itu.
Cik Usin menuju tempat itu. Keadaan di luar masih gelap tapi tidak terlalu sepi. Para penunggu pasien bergeletakan hampir di sepanjang depan pintu kamar dan sisi ruang rawat inap. Seorang lelaki paruh baya duduk termenung bersandar dinding dan tersenyum hambar saat Cik Usin melewatinya. Tangan lelaki itu memegang botol air mineral tanpa berisi air. Dua orang lelaki dan perempuan yang berjarak hanya tiga meter bercakap-cakap serius tanpa peduli dengan apa yang ada di sekitar mereka. Salah satu dari mereka tiba-tiba menangis oleh sesuatu yang menimpa dan tampaknya sangat menyedihkan. Cik Usin menarik napas dan terus melangkah tanpa menyapa atau sekadar menoleh.
Berbelok ke kiri dari jalan di luar klinik, Cik Usin melihat pijar cahaya dari sebuah warung makan kecil dalam jarak beberapa puluh meter. Seorang gelandangan yang nyaris tanpa pakaian bergegas menjauh ketika Cik Usin melewati lajur drainase yang agak tersumbat dan berbau busuk. Gelandangan itu mengira seseorang akan mencelakainya lalu ia meremas-remas botol air mineral sebagai bentuk perlawanan.
Di warung makan itu Cik Usin melihat seorang perempuan gemuk yang mulai terkantuk-kantuk, menghadap meja kosong dengan sebuah televisi 21 inchi yang masih menyala. Umurnya berkisar 45 tahun dan dia mengenakan daster biru tua.
“Mau makan?” tanyanya agak kaget.
“Ada yang masih hangat?”
“Rendang jengkol dan opor ayam. Tinggal itu yang tersisa.”
“Opor ayam tapi tolong panaskan dulu.”
Perempuan itu kemudian melayani dengan cepat dan Cik Usin menghabiskan makan bahkan tanpa mengobrol atau sekadar berbasa-basi. Pikirannya benar-benar mengembara tanpa arah dan tak lagi bisa ditakar. Bayangan wajah isterinya terus mengikuti dengan cara melayang-layang di ruang hampa meski dia sudah berusaha menjauhkannya. Setelah kenyang, cepat-cepat dia beranjak meninggalkan pemilik kantin yang berulang mengantuk dan sempat salah memberi kembalian.
Setiba di pintu ruang operasi, seorang dokter dan perawat yang masih memakai masker menyeruak keluar dan hanya menganggukkan kepala pada Cik Usin. Kedua tangan perawat muda itu memegang sesosok bayi dan dengan terburu-buru membawanya masuk ke ke sebuah ruangan lain di bagian atas dan Cik Usin bergegas mengikutinya.
“Apakah itu anakku?” tanya dia saat tiba di muka pintu.
“Benar, Tuan. Seorang bayi perempuan yang cantik. Beratnya tiga kilogram dan sehat,” kata dokter itu.
“Dia akan menjadi Pawang Buaya yang hebat,” gumam Cik Usin.
“Saya ucapkan selamat, Tuan. Setidaknya Tuan benar-benar sudah menjadi seorang ayah.”
Cik Usin tak segera menjawab sebab pikirannya kembali tiba-tiba tertuju pada Kemala. Dia tak ingin kebahagiaan ini hanya dirasakan sendiri dan karena itu ia segera menuju pintu operasi yang masih tertutup sampai seorang perawat menyeruak di balik pintu untuk mempersilahkannya masuk. Lalu dia melihat zal beroda menyeruak dari ruangan lain dan menuju ke arahnya tapi tidak berhenti melainkan langsung masuk ke ruangan yang lain lagi. Lelaki Telukgedung itu mengikuti dengan perasaan berdebar sampai kemudian ia dipersilakan duduk pada sebuah kursi di samping Kemala terbaring. Sebuah lampu tepat di atas kepalanya dinyalakan dan kini terlihat jelas kondisi istrinya yang membuat Cik Usin agak cemas.
“Anak kita perempuan seperti katamu,” katanya.
“Apakah dia sehat?”
“Dia cantik seperti lautan. Aku sempat mendengar suara tangisnya.”
Kemala mendesah dan bibirnya tersenyum kecil. Namun setelah itu seorang perawat mendekati mereka dan meminta agar Cik Usin kembali menunggu di luar.
“Aku hanya ingin menyampaikan kabar gembirra pada istriku,” elak Cik Usin.
“Tuan tidak salah. Tapi mengikuti saran saya tentu jauh lebih tak salah.”
Sebelum Cik Usin benar-benar meninggalkan tempat itu, seorang perawat mengejarnya kemudian mengajak ia memasuki sebuah pintu. Cik Usin bergegas mengikuti hingga ke tepi tempat tidur Kemala yang berseberangan dengan seorang dokter yang masih ada di sana. Kemala menatap sangat lemah, bibirnya pucat, suaranya semakin mengecil.
“Apakah kau baik-baik saja?” tanya Cik Usin.
“Aku melihat anak kita, Bang.”
“Oh, ya?”
“Ya.”
“Di mana? Di mana kau melihatnya? Apakah dia sedang menangis?”
“Dia terbang melintasi angkasa, Bang.” Kemala mencibir dan matanya mulai berair. “Dia sudah besar dan tampak sangat cantik.”
“Aku akan mengajarinya menaklukan buaya dan mendayung perahu. Aku berjanji padamu.”
“Tapi aku meragukannya, Bang.”
“Aku berjanji padamu. Aku pasti akan melakukannya.”
“Bukan tentang Abang tapi aku.”
“Kau akan segera pulih, Istriku. Kau akan sembuh.”
“Sesuatu mungkin akan segera terjadi padaku.”
“Kemala...” Air mata Cik Usin menetes. Dia mencium kening istrinya yang sama sekali tak menunjukkan reaksi berarti.
“Aku ingin Abang berjanji akan mengajari anak kita cara membela Telukgedung, bukan menaklukan buaya.”
“Aku akan melakukannya.”
“Abang berjanji?”
“Ya. Aku berjanji. Aku berjanji padamu.”
Sesudah itu Cik Usin tak dapat berkata-kata lagi sebab dokter memintanya untuk meninggalkan ruangan dengan alasan yang sama sekali tak jelas tapi dia mengikutinya. Di kursi tunggu, lelaki itu terpekur seperti orang kebingungan dengan hati yang terus berharap agar segera dipanggil kembali namun tak juga mendapatkannya.
Di dalam sana, paramedis terus berjuang untuk melakukan banyak hal sampai Cik Usin akhirnya dipanggil dan dipersilakan masuk dan dia benar-benar diperbolehkan menunggui sampai istrinya tak bersuara lagi. Keringat dingin lelaki Telukgedung itu bersimbah dan jantungnya terasa sangat sakit.
Langit tiba-tiba menjadi gelap dan hampir saja ia tak sadarkan diri tapi ia segera teringat akan anak gadisnya yang harus dibesarkan. Setelah benar-benar meyakini bahwa Kemala tak lagi bisa dimiliki, lelaki kalah itu lalu menguras seluruh air matanya dengan sekujur tubuh bergetar hebat. Dunia benar-benar terasa gelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻
aku trenyuh thor...sdih bnget...part ini sungguh menguras emosi ...😭😭😭
2020-12-14
1