Katakan Pada Airmata

BAHKAN setelah beberapa hari kepulangannya, Cik Usin belum juga menceritakan alasan yang membuat ia tak memiliki perahu motor lagi. Lila sungguh menyadari kalau mereka hanya memiliki beberapa hari yang singkat untuk mengetahui banyak hal dan ketika kesempatan itu datang, cepat-cepat ia memulai. “Hanya aku dan Bapak,” katanya dengan penuh perhitungan dan yang dimaksud dengan ‘hanya’ adalah keadaan senyap di rumah mereka saat itu.

“Pukul berapa kawan-kawanmu akan tiba?” Cik Usin mengalihkan pembicaraan dan membuang pandangan ke jendela yang terbuka.

“Tengah hari,” jawab Lila.

Cik Usin melangkah ke belakang untuk menghidupkan kompor. Lila bergegas menaruh gelas di atas meja kemudian mengisinya dengan bubuk kopi dan sesendok gula dan dalam beberapa tempo mereka saling diam seperti laut tanpa angin. Dari balik jendela, gadis kecil berambut bercabang dan kemerahan itu melihat bayangan orang-orang Telukgedung yang mulai menghilir menuju laut dengan perahunya. Matahari makin merekah dan daun-daun pepohonan rasau membelah diri mengikuti angin.

“Kau tampak murung?” Cik Usin menuangkan air panas ke dalam gelas kemudian mengaduknya. “Kenapa?”

“Aku menunggu Bapak bicara,” jawab Lila.

“Mengapa harus menungguku?”

“Aku ingin tahu mengenai perahu kita.”

Tangan Cik Usin berhenti mengaduk tapi tetap membiarkan sendoknya terendam. Beberapa saat dia terdiam. “Seseorang telah membelinya,” jawabnya kemudian disertai langkah yang kembali ke ruang depan lalu meletakkan gelas kopi di atas meja. Menarik sebuah kursi pelastik, dia kemudian mendudukinya. “Apa lagi yang ingin kau ketahui?"

“Butet sebenarnya sudah bercerita tapi hanya sedikit,” Lila mendekat, mengambil tempat duduk di hadapan ayahnya.

“Sama saja,” ayahnya berkata. “Sedikit atau banyak, begitulah intinya. Aku memang sudah menjual perahu kita.”

“Kenapa Bapak melakukannya?”

Cik Usin memberi isyarat dengan mengangkat ibu jari sebagai tanda ia tidak ingin merahasiakan apa pun. Ditatapnya Lila tajam-tajam. “Ada seseorang,” katanya. “Yang sedang berada di suatu tempat dan dia tahu ia memang harus ada di sana. Selama masih ada yang bisa memberinya kejelasan tentang apa yang sebaiknya dilakukan, dia tetap akan memilih berada di sana meski sebenarnya orang ini adalah seorang yang sedang bimbang,” ia berhenti sejenak untuk memastikan kalau bocah di hadapannya sedang menyimak meski mungkin tidak sepenuhnya mengerti. “Aku bisa saja pergi dan membebaskan diri dari apa yang menurutku adalah semacam kesia-siaan itu. Sungguh hal ini sudah kucoba, tetapi ternyata aku tak bisa. Dalam keadaan sekarang, ditambah dengan keadaanku yang tidak sepenuhnya mengerti, rasanya tak mungkin aku terus bertahan dalam semua kebimbangan. Inilah persoalannya: seandainya aku mengambil keputusan salah, maka ada seorang anak yang akan terluka dan itu akan memberinya kesedihan. Tapi andai aku mengmbil sikap yang benar, maka keadaan akan menjadi rumit bahkan sedikit lebih buruk dan karena itu, aku harus mempersiapkan diri lebih kuat.”

Lila menggosok-gosok telapak tangan dan terus memahami arah pembicaraan itu.

“Karena itu aku memerlukan dua hal,” kata Cik Usin lagi. “Pertama jika ada orang yang bisa membantu, kepastian tentang bantuannya. Kedua, jika ada pilihan, aku ingin seseorang menyampaikannya padaku sebab aku menantikan pilihan itu dengan harapan besar di atas segala kegelisahan.”

Lila berbalik menghadap jendela dan tatapannya berhenti pada sebuah tiang. Kesedihan membuatnya seolah sedang berada di atas ombak yang pelan-pelan meremangkan kedua mata; betapa ayahnya selalu berkorban di saat yang sangat tepat dan betapa kesedihan selalu akan datang pada saat-saat seperti itu. “Aku mengerti perasaan Bapak,” katanya.

Tapi tetap saja Cik Usin membutuhkan semacam ketegasan untuk menampakan sikap yang harus diambil seperti hari ini. Ia memahami apa yang diiginkan anaknya ketika memutuskan menjadi ojek perahu. Dan dia tahu sesuatu harus dilakukan untuk menghalangi upaya melelahkan itu. “Sudah berapa hari kau menatapi tiang itu?” tanya Cik Usin. “Maksudku, apakah kau sering melakukannya?”

“Besok yang ketiga.”

“Lalu apa yang kau rasakan? Bukan hasilnya, tapi perasaanmu?”

Tentu saja, yang paling jujur adalah mengatakan kalau Lila sedang disekap kesedihan. Perahu itu adalah alat transportasi mereka yang dibeli ayahnya dari seorang pedagang Rawajitu ketika meninggalkan rumah sakit akibat serangan buaya yang akhirnya merenggut nyawa. Keberadaan perahu itu juga berperan besar sebagai pembawa rezeki dalam kehidupan mereka dan biasanya, perahu itu akan mengapung di muka halaman dengan tali yang terikat pada tiang tambatan sebagai pertanda kalau ayahnya sedang berada di rumah setelah bertarung dengan predator air.

Sebelum limbah dari hulu menggila, mereka memang memiliki sebuah jala yang selalu diletakan di lambung perahu. Kala pagi atau senja jika Cik Usin tidak sedang menjinakkan buaya, keduanya akan mengarungi sungai untuk mencari ikan lalu memasak dan menyantapnya bersama-sama di malam hari. Tapi karena limbah telah mengusir semua isi sungai, kebiasaan itu hilang beberapa tahun terakhir. Dan siang ini, setelah Lila menyatakan kesedihannya, suasana berangsur mendung dan menjadi sangat sepi – dan tidak ada pembicaraan tentang ikan, juga bahasan tentang nasib dusun yang berada di ujung muara. Hanya percakapan lamban anak beranak nelayan yang seolah sedang menunggu suhu udara turun beberapa derajat.

“Kau tak ingin mencoba laptop barumu?” Cik Usin mengalihkan pembicaraan di tengah gemuruh angin yang mulai datang.

“Tentu saja,” kata Lila.

“Apakah kau akan melakukannya di hadapanku?”

“Seharusnya begitu.”

“Kalau begitu, akan kusiapkan kerang untuk kita. Kecuali kau keberatan, aku ingin melihatmu memainkannya.”

“Bapak...” Lila menatap seraut wajah tegar yang selalu menipunya dengan senyuman padahal sering kali hatinya sedang tercabik. Seraut wajah yang darinya anak itu terus mendapatkan keyakinan tentang hidup, juga tentang nasib Telukgedung yang akan membaik pada akhirnya. Seraut wajah yang selalu menyisakan kasih sayang meski tak ingin memperlihatkannya.

“Apa ada yang salah?” Cik Usin agak terhenyak dan hatinya berdebar. “Apa kau sudah menyiapkan merk tertentu dan itu tak sesuai dengan yang kubeli?"

Lila diam dan terus menatap ayahnya. Hatinya mulai terasa pedih dan ingin sekali merasakan kalau lelaki di hadapannya mengerti akan hal itu.

“Kalau begitu maafkan aku,” kata Cik Usin. “Aku menyesal telah bersikap salah. Aku berjanji akan membawanya kembali ke toko elektronik untuk ditukar. Kuharap sesudah ini kau bisa menuliskan merk itu agar aku bisa memberikannya pada pelayan toko. Maafkan aku, Nak. Tadinya aku percaya pada Saragih yang mengatakan semua laptop, pada hakikatnya tak ada bedanya. Tapi sudahlah. Besok aku akan menukarnya sesuai pesananmu dan aku berjanji untuk itu.”

“Mengapa Bapak harus melakukannya?”

“Melakukan apa?”

“Membeli laptop diam-diam.”

“Tadinya aku mengira itu akan menjadi semacam kejutan yang akan membahagiakanmu, Nak. Sekali lagi maafkan aku...”

“Bagaimana Bapak bisa begitu yakini?”

Mata Cik Usin terpejam. “Aku memang salah.”

“Harusnya Bapak tidak melakukannya!”

“Aku tahu.” Cik Usin segera mengalami bagaimana rasanya berada di ujung duri dan dia baru sadar kalau begitu menyakitkan. “Seharusnya aku bertanya dulu padamu. Aku terlalu ceroboh,” dan setelah itu dia menunduk. Menyesali semua hal yang tak lebih dari sebuah kebodohan baginya. Dagunya benar-benar menjuntai sedang tangannya mulai menyeka air mata.

“Bapak,” Lila melangkah tepat ke hadapan Cik Usin yang tiba-tiba menjadi gugup sebab mendapati anak itu menatap dengan kedua tangan terkulai. “Aku tahu Bapak akan kesulitan setelah hari ini sebab kita tak punya perahu lagi. Tapi aku berjanji tidak akan melukai Bapak lagi setelah hari ini.”

“Kau tak pernah begitu.”

“Jika ada seorang anak keras kepala ingin mengakui semua kebodohannya, apakah Bapak akan memaafkannya?”

“Kau tidak perlu melakukannya. Kau benar. Seharusnya aku menanyakannya terlebih dahulu.”

Lila meraih tangan bapaknya yang gemetar dengan kedua mata yang terlihat mulai teduh. “Apakah diizinkan...” Dan tanpa terasa suara anak itu mulai sesegukan. “Kalau anak itu ingin mencium telapak tangan yang terus mengibaskan dayung tanpa lelah ini hanya agar anaknya mengerti makna pengorbanan?”

Tubuh Cik Usin gemetar dan tak yakin ingin berbalik badan. Kedua matanya basah. Bibirnya bergerak-gerak. “Aku terus membanggakanmu, Anakku.”

Saat itulah Lila memeluk pinggang Ayahnya lalu menumpahkan semua tangisan tanpa henti. Matanya terpejam. Giginya gemeretak. Kehangatan merayap dari ujung kaki hingga kepala dan ia benar-benar merasa sudah bersalah. “Aku selalu melukai Bapak.”

Cik Usin sudah kehilangan semua kata.

“Maafkan Lila...”

“Kau membanggakanku, Nak.”

Pada saat itu, Cik Usin tak sempat lagi melihat gulungan badai yang mengamuk hingga rumah mereka bergerak-gerak. Juga air hujan yang melecut-lecut daun pintu lalu masuk melalui rongga jendela yang tak dapat lagi ditutup karena pergeseran tiang. Dia hanya tahu, anaknya itu adalah perempuan hebat.

Terpopuler

Comments

Isma Aji

Isma Aji

nanti aku lanjut lagi like nya 😍

2021-07-09

2

¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻

¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻

masih di sini😯😯👀👀

2020-12-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!