BU AISYAH mengarahkan telunjuk ke bagian rak yang kosong dan beberapa anak terus melakukan pekerjaan menyusun buku-buku dengan semua keceriaan yang hari ini seolah adalah dosa besar jika tidak menampakkannya.
Duma dan sebanyak jumlah kawannya hilir mudik membawa kardus penuh buku dari kantor sempit menuju ruang kelas dan sesekali membentak jika salah seorang di antara mereka sengaja mendorong bahunya dari belakang tapi kemudian semua anak segera menertawakan ulah itu kecuali Lila, Cici dan Agam.
"Kau bengis sekali?" tanya Cici saat keduanya saling berpapasan.
"Itu namanya tegas!" jawab Duma sambil mengentakan sebelah kaki.
"Berarti bukan marah?"
"Tak tak bisakah kau membedakan keduanya?"
"Menurutku kau sedang marah."
"Wahai anak berponi, kau harus bisa membedakan antara marah dan tegas seperti juga membedakan antara laut dan sungai atau langit dan matahari. Makanya banyak-banyaklah membaca buku agar tidak menjadi perempuan banyak tanya. Lama-lama pening kepalaku menjawabmu."
"Coba punggungmu dikerik. Siapa tau kau masuk angin."
"Woi!" Kaki Duma mengentak lagi "Aku tidak sakit!"
Gadis kecil berponi itu tak lagi menyahut dan cepat-cepat berlalu.
Pagi itu Mala tak terlihat kecuali hanya sebentar untuk mengatakan kalau badannya deman namun Bu Aisyah tahu, itu adalah hal yang harus dikatakannya sebab tunangan Ombak itu sedang mempersiapkan masa pernikahan yang tinggal hitungan hari.
“Pisahkan kelas per kelas dan beri tanda!” Bu Aisyah menggerakan ujung rak papan yang menyatu dengan dinding dan menghadap ke pintu. Tukang kayu dan orang tua siswa membuatnya sore kemarin dan mereka menyebutnya sebagai lemari lalu semua orang menyetujui untuk menyebut begitu –yang sebetulnya hanya lempengan papan yang di susun dan disatukan dengan dinding, tak lebih dari itu.
“Bukankah ini buku bacaan umum?” lanjut Bu Aisyah. Tatapannya mulai terpaku pada Duma, Berta, Gita dan Arpan. “Di sini nanti akan di selipkan meja dan kursi Juru Perpus. Boros tempat kalau begini!”
Jadi, ruangan itu adalah kelas belajar yang pada beberapa bagian dindingnya telah terpasang barisan papan menyerupai rak. Bagian depan sebelah kanan adalah tempat meja guru yang menghadap ke susunan meja anak-anak yang sebagian kakinya mulai patah dan sekarang tersatukan oleh ikatan tali pelastik.
Bersebelahan dengan meja guru di sisi kiri yang menempel ke dinding , meja Juru Perpus sedang direncanakan dan baru akan berfungsi setelah kegiatan belajar usai atau saat ruangan kelas menjadi kosong.
Tiba-tiba Duma bertanya. “Juru Perpus?”
Bu Aisyah menjawab. “Orang yang bertugas mengadministrasikan semua buku di perpustakaan ini. Kau tak pernah mendengar istilah itu?”
Beberapa buku yang berada di atas kepala hampir tertumpah ke lantai sebab susunannya sama sekali tak seimbang. Bu Aisyah berseru dan menggeleng-geleng hingga anak-anak itu berlarian membenahinya.
“Belum, Bu,” Duma kembali bersuara.
“Letakan pelan-pelan,” ucapnya Bu Aisyah dengan tanpa mendengar suara Duma. Kemudian mundur beberapa langkah untuk mengamati susunan buku yang tepat menurut pandangannya. “Penuhkan dengan buku yang agak tebal!” ia berkata lagi. Berta dan Gita cepat-cepat melakukannya. Bu Aisyah lalu menggeser badan agak ke samping namun tak lama berselang kembali berseru:
“Awas!!”
Beberapa buku tiba-tiba berjatuhan dan Arpan yang berada paling dekat bergerak kian kemari untuk memunguti lalu memberikannya pada Berta yang tegak di sisi kanan dengan wajah tiba-tiba berubah masam.
“Ini tugasmu!” Arpan bersabda.
“Apa maksudmu?”
“Pasang dan susun lagi!”
“Apa?” Berta mengerutkan kening. “Kau memerintah seorang perempuan?”
“Nampaknya kau tersinggung?”
“Tentulah iya!”
Arpan hanya sedikit lebih tua dari Berta, tapi dalam hal ini, ia berbicara dengan gaya yang membuat Berta seolah sedang ditegur seorang kakak ipar. Tentu saja ia tak bisa beharap Arpan akan bersikap lebih lunak, tapi mungkin Berta memang tak bisa memahami situasi ini.
Bu Aisyah berdehem dua kali dan Arpan yang bermaksud ingin menjawab segera menyela. “Berta ini, nah, Bu. Mengerjai kawan saja bisanya.”
“Jangan membuat fitnah!” Berta mengentak.
Bu Aisyah menoleh padanya tanpa menggaruk kepala. “Kalau kalian tak mau, biar Ibu saja yang memasang.”
“Tidak, Bu. Biar kami!” Berta bergegas bangkit sedang Arpan cepat-cepat menyelamatkan diri dengan berjalan keluar dan meninggalkan seorang kawan yang lebih banyak memprotes daripada menjawab. “Ini langsung saya pasang!” Wajah Berta agak terlipat. Dia tahu, dalam keadaan seperti ini, seharusnya Arpan sudah dihadiahi sebuah tendangan yang sanggup mematahkan kaki.
“Bu...” Saat Berta akhirnya melakukan tugasnya, Duma kembali mengusik dan kini Bu Aisyah menatap ke arahnya.
“Ya!”
“Bagaimana dengan yang tadi?”
“Yang mana?”
“Yang Ibu katakan tadi, nah?”
“Yang mana itu?”
“Yang tadi itu, nah.”
“Iya, yang tadi mana?”
“Yang tadi.”
“Tuhanku!” Mulut Bu Aisyah berseru. “Yang mana, Duma? Berputar-putar macam gasing kau ini.”
“Ai, Ibu kura-kura dalam perahu.”
“Kura-kura dalam perahu bagaimana?”
“Pura-pura tidak tahu.”
“Pura-pura tidak tahu apa?”
“Kura-kura di pulau penyengat.”
“Apa maksudmu?”
“Pura-pura tidak ingat.”
“Kau mau Ibu mati penasaran?”
“Juru Perpus tadi. Ibu belum menjelaskannya.”
“Bukankah sudah kujelaskan?”
“Tapi belum tuntas.”
Gita yang hampir beranjak sempat melirik sejenak dan segera menduga isi kepala seorang kawan yang agak gila pangkat yang jika ia sudah mengetahui satu keuntungan dan tidak segera mendapatkannya, dia tak akan bisa tidur sepanjang malam. “Kalau diperbolehkan si kain buruk ini mau melamar, Bu,” katanya lalu mencibir dan pergi.
“Tak usah mengurusi orang!” pekik Duma. Namun Gita, dengan tanpa menoleh, sudah berlalu begitu saja.
Bu Aisyah sedikit mendesah. “Bisa saja,” ucapnya.
“Bisa saja bagaimana, Bu?”
“Coba kau tanyakan pada Lila karena dia yang ditugaskan Bu Mala untuk menangani sementara.”
“Apakah tugas itu sama dengan jabatan ketua kelas, Bu?”
Berta dan Lila sama sekali tak terganggu dan terus menata buku-buku.
“Agak berbeda, tapi tak banyak."
“Ada aturannya?”
“Tentulah ada. Kau tanya saja pada Lila.”
“Yang melanggar akan mendapat sanksi kan, Bu?”
“Kau tanya pada Lila!”
“Saya berjanji akan bertindak tegas kalau diterima, Bu.”
“Bagus itu. Coba ke Lila.”
“Hukum akan saya tegakan. Aturan disetarakan, tak peduli walau harus kena makian kawan. Yang salah akan menerima hukuman berdiri di sebelah papan tulis dengan kaki diangkat sebelah!”
“Dan Ibu sepakat denganmu.”
“Kira-kira kapan saya bisa memulai, Bu?”
Bu Aisyah menoleh dan menggeleng-geleng. "Apa telingamu mulai tuli?”
“Tidak, Bu.”
“Kau begitu tanya pada Lila! Pada Lila! Paham?”
Mengikuti perbincangan itu, Lila yang mulai kesal perlahan mendekat dan segera melimpahi Duma sederet tugas perdana. “Kau bisa mulai dari sekarang,” katanya.
“Benarkah?” wajah Duma berubah terang.
“Apakah kau menduga aku sedang berbohong?”
“Tentu saja tidak. Kau kawan yang baik.”
“Pertama...”
“Siap!”
“Catat semua buku yang ada di sini, termasuk yang belum dihitung. Lalu pisahkan sesuai kelas dan jenisnya.”
“Siap!”
“Buku pelajaran di sebelah kiri...”
“Tentu saja aku tahu.”
“Pengetahuan umum di pojok kiri juga.”
“Aku juga sudah menduganya.”
“Sastra dan seni di ujung rak kanan, dongeng dan cerita bergambar di sebelah Pengetahuan Umum.”
“Siap. Aku mengerti.”
“Buku pelajaran juga begitu, di susun kelas per kelas juga per mata pelajaran agar jelas ada berapa untuk kelas satu, kelas dua dan seterusnya. Nah, masing-masing kelas juga dipisah dan dicatat, jangan sampai tertinggal. Termasuk kapan tanggal terima, donasi dari siapa, hari apa dan jam berapa. Nanti kalau sudah mulai aktif, siapa yang akan meminjam jangan lupa dicatat namanya; kapan mulai mengambil; apa jenis bukunya dan kapan waktu mengembalikan berikut judul buku. Masyarakat umum juga bisa meminjam tapi waktunya khusus hari Minggu. Ingat! Kau harus meneliti alamat mereka satu per satu. Kalau perlu menunjukan KTP dan bukunya harus disiapkan. Oleh karenanya, kau juga harus paham mana buku yang bisa untuk umum, mana pula yang tidak. Kalau ada yang mau membaca di sini juga boleh dan kau harus menungguinya untuk melayani atau mencarikan buku yang disukai. Satu lagi, catat juga, hari Rabu untuk anak-anak, Minggu bagi masyarakat umum. Buat pengumumannya di beberapa sudut dinding kelas dan rekat dengan nasi. Jaga jangan sampai terlepas atau dirusak tangan-tangan jahil seperti tanganmu. Jika semua sudah dicatat segera laporkan padaku atau Bu Mala. Satu lagi, kau juga harus memastikan laporan itu bisa selesai setiap hari dan tak ada bayaran dalam tugas ini kecuali kau akan mendapatkan doa kebaikan dari banyak orang agar jika kau mati besok, kau akan masuk surga tanpa disiksa. Bagaimana, ada pertanyaan?”
“Sepertinya kau sedang mendoakan agar aku cepat mati?”
“Kukira kau terlalu perasa.”
“Aku mendengar kau mengucapkannya dengan jelas.”
“Itu yang kumaksud terlalu perasa.”
Kepala Duma memang sudah berputar-putar seolah hendak berasap. Karena itu, saat akan beranjak keluar, ia baru sadar kalau langkahnya tak lurus lagi!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Isma Aji
oke lanjut lagi 🤗
2021-07-09
1
W_Yaya
haii kakak aku udah mampir bawa bom like salam dari pengawal tampan idolaku
2020-12-12
0
¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻
nih udh kubaca smp sni😀😀
2020-12-11
0